Minggu, 25 Oktober 2009

Hong Kong: Discover it, Live it, and Love it!


Setelah menaiki kereta super cepat dari Shenzhen menuju Hong Kong, akhirnya kami kembali turun ke daerah Mong Kok, dan menginap kembali di hotel yang sama di Argyle Street. Setelah menaruh barang-barang di hotel, saya memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di daerah sekitar hotel. Tepat disebelah bangunan hotel, terdapat stan khusus yang menjual berbagai macam teh kemasan yang laris sekali! Pembelinya pun rela mengantri dan rata-rata mereka adalah anak muda. Di beberapa tempat, stan-stan sejenis cukup banyak dan rata-rata semuanya ramai, membuat saya menarik kesimpulan bahwa bisnis teh kemasan yang bervariasi mulai dari teh hijau, teh susu, teh dengan agar-agar, dsb, sedang populer di Hong Kong.

Di kawasan ini sangat banyak sekali pertokoan, mulai dari yang branded seperti Baleno, Levi's, Converse, Nike, sampai butik-butik yang menjual pakaian-pakaian non merek. Yang mungkin juga membuat iman para shopaholic runtuh adalah tepat di seberang Argyle Street, terdapat sebuah pasar malam yang sangat terkenal sebagai tempat belanja, yaitu Ladies Market! Pasar ini berada di Tung Choi Street dan dikenal sebagai tempat dijualnya pakaian dan barang-barang lain dalam harga yang lumayan miring dibandingkan dengan harga barang-barang di department store di Hong Kong. Anda pun masih bisa menawar harga-harga di sana. Mengapa dinamakan "Ladies Market"? Karena dulu memang pasar ini dikenal ramai karena menjual barang-barang khas perempuan, seperti: pakaian wanita, kosmetik, dan sebagainya. Tetapi sekarang di sana, Anda bisa menemukan semua jenis pakaian, tas, sepatu, arloji, sampai barang-barang branded bajakan yang diselundupkan dari Shenzhen.

Menariknya di kawasan ini, terdapat pula berbagai atraksi jalanan yang menghibur para turis. Saya sempat melihat beberapa pengamen jalanan dan juga seorang seniman pantonim yang lazimnya kita lihat di Perancis. Saya kurang tahu apakah mereka memang merupakan bagian dari atraksi Ladies Market yang didukung pemerintah ataukah hanya warga lokal yang sengaja mencari nafkah di sana. Yang jelas saya hampir tidak pernah melihat polisi atau petugas keamanan berpatroli di sana, mungkin karena tingkat kriminalitas di Hong Kong sangat rendah.

Di sebelah bangunan hotel yang satunya lagi, malah saya menjumpai sebuah pusat penjualan handphone yang cukup besar (kalau dari luar malah hanya terlihat seperti pertokoan yang kecil). Kondisi di dalamnya cukup bersih dan nyaman, namun yang janggal, saya melihat sendiri ada dua anak muda yang dengan sok kerennya merokok di dalam pusat perbelanjaan tersebut! Padahal UU Hong Kong yang baru dengan sangat tegas melarang sama sekali aktivitas merokok di ruang-ruang publik dengan ancaman denda 5.000 HKD. Di mana-mana kita akan dapat mudah menemukan poster-poster berisi pengumuman ini. Mungkin sekali 2 anak muda tersebut bukanlah warga asli Hong Kong, melainkan pendatang dari China Daratan.

Secara umum biaya hidup sehari-hari di Hong Kong sangat mahal. Sebagai ukuran, sebotol air mineral saja dijual seharga 6 HKD atau setara dengan Rp 9.000 (bandingkan dengan Shenzhen yang menjual hanya seharga 3 RMB atau senilai dengan Rp 4.500 saja). Di beberapa tempat, bahkan sebotol air mineral ini bisa dijual mencapai 10 HKD! Sekali makan untuk sebuah mangkuk mie saja, Anda harus merogoh kocek rata-rata sebesar 20 HKD atau Rp 30.000 (padahal hanya makan di tempat sekelas depot kecil). Sangat kontras dengan biaya makan pagi di depot-depot Zhuhai berupa dimsum dan segelas tociang (sweet soybean) yang hanya seharga 5 RMB alias Rp 7.500 saja.

Selain Ladies Market, sebenarnya di kawasan Mong Kok juga terdapat sebuah pasar yang mirip seperti Ladies Market, yaitu sebuah pasar di Prince Edward Road. Meskipun barang-barang yang dijual di sini hampir mirip, namun karena jarang dikunjungi turis, harga-harga yang dibrandol pun relatif lebih murah daripada di Ladies Market. Lagi-lagi di daerah ini, saya sangat sering sekali menemukan beberapa wanita berparas Indonesia yang sesekali bercakap-cakap dengan logat Jawa Timuran yang kental :-)

Saya memperhatikan bahwa rata-rata anak muda di Hong Kong sangat fashionable. Bahkan di tempat-tempat seperti pasar di Prince Edward Road pun, kita mudah menemukan perempuan-perempuan muda berdandan menarik. Dari beberapa pengamatan umum selama di Hong Kong, saya menemukan ada 2 trend yang sedang menginfeksi hampir semua anak muda di Hong Kong:

1. Potongan rambut untuk pria 98% selalu berponi miring dengan belahan samping, sementara rambut di bagian belakang lebih pendek dan sedikit berantakan.

2. Bila memakai topi dengan model trucker hat, posisi topi selalu disematkan dengan agak menonjol ke atas (seolah-olah topi itu hanya ditempelkan ke kepala saja, tidak dilesakkan ke dalam dengan baik). Banyak cowok dan cewek yang bergaya dengan penampilan ini.

Besoknya, saya bersama ibu, kakak perempuan, dan adik perempuan saya, memutuskan untuk pergi ke daerah Causeway Bay menaiki MRT. Sebagai informasi, sebutan MRT (Mass Rapid Transportation) di Hong Kong malah disebut terbalik menjadi MTR yang merupakan singkatan dari Mass Transit Railway. Membeli tiket MRT ternyata sangat mudah karena kita bisa membelinya sendiri di mesin penjual otomatis hanya dengan memasukkan koin dan memencet tempat tujuan kita di layar sentuh. Semua informasi tersedia jelas dalam bahasa Mandarin dan Inggris. Mungkin bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan budaya bertanya lisan, hal ini cukup membuat bingung. Membeli tiket MTR dibagi menjadi dua, yaitu pembelian non berlangganan (single journey) dan pembelian berlangganan dengan menggunakan Octopus Card (semacam kartu voucher yang bisa diisi ulang).

Untuk 1 penumpang dewasa (single adult journey) dari Mong Kok menuju Causeway Bay, harus memasukkan koin senilai 10,5 HKD (setara dengan sekitar Rp 15.000). Cukup mahal memang untuk ukuran Indonesia, tetapi paling tidak menaiki MTR di Hong Kong cukup nyaman, meskipun harus berdesak-desakan dengan penumpang bila di jam office hours, dan dijamin bebas macet. Untuk melalui Causeway Bay, ternyata kami harus berpindah kereta di Admiralty. Setelah itu barulah kami turun di Causeway Bay, yang merupakan salah satu kawasan surga belanja di Hong Kong. Di sana banyak sekali pertokoan high class bertebaran di sana-sini. Yang menarik di daerah ini terdapat Victoria Park yang merupakan pangkalan tidak resmi bagi para TKW Indonesia untuk bertemu. Jadi sudah pasti Anda akan menemukan banyak sekali orang Indonesia di daerah ini :-) Hal lain yang menarik bagi saya adalah ternyata beberapa jembatan penyeberangan di Hong Kong dilengkapi dengan elevator! Setelah saya tanyakan pada Oom saya, ternyata elevator itu sebenarnya ditujukan bagi pengguna kursi roda yang ingin menyeberang jalan. Wow, benar-benar sebuah fasilitas publik yang sangat memperhatikan hak orang-orang cacat. Oya, selama berjalan-jalan di trotoar Hong Kong, hati-hati dengan tetesan-tetesan air dari atas. Sebab itu adalah tetesan dari AC-AC yang terpasang di gedung-gedung bertingkat (biasanya apartemen) dan Anda tidak bisa melakukan apa pun kecuali berusaha menghindarinya agar tidak basah.

Setelah pulang kembali ke hotel, besoknya kami memutuskan untuk berjalan-jalan seharian lagi di kawasan Mong Kok sebelum pulang ke Indonesia. Di Mong Kok, kami mengunjungi sebuah mall paling elit, Langham Place di Nathan Road. Bangunannya tinggi dan terlihat futuristik namun sayang sekali Langham Place seolah tenggelam di tengah belantara gedung-gedung bertingkat lainnya. Barang-barang yang dijual di sana sudah tentu merupakan barang-barang elit, dan kelihatannya barang yang bisa saya beli cuma Levi's di sana :-D

Sepulangnya dari sana, tiba-tiba ayah saya mengajak untuk makan bubur di pasar lokal. Akhirnya kami memasuki Fa Yuen Street Market, yang statusnya sama dengan pasar-pasar sembako di Indonesia. Namun saya sempat terhenyak melihat keadaan pasar di sana, sangat bersih sekali! Tidak ada sampah berserakan (paling hanya genangan air dan sebuah kaleng softdrink saja), bahkan disediakan eskalator kecil untuk menaiki lantai atas. Saya juga terheran-heran karena bahkan tidak melihat seekor lalat pun (kalau saya ingat-ingat, saya bahkan belum pernah menjumpai seekor lalat selama di Hong Kong). Yang paling menarik di sana, ternyata ada juga sebuah stan yang bernama "Toko Indonesia" yang menjual berbagai sayuran dan bumbu-bumbu dapur. Mungkin sekali pemiliknya adalah orang Indonesia.

Saat menyusuri jalanan pulang ke hotel, saya menemukan sesuatu yang menarik. Di trotoar, terdapat sejumlah poster yang dipajang. Saat saya amati, ternyata poster-poster itu berisikan protes dari Falun gong mengenai diberangusnya ajaran mereka secara keji. Mereka membeberkan sejumlah testimoni mengenai cara kejam Pemerintah China menginterogasi dan memberangus aktivis-aktivis Falun gong. Ada juga tuntutan kepada mantan Presiden China, Zhiang Zhemin, untuk diseret ke Mahkamah Internasional dengan tuduhan sebagai otak pelaku kejahatan terhadap Falun gong. Hal ini tentunya sangat menarik mengingat kini Hong Kong telah menjadi bagian dari China dan Pemerintah China dikenal sangat tegas memberantas setiap usaha-usaha yang mengusik kestabilan sosial. Bahkan di sebuah poster terdapat foto beberapa polisi Hong Kong yang terlihat menyeret seorang demonstran lalu diberi tulisan besar, "Is This the Future of Hong Kong?"

Akhirnya setelah 2 hari berpetualang, kami memutuskan untuk pulang kembali ke Indonesia. Di hari itu, cuaca agak kurang bersahabat, sejak pagi langit sudah mendung dan kami harus menyeret koper menuju halte bus terdekat untuk menaiki bus khusus yang langsung menuju airport. Bus-bus di Hong Kong cukup besar, biasanya bertingkat (double decker bus), dan bagusnya di dalam bus disediakan tempat khusus untuk meletakkan barang-barang yang besar dan berat (kalau di Indonesia mungkin sudah menjadi sasaran empuk para pencuri tuh, hehe).

Satu lagi saran terakhir, bagi Anda yang ingin berpergian ke luar negeri tanpa menggunakan tour, pastikan bahwa Anda tidak membawa barang bawaan banyak dan bisa berbahasa setempat. Sebab kami sering mengalami situasi kebingungan mau ke mana sebab ke mana-mana harus benar-benar mengerti rute-rute bus yang kami naiki. Untung masih ada Oom saya yang berdomisili di sana (itu pun masih sempat bingung sendiri) dan kakak saya yang bisa memesankan hotel. Jadi kalau berpergian orang banyak dengan barang-barang bawaan banyak, sangat direkomendasikan menggunakan jasa tour.

Sebagai informasi tambahan, tulisan aksara China (Han Zhi) dibedakan menjadi dua macam, yaitu Simplified Chinese dan Traditional Chinese. Ada sejumlah perbedaan di beberapa aksara China antara kedua versi tersebut. China Daratan menggunakan Simplified Chinese, sementara di Taiwan, Hong Kong, dan Macao, masih menggunakan Traditional Chinese. Umumnya bila kita belajar bahasa Mandarin, maka kita pastilah mempelajari Simplified Chinese, di samping lebih mudah dipelajari juga model aksara ini lebih banyak digunakan di seluruh dunia.

Akhirnya saya kembali ke Jakarta dengan menumpang Cathay Pacific. Penerbangan saat itu cukup mencekam, sebab langit sedang dalam kondisi mendung, bahkan di tengah-tengah penerbangan, gerimis mendadak turun dan pesawat sempat beberapa kali terguncang. Untungnya pesawat berhasil mendarat selamat di Jakarta. Di sini lagi-lagi saya harus dipaksa menjumpai keleletan khas Indonesia. Bayangkan saja mengambil bagasi saja harus menunggu waktu selama 50 menit sendiri, dan itu pun harus menunggu mendapat troli sebab semua troli telah "diamankan" oleh petugas-petugas di sana. Puncak kejengkelan saya memuncak saat para penumpang harus membeludak mengantri memasuki pemeriksaan barang hanya gara-gara mesin X-ray yang dioperasikan cuma satu saja (padahal jumlah penumpang saat itu mencapai ratusan). Kegoblokan lainnya adalah tidak diberikan sekat-sekat khusus yang berliku-liku seperti halnya yang saya lihat di pemeriksaan imigrasi di luar negeri, untuk mengurangi panjang antrian, jadi semua orang langsung tumpah ruah berjajar semrawut berebutan memasukkan barangnya ke mesin X-ray.

Mungkin karena petugasnya sendiri merasa kewalahan menghadapi serbuan ratusan penumpang tersebut, lalu dengan entengnya mereka mempersilahkan para penumpang cukup memasukkan handbag saja ke mesin X-ray, sedangkan barang-barang dari bagasi langsung bisa dibawa keluar. Bahkan yang konyol, ada seorang bapak yang sudah menurunkan kardus dari troli untuk diletakkan di mesin X-ray, si petugas dengan ramahnya berkata, "Sudah Pak, jangan rajin-rajin, barang dari bagasi langsung saja dibawa keluar". Hati kecil saya tersenyum kecut lalu berkata, "WELCOME TO INDONESIA!"

Tidak ada komentar: