Jumat, 18 Desember 2009

2001: Space Odyssey (Beyond Hope, Expectation & Imagination)


Minggu kemarin, dengan sangat kebetulan saya melihat DVD film ini terpajang manis di deretan rak film-film yang dijual Gramedia. Spontan saya merasakan hasrat yang menggelora untuk membeli film ini, mengingat reputasinya sebagai film klasik science fiction yang sangat legendaris. Namun melihat label harganya senilai Rp 129 ribu, membuat saya agak ragu-ragu dan hanya membolak-balik kemasan DVD itu, berharap menemukan alasan yang sangat bagus untuk tetap membelinya.

Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan tindakan yang paling disukai oleh seluruh produsen di seluruh dunia, impulse buying! Saya berpikiran, "Tak ada salahnya sesekali menikmati sebuah film berkualitas yang cukup langka dengan harga dan kualitas sepadan." Apalagi DVD ini juga menyertakan 1 disc lagi berupa feature edition yang memang ditujukan bagi para kolektor. Cukup menyenangkan pula saat membayarnya di kasir, ternyata saya diberitahu bahwa Warner Bros sedang mengadakan promo mengizinkan saya memilih sebuah film DVD lagi dengan harga di bawah Rp 129 ribu :-)

Film "2001: Space Odyssey" ini disutradarai dan diproduseri oleh Stanley Kubrick ini diangkat dari novel karya Arthur C. Clarke. And guess what, film ini dibuat di tahun 1968! Adegan pembuka di film ini sudah jelas bukan merupakan adegan pembuka yang biasa kita saksikan di film-film Hollywood yang penuh aksi. Bahkan kenyentrikan film-film Quentin Tarantino pun terasa menguap cepat bila dibandingkan dengan film ini. Bayangkan saja, film ini dibuka dengan scene kehidupan primata-primata prasejarah yang kelak menjadi cikal bakal manusia. Stanley Kubrick dengan jenius mengisahkan kehidupan mereka yang primitif, liar, sekaligus rapuh. Kera-kera purba ini harus bertahan hidup di alam yang keras, bersaing dengan tapir untuk memakan tumbuhan dan lumut, serta masih harus menghadapi serangan tiba-tiba macan tutul. Seakan masih kurang, mereka juga harus bersaing dengan kelompok kera lain untuk memperebutkan sumber air.

Jadi bayangkan saja bahwa sepanjang adegan pembuka, tidak ada dialog, narasi, atau teks sama sekali (kecuali jeritan-jeritan kera purba dan sekali raungan macan tutul). Tetapi buat saya pribadi, visualisasi adegan itu tergambar sangat jelas dan bahkan lebih kuat dari sekadar kata-kata biasa. Saat malam tiba, kera-kera primitif ini berusaha tidur di sebuah bukit karang dan mereka merasa sangat gelisah. Hingga keesokan harinya sangat bangun, kegelisahan mereka semalam seolah terwujud dalam sebuah batu misterius yang mendadak muncul di hadapan mereka. Batu hitam monolith berbentuk balok yang diam membisu itu membingungkan para kera yang berteriak-teriak ketakutan, sampai mereka akhirnya berani menyentuh batu tersebut untuk memuaskan rasa penasaran mereka.

Tiba-tiba dari sana, mendadak salah satu dari mereka seolah berubah menjadi spesies yang lebih cerdas! Seekor kera terlihat mengamati potongan tulang tapir dan mengambil sepotong tulang terbesar. Setelah dipegang-pegangnya dalam genggaman tangan, ia mulai memukul-mukulkannya dan menyadari bahwa tulang di tangannya bisa menjelma menjadi senjata yang menakutkan. Lewat tulang itulah, mereka bisa mengusir tapir, membunuhnya untuk mendapatkan protein dagingnya, dan yang paling penting lagi, mereka bisa mengusir kawanan kera lainnya dengan memukul mati pemimpin kera yang mencoba melawan dan menguasai kembali sumber air mereka sebelumnya. Secara jelas, Kubrick sedang mengkonstruksi ulang rekaan mengenai lompatan evolusi yang terjadi dari spesies kera primitif menjadi spesies kera setengah cerdas yang kelak menjadi manusia.

Saya amati, kostum yang dibuat untuk memerankan kera-kera primitif itu cukup bagus, apalagi bulu-bulunya terlihat sangat natural. Gesture yang diperagakan oleh aktor pemeran kera-kera itu pun cukup luwes, walaupun saya menilai topeng kera mereka masih sedikit aneh, ditambah mungkin waktu itu belum ada teknologi softlens mata yang unik, sehingga mata kera-kera itu masih terlihat seperti mata manusia. Yang unik, untuk mendapatkan peran anak-anak kera tersebut, mereka tidak mengambil anak kecil atau orang cebol, melainkan memutuskan untuk menggunakan anak simpanse! Pantas saja saya melihat gerakan-gerakan anak-anak kera dalam film ini sangat natural sekali.

Di film ini diperlihatkan, setelah kera-kera itu berhasil membunuh pemimpin rival dan menguasai sumber air kembali, salah satu dari mereka berteriak bangga sambil melemparkan tulang ke langit. Di sinilah, Kubrick lagi-lagi memperlihatkan sisi eksentriknya, saat mendadak mengganti scene tulang yang terlontar ke langit itu menjadi scene sebuah satelit yang melintasi luar angkasa! Bayangkan sebuah kegagapan yang kontras antara zaman prasejarah dimana manusia masih berupa gorila berbulu dengan adegan zaman luar angkasa! Berikutnya, film ini akan menceritakan mengenai abad penjelajahan antariksa manusia di tahun 2001.

Menariknya, sepanjang film, Stanley Kubrick dengan sangat luar biasa memberikan berbagai deskripsi yang detail mengenai berbagai ramalan teknologi masa depan menurut interpretasinya. Ada pesawat-pesawat antariksa, stasiun luar angkasa, pendirian pangkalan antariksa di bulan, keadaan tanpa bobot di dalam pesawat antariksa, seragam para astronot, bahkan sampai menu makanan instan para astronot. Sekadar informasi, film ini dibuat bahkan sebelum Neil Armstrong mendarat di bulan pada tahun 1969! Di film ini juga digambarkan mengenai teknologi telepon masa depan berupa videophone, serta teknologi Artificial Intelligence. Film Kubrick inilah yang kelak menginspirasi George Lucas menciptakan Star Wars yang legendaris tersebut. Bahkan menurut saya, film ini lebih akurat daripada film-film antariksa Hollywood lainnya karena tidak ada suara yang muncul saat adegan-adegan di luar angkasa yang memang kedap suara akibat tidak adanya udara sebagai penghantar.

Emosi yang kuat bagi saya, ada di akhir bagian dari film. Dikisahkan bahwa saat itu, manusia berencana untuk mendarat di Planet Jupiter. Untuk itu, mereka meluncurkan sebuah roket yang dihuni oleh beberapa astronot yang dibuat dalam kondisi hibernasi dan semuanya dikendalikan oleh sebuah super-computer paling cerdas yang pernah dibuat manusia, HAL 9000 Series. (Konon nama HAL diambil dari nama "IBM" yang digeser satu huruf). Masalah mulai timbul saat HAL mulai mengambil keputusan untuk melenyapkan para astronot itu satu persatu karena menganggap mereka menghalangi misi. Sementara para astronot itu berpendapat bahwa ada yang tidak beres dengan mesin ini dan langkah paling aman adalah menonaktifkannya sementara sampai situasi lebih lanjut. Sejujurnya, saya merasakan bahwa film "Eagle Eye" yang dibintangi Shia LaBeouf dan diproduksi tahun 2008 ini sangat mirip dengan salah satu bagian dari film "2001: Space Odyssey" ini. Betapa tidak, bayangkan saja sebuah super-computer yang maha cerdas, bisa berpikir, belajar dari kesalahan-kesalahannya, dan mempunyai akses kendali ke mana pun, dan ia melawan manusia. A ghost in the machine! Kemiripan lainnya adalah super-computer ini sama-sama menggunakan kemampuannya membaca bibir untuk menganalisis pembicaraan saat sambungan audio dimatikan.

Pada akhirnya, melalui semangat juang yang tidak bisa diperkirakan oleh sebuah komputer, seorang astronot bernama Dave Bowman berhasil mengalahkan HAL dengan mencabut prosesor-prosesor untuk membunuhnya pelan-pelan. Disinilah HAL serasa seperti mahluk yang sedang terluka. Melalui suaranya yang diprogram untuk terdengar lembut dan tenang, HAL berusaha membujuk Dave untuk membatalkan tindakannya tersebut, bahkan termasuk bernyanyi! Setelah pesawat dalam kondisi penguasaan manual penuh, Dave memutuskan untuk mengendarai space aircraft yang lebih kecil untuk mendarat di Jupiter.

Nah, di scene inilah, kegilaan Stanley Kubrick semakin menjadi-jadi. Saat mengorbit di dekat Jupiter, Dave tiba-tiba mengalami sebuah fenomena astrologi yang sangat luar biasa dan terlihat sebuah batu monolith melintas di hadapannya. Entah itu sebuah efek supernova atau halusinasi belaka, yang pasti sepanjang adegan, Dave mengalami halusinasi optik yang sangat kompleks, sampai saya tidak mampu mendeskripsikan dengan kata-kata disini. Setelah itu, semuanya gelap dan tenang...

Kemudian scene berganti menjadi sebuah ruangan bernuansa klasik yang mewah, dimana space aircraft yang ditumpangi Dave sudah ada di dalam ruangan itu. Dave terbujur tegang di dalam space aircraft dan melalui kaca depan, ia melihat sosok manusia berpakaian astronot seperti dirinya. Wajah dalam helm astronot itu terlihat dan nyata itu adalah wajah Dave sendiri. Tetapi wajah itu terlihat lebih tua 20 tahun, dan mendadak ruangan itu hanya berisi Dave seorang, sedangkan space aircraft yang berisi Dave yang lebih muda di dalamnya, menghilang.

Setelah itu dengan pandangan mata kosong, Dave mengamati pantulan wajahnya di cermin, lalu melangkah pergi. Ia tertarik dengan bunyi denting peralatan makan yang terdengar dari sebuah ruangan yang pintunya terbuka sedikit. Dave berhenti dan melongok, terlihat punggung sosok seorang pria bermantel beludru yang sedang makan. Pria yang sedang makan itu merasa ada yang mengawasinya dan ia menoleh. Dave di balik pintu menghilang lalu pria itu kembali meneruskan makannya. Tampak wajah pria itu adalah Dave sendiri yang mungkin berusia sekitar 70 tahun. Tanpa sengaja ia menyenggol segelas air di sampingnya sehingga pecah berantakan di lantai. Dave tua memandanginya sejenak lalu ia mendengar suara berdeham serak dari atas ranjang.

Kini scene memunculkan seorang pria botak tua lemah tak berdaya sendirian, terbaring di atas tempat tidur. Seperti Dave-Dave lainnya, pria tua yang sedang makan itu turut lenyap. Mendadak di hadapan Dave yang renta, muncul sesosok batu monolith yang misterius itu! Batu yang pernah membantu evolusi kera-kera purba, berjuta-juta tahun yang lalu dan saya hanya bisa menduga mungkin batu itu hasil peradaban lain yang lebih cerdas atau interpretasi Kubrick terhadap eksistensi Tuhan. Setelah itu, scene berganti dengan Dave yang masih berupa janin dan mengorbit mendekati Bumi...

Jelas bukan sebuah ending film yang disukai banyak orang. Saya sendiri bahkan menganggap visualisasi itu hanyalah interpretasi yang konotatif dari seorang Stanley Kubrick untuk menggambarkan harapan manusia akan keabadian dan kerinduan Dave untuk kembali pulang ke rumahnya di Bumi. Dave sendiri saya duga sudah lama tewas saat space aircraft-nya mungkin gagal mendarat di Jupiter atau terkena efek ledakan supernova.

Meskipun film "2001: Space Odyssey" ini dianggap mewakili prediksi masa depan yang cukup akurat, banyak ramalan-ramalannya terbukti meleset, misalnya:

1. Sekarang sudah akhir tahun 2009 dan manusia masih belum berhasil mengadakan perjalanan antariksa (bahkan mendarat di bulan untuk kedua kalinya pun belum pernah dilakukan).

2. Konsep videophone sebagai telepon masa depan sampai sekarang tidak pernah terealisasi, kecuali menjadi webcam.

3. Saat itu mereka belum meramalkan teknologi touchscreen dan layar datar. Terlihat waktu Dave bermain catur dengan HAL, ia menggunakan suara untuk menggerakkan pion-pion caturnya di layar komputer. Padahal kalau sekarang, tentu lebih masuk akal bila Dave menggerakkan pion catur lewat jarinya di layar touchscreen. Monitor-monitor yang ada di film ini pun kebanyakan masih cembung, seperti monitor TV di tahun 1970-an.

4. Visualisasi Planet Bumi di film ini menurut saya terlihat sedikit janggal, karena terlalu didominasi warna biru. Padahal kalau dilihat dari foto-foto di buku atau film-film Hollywood yang lebih modern, Bumi juga mempunyai warna coklat (warna daratan).

Overall, film ini sangat direkomendasikan! Film fiksi ilmiah terbaik di zamannya dan saya sangat berharap suatu saat film ini akan dibuat remake-nya :-)

Minggu, 13 Desember 2009

Serengeti: The Clash of Dominations




Sabda Darwin mengenai seleksi alam, bahwa yang terkuatlah yang menang terus menggema di dunia. Konsep survival of the fittest inilah yang menjadi roda-roda penggerak kompetisi yang terjadi di mana-mana, mulai dari pucuk dedaunan di atas pohon yang kering meranggas hingga ke hutan tropis yang basah. Dan kali ini kita bisa menyaksikan miniatur kompetisi tersebut di padang rumput Serengeti, Afrika.

Kompetisi yang keras dan kejam terus berlangsung untuk menghasilkan spesies-spesies yang lebih tangguh, lebih kuat, lebih cepat, dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Alam seperti ibu tiri yang otoriter dan tidak pernah membiarkan anak-anaknya larut bermanja-manja, bahkan ini berlaku pula untuk para predator yang duduk nyaman di atas singasana piramida makanan pun. Persaingan dan bahaya bagaikan dua sisi keping uang logam yang terus-menerus silih berganti membayangi.

Alam selalu menyukai anomali dan kadang-kadang beberapa spesies berbeda terlibat dalam kontak yang sangat jarang terjadi namun berlangsung dengan sangat menakjubkan. Sebuah kesengajaan kecil dari alam untuk membentur-benturkan pion-pion di atas papan caturnya dan membiarkan pion-pion kecil itu sendiri untuk bereaksi sekaligus menyimpannya dalam memori masing-masing. Yang menang membawa kebanggaan dan menunjukkan dominasinya, yang kabur memendamnya sebagai pengalaman berharga, dan yang kalah akan terluka, cacat, atau mati dimakan.

Di padang rumput Serengeti Afrika yang bersemu kuning keemasan tertimpa matahari terik, terhampar jelas sebuah aura kebencian yang kasat mata namun mampu menggetarkan intuisi dari dua jenis predator berbeda. Predator pertama menyerupai seekor kucing raksasa dengan warna tubuh kekuningan yang merupakan kamuflase sempurna untuk mengendap dan mengintai dari antara ilalang Serengeti. Mereka merupakan penguasa utama tanah Serengeti. Singa Afrika begitu dipuja karena kekuatannya, kewibawaannya, dan ketenangannya. Predator kedua memilih wujud menyerupai anjing besar yang eksentrik. Kadang-kadang kita melihatnya melangkah seperti campuran mistis anjing dan beruang. Mereka merupakan tokoh oposisi yang licik, eksentrik, tetapi punya kekuatan misterius untuk melakukan agresi-agresi menakutkan kepada para singa. Hyena yang sendirian bukan masalah besar bagi singa dewasa. Tetapi sekelompok hyena dewasa yang lapar adalah horor, bahkan bagi sekelompok singa.

Bentrokan di antara keduanya kadang tidak dapat dihindari bila rasa lapar lebih kuat daripada rasa takut. Sewaktu sekelompok singa betina sukses menjatuhkan seekor wildebeest dewasa, dengan sigap singa-singa itu berpesta pora melahap setiap daging buruannya. Namun aroma pembunuhan itu dengan cepat menyebar dan diketahui kelompok pemburu lainnya. Belum puas para singa mengisi perutnya, hyena-hyena telah mengepung dan melancarkan intimidasi. Singa betina merasa terusik dan marah menerjang satu-dua hyena di dekatnya. Namun bukannya kabur, hyena yang lapar seperti ombak. Mereka mundur dua langkah untuk kembali maju dengan kekuatan yang lebih besar. Singa-singa merasa kendali peperangan berbalik arah, mereka berlarian dikejar hyena-hyena yang beringas. Salah seekor singa betina yang menyingkir tampak terpincang-pincang, luka di kaki belakangnya masih tergores segar. Di bawah sinar bulan yang anggun, para singa hanya memandang marah tak berdaya, menyaksikan bangkai wildebeest itu menjadi sasaran kerakusan para hyena. Malam itu berakhir untuk kemenangan hyena!

Di siang hari yang cerah, sekumpulan hyena sedang bermalas-malasan di teritorialnya sendiri. Tiba-tiba sekelebat bayangan kuning kecoklatan berlari dengan kecepatan penuh, mengincar seekor hyena muda yang malang. Seekor singa jantan dewasa berlari memburu dengan ketenangan seekor pemimpin dan didukung beberapa singa betina berlari di belakangnya. Melihat bahaya yang nyata, hyena itu berlari ketakutan dan teman-temannya hanya diam menyaksikan dari kejauhan. Mereka membutuhkan suntikan rasa lapar yang hebat sebagai doping untuk berani mengkonfrontasi seekor singa dewasa yang sedang marah! Kaki-kaki hyena yang pendek dan canggung (karena kaki belakangnya lebih pendek) jelas bukan tandingan kecepatan singa yang marah. Dengan mudah singa jantan itu mengaitkan kaki depannya, menjegal kaki belakang hyena sehingga ia terjungkal dan seketika singa jantan itu mengigit lehernya dengan brutal. Hyena itu meronta dan menjerit-jerit namun singa penuh pengalaman itu tetap diam mengatupkan rahangnya yang besar, berusaha mematahkan leher si pengecut. Setelah hyena itu diam tak bergerak, singa itu bergegas pergi sembari mengaum menunjukkan dominasinya sebagai pemimpin alfa. Dengan jelas ia menuntut pembayaran yang adil kepada para hyena atas rusaknya perburuan singa betina semalam. Singa dan hyena akan cenderung saling menyerang tanpa memerlukan alasan apa pun.

Suatu saat di belahan padang rumput lainnya yang gersang, seekor singa jantan muda yang depresi melangkah gontai meninggalkan kawanannya. Mungkin karena kalah berkompetisi atau sedang sakit, singa muda ini jelas tampak sangat kurus dan tidak sehat. Setelah melangkah cukup jauh tanpa tujuan, singa yang surai rambutnya belum tumbuh sempurna ini merasa lelah dan memutuskan berbaring menunggu ajalnya tiba. Menjelang senja, sekelompok hyena yang berpatroli mencium bau bangkai yang paling mereka tunggu-tunggu! Dengan penuh hati-hati mereka menyelidik seolah memastikan bahwa singa muda yang berbaring kaku di hadapan mereka benar-benar telah mati. Tanpa menunggu waktu lama, dengan segera mereka mulai menyosorkan moncong, melubangi perut kurus singa itu dan memakan isinya. Sementara kawan mereka melahap, beberapa hyena menunjukkan perilaku anehnya. Tampak jelas mereka dengan ekspresi nyaman menggosok-gosokan tubuhnya ke bangkai singa tersebut. Mungkin ini adalah simbol penghinaan dari kaum hyena kepada para singa. Atau mungkin juga hyena berharap bisa memanfaatkan bau singa di tubuhnya untuk keuntungan dirinya.

Jauh dari keributan para hyena dan singa, sekumpulan badak sedang bersantai berkubang lumpur. Badak Afrika dewasa seperti sebuah panser lapis baja dengan palu godam di ujungnya yang akan mendobrak rintangan apa pun di hadapannya. Dari balik semak-semak, tiba-tiba menyeruak seekor gajah jantan muda sendirian menghampiri badak-badak tersebut. Gajah itu mengeluarkan suara terompetnya yang nyaring dengan belalainya sengaja membuat kegaduhan. Para badak yang terusik segera keluar dari kubangan lumpur dan badak yang terbesar dari mereka menyambut tantangan gajah tak tahu diri tersebut.

Dua mahluk raksasa Afrika bertemu dan keduanya saling menunjukkan dominasinya satu sama lain, menciptakan kepulan debu yang menyelimuti kawasan tersebut. Gajah dengan tubuhnya yang lebih besar, mendorong perlahan melalui tulang kepalanya dan melawan dengan gadingnya, sementara badak menubrukkan culanya. Para ilmuwan menduga perilaku gajah muda yang meledak-ledak ini adalah untuk melampiaskan emosinya sekaligus menunjukkan dominasinya. Di akhir kisah, para badak memutuskan untuk pindah mencari tempat yang lebih tenang tanpa diganggu mahluk gila yang lebih besar dari mereka. Sementara gajah muda itu terlihat merasa puas namun terlihat luka-luka lecet di gadingnya akibat hantaman cula. Kadang-kadang konfrontasi yang buas dapat mengakibatkan badak terluka parah di leher bawah terkena gading gajah. Luka yang menganga parah dengan perlahan akan membunuh si badak.

Di kesempatan lain, seekor buaya terlihat sedang tertawa girang melihat kawanan gazelle yang menyeberangi sungai. Para gazelle terlihat gugup menyeberangi sungai karena merasakan bahaya, sementara buaya dengan dingin semakin mendekati mereka. Dengan gerakan sekejap mata, seekor gazelle betina yang malang segera disambar oleh seekor buaya muda. Paha gazelle itu tertangkap rahang kokoh penuh gigi tersebut. Gazelle itu meronta-ronta dengan putus asa. Tetapi butuh sebuah mukjizat untuk bisa melepaskan diri dari gigitan buaya yang selalu lapar.

Namun siang itu alam sedang bermurah hati. Entah merasa terganggu atau merasakan iba, seekor kuda nil dewasa di tepian sungai dengan agresif berenang menuju ke buaya tersebut. Kuda nil itu dengan jelas memperlihatkan ekspresi marah, membuka mulutnya yang lebar, memperlihatkan rahangnya yang besar dengan empat taring yang mencuat. Buaya muda itu sadar diri, kadang-kadang seekor predator yang dominan pun harus mengerti kapan saatnya mundur dari situasi yang genting. Saat buaya itu membuka rahangnya, dengan cepat gazelle malang itu melesat ketakutan menuju daratan.

Gazelle betina yang nyaris mati disambar buaya itu terduduk di daratan dengan sekujur tubuh gemetar ketakutan. Inilah mukjizat yang sesungguhnya terjadi, kuda nil dewasa tadi tiba-tiba keluar dari sungai dan menghampiri gazelle tersebut. Dengan bahasa tubuh lembut keibuan, kuda nil itu mengendus-enduskan moncongnya ke kepala gazelle, seolah memberikan simpati dan semangat kepadanya untuk meneruskan hidup. Setelah beberapa saat, akhirnya kuda nil itu meninggalkannya setelah menyadari bahwa gazelle itu terluka parah dan terlalu lemah untuk berjuang. Burung-burung nasar yang sudah berkerumun di sekelilingnya dengan serta-merta mulai berpesta menotoli gazelle yang sudah sekarat tersebut. Namun ada satu pihak yang marah dan ingin merusak pesta para burung nasar. Reptil prasejarah itu keluar dari sungai dan dengan penuh rasa dongkol mengusir burung-burung nasar lalu menyeret bangkai gazelle kembali ke dalam sungai, sementara burung-burung itu hanya bisa berkoar-koar protes tak berdaya.

Sabtu, 28 November 2009

Balada Ibukota



Sigghhhh! Hampir tiap hari saya pulang-pergi selalu melewati daerah "neraka", yaitu Palmerah yang nyaris selalu sukses membuat saya geram, marah, prihatin, sedih, dan akhirnya menjadi apatis larut ke dalam kekosongan harapan. Ada apa gerangan? Karena di Palmerah itulah bercokol markas besarnya spesies-spesies antik bernama Sopir Angkot yang menyumbang kontribusi terbesar dalam menciptakan jalanan yang kumuh dan super duper macet di kawasan Palmerah - Kemanggisan.

Dari tempat tinggal kos saya di Kemanggisan, melewati Palmerah, hingga akhirnya melaju bebas di Jl. Gatot Soebroto, kalau dalam kondisi normal, biasanya hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit saja (bahkan kalau lenggang bisa membutuhkan hanya 5 menit saja). Tetapi kalau sedang macet, waktu paling cepat yang dibutuhkan bisa mencapai setengah jam! Lagi-lagi penyebab utamanya tak lain dan tak bukan adalah sopir-sopir angkot. Bahkan yang membuat saya tak bisa menahan emosi adalah sudah jam 22.30 malam pun, angkot-angkot masih sibuk ngetem! Padahal jalanan di depan angkot-angkot sangat lenggang. Sopir angkot sengaja menciptakan delusi kemacetan dan menyukainya karena semakin tampak macet jalanan, semakin lama mereka ngetem, dan itu berarti probabilitas jumlah penumpang yang menaiki angkotnya akan meninggi.

Sepanjang pengamatan saya, kepadatan kendaraan di kawasan Palmerah terjadi karena beberapa alasan, yaitu:

1. Jumlah kendaraan yang memang melimpah-ruah karena jam berangkat kerja atau jam pulang kerja. Hal ini jelas merupakan sebuah kewajaran yang tidak bisa dihindari.

2. Adanya Pasar Palmerah, dimana para penjual sangat banyak berjualan sembarangan hingga memakan sebagian bahu jalan. Belum lagi para pembeli dan pejalan kaki di sekitarnya yang ikut hilir-mudik. Aktivitas pedagang pasar di pinggir jalan berlangsung dari subuh hingga subuh lagi!

3. Banyaknya para pejalan kaki yang menyeberang jalan seenaknya sendiri sehingga turut menghambat kelancaran arus lalu lintas. Malah saya sangat heran sekali melihat banyak orang-orang tolol yang malah nekad menyeberang jalan saat lampu lalu lintas menyala hijau! (Apa mereka tidak tahu arti dari warna lampu lalu lintas, sedang buru-buru sehingga tidak mau menunggu lampu menyala merah, atau memang benar-benar tolol?)

4. Di perempatan Rawabelong, sangat banyak kendaraan (terutama sepeda motor dan angkot) yang tidak memperhatikan lampu lalu lintas. Meskipun lampu lalu lintas sudah menyala merah, tetap saja mereka melajukan kendaraannya. Tentu saja ini juga berdampak pada kemacetan lalu lintas.

5. Terakhir, alasan yang paling jelas dan nyata, para sopir angkot yang dengan mudahnya mengetem (menghentikan kendaraannya untuk menunggu penumpang naik) di sembarang tempat, sesuka hatinya sendiri. Hal ini diperparah dengan para calon penumpangnya yang juga naik-turun angkot seenak udelnya sendiri.

Padahal andaikan saja kita semua mau mendisiplinkan diri dalam berlalu lintas, saya optimistis bahwa kemacetan di jalan bisa direduksi sekitar 20-30%. Namun saya sangat sadar bahwa fenomena ketidakdisiplinan beberapa pihak di jalanan bukan sebuah fenomena tunggal, melainkan merupakan satu reaksi berantai dari penyebab-penyebab lainnya yang saling berhubungan.

Misalnya saja, mengapa pejalan kaki terpaksa berjalan kaki di bahu jalan sehingga menghambat arus lalu lintas? Karena trotoar yang merupakan tempat bagi pejalan kaki sudah diinvasi oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menggelar dagangannya, mendirikan warung dadakan, menempatkan lapak-lapak, dsb. Kalau para PKL itu ditertibkan oleh Satpol PP, maka mereka akan memprotes dan berbalik melawan dengan dalih "Saya berhak cari makan disini", atau "Jangan cuma bisa gusur saja tapi tidak memberi solusi". Ini jelas mencerminkan mental egoisme kelas rendah yang terkesan mau menangnya sendiri. Apakah Pemkot harus selalu menyediakan tempat bagi para PKL itu untuk berjualan? Padahal mereka datang sendiri dan berjualan atas inisiatif sendiri, dan selalu ada wajah-wajah baru yang menjadi PKL. Kalau Pemkot harus selalu menyediakan lahan berjualan untuk mereka semua secara terus-menerus, saya kira lahan seluas 200 hektar pun akan habis tak tersisa. Namun Pemkot sendiri juga turut bersalah dalam hal ini karena mereka tidak menggusur para PKL saat jumlahnya masih 2-3 orang. Mereka menunggu setelah jumlahnya mencapai 500 orang dan memacetkan jalan, barulah mereka bertindak. Ini sama saja dengan membiarkan penyakit kanker mencapai stadium 4 baru memeriksakan diri ke dokter.

Analisis saya selanjutnya, mengapa angkot selalu ngetem sembarangan? Karena:

1. Mental dan kesadaran berlalu lintas para sopir angkot yang sangat memprihatinkan. Mereka tidak peduli dengan pengguna jalan lainnya karena hanya dengan ngetem seenak udelnya itulah mereka bisa leluasa mengangkut penumpang sebanyak-banyaknya sehingga bisa memenuhi setoran. Seandainya mereka patuh untuk tidak menaik-turunkan penumpang di sembarang tempat, pasti uang yang mereka dapat akan berkurang, sedangkan ia tidak memperoleh keuntungan apa-apa dari tindakan patuhnya tersebut. Malah mungkin sesama teman angkotnya yang tetap ngetem ngawurlah yang menikmati penumpang-penumpang yang tidak terangkut tersebut, sehingga sopir angkot itu mungkin berpikiran, "Daripada saya disiplin tapi setoran kurang, malah penumpang-penumpang yang bisa saya angkut diambil teman saya, lebih baik saya tetap ngawur, asalkan bisa dapat penumpang banyak".

2. Penumpangnya sendiri yang tidak disiplin naik-turun sembarangan. Ini bagaikan lingkaran setan, kita tidak bisa memutusnya hanya dari salah satu pihak. Mendisiplinkan sopir angkot tanpa mendisplinkan calon penumpangnya sama saja seperti usaha menegakkan benang basah, demikian pula sebaliknya.

Nah, pertanyaan selanjutnya, mengapa para penumpang doyan naik-turun sembarangan? Karena pemerintah tidak membangun halte dalam jumlah cukup dengan kondisi yang memadai. Banyak halte-halte yang dibiarkan terbengkalai dan malah menjadi tempat mangkalnya pengamen-pengamen jalanan atau tempat alternatif berjualan bagi para PKL. Faktor lain yang tidak kalah dominan adalah mental kemalasan calon penumpangnya sendiri yang enggan berjalan sedikit ke halte menunggu angkot. Mereka lebih suka dimanjakan dengan naik-turun angkot langsung di depan tempat ia berdiri. Orang Indonesia memang sudah terlanjur dimanjakan oleh nikmatnya teknologi transportasi, sehingga hanya berjalan kurang dari 50 meter pun sudah memilih menaiki sepeda motor.

Padahal sepeda motor dalam jumlah banyak seperti minyak yang disiramkan ke bara api. Memang volume sebuah motor di jalan sangat lebih kecil dibanding mobil (volume sebuah mobil mungkin sama dengan volume 4-5 motor). Tetapi di jalanan, mobil-mobil pada umumnya selalu cenderung berbaris rapi sementara motor selalu cenderung bergerak sporadis, tidak terarah, acak, dan ingin selalu di barisan depan. Inilah yang menjawab mengapa sebuah kota yang memiliki pertumbuhan motor yang mengagumkan dapat dipastikan mempunyai masalah dengan kemacetan lalu lintas.

Kembali ke masalah utama, fenomena ngetemnya angkot, sebenarnya polisi bukannya tidak tahu masalah itu. Mereka sangat tahu dan saking seringnya tahu akhirnya mereka menjadi tutup mata dan tahu sama tahu. Saya bisa memaklumi keapatisan polisi karena mental sopir angkot ini sungguh bebal. Mereka tidak takut ditilang bahkan disita STNK-nya pun tak jadi soal, yang penting mereka tetap bisa mengangkut penumpang, membayar setoran ke juragan angkot, dan membawa uang cukup untuk anak-istri. Kepentingan perutlah yang membuat otak dan hati mereka melorot hingga ke dasar dubur. Padahal secara matematis, andaikan setiap angkot rata-rata berhenti selama 3 menit, maka 10 angkot berjajar ngetem sudah membuat Anda kehilangan waktu selama 30 menit!

Di jalanan dimana angkot ngetem, sesekali tampak seorang pria berseragam sebuah ormas meniup peluit sambil membawa pentungan, seolah-olah menyuruh angkot untuk segera bergegas dari aktivitas ngetemnya. Padahal mereka ini sebenarnya adalah partner kerja dengan sopir-sopir angkot tersebut. Mereka mengizinkan angkot ngetem di sana dan sebaliknya sopir angkot pun harus memberikan setoran beberapa Rupiah untuk "uang keamanan". Intinya, kehadiran "polisi-polisi" swasta gadungan ini nyaris tidak berpengaruh terhadap ngetemnya angkot. Saya sendiri sudah merasa apatis terhadap kelakuan sopir-sopir angkot. Diklakson berkali-kali tetap tak bergeming, diteriakin atau dipelototin malah balik menantang atau memasang wajah innocent bak dizalimi. Yang menjengkelkan lagi, tak jarang saat ngetem, mereka tidak sungkan-sungkan menyerobot masuk ke antrian kita tanpa perasaan bersalah.

Secara psikologis pun saya memahami bahwa betapa tingkat pendidikan seseorang turut mempengaruhi kelakuan dan pola pikirnya. Pengamatan saya pada beberapa sopir angkot turut memperkuat hipotesis saya tersebut. Saya sangat sering menjumpai sopir angkot yang membuang sampah saat sedang melaju di jalan, mulai dari kacang, rokok, hingga botol minuman!

Memang mencoba menyelesaikan masalah-masalah di atas tidaklah semudah membalik telapak tangan. Walaupun begitu, saya mencoba menawarkan beberapa solusi, yaitu:

1. Melakukan revolusi radikal terhadap cetak-biru infrastruktur jalanan di Indonesia, dengan membagi 3-4 lajur dimana untuk kendaraan umum wajib berada di lajur paling kiri dan saat berhenti di halte, jalanan dibuat agak masuk ke dalam trotoar. Ini membuat saat angkot/bus berhenti di halte, tidak akan membuat kendaraan-kendaraan di belakangnya ikut berhenti pula.

2. Melakukan pembatasan angkot, mungkin dengan dilihat dari kondisi kelayakan kendaraan. Karena sepanjang yang saya lihat di Palmerah-Kemanggisan, jumlah angkot sudah terlalu banyak. Bayangkan saja masa sebuah angkot melaju dan tepat di belakangnya sudah ada 3 angkot lagi berjejeran.

3. Mengubah sistem gaji sopir angkot menjadi gaji bulanan plus komisi karena dengan adanya sistem setoran, sopir angkot berlomba-lomba saling ngetem berebut penumpang sebanyak-banyaknya dengan cara apa pun.

4. Memaksa juragan angkot dan ORGANDA untuk melakukan supervisi ketat dan review secara berkala terhadap para sopir angkot dan kendaraannya dengan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan.

5. Membangun halte dalam jumlah cukup dan memadai bagi para calon penumpang.

6. Nah ini yang paling sulit, bisakah kita mengubah kebiasaan calon penumpang angkot/bus untuk mau berjalan dan menunggu di halte terdekat?

7. Sudah saatnya Jakarta mempunyai sarana transportasi massal yang aman, nyaman, dan terintegrasi. Hanya dengan begitu para pengguna kendaraan pribadi mau beralih menggunakan transportasi umum.

Pendek kata, biarpun ada seorang polisi lalu lintas yang ditempatkan setiap jarak 10 meter untuk mengawasi, bila kedisiplinan berlalu lintas belum ada dalam diri kita masing-masing, maka mengharapkan sebuah keadaan lalu lintas yang tertib, aman, dan manusiawi pun sama mustahilnya dengan mengharapkan seekor ayam mempunyai gigi.

Minggu, 25 Oktober 2009

Hong Kong: Discover it, Live it, and Love it!


Setelah menaiki kereta super cepat dari Shenzhen menuju Hong Kong, akhirnya kami kembali turun ke daerah Mong Kok, dan menginap kembali di hotel yang sama di Argyle Street. Setelah menaruh barang-barang di hotel, saya memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di daerah sekitar hotel. Tepat disebelah bangunan hotel, terdapat stan khusus yang menjual berbagai macam teh kemasan yang laris sekali! Pembelinya pun rela mengantri dan rata-rata mereka adalah anak muda. Di beberapa tempat, stan-stan sejenis cukup banyak dan rata-rata semuanya ramai, membuat saya menarik kesimpulan bahwa bisnis teh kemasan yang bervariasi mulai dari teh hijau, teh susu, teh dengan agar-agar, dsb, sedang populer di Hong Kong.

Di kawasan ini sangat banyak sekali pertokoan, mulai dari yang branded seperti Baleno, Levi's, Converse, Nike, sampai butik-butik yang menjual pakaian-pakaian non merek. Yang mungkin juga membuat iman para shopaholic runtuh adalah tepat di seberang Argyle Street, terdapat sebuah pasar malam yang sangat terkenal sebagai tempat belanja, yaitu Ladies Market! Pasar ini berada di Tung Choi Street dan dikenal sebagai tempat dijualnya pakaian dan barang-barang lain dalam harga yang lumayan miring dibandingkan dengan harga barang-barang di department store di Hong Kong. Anda pun masih bisa menawar harga-harga di sana. Mengapa dinamakan "Ladies Market"? Karena dulu memang pasar ini dikenal ramai karena menjual barang-barang khas perempuan, seperti: pakaian wanita, kosmetik, dan sebagainya. Tetapi sekarang di sana, Anda bisa menemukan semua jenis pakaian, tas, sepatu, arloji, sampai barang-barang branded bajakan yang diselundupkan dari Shenzhen.

Menariknya di kawasan ini, terdapat pula berbagai atraksi jalanan yang menghibur para turis. Saya sempat melihat beberapa pengamen jalanan dan juga seorang seniman pantonim yang lazimnya kita lihat di Perancis. Saya kurang tahu apakah mereka memang merupakan bagian dari atraksi Ladies Market yang didukung pemerintah ataukah hanya warga lokal yang sengaja mencari nafkah di sana. Yang jelas saya hampir tidak pernah melihat polisi atau petugas keamanan berpatroli di sana, mungkin karena tingkat kriminalitas di Hong Kong sangat rendah.

Di sebelah bangunan hotel yang satunya lagi, malah saya menjumpai sebuah pusat penjualan handphone yang cukup besar (kalau dari luar malah hanya terlihat seperti pertokoan yang kecil). Kondisi di dalamnya cukup bersih dan nyaman, namun yang janggal, saya melihat sendiri ada dua anak muda yang dengan sok kerennya merokok di dalam pusat perbelanjaan tersebut! Padahal UU Hong Kong yang baru dengan sangat tegas melarang sama sekali aktivitas merokok di ruang-ruang publik dengan ancaman denda 5.000 HKD. Di mana-mana kita akan dapat mudah menemukan poster-poster berisi pengumuman ini. Mungkin sekali 2 anak muda tersebut bukanlah warga asli Hong Kong, melainkan pendatang dari China Daratan.

Secara umum biaya hidup sehari-hari di Hong Kong sangat mahal. Sebagai ukuran, sebotol air mineral saja dijual seharga 6 HKD atau setara dengan Rp 9.000 (bandingkan dengan Shenzhen yang menjual hanya seharga 3 RMB atau senilai dengan Rp 4.500 saja). Di beberapa tempat, bahkan sebotol air mineral ini bisa dijual mencapai 10 HKD! Sekali makan untuk sebuah mangkuk mie saja, Anda harus merogoh kocek rata-rata sebesar 20 HKD atau Rp 30.000 (padahal hanya makan di tempat sekelas depot kecil). Sangat kontras dengan biaya makan pagi di depot-depot Zhuhai berupa dimsum dan segelas tociang (sweet soybean) yang hanya seharga 5 RMB alias Rp 7.500 saja.

Selain Ladies Market, sebenarnya di kawasan Mong Kok juga terdapat sebuah pasar yang mirip seperti Ladies Market, yaitu sebuah pasar di Prince Edward Road. Meskipun barang-barang yang dijual di sini hampir mirip, namun karena jarang dikunjungi turis, harga-harga yang dibrandol pun relatif lebih murah daripada di Ladies Market. Lagi-lagi di daerah ini, saya sangat sering sekali menemukan beberapa wanita berparas Indonesia yang sesekali bercakap-cakap dengan logat Jawa Timuran yang kental :-)

Saya memperhatikan bahwa rata-rata anak muda di Hong Kong sangat fashionable. Bahkan di tempat-tempat seperti pasar di Prince Edward Road pun, kita mudah menemukan perempuan-perempuan muda berdandan menarik. Dari beberapa pengamatan umum selama di Hong Kong, saya menemukan ada 2 trend yang sedang menginfeksi hampir semua anak muda di Hong Kong:

1. Potongan rambut untuk pria 98% selalu berponi miring dengan belahan samping, sementara rambut di bagian belakang lebih pendek dan sedikit berantakan.

2. Bila memakai topi dengan model trucker hat, posisi topi selalu disematkan dengan agak menonjol ke atas (seolah-olah topi itu hanya ditempelkan ke kepala saja, tidak dilesakkan ke dalam dengan baik). Banyak cowok dan cewek yang bergaya dengan penampilan ini.

Besoknya, saya bersama ibu, kakak perempuan, dan adik perempuan saya, memutuskan untuk pergi ke daerah Causeway Bay menaiki MRT. Sebagai informasi, sebutan MRT (Mass Rapid Transportation) di Hong Kong malah disebut terbalik menjadi MTR yang merupakan singkatan dari Mass Transit Railway. Membeli tiket MRT ternyata sangat mudah karena kita bisa membelinya sendiri di mesin penjual otomatis hanya dengan memasukkan koin dan memencet tempat tujuan kita di layar sentuh. Semua informasi tersedia jelas dalam bahasa Mandarin dan Inggris. Mungkin bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan budaya bertanya lisan, hal ini cukup membuat bingung. Membeli tiket MTR dibagi menjadi dua, yaitu pembelian non berlangganan (single journey) dan pembelian berlangganan dengan menggunakan Octopus Card (semacam kartu voucher yang bisa diisi ulang).

Untuk 1 penumpang dewasa (single adult journey) dari Mong Kok menuju Causeway Bay, harus memasukkan koin senilai 10,5 HKD (setara dengan sekitar Rp 15.000). Cukup mahal memang untuk ukuran Indonesia, tetapi paling tidak menaiki MTR di Hong Kong cukup nyaman, meskipun harus berdesak-desakan dengan penumpang bila di jam office hours, dan dijamin bebas macet. Untuk melalui Causeway Bay, ternyata kami harus berpindah kereta di Admiralty. Setelah itu barulah kami turun di Causeway Bay, yang merupakan salah satu kawasan surga belanja di Hong Kong. Di sana banyak sekali pertokoan high class bertebaran di sana-sini. Yang menarik di daerah ini terdapat Victoria Park yang merupakan pangkalan tidak resmi bagi para TKW Indonesia untuk bertemu. Jadi sudah pasti Anda akan menemukan banyak sekali orang Indonesia di daerah ini :-) Hal lain yang menarik bagi saya adalah ternyata beberapa jembatan penyeberangan di Hong Kong dilengkapi dengan elevator! Setelah saya tanyakan pada Oom saya, ternyata elevator itu sebenarnya ditujukan bagi pengguna kursi roda yang ingin menyeberang jalan. Wow, benar-benar sebuah fasilitas publik yang sangat memperhatikan hak orang-orang cacat. Oya, selama berjalan-jalan di trotoar Hong Kong, hati-hati dengan tetesan-tetesan air dari atas. Sebab itu adalah tetesan dari AC-AC yang terpasang di gedung-gedung bertingkat (biasanya apartemen) dan Anda tidak bisa melakukan apa pun kecuali berusaha menghindarinya agar tidak basah.

Setelah pulang kembali ke hotel, besoknya kami memutuskan untuk berjalan-jalan seharian lagi di kawasan Mong Kok sebelum pulang ke Indonesia. Di Mong Kok, kami mengunjungi sebuah mall paling elit, Langham Place di Nathan Road. Bangunannya tinggi dan terlihat futuristik namun sayang sekali Langham Place seolah tenggelam di tengah belantara gedung-gedung bertingkat lainnya. Barang-barang yang dijual di sana sudah tentu merupakan barang-barang elit, dan kelihatannya barang yang bisa saya beli cuma Levi's di sana :-D

Sepulangnya dari sana, tiba-tiba ayah saya mengajak untuk makan bubur di pasar lokal. Akhirnya kami memasuki Fa Yuen Street Market, yang statusnya sama dengan pasar-pasar sembako di Indonesia. Namun saya sempat terhenyak melihat keadaan pasar di sana, sangat bersih sekali! Tidak ada sampah berserakan (paling hanya genangan air dan sebuah kaleng softdrink saja), bahkan disediakan eskalator kecil untuk menaiki lantai atas. Saya juga terheran-heran karena bahkan tidak melihat seekor lalat pun (kalau saya ingat-ingat, saya bahkan belum pernah menjumpai seekor lalat selama di Hong Kong). Yang paling menarik di sana, ternyata ada juga sebuah stan yang bernama "Toko Indonesia" yang menjual berbagai sayuran dan bumbu-bumbu dapur. Mungkin sekali pemiliknya adalah orang Indonesia.

Saat menyusuri jalanan pulang ke hotel, saya menemukan sesuatu yang menarik. Di trotoar, terdapat sejumlah poster yang dipajang. Saat saya amati, ternyata poster-poster itu berisikan protes dari Falun gong mengenai diberangusnya ajaran mereka secara keji. Mereka membeberkan sejumlah testimoni mengenai cara kejam Pemerintah China menginterogasi dan memberangus aktivis-aktivis Falun gong. Ada juga tuntutan kepada mantan Presiden China, Zhiang Zhemin, untuk diseret ke Mahkamah Internasional dengan tuduhan sebagai otak pelaku kejahatan terhadap Falun gong. Hal ini tentunya sangat menarik mengingat kini Hong Kong telah menjadi bagian dari China dan Pemerintah China dikenal sangat tegas memberantas setiap usaha-usaha yang mengusik kestabilan sosial. Bahkan di sebuah poster terdapat foto beberapa polisi Hong Kong yang terlihat menyeret seorang demonstran lalu diberi tulisan besar, "Is This the Future of Hong Kong?"

Akhirnya setelah 2 hari berpetualang, kami memutuskan untuk pulang kembali ke Indonesia. Di hari itu, cuaca agak kurang bersahabat, sejak pagi langit sudah mendung dan kami harus menyeret koper menuju halte bus terdekat untuk menaiki bus khusus yang langsung menuju airport. Bus-bus di Hong Kong cukup besar, biasanya bertingkat (double decker bus), dan bagusnya di dalam bus disediakan tempat khusus untuk meletakkan barang-barang yang besar dan berat (kalau di Indonesia mungkin sudah menjadi sasaran empuk para pencuri tuh, hehe).

Satu lagi saran terakhir, bagi Anda yang ingin berpergian ke luar negeri tanpa menggunakan tour, pastikan bahwa Anda tidak membawa barang bawaan banyak dan bisa berbahasa setempat. Sebab kami sering mengalami situasi kebingungan mau ke mana sebab ke mana-mana harus benar-benar mengerti rute-rute bus yang kami naiki. Untung masih ada Oom saya yang berdomisili di sana (itu pun masih sempat bingung sendiri) dan kakak saya yang bisa memesankan hotel. Jadi kalau berpergian orang banyak dengan barang-barang bawaan banyak, sangat direkomendasikan menggunakan jasa tour.

Sebagai informasi tambahan, tulisan aksara China (Han Zhi) dibedakan menjadi dua macam, yaitu Simplified Chinese dan Traditional Chinese. Ada sejumlah perbedaan di beberapa aksara China antara kedua versi tersebut. China Daratan menggunakan Simplified Chinese, sementara di Taiwan, Hong Kong, dan Macao, masih menggunakan Traditional Chinese. Umumnya bila kita belajar bahasa Mandarin, maka kita pastilah mempelajari Simplified Chinese, di samping lebih mudah dipelajari juga model aksara ini lebih banyak digunakan di seluruh dunia.

Akhirnya saya kembali ke Jakarta dengan menumpang Cathay Pacific. Penerbangan saat itu cukup mencekam, sebab langit sedang dalam kondisi mendung, bahkan di tengah-tengah penerbangan, gerimis mendadak turun dan pesawat sempat beberapa kali terguncang. Untungnya pesawat berhasil mendarat selamat di Jakarta. Di sini lagi-lagi saya harus dipaksa menjumpai keleletan khas Indonesia. Bayangkan saja mengambil bagasi saja harus menunggu waktu selama 50 menit sendiri, dan itu pun harus menunggu mendapat troli sebab semua troli telah "diamankan" oleh petugas-petugas di sana. Puncak kejengkelan saya memuncak saat para penumpang harus membeludak mengantri memasuki pemeriksaan barang hanya gara-gara mesin X-ray yang dioperasikan cuma satu saja (padahal jumlah penumpang saat itu mencapai ratusan). Kegoblokan lainnya adalah tidak diberikan sekat-sekat khusus yang berliku-liku seperti halnya yang saya lihat di pemeriksaan imigrasi di luar negeri, untuk mengurangi panjang antrian, jadi semua orang langsung tumpah ruah berjajar semrawut berebutan memasukkan barangnya ke mesin X-ray.

Mungkin karena petugasnya sendiri merasa kewalahan menghadapi serbuan ratusan penumpang tersebut, lalu dengan entengnya mereka mempersilahkan para penumpang cukup memasukkan handbag saja ke mesin X-ray, sedangkan barang-barang dari bagasi langsung bisa dibawa keluar. Bahkan yang konyol, ada seorang bapak yang sudah menurunkan kardus dari troli untuk diletakkan di mesin X-ray, si petugas dengan ramahnya berkata, "Sudah Pak, jangan rajin-rajin, barang dari bagasi langsung saja dibawa keluar". Hati kecil saya tersenyum kecut lalu berkata, "WELCOME TO INDONESIA!"

Minggu, 18 Oktober 2009

Zhuhai - Shenzhen: Twin Gates of Mainland China



Setelah dari Macao, kami berniat untuk menyeberang ke kota terdekat di perbatasan China Daratan, yaitu Zhuhai. Dengan menaiki bus umum, kami singgah di China Immigration Inspection di Zhuhai. Di sana suasananya sangat ramai sekali, benar-benar mencerminkan sebuah pos perbatasan, penuh dengan orang-orang hilir-mudik membawa tas.

Lepas dari pemeriksaan imigrasi, kami kembali menaiki bus lokal menuju ke lokasi hotel di mana kami akan menginap. Seakan seperti sudah memasuki China Daratan, jalanan yang kami lalui sudah merupakan jalanan yang lebar dan lapang, sungguh berbeda sekali dengan jalan di Macao atau Hong Kong yang sempit-sempit.

Zhuhai sebenarnya bukan sebuah kota yang besar. Kota setingkat kabupaten ini terletak di Provinsi Guangdong dan berbatasan langsung dengan Macao di bagian selatan. Meskipun begitu, suasana kotanya benar-benar terasa nyaman dan tertata cukup rapi. Saya merasakan suasana yang adem-ayem saat berjalan-jalan di Zhuhai. Orang-orang di sana tidak terlihat tumpah-ruah di jalanan seperti halnya bila kita berjalan-jalan di Indonesia (meskipun jumlah penduduk di China berkali-kali lipat dari jumlah penduduk di Indonesia). Saya juga melihat diseberang jalan dibangun sebuah taman kota yang luas dan sangat terawat dengan pohon-pohon yang rindang. Bahkan di dekat hotel yang kami tempati, berdiri sebuah toko buku megah tiga lantai dengan koleksi yang cukup lengkap. Uniknya bila kita membeli buku di sana, mereka tidak memberikan kantung plastik, melainkan hanya tali dari kertas untuk menyegel buku-buku tersebut. Saya juga sempat mampir ke sebuah mall di sana. Cukup baguslah, seperti department store yang banyak menjual koleksi pakaian-pakaian.

Karena kami hanya menginap 2 hari saja di Zhuhai, maka saya agak menyesalkan bahwa saya tidak dapat mengunjungi objek wisata yang menarik di sana. Salah satunya yang terkenal adalah Patung Fisher Lady yang sedang mengangkat mutiara dan terletak di atas bukit karang kecil di pinggir laut. Ternyata patung ini dibangun sebagai simbol bahwa Zhuhai dikenal sebagai kota penghasil mutiara. Kalau saya lihat dari fotonya (karena saya belum sempat ke sana), sekilas patung wanita tersebut malah terlihat seperti patung khas Yunani, yaitu seorang wanita bertelanjang dada yang mengangkat sebuah tembikar. Sekilas patung ini juga mengingatkan saya pada patung Putri Duyung yang terkenal itu, di Copenhagen, Denmark.

Oya, yang cukup menarik untuk diceritakan adalah jam makan di Zhuhai tidak seperti di Indonesia, di mana tempat makan selalu buka dan melayani pelanggan setiap waktu. Di Zhuhai, rata-rata tempat makan akan tutup saat jam makan siang selesai dan baru buka lagi nanti saat sore menjelang jam makan malam. Kami sekeluarga pernah hampir kesiangan makan, sehingga cukup heran juga karena tidak ada pengunjung lain yang sedang makan selain kami. Uniknya, tak lama kemudian, para pegawai tempat makan itu dengan kompak berkumpul bersama di salah satu meja lantas makan siang bersama-sama. Hal yang terlihat janggal di Indonesia sebab para pegawai tempat makan yang makan siang bersama di meja pelanggan pasti terlihat kurang sopan.

Besoknya kami segera berkemas-kemas menuju Shenzhen. Setelah bertanya-tanya pada penduduk sekitar, transpotasi terbaik menuju Shenzhen, akhirnya kembali kami menaiki sebuah bus yang khusus melayani rute Zhuhai-Shenzhen. Untuk itu kami harus menuju ke terminal khusus yang ada bertuliskan dalam bahasa Inggris, yaitu "Central Station for Tourist in Zhuhai City". Terminal tersebut ternyata kecil dan terlihat sepi sekali. Namun bangunannya terlihat modern dan bersih. Tidak ada kesan kumuh sama sekali, seperti terminal bus di Indonesia. Akhirnya bus kami datang dan rupanya perjalanan dari Zhuhai menuju Shenzhen memakan waktu sekitar 2,5 jam. Dan sepanjang perjalanan, saya merasa sangat bosan sekali sehingga saya lebih memilih untuk tidur.

Sesampainya di Shenzhen, bus berhenti di Luo Hu Port. Bangunan Luo Hu ini sudah sangat terkenal di Shenzhen karena di dalam kompleks ini terdapat 3 objek vital, yaitu: terminal bus, stasiun kereta api, dan pusat perbelanjaan. Shenzhen merupakan kota yang lebih besar dan ramai dibandingkan dengan Zhuhai, sekaligus lebih kisruh. Seolah-olah menegaskan karakter sebagian orang China yang belum sedisiplin seperti di Hong Kong atau Macao, saya melihat sendiri ada 2 pria yang nekad menyeberang jalan yang jelas-jelas ramai dan sudah diberi pagar pembatas besi. Dua pria itu nekad menyeberang dengan cara memanjat pagar pembatas tersebut, seperti halnya pemandangan di Indonesia. Meskipun begitu, menyeberang jalan di Shenzhen cukup nyaman karena menggunakan lampu khusus tanda pejalan kaki.

Karena saya sudah pernah mengunjungi Shenzhen, maka sejujurnya saya kurang begitu tertarik menjelajahi kota ini untuk kedua kalinya. Namun ibu, kakak perempuan, dan adik perempuan saya tentu saja sangat berminat berpetualang di Luo Hu Shopping Center, sebuah tempat yang akan dapat memuaskan naluri berbelanja setiap wanita. Yah, Luo Hu memang sudah melegenda sebagai tempat dijualnya beragam barang-barang tembakan merek terkenal dengan harga miring. Kalau Anda pandai menawar, Anda bahkan bisa membawa pulang dengan harga nyaris mencapai seperempat dari harga yang ditawarkan si penjual. Tetapi tentu saja Anda harus siap adu kesabaran tawar-menawar dan siap mental bila si penjual ternyata malah tersinggung.

Shenzhen memang dipenuhi oleh gadis-gadis berparas menarik. Ada anekdot yang muncul bahwa di Shenzhen, jumlah perbandingan antara pria dengan wanita mencapai 1:8! Namun kalau diperhatikan, penampilan mereka tidak semodis gadis-gadis di Hong Kong. Yang paling unik adalah, entah mungkin sudah menjadi kebiasaan di banyak gadis-gadis China Daratan, mereka jarang mencukur bulu ketiak mereka. Jadi menjadi hal yang sedikit janggal bagi saya bila menemui seorang gadis berparas cantik namun tidak mencukur bulu ketiak mereka ;-P

Hanya 2 hari di Shenzhen, akhirnya kami segera memutuskan untuk kembali ke Hong Kong. Kali ini kami menuju Hong Kong dengan menaiki kereta api super cepat. Setelah memasuki stasiun di daerah Luo Hu Port, sekali lagi kami harus mengantri dan melalui pemeriksaan imigrasi untuk menaiki kereta menuju Hong Kong. Jangan bayangkan kereta yang kami naiki seperti kereta di Indonesia, karena kereta ini malah lebih mirip seperti kereta MRT yang modern. Laju kecepatannya pun sangat cepat sekali dan kereta ini akan berhenti di stasiun-stasiun tertentu. Karena hotel yang kami tempati sebelumnya di Hong Kong berada di daerah Kowloon, maka kami segera turun saat kereta berhenti di Kowloon Tong. Setelah itu, kami harus membeli tiket lagi untuk menaiki kereta MRT untuk turun di Mongkok Subway Station. Akhirnya, saya kembali lagi ke Hong Kong!

Jumat, 09 Oktober 2009

Macao: Asia Rasa Portugal




Akhirnya kami berangkat menaiki bus menuju The China Ferry Terminal untuk menaiki kapal ferry yang akan menyeberang menuju Macao. Apa yang disebut "terminal ferry" itu ternyata di mata saya lebih tampak seperti bangunan mall kecil yang berpenyejuk udara, dikelilingi pertokoan, dan dilengkapi eskalator. Di sana ramai sekali, banyak terlihat orang-orang yang mengantri, dan beberapa dari mereka saya lihat mengeluarkan paspor Jepang yang bersampul merah.

Sewaktu berbaris akan memasuki kapal ferry, terjadi insiden kecil, seorang wanita di barisan depan tiba-tiba berteriak dan menunjuk-nunjuk laut, si petugas sempat menoleh sejenak lalu dengan tegas kembali menyuruh wanita tersebut melanjutkan langkahnya. Belakangan saya baru tahu kalau dompetnya jatuh tercebur ke laut, apes sekali! Saat memasuki kapal, ada petugas wanita yang berpakaian rapi ala pramugari menyambut dan menyuruh setiap penumpang untuk meletakkan barang bawaan yang berat seperti koper di bagian depan. Tentu saja saya sempat merasa heran dengan aturan itu karena kalau di Indonesia, bisa berisiko dicuri orang. Tetapi karena semua orang melakukannya, akhirnya saya juga meletakkan tas di bagian depan kapal yang memang dikhususkan untuk meletakkan barang-barang, sementara para penumpang duduk di kursi masing-masing.

Perjalanan dari Hong Kong menuju Macao memakan waktu sekitar 2 jam lebih dan saat itu kebetulan kondisi ombak tidak terlalu tenang sehingga jujur saja saya dan sebagian besar penumpang saat itu merasakan sedikit mual. Untuk meredakan efek mual dan pusing, akhirnya saya memutuskan untuk tidur saja.

Akhirnya kapal ferry telah tiba di Macao, kami segera tidak sabar untuk menginjak daratan. Di sana lagi-lagi kami harus mengisi data-data dan melewati pemeriksaan imigrasi. Sekalipun Macao saat ini sudah menjadi bagian dari China, namun sama seperti Hong Kong, di Macao juga diberlakukan Special Administrative Region yang mengizinkan Hong Kong dan Macao mempunyai otoritas mengatur wilayahnya sendiri sepanjang masih tunduk terhadap pemerintah pusat di Beijing. Sebelum bergabung dengan China di tahun 1999, Macao merupakan daerah kekuasaan Portugal sekaligus koloni Eropa di Asia yang terakhir. Karena itu di Macao, Anda akan mudah sekali menemukan jejak-jejak Portugis di setiap sudut kota. Dalam bahasa Mandarin, "Macao" disebut dengan "Aomen" yang artinya adalah "pintu perdagangan".

Apa yang pertama saya rasakan saat pertama kali tiba di Macao? Panas luar biasa! Posisi Macao yang secara geografis lebih selatan dari Hong Kong benar-benar mirip dengan cuaca Indonesia, yaitu 29-30 derajat Celcius. Di sana lagi-lagi kami harus melalui pemeriksaan imigrasi Macao. Sekeluarnya dari pemeriksaan imigrasi, saya melihat sebuah becak! Ya, ternyata Macao masih mempunyai becak tradisional unik yang disebut trishaw. Becak ini berbeda dengan di Indonesia karena pengemudinya mengayuh sepeda di bagian depan. Namun herannya di jalanan, saya tidak melihat trishaw yang berkeliaran.

Karena merasa capek akibat perjalanan yang kurang mulus di kapal ferry, kami cepat-cepat ingin sampai ke hotel yang sudah dipesankan oleh kakak saya. Namun entah bagaimana, Oom saya kesusahan mencari transportasi umum dengan jurusan yang ke daerah tersebut. Alhasil setelah bertanya sana-sini, kami menumpang sebuah minibus hotel lain yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan hotel kami, hahaha... Sebenarnya minibus itu disediakan secara gratis untuk mengantar calon tamu-tamu hotel yang akan menginap dari terminal ferry :-P Di tengah-tengah perjalanan, saya sempat terpukau menyaksikan bentuk bangunan yang unik di kejauhan. Samar-samar saya membaca gedung itu bertuliskan, "Grand Lisboa".

Hotel yang kami tempati adalah hotel berbintang satu yang terletak di daerah Rua de Madeira, yaitu East Asia Hotel. Bangunannya terlihat tua namun kamarnya bersih dan cukup nyaman. Karena saat itu sudah sekitar jam 2 siang, kami memutuskan untuk mencari tempat makan. Nah, semula kami merasa bingung mengapa banyak tempat makan yang tutup atau tidak ada orang sama sekali. Ternyata merupakan kebiasaan lama di sana bahwa pada jam-jam segitu, tempat-tempat makan akan tutup sejenak selama 2-3 jam.

Suasana di Macao menarik sekali, menyusuri jalan-jalan sempit yang lebih tenang dibanding Hong Kong, dengan deretan toko-toko lama khas Pecinan yang unik karena memakai nama Mandarin dan Portugis (saya sering menemukan toko "pastelaria" yang ternyata adalah toko kue). Harga-harga makanan disini pun jelas lebih murah dan terasa enak daripada di Hong Kong. Rata-rata hampir semua tulisan di Macao ditulis dengan huruf Mandarin dan Portugis. Baru belakangan saja, ditambahi dengan keterangan dalam bahasa Inggris.

Menjelang senja, kami memutuskan untuk berjalan-jalan ke tengah kota. Hawanya terasa makin sejuk dengan angin sepoi-sepoi. Saya mengamati, trotoar di Macao sungguh eksotik, tidak seperti trotoar biasa yang hanya terbuat dari batu-batu, namun trotoar di Macao terbuat dari kepingan mozaik batu-batu kecil! Pada jarak tertentu, mozaik ini akan membentuk gambar dan melukiskan sesuatu yang berhubungan dengan laut, seperti: udang, cumi-cumi, ikan paus, kapal, dsb. Benar-benar a piece of art! Yang aneh, di jalan-jalan tertentu, tempat menyeberang bagi pejalan kaki tidak dicat seperti zebra-cross, melainkan hanya dua garis yang melintang saja, sehingga sempat membuat saya yang mau menyeberang menjadi tidak yakin ini zebra-cross atau bukan. Saat berjalan-jalan, terlihat pula banyak bangunan-bangunan bergaya kolonial khas Eropa di kanan-kiri yang terawat baik. Terdapat pula toilet-toilet umum dengan nama Portugis, sanitario publico. Sayangnya saya belum sempat melongok ke dalamnya.

Akhirnya saya sampai di sebuah tempat yang ramai, gemerlap, dan lebar (tidak seperti jalanan sempit yang saya lalui sebelumnya). Di daerah itu, menjulang sebuah gedung tinggi yang gemerlap dan ternyata gedung itulah yang sempat membuat saya terpukau sebelumnya dari kejauhan, "Grand Lisboa". Di depannya persis, juga ada sebuah gedung yang dipenuhi gemerlap lampu (namun kalah tinggi) dengan nama "Casino Lisboa". Ternyata kedua gedung tersebut adalah bangunan kasino yang paling terkenal di Macao! Ya, Macao memang dikenal sebagai "Las Vegas-nya Asia". Ayah saya memberitahu bahwa pada zaman dulu, "Casino Lisboa" merupakan satu-satunya kasino paling terkenal di seluruh Macao. Belakangan baru dibangun gedung kasino yang lebih elit lagi tepat di depan Casino Lisboa, yaitu Grand Lisboa tersebut. Di seberang gedung-gedung, terlihat seperti taman kota dengan desain kontemporer yang dikelilingi piramida-piramida kaca (mengingatkan saya pada piramida kaca Louvre yang terkenal itu).

Ternyata Grand Lisboa bebas dimasuki oleh pengunjung, seiring makin derasnya kunjungan turis ke Macao. Memasuki ke dalam, sungguh luar biasa mewahnya interior gedung kasino ini! Ada beberapa pajangan yang rata-rata sangat mewah, seperti gading gajah yang diukir dengan sangat mendetail, ukiran kayu dengan dewa-dewi yang juga sangat mendetail, perahu naga dari emas, dsb. Di lantai dua barulah para pengunjung bisa mencoba bermain poker atau mesin judi pachinko. Kebetulan saat saya di sana, terdapat pertunjukan kabaret gadis-gadis berwajah bule menari-nari ala tarian Flamenco yang doyan sekali mengangkat-angkat rok mereka. Saya mengamati sekeliling, terpampang pula spanduk raksasa yang menuliskan "Adult live show: AV Japan Show" di lantai atas (saya tidak tahu gedung Grand Lisboa sampai berapa tingkat, yang pasti para pengunjung hanya diizinkan naik sampai ke lantai 3 saja).

Tidak terasa, hari sudah menjelang malam dan karena kami berencana hanya tinggal 2 hari saja di Macao, saya bersikeras untuk mampir ke ikon Macao yang paling populer, Ruins of St. Paul's! Akhirnya Oom saya menanyakan arah ke Katedral St. Paul kepada petugas di Grand Lisboa. Wah, ternyata dia menjawab dengan cukup antusias, bahkan terkesan bangga menjelaskan arah-arah yang harus diambil menuju Katedral St. Paul dengan bahasa Kong Hu-nya. Cukup mengejutkan mengingat di China, orang-orang biasanya berkata-kata dengan nada ketus dan ekspresi jutek yang terkesan sangat kasar bagi orang Indonesia.

Sepulang dari Grand Lisboa, ternyata langit gerimis rintik-rintik. Untungnya berjalan kaki di trotoar Macao sangat nyaman dan aman. Selain disisi yang menghadap ke jalan diberi pagar (sehingga tidak ada kendaraan yang bisa nyelonong ke trotoar sekaligus menghalangi pejalan kaki menyeberang jalan sembarangan), trotoar di sana selalu menyambung dengan bangunan di sebelahnya dan bangunan tersebut pasti beratap, sehingga pejalan kaki yang melintasi trotoar tidak akan basah kehujanan. Bandingkan dengan trotoar-trotoar di Indonesia, sudah sempit, penuh lubang, basah kalau hujan, masih diserobot parkir liar dan warung-warung PKL pula.

Kami menyusuri jalan-jalan sempit yang berakhir di Senado Square. Benar-benar merupakan perpaduan unik, bayangkan saja, di jalanan ala citywalk dengan jalan berbatu-batu kerikil khas Eropa, di kanan-kiri Anda bisa menemukan pertokoan modern seperti Giordano yang bersebelahan dengan Starbucks dan berjarak beberapa meter dari gedung-gedung kuno (terdapat museum Largo de S. Domingos - Treasure of Sacred Art yang bangunannya mencolok karena terlihat kuno dan dicat kuning). Akhirnya saya sampai di jalanan menuju Ruins of St. Paul's. Di kejauhan sana, terlihat Katedral St. Paul yang berdiri gagah. Sayang karena hari sudah malam (sudah terlihat sepi) dan ayah saya sudah capek, akhirnya saya hanya bisa memandangi dari kejauhan dan berfoto-foto saja. Untuk mendekati Katedral tersebut, kita harus menaiki anak tangga karena Katedral St. Paul terletak di atas dataran yang lebih tinggi. Di dekat saya berfoto-foto, terdapat patung yang menarik, yaitu patung wanita yang memberikan sesuatu (seperti bunga) kepada pria dan di atas patung wanita tersebut, ada patung burung bangau, meskipun saya belum mendapatkan penjelasan mengenai konsep dan maksud patung ini dibuat.

Reruntuhan Katedral St. Paul sebenarnya merupakan Katedral Katolik Roma yang dibangun dari tahun 1582-1602 dan mengalami kebakaran hebat di tahun 1835 sehingga hanya menyisakan tembok bagian depan katedral saja (facade). Dalam bahasa Mandarin, Ruins of St. Paul's ini disebut "Ta Ba Shan" yang artinya kalau saya duga adalah "Gunung Paul Besar" :-)

Keesokan paginya, kami bermaksud sarapan di daerah Senado Square kemarin. Di sana saya merasa cukup heran melihat para manula berbaris antri untuk mendapatkan koran. Saya menduga para manula di Macao kalau pagi dijatah koran gratis atau mungkin bisa mendapatkan hanya dengan setengah harga sehingga rela antri panjang seperti itu. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 9 pagi, and guess what? 90% pertokoan di sana masih tutup dan orang-orang seolah terlihat masih menikmati segarnya pagi. Sangat kontras sekali dengan Jakarta yang jam 6 pagi saja, jalanan sudah riuh ramai, penuh sesak dengan kendaraan yang berangkat kerja disertai perang klakson.

Menjelang siang, kami segera check-out dari hotel dan menaiki bus yang akan berangkat menuju Zhuhai, perbatasan antara Macao dengan Mainland China. Oya, saat di Macao, saya masih menjumpai beberapa perempuan dengan wajah Melayu yang berlogat Jawa medok. Ternyata Macao menjadi salah satu tempat destinasi favorit bagi para TKW. Overall, Macao memang kota yang menarik, santai, namun lama-lama membosankan...

Rabu, 30 September 2009

Journey to The East part 5 (HK-Macao-Zhuhai-Shenzhen)


Di liburan Lebaran tahun ini, kembali saya berkesempatan mengunjungi tempat-tempat di Asia Timur. Bila tahun lalu, saya mengunjungi Hong Kong dan Shenzhen sendirian, kali ini saya berpergian ke empat tempat sekaligus bersama keluarga dari Hong Kong-Macao-Zhuhai-Shenzhen.

Kami sekeluarga berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada hari Sabtu subuh tanggal 19 September 2009, mengejar pesawat Cathay Pacific yang berangkat pada pukul setengah 8 pagi. Sesampainya di airport sekitar jam setengah 6 pagi, ternyata di bandara sudah ramai dengan orang-orang. Rupanya banyak pula orang-orang Indonesia yang ingin memanfaatkan liburan panjang Lebaran dengan berwisata ke luar negeri.

Penerbangan dari Jakarta ke Hong Kong memakan waktu sekitar 4,5 jam. Jadi kami dijadwalkan akan tiba di Hong Kong pada siang hari. Pesawat yang saya naiki kali ini berukuran lebih besar dari pesawat yang saya naiki tahun lalu, China Airlines. Pelayanan yang diberikan juga relatif lebih mengesankan, dengan mempertimbangkan reputasi dan nama besar Cathay Pacific. Di dalam pesawat, para penumpang bisa menonton beberapa film pilihan dari video passanger, dan saya memilih untuk bernostalgia menikmati salah satu film kartun klasik dari Walt Disney, "The Jungle Book" :-)

Film animasi yang diadaptasi dari novel Rudyard Kipling ini sebenarnya sangat menarik dan filosofis. Mengisahkan sebuah usaha pencarian jati diri Mowgli yang dibesarkan di hutan India dalam asuhan Baloo, Si Beruang dan lindungan Bagheera, Sang Macan Kumbang. Ia berjuang melawan rasa takutnya saat menghadapi Shere Khan, Sang Harimau Bengal yang Lalim, dengan akal manusianya. Pada akhirnya ia tidak bisa mengingkari identitasnya sebagai manusia saat ia melihat seorang gadis cantik yang berjalan mengambil air di sungai.

Akhirnya sekitar jam 12 siang, pesawat yang kami tumpangi mendarat di Hong Kong International Airport. Saat turun, langsung terlihat beberapa petugas bermasker membagikan brosur-brosur mengenai bagaimana mencegah penyakit Flu Babi. Wabah Flu Babi atau yang disebut juga dengan Human Swine Influenza (H1N1) adalah penyakit yang jauh lebih mematikan dari pendahulunya, Flu Burung. Walaupun Hong Kong dikenal sebagai kawasan yang maju dan modern, tetapi reputasi Hong Kong di dunia kesehatan tidak begitu bagus. Di tahun 1997, wabah Flu Burung berawal dari Hong Kong dan menyebar ke seluruh dunia. Begitu pula virus Flu Babi juga sempat menjangkiti beberapa orang di Hong Kong, bahkan pernah menewaskan 3 anak-anak yang langsung mengakibatkan sebuah TK di Hong Kong diliburkan selama seminggu penuh. Untuk menunjukkan keseriusan itu, bahkan drinking fountain yang ada di bandara pun disegel lalu ditempel pengumuman bahwa penyegelan itu dilakukan untuk meminimalisir penyebaran virus Flu Babi.

Yang hebat, sebelum mencapai area pemeriksaan imigrasi dan pengambilan bagasi, penumpang diarahkan untuk menaiki sebuah kereta bermodel MRT kecil yang menurut pengumuman akan datang setiap 2 menit. Kereta ini dinamakan Automated People Movers yang bahkan tidak memerlukan seorang masinis! Saya ingat betul tahun lalu transportasi ini belum ada dan hanya dalam selang setahun, Hong Kong sudah berbenah secepat itu, sementara saya mengingat-ingat dalam setahun pula apa yang sudah dilakukan di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.

Selepas dari pemeriksaan imigrasi dan pengambilan bagasi, kami sekeluarga dijemput oleh saudara ayah yang berdomisili di Hong Kong. Karena masih bulan September, cuaca di Hong Kong masih panas, dengan suhu rata-rata 28 derajat Celcius. Disana kami diajak menaiki double decker bus yang khusus berangkat dari airport menuju kawasan kota. Perjalanan menuju kawasan kota memakan waktu cukup lama karena bandara Hong Kong dibangun di pulau terpisah sehingga harus melewati Tsing Ma Bridge yang megah dan sekilas seperti Golden Gate di San Fransisco.

Hotel yang kami tuju terletak di Mong Kok, daerah Kowloon. Jangan membayangkan suasana hotel yang seperti di Indonesia, karena hotel ini ternyata terletak di daerah downtown, Argyle Street. Mengingat lahan di Hong Kong sudah begitu terbatas, maka hotel yang kami tempati ini sangat unik, mirip dengan flat apartment yang biasanya kita saksikan di film-film Hong Kong. Jadi di dinding pintu masuk, terdapat banyak kotak-kotak laci kecil dengan banyak nomor (belakangan saya baru tahu kalau ternyata itu adalah kotak pos. Jadi pengirim tinggal menyisipkan amplop surat ke dalam kotak pos sesuai nomor kamar). Di depannya ada seorang security yang menjaga pintu lift. Ternyata bangunan ini punya ketinggian sampai 16 lantai! Anehnya ternyata bangunan ini bukan sebuah hotel saja, tetapi ada beberapa hotel, mungkin mereka menyewa bangunan yang sama dalam jangka waktu panjang. Kamar yang saya tempati boleh dibilang cukup sempit meskipun terlihat bersih dan lengkap, yah memang beginilah tipikal rumah-rumah di Hong Kong, kata Oom saya (kecuali Anda adalah seorang konglomerat yang mampu tinggal di kondominium mewah).

Setelah selesai menaruh barang, kami diajak keluar untuk makan siang sembari menikmati Mong Kok. Secara umum, kondisi jalan di Hong Kong sempit-sempit, tidak selebar Jakarta, tapi sangat jarang macet (kecuali kalau rush hour). Pejalan kaki pun bebas melenggang di trotoar yang lebar dan nyaman. Bandingkan dengan di Indonesia, sudah trotoarnya sempit, tidak rata, kadang-kadang berlubang, masih dijajah oleh warung-warung atau rombong PKL dadakan. Belum lagi tiba-tiba motor bisa nyelonong jalan di atas trotoar atau bahkan dijadikan lahan parkir bagi mobil-mobil. Menyeberang jalan pun sangat aman di Hong Kong karena untuk menyeberang, disediakan lampu indikator yang akan menyala hijau dan terus membunyikan dering (untuk memberitahu tuna rungu yang akan menyeberang). Para pejalan kaki disana pun sangat tertib, kalau lampu indikator masih merah, mereka tidak akan menyeberang. Okelah, mungkin ada 1-2 orang yang tetap menerobos, namun untungnya pemakai kendaraan di jalan pun sangat menghormati pejalan kaki. Tidak ada sebuah kendaraan pun yang malah menambah kecepatan bila ada pejalan kaki yang ingin menyeberang. Saya bahkan nyaris tidak pernah mendengar suara klakson selama di Hong Kong.

Di pinggir-pinggir jalan, tampak ornamen-ornamen merah berhiaskan angka "60" besar-besar. Ternyata hiasan itu dipajang untuk kelak memperingati 60 tahun berdirinya Republik Rakyat China dari tahun 1949 pada tanggal 1 Oktober. Yang lucu, sepanjang perjalanan, saya sangat mudah menemukan beberapa wajah yang familiar, Indonesian look. Kalau saya perhatikan, ternyata mereka bercakap-cakap dengan bahasa Jawa Timuran yang medok. Ya, mereka memang adalah TKW pembantu rumah tangga yang bekerja di HK. Dandanan mereka macam-macam, mulai dari yang masih alim berjilbab, sporty mengenakan T-shirt, jeans, dan sepatu kets, hingga yang lebay, seperti memakai tank-top, hotpants, sepatu boot, rambut jabrik lepek ala Harajuku alay, rambut di-rebonding, dikeriting, disemir, hidung ditindik, but still they can't deny that their face is "njawani".

Kisah-kisah menarik mengenai HK akan ada di posting terakhir sebab saya sekeluarga memang baru menjelajahi HK di hari-hari terakhir. Kami memang singgah sebentar di HK pada 2 hari pertama untuk mempersiapkan diri mengunjungi Macao!

Sabtu, 20 Juni 2009

PRJ 2009: Panggung Humaniora Jakarta



Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau disebut pula Jakarta Fair merupakan acara pameran tahunan terbesar yang diadakan di Indonesia. Acara ini sendiri berlangsung hampir sebulan lamanya dengan berlokasi di Kemayoran. Meskipun sudah berlangsung sejak tahun 1968 dan diadakan rutin tiap tahunnya, PRJ masih terus menyedot animo puluhan ribu pengunjung tiap harinya, termasuk saya yang berkesempatan mampir melongok ke PRJ pada hari Jumat tanggal 19 Juni kemarin :-)

Ongkos parkir untuk mobil boleh dibilang cukup murah untuk ukuran Jakarta, Rp 10.000 selama seharian penuh. Sementara untuk membayar admission ticket, 1 orang dewasa dikenai Rp 20.000. Saya sengaja datang ke PRJ sebelum sore hari dengan pertimbangan suasana disana belum crowded, sehingga untuk parkir pun tidak akan susah. Pertama memasuki, masih belum terasa gregetnya, karena para pengunjung diharuskan memasuki sebuah area tertutup yang menyajikan dagangan-dagangan yang kurang menarik bagi saya, seperti obat krim oles wajah, minyak wangi, raket listrik, dan sebagainya. Tetapi saat sudah benar-benar memasuki area PRJ, woow! Ramai sekali suasana di dalamnya. Banyak sekali orang-orang (terutama anak muda) yang berlalu-lalang dan stan-stan menarik terpajang di kanan-kiri.

Saya menyempatkan diri untuk berkeliling, dari stan handphone, komputer, otomotif, makanan-minuman, hingga ke pakaian (malah ada display sebuah mal baru di Surabaya yang berlogo angka 8). Banyak sekali para SPG berpenampilan menarik yang menawarkan dagangannya di pinggir stan, dan sebagian besar dari mereka sangat agresif sekali merayu calon-calon konsumen ;-) Kalau saya amati, dari segi kostum, SPG Djarum yang paling "berani", dengan mengenakan sporty tanktop, celana pendek ketat, dan sepatu boot. Tetapi yang rata-rata berwajah menarik, justru kebanyakan para SPG handphone dan provider.

Yang paling unik justru ada di kalangan pengunjung, entah bagaimana saya melihat sendiri ada seorang pria yang jelas terlihat bule dengan seorang remaja cowok yang juga bule (mungkin anaknya), melenggang santai di PRJ. Si anak cowok tersebut mengenakan kostum Liverpool, nah kostum ayahnya ini yang kontroversial, sebuah seragam satpam! Jadi bayangkan saja seorang bule berusia 50 tahunan dengan perut buncit berpakaian satpam lengkap dengan topinya! Entah dari mana ia mendapat seragam satpam itu, dan saya berusaha mencari-cari alasan logis motivasi si bapak bule ini berpenampilan seperti itu di PRJ :-) Mereka berdua sempat melintasi beberapa anggota polisi yang sedang istirahat. Spontan para polisi tersebut juga terbengong-bengong dan tersenyum bingung. Bule "satpam" itu hanya menanggapi santai tatapan aneh para polisi dengan mengacungkan tanda jempol ke atas lalu mengucapkan beberapa kata yang tidak bisa saya dengar. Hmm... Kalau saya menjadi salah satu anggota polisi tersebut, mungkin saya akan menghentikan dan mulai menginterogasi mereka berdua. Saya rasa seorang aparat keamanan berhak melakukan itu pada orang-orang yang menimbulkan kecurigaan. But we all know, this is Indonesia, tentu saja para polisi itu memilih untuk diam saja sambil senyum-senyum aneh. Apa mungkin mereka takut kalau si bule ngajak ngomong bahasa Inggris, ya? :-D

Ada beberapa pakaian branded yang ikut meramaikan suasana di PRJ, yaitu Levi's, Bossini, Polo, Samuel & Kevin, Baleno, Hammer, dan Poshboy. Harga-harga yang dijual murah sekali, bayangkan saja T-shirt Baleno cuma seharga 50 ribuan saja... Tetapi jangan bersorak dulu, sebab tipikal barang-barang obralan, model yang ditawarkan terbatas dan saya menduga barang-barang tersebut memang stok lama yang tidak laku :-( Saya malah lebih tertarik membeli pakaian di stan clothing distro lokal, Threesecond. Di sini juga terjadi ajang diskon besar-besaran, bahkan ada pakaian-pakaian rejected yang cuma dijual Rp 30.000 saja! Kecacatan pakaian ini bervariasi mulai dari yang kotor sampai kancing hilang. Tetapi selain itu, kondisi pakaiannya masih layak dan modelnya juga masih keren, so why not take it? :-P

Ada lagi keunikan di stan komersial PRJ ini, yaitu stan obat pria dewasa yang diberi merek "Sparta X". Menjadi unik karena brand equity yang ditawarkan sungguh-sungguh meniru habis film 300 (Leonidas). Bahkan ada SPB yang berdandan bak prajurit Sparta, lengkap dengan topi, tameng, tombak, dan jubah merahnya :-) Di tengah-tengah lapangan, didirikan sebuah panggung raksasa yang sepertinya akan makin gemerlap di malam hari. Kerispatih sedang menyanyikan beberapa lagu, tetapi saya sedang tidak berselera menikmati musik mereka, sehingga saya lebih memilih menelusuri stan-stan yang lain.

Tidak hanya pameran bisnis komersial saja, PRJ juga diramaikan dengan pameran-pameran perwakilan dari pemerintah daerah beragam provinsi. Jadi kita bisa melihat banyak batik dan kerajinan-kerajinan tangan lainnya dari Yogyakarta, Cirebon, Pekalongan (my hometown!), Tegal, Semarang, Nusa Tenggara Timur, dsb. Tentu khusus Pemda DKI Jakarta sebagai host, mendapat prioritas sendiri di satu hall terpisah. Di sini saya melihat Pemda DKI mencoba memamerkan visi dan misi Jakarta sebagai "kota besar kelas dunia". Saya juga melihat ada stan-stan perwakilan dari Depnaker, Depkominfo, dan BUMN (PLN, BRI, BNI). Yang paling keren dan berkesan di sini bagi saya, adalah booth mengenai MRT!

Mass Rapid Transit (MRT) merupakan sarana transportasi massal yang sudah lazim di kota-kota besar di luar negeri. Bentuk dan cara kerjanya sebenarnya sama dengan kereta api konvensional namun beroperasi di bawah tanah (subway train). Beberapa pengamat mengatakan bahwa keberadaan MRT akan berpengaruh besar untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang semakin menambah macet Jakarta. Japan International Cooperation Agency memprediksi bila tidak ada upaya untuk mengurangi kemacetan yang ada, maka pada tahun 2014 mendatang Jakarta akan macet total alias tidak bisa bergerak sama sekali! Bayangkan saja laju pertumbuhan kendaraan (mobil & motor) mencapai 11% sementara laju penambahan jalan nyaris kurang dari 1% per tahun...

Mempertimbangkan semua itu, Pemda DKI Jakarta bertekad untuk membangun MRT sebagai salah satu solusi mengurangi kemacetan ibukota. Nah, di PRJ sinilah, visi masa depan tersebut divisualisasikan dan disosialisasikan dengan baik. Mereka membangun booth khusus yang didesain mirip dengan suasana stasiun MRT sesungguhnya! Ada prototype kereta MRT yang bisa kita naiki, duduki, lengkap dengan dua monitor TV di dalamnya. Bahkan ada neon signboard yang menunjukkan rute-rute MRT mulai dari Lebak Bulus sampai Dukuh Atas. Saya merasa seperti berada di Jakarta versi futuristik. Jadi kalau foto-foto di booth ini serasa di luar negeri, deh :-) Seakan melengkapi, ada pula dua SPG berpenampilan menarik yang tersenyum ramah menyambut para pengunjung (saya jadi membayangkan andai bila kelak MRT jadi terwujud, akan ada petugas-petugas perempuan seperti ini yang siap membantu penumpang).

Ekspektasi tinggi patut dilayangkan dengan visi-visi MRT di atas. Namun kita semua harus menyadari bahwa pembangunan MRT akan memakan biaya dan lahan yang sangat besar. Tidak hanya itu, pemeliharaannya pun saya kira juga tidak akan mudah. Saya jadi takut membayangkan bahwa visi-visi yang indah di atas tidak akan terwujud bila sudah berada di lapangan. Bayangkan saja, mempunyai sebuah subway train, berarti Pemda DKI harus membangun terowongan berkilo-kilometer. Bisakah itu dilakukan mengingat untuk membangun tiang-tiang monorel saja sampai sekarang masih terbengkalai? Kalau terowongan sepanjang itu terbengkalai, saya rasa akan menjadi wisma-wisma baru gelandangan seluruh Jakarta. Andaipun sudah terbangun MRT dengan megah, bisakah kita mengurusnya dengan baik, sementara mengurus busway, kopaja, dan angkot, saja sudah amburadul? Sudah tinggikah kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga dan memelihara MRT yang canggih dan mahal ini, menilik berita bahwa Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) yang baru dibangun seminggu saja sudah dicuri beberapa mur dan lampu penerangannya?

Satu lagi, Pemda DKI Jakarta harus memahami pula consumer insight mengapa mereka enggan menggunakan sarana transportasi umum. Saya pribadi akan tetap menggunakan kendaraan pribadi walaupun MRT/monorel yang nyaman dan aman kelak terwujud. Mengapa? Sebab sistem transportasi yang tidak terintergrasi secara menyeluruh bagi saya akan terasa mubazir. Saya malas sekali membayangkan kalau untuk mencapai stasiun MRT/monorel, saya harus berjibaku, berdesak-desakan mandi sauna menaiki angkot-angkot lusuh yang doyan ngetem sembarangan tersebut, HELL NO!!! Jangan pula kelak seperti busway yang makin lama juga makin tidak jelas dengan jadwal kedatangan yang molor, penumpukan penumpang di halte, dan sebagainya... Karena itu saya berharap sistem transportasi MRT/monorel ini kelak terintegrasi dengan sistem lainnya, seperti busway, kereta api, KRL, atau transportasi lainnya yang aman dan nyaman (tidak seperti angkot-angkot jahanam tersebut).

Overall, PRJ sangat worthy untuk dikunjungi dan sangat layak dijadikan ajang promosi wisata tahunan kepada wisatawan lokal maupun mancanegara. Bagi para wiraswasta/produsen pun, saya kira PRJ merupakan sarana yang tepat untuk mempromosikan produknya kepada calon konsumen. Buat masyarakat umum, tentu PRJ merupakan sarana hiburan alternatif selain mal. Di PRJ, mereka bisa berbelanja, jalan-jalan, menikmati musik, menambah wawasan, dan banyak lagi. Ah, jadi ingin mengintip PRJ tahun depan :-)

Satu lagi kekecewaan saat meninggalkan PRJ, eh tahu-tahu di kaca belakang mobil sudah tertempel manis stiker "LEAGUE". Keparat sekali yang menempel, sudah saya berusaha mati-matian menjaga kaca belakang mobil bersih dari stiker-stiker lancang, eh ini malah ada yang langsung nyelonong menempel dengan pengecutnya... Ugh!