Kamis, 30 Juni 2016

Farewell My Friend

Rest in Peace, Erika & Baby G

Bulan Juni ini saya dikejutkan dengan kabar duka. Salah satu teman saya diberitakan telah berpulang ke surga setelah berjuang mengatasi komplikasi sakit hipertensi paru-paru selama 2 tahun terakhir. Saya adalah salah satu orang yang mengagumi semangatnya dalam memandang hidup, apalagi saat teman saya tersebut mengabarkan bahwa dia mendapatkan anugerah kehamilan yang istimewa di waktu-waktu menjelang akhir masanya.

Teman saya, Erika Metta adalah satu-satunya kenalan saya yang sampai tanggal 19 Juni 2016 masih aktif mengisi blognya dengan kisah-kisahnya yang inspiratif. Ya, padahal saya sendiri sudah sangat jarang (kalau tidak bisa disebut pensiun) menulis blog ini dikarenakan kesibukan maupun sudah merasakan kejenuhan dalam blogging. Sejak era sosmed berkembang pesat, blog memang perlahan mulai tersingkirkan dan terlupakan.

Sebenarnya Erika adalah adik kelas saya di universitas saya dulu menimba ilmu. Wajahnya sangat unik, berparas oriental tulen dengan sepasang kelopak mata yang turun seperti karakter Snoppy. Dikarenakan saya mengalami keterlambatan studi yang berujung pada tertundanya kelulusan selama setahun, saya jadi mengenal dia. Tidak akrab, memang. Hanya sebatas menyapa basa-basi sekali-dua kali di lingkungan kampus. Saat kelulusan dan wisuda pun, saya bahkan hampir tidak pernah mengingat lagi sosoknya sampai setahun berselang pada saat saya mengambil studi S-2 di Binus Business School, Jakarta, mendadak saya berjumpa lagi dengan Erika. Whoa, anak jurusan DKV di Surabaya bisa berencana mengambil studi S-2 Manajemen di universitas swasta yang sama di Jakarta? Sebuah kebetulan sekali, pikir saya.

Dari sana, kemudian saya mulai mengenali potensinya dalam berkarya, termasuk salah satunya dengan menulis blog. Ya, saat itu di tahun 2008, blogging masih sedang ngetop-ngetopnya di kalangan anak muda. Mungkin kalau sekarang, blogging itu selevel kerennya dengan vlogging (video blog) di YouTube. Meskipun kami juga tidak terlalu akrab dalam bergaul, namun saya dan Erika sering melakukan blogwalking dengan mengunjungi blog masing-masing. Dari blognya, saya jadi seolah turut mendengarkan Erika bercerita mengenai perjalanan hidupnya, mulai dari suka maupun duka, hingga di tahun 2014, saya kaget membaca tulisannya bahwa dia divonis menderita penyakit hipertensi paru-paru yang berujung pada larangan dokter untuk hamil.

Tapi rencana Tuhan memang berbeda dengan rencana manusia. Pada akhir tahun 2015, secara luar biasa, Erika mengabarkan bahwa ia dan suaminya telah dianugerahi kehamilan yang selama ini diharap-harap cemaskan selama 4 tahun usia pernikahan mereka. Sayangnya kabar gembira tersebut juga berarti kabar duka dikarenakan risikonya yang besar secara medis bila kehamilan itu tetap dipertahankan. Disinilah, saya mengagumi iman Erika dan Eric, bahwa mereka tetap mau untuk berserah di dalam kehendak Tuhan. Mereka percaya bahwa Tuhan memiliki rencana besar untuk anak ini. Bagaimana bisa pasangan muda ini dengan gampang memilih untuk membunuhnya tanpa pernah mengizinkan iman mereka dibentuk oleh Tuhan sendiri?

Namun Tuhan memiliki kehendak lain, rupanya Dia lebih memilih memanggil pulang Erika dan bayinya untuk menikmati hidup di surga, bebas dari kesakitan dan penderitaan fisik. Demikianlah, akhir kisah perjalanan iman Erika. Tidak berakhir dengan kisah mukjizat yang ajaib memang, tapi saya sendiri percaya bahwa semua perjalanan hidup kita sendiri telah ditulis-Nya dengan ajaib dan luar biasa. Sikap Erika dan Eric dalam memutuskan mempertahankan kelangsungan hidup janinnya sendiri juga merupakan kisah yang menggugah iman, meskipun taruhannya adalah nyawa ibu dan anaknya.

Bagi Anda yang ingin membaca cerita kehidupan Erika, bisa mengunjungi blognya di Fly Me to My Dream. Saya percaya tulisan-tulisan dia akan memberikan banyak inspirasi dan kekuatan bagi kalian yang membacanya.

Farewell, my friend.

May you rest in peace, Erika and baby G.

Rabu, 21 Januari 2015

Kring… Kring… Halo?

Akhirnya setelah postingan blog terakhir di tahun 2011, 4 tahun berselang saya mulai tergerak untuk kembali mengisi blog ini :-)

Saat ini kita semua pasti tidak lepas dari yang namanya gadget, bukan? Perangkat komunikasi canggih mulai dari smartphone hingga tablet sudah jamak berseliweran setiap hari di depan mata kita, bahkan mungkin kita sendiri mempunyai lebih dari 1 gadget tersebut di rumah. Ponsel yang tadinya memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi perlahan kini mulai bergeser esensinya. Ia sekarang juga berfungsi sebagai jam weker, pencatat jadwal, bermain game, pemutar musik, penjelajah internet, ajang ngobrol chatting, mengakses social media, hingga yang paling canggih, adalah sebagai alat pembayaran elektronik. Boleh dibilang di kehidupan modern saat ini, barangkali kita lebih rela kelupaan membawa dompet daripada lupa membawa sebuah smartphone :-)

Kalau mau diingat-ingat, sampai hari ini sudah berapa kalikah Anda berganti ponsel? Saya sendiri sudah 5 kali berganti ponsel sejak pertama kali memiliki ponsel di tahun 2002. Dalam rentang waktu 13 tahun, bagi kebanyakan orang yang saya kenal, jumlah tersebut dapat disimpulkan bahwa saya cukup jarang berganti ponsel, lho.

Nokia 3315

Ponsel pertama yang saya punya adalah Nokia 3315 saat saya baru masuk kuliah di tahun 2002. Ponsel ini merupakan adik dari seri Nokia yang sangat melegenda, yaitu Nokia 3310 dan Nokia 3330. Saat itu Nokia 3315 boleh dibilang bukan ponsel kelas atas yang canggih, tetapi fungsinya sudah sangat menunjang aktivitas, lewat fitur Call, SMS, Voice Dialing, Picture Editor, hingga Ringtone Composer. Saya masih ingat saat itu masih sering browsing di internet untuk mencari daftar ringtone yang bisa dimasukkan ke dalam ponsel. Terkadang saya juga membeli ringtone lagu tertentu yang dijual melalui semacam voucher. Saya cukup puas menggunakan Nokia 3315 meskipun terkadang merasa minder juga kalau bertemu teman yang memamerkan Nokia Communicator 9210i yang saat itu terlihat sangat keren sekali, hehe…


Nokia 3315


Hanya setahun kemudian, tiba-tiba mulai terjadi invasi ponsel berlayar warna dengan polyphonic ringtone. Banyak orang-orang di sekitar saya yang mulai berganti ponsel, di antaranya yang populer adalah Nokia 7610 dan Nokia 3650. Saya pun ikutan terpancing untuk berencana mengganti Nokia 3315 saya yang mulai terlihat ketinggalan zaman, namun apa daya saat itu Nokia 3650 seharga Rp 3 juta masih terlalu mahal untuk kantong seorang mahasiswa seperti saya. Alhasil saya mulai menggeser target yang lebih realistis, saya mengincar Nokia 3530 yang lebih murah dengan harga sekitar Rp 1,5 juta.

Nokia N-Gage Classic

Tetapi karena satu dan lain hal, saya akhirnya tidak pernah merealisasikan rencana saya membeli Nokia 3530 tersebut. Di tahun 2004, saya malahan berkesempatan membawa pulang Nokia N-Gage Classic dengan harga Rp 1,4 juta, hasil dari melego tukar tambah Nokia 3315 ditambah sedikit uang angpao dari Imlek. Harga yang saat itu saya lihat adalah sebuah anomali untuk ukuran sebuah N-Gage dengan beragam fitur yang mumpuni, seperti Radio, MP3 Player (kualitas suaranya tidak kalah dengan iPod), Voice Recorder, MMS, GPRS, Bluetooth, Game Player dengan kualitas grafis setara PS1, hingga menyimpan gambar-gambar foto berwarna. Boleh dibilang fitur yang dimiliki N-Gage sudah sangat komplit, kecuali tidak ada kamera saja. Yang lebih menghebohkan, kualitas loudspeaker yang dipunyai N-Gage sangat kencang sekali, bahkan pada saat itu tidak ada ponsel lain yang mampu menandinginya. ponsel ini memang sebenarnya dirancang bagi para gamers, sehingga tampilannya lebih mirip gamewatch daripada ponsel konvensional.

Mungkin kalau ada 1 hal lain yang dianggap sebagai kekurangan N-Gage adalah posisi speaker-nya yang berada di samping, sehingga saat digunakan untuk bertelepon, posisinya akan terlihat aneh. Tapi buat saya, itu bukan hal yang perlu dipersoalkan, malahan menambah keunikan ponsel ini. Sekadar informasi, N-Gage ini sampai sekarang masih saya simpan dan masih berfungsi dengan baik (kecuali earphone-nya yang sudah rusak).

Pada perkembangan selanjutnya, Nokia merilis N-Gage QD dengan beberapa peningkatan fitur baru, di antaranya layar yang lebih tajam, ukuran yang lebih compact dan posisi speaker yang kembali normal. Tapi sayangnya N-Gage QD tidak memiliki fitur radio sehingga di Indonesia, orang masih lebih suka mencari N-Gage Classic daripada N-Gage QD. Akibatnya sempat terjadi anomali harga jilid 2, N-Gage Classic dihargai lebih mahal daripada N-Gage QD.


Nokia N-Gage Classic

Sanex SC-7210

Di tahun 2005, tiba-tiba kembali terjadi sebuah fenomena baru, dengan hadirnya ponsel CDMA yang memiliki kelebihan tarif bicara lebih murah daripada ponsel GSM. Kini menenteng 2 ponsel (GSM dan CDMA) merupakan trend baru di kampus. Pemiliknya akan terlihat jauh lebih keren, lebih sibuk dan tentunya terlihat lebih kaya daripada yang cuma membawa 1 ponsel saja. Saya kembali ikut terjatuh ke dalam godaan untuk memiliki ponsel CDMA juga…

Setelah menilik beberapa kandidat ponsel CDMA sembari membandingkan harganya, saya memutuskan untuk menjajal ponsel CDMA keluaran China, Sanex SC-7210. Selain harganya yang relatif lebih terjangkau, saat itu saya memang sedang mengidamkan ponsel dengan desain clamshell. Ponsel ini sudah berwarna (meskipun resolusi pixelnya lebih rendah dari N-Gage), memiliki polyphonic ringtone, namun dengan fitur lain yang sangat standar. Saya tak begitu peduli karena pikir saya toh ponsel CDMA memang akan saya pakai hanya untuk berhalo-halo saja. Namun setelah saya gunakan selama 2 hari, ternyata ponsel ini justru memiliki kelemahan yang sangat fatal, yaitu kualitas penerima sinyalnya yang buruk. Kalau digunakan untuk bertelepon, suara yang keluar pasti terputus-putus dan baru lancar bila kita bertelepon di luar rumah. Saya pikir kalau terus-menerus begini bakalan menyusahkan diri sendiri, akhirnya dalam rentang waktu seminggu sejak saya pertama membeli, saya memutuskan untuk menjual ponsel ini kembali. Sebuah rekor tercepat dalam saya memiliki sebuah ponsel.


Sanex SC-7210

Nokia 2116

Saya menukar tambah Sanex SC-7210 saya dengan ponsel CDMA yang lain, Nokia 2116. Ponsel ini bentuknya kecil dan compact namun layarnya masih monochrome. Tapi yang jelas, kualitas penerima sinyalnya jauh lebih baik dan di saat waktu luang saya sering memakai ponsel ini untuk memainkan game klasik Nokia seperti Snake dengan asyiknya. Yang lebih keren lagi, Nokia 2116 dapat difungsikan sebagai senter (flashlight) sehingga sangat berguna bila terjadi listrik padam. Ponsel ini juga masih saya simpan dan masih berfungsi dengan baik pula. Terakhir kali saya memanfaatkan ponsel ini sebagai jam weker dengan nada deringnya yang lumayan nyaring :-)


Nokia 2116

BlackBerry Curve 8520 Gemini

Akhirnya setelah booming BlackBerry di Indonesia pada tahun 2009, setahun kemudian saya pun tak kuasa untuk ikut bergabung menjadi salah satu pemilik ponsel jenis ini. Menggunakan BlackBerry (BB) yang notabene dilabeli sebuah smartphone tentunya berbeda dari pengalaman saya menggunakan ponsel-ponsel sebelumnya yang dikategorikan dengan istilah feature phone. Ya, di era tahun 2010-an, jauh lebih banyak orang yang meminta bertukar nomor PIN daripada nomor ponsel Anda. PIN tersebut adalah kode angka identitas BB Anda yang dapat dipakai untuk berkomunikasi chatting via BlackBerry Messenger (BBM). Nomor PIN yang dimiliki oleh satu BB tidak akan kembar dengan BB lain, ditambah dengan enkripsi data yang langsung dikirimkan ke server BB di Kanada, membuat smartphone ini begitu eksklusif dan sempat digemari para pejabat tanah air karena (saat itu) tidak dapat dilacak ataupun disadap kecuali penyadapnya memiliki akses langsung ke server data di Kanada.

Dari semua jenis BB yang dirilis, BB Curve 8520 Gemini yang saya pakai termasuk jenis BB yang termurah (sekelas kalau dibandingkan dengan Nokia seri 3). Namun fitur-fiturnya sudah cukup menunjang segenap aktivitas saya pada saat itu dengan adanya kamera (pertama kalinya saya memiliki ponsel berkamera) dan sistem Push Mail yang sangat membantu bila pekerjaan Anda banyak berhubungan dengan e-mail. Apalagi saat itu sedang mewabah social media platform di Indonesia seperti Facebook dan Twitter. Tentunya ada sebuah kepuasan batin bila kita mudah mengakses Facebook dan Twitter dari manapun lewat sebuah ponsel. Dan saat itu ada kebanggaan lain yang terpamer bila dalam postingan kita di e-mail ataupun social media, terdapat embel-embel "Sent from my BlackBerry", "Facebook for BlackBerry" atau "Twitter for BlackBerry" :-D

Hanya sayangnya dengan harga sekitar Rp 2 jutaan, tentunya BB Gemini memiliki sejumlah keterbatasan, di antaranya resolusi kamera yang hanya 2 MP, tidak memiliki Flashlight Camera, GPS dan tidak 3G Support, dan koneksi Wi-Fi yang sangat lamban.

Tapi BB Gemini ini turut menorehkan impresi berkesan dalam hidup saya. Total saya pernah memiliki 2 buah BB Gemini. Yang pertama sempat hilang dicopet saat saya menaiki Bus Transjakarta dan membuat saya uring-uringan karena saya kembali menggunakan N-Gage lawas yang tentu saja tidak bisa dipakai untuk mengakses e-mail dan social media. Kemudian saya memutuskan untuk membeli lagi… ya, ponsel yang sama persis, BB Gemini yang baru (karena saya melihat harga BB jenis lain yang relatif masih mahal, hehe…).

Saya memakai BB Gemini sampai pertengahan tahun 2012 karena saat itu entah mengapa BB Gemini saya mulai sering error seperti hang dan harus terus dihard reset melalui melepas baterai. Saya memutuskan untuk masih membeli lagi keluarga BlackBerry lainnya.


BlackBerry Curve 8520 Gemini

BlackBerry Curve 9320 Armstrong

BB Armstrong menawarkan pengalaman memakai BB dengan lebih optimal daripada BB Gemini. Terang saja, dengan spesifikasi yang lebih canggih, seperti BlackBerry OS 7.1 yang lebih segar, resolusi kamera 3,1 MP + LED Flashlight dan 3G Support, membuat saya lebih menikmati BB Curve 9320 Armstrong daripada BB Gemini sebelumnya. Dua hal lagi yang juga saya suka dari BB Armstrong adalah daya tahan baterainya yang lebih awet dan juga adanya fitur radio! Sudah lama saya tidak mendengarkan radio melalui ponsel sejak earphone N-Gage saya rusak.

Sayangnya di tahun yang sama juga, keberadaan BlackBerry mulai semakin tergerus dengan semakin moncernya iPhone dan ponsel berbasis Android. Penggunanya semakin lama semakin menurun, semakin banyak diolok-olok sebagai smartphone jadul yang dibandrol overprice, dan makin lama memang saya juga merasakan kejenuhan dalam memakai BB. Misalnya seperti terbatasnya jumlah aplikasi mobile yang dirilis untuk perangkat BB, tidak leluasanya menjelajahi internet karena layar yang hanya seluas 2,4", dan masih berulangkalinya BB saya harus dihard reset dengan mencopot baterai.

Akhirnya setahun kemudian, saya mengambil langkah yang cukup revolusioner. Saya melepas BB saya meskipun banyak teman-teman yang menanyakan bagaimana dengan nasib orang-orang yang ada di daftar kontak BBM? Nanti kamu tidak bisa chatting di BBM lagi lho, padahal BBM kan masih sangat populer di Indonesia...

BlackBerry Curve 9320 Armstrong


iPhone 5

Setelah lama hanya pernah membayangkan saja bagaimana rasanya memiliki perangkat keluaran Apple (karena memang harganya yang tidak murah), akhirnya di tahun 2013, saya benar-benar resmi menggunakan iPhone 5 sebagai ponsel menggantikan BB Armstrong yang sudah saya jual (dulu dibeli seharga Rp 2,2 juta dan dijual senilai Rp 900 ribu saja!).

Sebelum memutuskan membeli iPhone, saya memaksa diri untuk melihat berbagai ulasan di internet, termasuk perbandingannya dengan Samsung Galaxy S4 di YouTube. Saat itu Galaxy S4 juga sedang baru-barunya dirilis dibandingkan dengan iPhone 5 yang sebenarnya sudah diluncurkan setahun sebelumnya. Maklum saja, harga iPhone 5 yang saya incar saat itu berkisar Rp 9 jutaan, harga termahal yang pernah saya incar untuk membeli sebuah ponsel (malah ini sebanding dengan harga laptop Lenovo ThinkPad R-61 yang dibeli ayah saya di tahun 2008). Sebagai barang dengan harga yang begitu mahal (istilah pinternya High Involvement Product), maka wajar buat saya untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya apakah saya layak membeli sebuah iPhone 5. Apalagi berhembus pula gosip yang mengatakan bahwa lebih baik menunda dahulu membeli iPhone 5 karena setahun lagi akan dirilis iPhone generasi selanjutnya. Tapi kemudian saya pikir kalau harus menunggu setahun lagi, jangan-jangan tahun depannya juga akan dirilis iPhone generasi terbaru, maka kalau seperti itu kapan saya ganti ponselnya dong :-D

iPhone 5 merupakan smartphone Apple generasi keenam yang revolusioner. Mengapa? Dari segi penampilan fisiknya saja, sudah kentara bahwa iPhone 5 memiliki ukuran layar seluas 4" yang lebih panjang dan lega dibandingkan generasi iPhone sebelumnya. Dengan resolusi Retina Display 1136 x 640 pixels, tentunya warna yang dihasilkan jauh lebih baik dibandingkan layar BB Armstrong saya sebelumnya. Oya, bicara soal warna, satu hal yang membuat saya mantap memilih iPhone daripada Samsung S4 adalah perbedaan intensitas tone warnanya. Kalau bicara kepadatan pixel, Samsung memang mengungguli Retina Display-nya Apple dengan layar AMOLED-nya yang didengungkan ke mana-mana. Tapi coba perhatikan tone warna yang dihasilkan, tampak bahwa warna di layar Apple menghasilkan warna yang relatif lebih netral dan akurat dibandingkan warna di layar Samsung yang cenderung lebih vivid (ngejreng) dan kontras. Kembali lagi ke sisi revolusioner iPhone 5, material yang digunakan adalah aluminium composite frame yang membuat iPhone 5 lebih ringan sekaligus tampil lebih elegan dibandingkan generasi sebelumnya yang mengandalkan stainless steel. Mungkin kalau ada hal revolusioner yang kurang disukai pengguna produk Apple adalah port connector yang dibenamkan di iPhone 5 berbeda dengan port sebelumnya. Port connector yang baru didesain lebih kecil dan langsing, imbasnya maka port connector Apple yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi.

Hal lain yang dulu sempat saya khawatirkan saat menggunakan BB, yaitu fitur Push Mail yang konon hanya bekerja dengan sangat baik di perangkat BB ternyata juga tidak terbukti. Aktivitas saya dalam mengirim dan menerima e-mail di iPhone 5 berjalan lancar-lancar saja dan yang pasti sekarang saya tidak pernah lagi harus melepas baterai karena ponsel error, hang atau lemot. Kekhawatiran teman-teman saya dulu yang mengatakan tidak akan bisa BBM-an lagi kalau tidak memakai BB pun juga lenyap setelah BlackBerry memutuskan merilis aplikasi BBM di perangkat Apple dan Android.

Meskipun di tahun 2015 ini, iPhone 5 saya sudah berumur 2 tahun (3 tahun kalau dihitung dari rilis pertamanya), saya masih merasakan bahwa smartphone ini masih sangat menunjang aktivitas saya sehari-hari, baik dalam pekerjaan maupun saat bersantai.

Memang seperti pepatah "Tidak ada gading yang tak retak", iPhone 5 pun juga memiliki banyak kekurangan menurut saya. Apalagi kalau mau dibandingkan dengan teknologi smartphone yang keluar setahun terakhir ini, dengan teknologi prosesor yang lebih kencang, kamera yang lebih mumpuni, termasuk juga fitur NFC (Near Field Communication) yang sangat keren, memungkinkan terjadinya pertukaran data lewat menyentuhkan gadget kita ke device lain. Fitur NFC ini sudah diterapkan oleh Samsung di Galaxy S4 dan baru belakangan juga turut dibenamkan Apple di iPhone 6.

Sampai detik saya menulis blog ini, saya tidak BELUM tertarik atau bahkan merencanakan mengganti iPhone 5 saya dengan ponsel yang baru. Entah apakah perjalanan saya memiliki sebuah ponsel masih akan terus berlanjut ataukah sudah berakhir tertambat di iPhone 5, biarlah kelak waktu yang akan menjawabnya.

Bagaimana dengan perjalanan Anda sendiri dalam memiliki sebuah ponsel?

Kring… Kring… Halo?



iPhone 5






Rabu, 20 Juli 2011

Tentang Dunia dalam Sebuah Buku


Terinspirasi dari sebuah blog milik seorang kawan di situs pertemanan pecinta buku, Goodreads, Indah Tri Lestari, yang menceritakan awal mula perkenalannya terhadap buku dan kecintaannya yang total terhadap dunia buku, saya seolah mendapatkan motivasi kembali untuk berkutat di blog dan menumpahkan energi positif yang sama, menceritakan betapa saya juga mencintai buku. Ya, satu-satunya alasan terbesar mengapa selama ini saya sudah jarang menulis di blog adalah karena rasa kesenangan dalam menyalurkan hasrat menulis tentang apa saja tersebut sudah sukses diambil alih oleh Twitter! Yeah, I blame that cute Ollie Bird!

Buku, menurut saya adalah salah satu produk peradaban paling berpengaruh yang pernah dikenal manusia. Lewat buku, manusia mulai mengenal huruf dan mampu mendokumentasikan segala macam peristiwa. Dengan buku, manusia menulis sejarah. Melalui buku, manusia mewariskan dan mengajarkan pengetahuan empiris kepada generasi selanjutnya. Terciptanya buku membuat seseorang bisa menuangkan ide-ide abstrak di dalam kepalanya ke dalam lembaran kertas sehingga bisa dibaca dan dipahami oleh orang lain.

Sebagai salah satu penemuan paling spektakuler, buku telah berevolusi selama berabad-abad. Bermula dari lempengan batu, kulit binatang, gulungan batang-batang bambu, daun lontar, kertas papyrus, kertas modern olahan dari kayu, hingga ke era digital dimana buku telah bertransformasi menjadi data-data matriks yang terproyeksikan ke layar monitor-monitor gadget modern. Hebatnya, meskipun saat ini aktivitas membaca buku digital dari sebuah komputer tablet sudah menjadi hal yang biasa, eksistensi buku tradisional dalam medium kertas masih tetap tak tergantikan.

Sejak kecil, sebenarnya saya sudah akrab dengan aktivitas membaca. Mulai dari buku cerita bergambar, komik, majalah, hingga koran pun saya lahap semua. Perkenalan saya dengan aktivitas membaca dimulai dari buku-buku cerita bergambar dan cerpen di majalah Bobo. Kemudian berlanjut ke koran, hanya saja untuk berita-berita di koran, tidak semuanya saya pahami, kebanyakan saya hanya memandangi iklan-iklan, gambar-gambar film bioskop, dan sejenisnya. Saya pun punya kebiasaan aneh dalam membaca koran yang sampai sekarang masih saya lakukan. Bila lazimnya orang membaca koran dari halaman depan ke belakang, saya justru membaca halaman depan lalu membalik dan mulai membacanya dari halaman paling belakang hingga berurutan ke depan.

Namun meski sejak kecil saya sudah terbiasa membaca beragam bacaan, entah mengapa saya merasa takut membaca novel. Buat saya, membayangkan membaca satu buku tebal berisi tulisan semua terasa menakutkan. Saya cemas kalau-kalau saya tidak bisa memahami isi ceritanya dan akhirnya terjebak di satu bagian cerita sehingga tidak akan pernah menyelesaikan novel tersebut. Hingga akhirnya saat duduk di kelas 1 SMP, di satu malam, saya memberanikan diri untuk membaca sebuah novel milik teman saya, Lima Sekawan: Sarjana Misterius-nya Enid Blyton. Meskipun awalnya merasa khawatir kalau-kalau tidak sanggup membaca sampai selesai, ternyata tidak terasa dalam semalam, saya menyelesaikan novel tersebut. Sejak itu, saya seolah keranjingan membaca buku novel. Bermula dari Lima Sekawan, Trio Detektif, Pasukan Mau Tahu, Gadis Paling Badung di Sekolah, Goosebumps, Kisah Si Jennings, novel The X-Files, Animorphs, hingga saat memasuki bangku SMA, saya jatuh cinta dengan novel Harry Potter!

Saat menjadi mahasiswa, buku novel yang saya ikuti mulai bervariasi dengan membaca cerita-cerita konspirasinya Dan Brown, dan setelah lulus, kini saya mulai menikmati buku-buku bacaan yang berat dan serius (yang sudah pasti tidak akan saya sentuh saat duduk di bangku sekolah), mulai dari buku filsafat, marketing, manajemen, hingga sains.

Tidak terasa, jumlah koleksi buku saya semakin menumpuk, walaupun mungkin masih belum sebanyak die-hard book readers lainnya, tetapi paling tidak sudah bisa memuat 3-4 kardus besar. Untuk ukuran orang awam, jumlah buku sebanyak itu saja sudah pasti membuat mereka bertanya, "Hah?? Untuk apa buku sebanyak itu? Mau buka perpustakaan?". Serupa seperti Mba Indah Tri Lestari, sebenarnya saya juga ingin meletakkan semua buku-buku itu ke dalam perpustakaan pribadi. Tempat dimana saya bisa menyelinap masuk di malam hari, hanya untuk duduk di tengah-tengah ruangan, memejamkan mata, dan menikmati suasana seolah saya dapat mendengarkan semua buku-buku itu berbisik-bisik merdu :-)

Membuka perpustakaan untuk orang lain sebenarnya merupakan ide filantropis yang sangat baik. Hanya saja tidak semua orang menyukai buku dan tidak semua orang bisa memperlakukan buku dengan baik. Sudah tidak terhitung, berapa kali saya sebal saat buku saya dipinjam dan dikembalikan dalam kondisi lusuh, terlipat, sobek, basah akibat tersiram, sampai yang paling parah, hilang dan orang tersebut dengan enteng berkata, "Sori, iya bukunya nggak tahu hilang kemana, nanti deh kalo sudah ketemu, saya kembalikan."Karena alasan-alasan tersebut, saya memutuskan bahwa sebisa mungkin saya hanya akan berbagi buku-buku pribadi saya kepada sesama pecinta buku atau mungkin sebatas teman dekat.

Sampai kini pun, saya masih sering mampir ke toko buku bila berpergian ke mal. Dari semua toko buku yang ada, yang menjadi favorit saya adalah Kinokuniya di Plaza Senayan. Koleksi buku yang ada di sana relatif lengkap, ditambah peletakan bukunya yang baik, sehingga memudahkan orang untuk mencari sebuah buku. Sebagai gambaran, bahkan di Gramedia pun, saya masih sering menemui buku graphic novel yang diletakkan di rak novel! Hal lain yang saya sukai juga adalah di Kinokuniya Plaza Senayan, buku-buku yang ada sangat jarang dibungkus, jadi saya bisa membaca-baca buku-buku tersebut dengan bebas :-D

Toko buku favorit kedua saya adalah Times Bookstore di Lippo Karawaci, Tangerang. Ukuran tokonya lebih luas dan lega daripada Kinokuniya, dengan buku-buku yang cukup lengkap, tidak terbungkus, dan asyiknya disediakan banyak kursi dan sofa di sana yang membuat saya sangat betah sekali menghabiskan berjam-jam di toko buku ini (ditambah alunan lagu-lagu jazz yang membuat pikiran semakin rileks). Hanya satu kekurangannya, lokasinya jauh dari Jakarta.

Selain Kinokuniya dan Times Bookstore, saya juga suka mengunjungi Aksara Bookstore di Kemang. Aksara banyak memiliki koleksi buku-buku impor "aneh" yang terkadang tidak tersedia di Kinokuniya ataupun Times. Toko buku Gramedia di Grand Indonesia sebenarnya juga layak untuk dikunjungi. Namun seperti yang saya bilang sebelumnya, penataan dan klasifikasi buku-buku di Gramedia masih sangat kacau. Masih banyak buku-buku dengan genre tertentu dimasukkan ke genre yang tidak sesuai.

Dari tahun ke tahun, tingkat popularitas buku di Indonesia semakin meningkat. Indikasinya jelas, jumlah buku yang diterbitkan terus membanjiri rak-rak toko buku favorit kita. Semoga tren positif itu terus berlanjut dengan buku-buku lokal berkualitas tetap menjadi raja di negeri sendiri namun masyarakat juga memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan buku-buku impor bermutu (selama ini kita tahu harga buku-buku impor masih sangat mahal).

Buku. Ah, kelak bila saya sudah mempunyai anak, saya memimpikan semoga kelak saya bisa mendidik anak saya untuk turut mencintainya. Lebih bagus lagi bila saya bisa menularkan kecintaan tersebut bersama (calon) istri saya :-)

Selasa, 09 November 2010

The Hit Man's Show



Yep, tell me that I have been living in a cave, dengan jujur sebelumnya saya katakan bahwa saya kurang mengenal siapakah gerangan David Foster itu. Jadi saya bahkan tidak terlalu peduli waktu teman-teman saya sibuk membicarakan rencana kedatangan konsernya di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2010. "I'm not a big fan of David Foster," demikian jawab saya berulang kali dalam menanggapi gairah antusiasme mereka. Saya pikir, masih mendingan bila yang datang konser adalah Coldplay, Keane, Oasis, atau bahkan Paramore atau Blink-182 Reunion concert juga pasti seru... Semuanya, asalkan bukan si David Foster ini yang jelas-jelas saya ingat tidak punya satupun karya lagunya di koleksi Mp3 iPod saya.

Namun tiba-tiba seolah terkena "karma", saat saya sudah di tengah jalan pulang dari kantor, tiba-tiba Managing Director kantor saya menelpon dan menawari untuk menonton konser David Foster di ballroom Ritz-Carlton, Pacific Place. Jelas-jelas tawaran itu saya tolak (apalagi saat itu sudah hampir jam 7 malam, sedangkan konser tersebut dijadwalkan mulai jam setengah delapan!) namun karena beliau mengatakan bahwa ada 1 tiket lebih yang mubazir bila tidak dimanfaatkan, mental gratisan dalam pikiran bawah sadar saya langsung menyeruak naik. Saya banting setir memutar balik menuju Pacific Place, dum dam dum... :-)

Untuk menghemat waktu, segera saya memakai parkir valet service. Saat tiba di depan Pacific Place, lobi sudah dipenuhi oleh kaum jetset yang terlihat jelas dari penampilan mereka, berbeda jauh dengan saya yang mengenakan T-shirt, skinny jeans, jaket kulit dan sepatu kets. Belakangan saya baru tahu bahwa harga tiket konser David Foster yang termurah saja Rp 1 juta dan yang termahal mencapai Rp 25 juta! Pantas saja orang-orang berdandan mewah untuk menghadiri konser ini...

Ruang ballroom Ritz Carlton telah disulap menjadi tempat konser yang elegan dan kursi-kursi sudah tampak terlihat penuh. Kami berenam harus duduk di barisan kursi paling belakang, untungnya disediakan dua layar besar yang terlihat jelas. Sambil menunggu sekitar 1 jam lebih, penonton berulang kali diperlihatkan iklan Surya Mild (sponsor utama) yang seolah-olah sengaja diputar untuk mencuci otak para audiens. Setelahnya layar berganti menjadi potongan video klip lagu-lagu populer yang disambung-sambung, dari sanalah saya baru menyadari bahwa hampir semua lagu yang ngetop di seluruh dunia adalah ciptaan David Foster!

Akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu, seluruh penonton serempak berdiri memberikan sambutan tepuk tangan yang sangat meriah. Terlihat seorang pria Kaukasoid paruh baya berambut perak dan berpakaian necis diterangi lampu sorot yang terang, dialah David Foster, Sang Legenda yang dielu-elukan seluruh orang pada malam itu.

David dengan ramah menyapa seluruh hadirin, dan saya tidak pernah lupa dengan sindirannya kepada para penonton yang duduk di barisan paling depan, "Hi, rich people!" Semua orang pun tertawa mendengarnya. Ya, David jelas menyindir orang-orang tajir yang rela membayar Rp 25 juta di untuk duduk di barisan kursi paling depan. Setelah berbasa-basi sejenak, kemudian ia memperkenalkan 4 pria yang tergabung di dalam The Canadian Tenors sebagai artis pembuka. Mereka menyanyikan lagu, Hallelujah dan The Prayer (aslinya dibawakan oleh Andrea Bocelli dan Celine Dion). Sambutan penonton cukup baik tetapi masih belum heboh.

Berikutnya, David memperkenalkan seorang penyanyi wanita yang sangat kental dengan musik jazz, Natalie Cole. Ya, menyimak namanya, ia memang puteri kandung dari penyanyi legendaris, Nat King Cole. Salah satu aksi panggungnya yang membuat saya bergidik merinding adalah saat ia membawakan lagu L.O.V.E dibarengi dengan video dan suara ayahnya di layar. Seakan-akan saya sedang menyaksikan kembali kebangkitan Nat King Cole menyanyi berduet dengan puterinya.

Artis ketiga yang mendampingi konser David setelahnya adalah Ruben Studdard. Bagi para penggemar American Idol, ia bukanlah sosok yang asing sebab Ruben adalah juara pertama American Idol di tahun 2003, mengalahkan Clay Aiken. Tubuhnya yang tambun dan suaranya yang sangat blues memang identik sekali dengan tipikal penyanyi-penyanyi kulit hitam pada umumnya. Namun yang membuat saya berkesan disini adalah David sempat mengajak penonton ikut berinteraksi dengan memikirkan sebuah kalimat yang akan dijadikan permainan dimana kalimat tersebut akan menjadi judul lagu yang harus dinyanyikan Ruben secara spontan. Bisa dibayangkan betapa serunya saat itu!

Salah seorang penonton konser menunjuk tangan dan berkata, "Who ate my fish!" David menyetujui dan ia lantas meminta Ruben menyanyikan lagu dengan judul tersebut secara spontan. Namun Ruben menunjukkan bakatnya, ia benar-benar bisa menyanyikan sebuah lagu secara spontan dengan nada yang memukau, diiringi denting piano David. Penonton pun sontak tertawa dan untuk pertama kalinya melakukan standing ovation.

Usai Ruben undur diri, David memperkenalkan artis berikutnya, Peter Cetera, yang di masa silam pernah bergabung ke dalam band legendaris, Chicago. Dengan pakaian sangat necis yang rasanya lebih cocok tampil sebagai penyanyi opera, Peter membawakan lagu-lagu hits seperti, "You're the Inspiration" dan "If You Leave Me Now". Seluruh hadirin pun turut larut menyanyi bersama-sama.

Setelah para penonton bertepuk tangan mengiringi Peter yang undur diri dari atas panggung, David berdiri dari pianonya dan bercerita bahwa ia percaya bahwa Asia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan dibarengi jumlah penduduk yang besar adalah masa depan dunia. Untuk itu, ia berharap bukan tidak mungkin kelak superstar kelas dunia berasal dari Asia dan mungkin salah satunya adalah artis yang ia bawa sebagai pemuncak acara, Charice!

Saya masih ingat, reaksi banyak penonton saat itu menunjukkan tipikal khas orang Indonesia, kurang apresiatif apalagi terhadap sesama orang Asia di tengah pertunjukan konser penyanyi bule. Charice berjalan di atas panggung dengan rambut panjang bergelombang yang disemir kecoklatan eksotis, mata sipit dan tubuh mungil, namun penuh aura kepercayaan diri yang meluap-luap.

Charice berbasa-basi sejenak, menceritakan bahwa ia berasal dari Filipina dan dulu sudah puluhan kali mengikuti kontes bakat menyanyi sejak kecil sebelum akhirnya ditemukan oleh David Foster. Ia lantas mengungkapkan bahwa ini adalah kesempatan kedua kalinya ia mengunjungi Jakarta. Sebelumnya ia mengaku pernah diundang menyanyi di acara ulang tahun pribadi seseorang (wow, siapakah gerangan orang yang tajir tersebut??).

Kemudian Charice membuktikan bahwa ia memang layak diikutsertakan menjadi salah satu artis yang mendampingi konser David Foster, bahkan layak ditempatkan di momen paling akhir sebagai artis pengisi puncak acara. Dengan suara yang luar biasa memukau, dibarengi power yang menggetarkan udara, Charice dengan lihai menyanyikan lagu-lagu hits dari Celine Dion dan Whitney Houston. Sontak para penonton yang tadinya agak meremehkan kini berbalik takjub dan tanpa dikomando seluruh hadirin memberikan standing ovation yang membahana, tidak hanya sekali-dua kali saja, namun berkali-kali! Jelas diperlukan suara yang sangat luar biasa untuk mampu menghipnotis penonton dari Indonesia berlaku seperti itu...

Mendekati penghujung acara, David mengundang semua penyanyi dan mereka semua berada di atas panggung, menyanyikan lagu Earth Song (dinyanyikan aslinya oleh Michael Jackson) bersama-sama, hingga akhirnya pamit undur diri dari hadapan penonton. Lampu ruangan dinyalakan namun mayoritas penonton masih tidak beranjak dari kursinya dan berteriak meminta encore, "We want more! We want more!". Beberapa menit kemudian, tiba-tiba David kembali muncul dari balik tirai dan duduk di bangku pianonya, spontan para penonton kembali berteriak histeris. Lampu kembali dimatikan dan ia memainkan sebuah melodi lagu selama kurang lebih sepuluh menit. Setelah itu, ia mengangkat tangannya, membungkuk mengucapkan terima kasih dan menghilang dari atas panggung. Lampu telah dinyalakan dan tampaknya sekarang konser telah benar-benar usai...

Sepulang dari Pacific Place, saya jelas-jelas tidak menyesal telah menghadiri konser David Foster walaupun sempat menggerutu di awal. Saya jadi mengerti mengapa David dengan sangat berani mengklaim dirinya sebagai "The Hit Man" mengingat semua karya-karyanya yang sudah langganan di Top Chart lagu-lagu dunia. Namun terlepas dari semua kebesaran yang ditorehkan David Foster, malam itu Charice-lah yang membuat saya sangat-sangat terkesan :-))

Senin, 30 Agustus 2010

One Odd Day

Hari Senin kelabu ini adalah salah satu hari teraneh di dalam hidup saya. Pagi hari untuk pertama kalinya mencoba naik Bus Transjakarta dari Sudirman ke Bundaran HI dan untuk pertama kalinya juga handphone saya dicopet! :-(

Alhasil saya harus pontang-panting pergi ke Gerai Indosat untuk memblokir nomor ponsel dan PIN BlackBerry, lebih melelahkan lagi saya harus mendatangi tiga Gerai Indosat di Sarinah, Mal Ambassador, dan Arta Graha hanya untuk mendapatkan stok SIM Card yang mereka punya. Namun di tengah saya pontang-panting dengan menaiki taksi, entah mengapa saya malah merasakan kesejukan dari keramahan dan rasa empati dua sopir taksi yang saya tumpangi saat saya berkeluh kesah tentang keapesan saya tersebut.

Sewaktu pulang malam harinya di areal parkiran kantor, lebih aneh lagi tiba-tiba saya berjumpa dengan seorang pria yang tidak tahu harus kemana akan pulang (sumpah, saya juga sama tidak percayanya dengan Anda waktu mendengar kata-kata pria tersebut). Ia mengaku baru seminggu bekerja di Jakarta dan menumpang di rumah Oomnya di daerah Cikarang. Entah bagaimana, Oomnya mendapat tugas ke Bogor dan tidak bisa menjemputnya dan ia bahkan tidak tahu jelas dimana alamat rumah Oomnya. Ajaibnya lagi, ia mengaku tidak punya sepeser uang, bahkan rekening tabungan di bank. Saya hanya bertanya-tanya, apakah pria ini punya motif untuk menipu saya?

Oke, secara logika ditambah dengan kondisi psikologis baru saja kehilangan handphone pagi harinya, saya berhak mengacuhkan pria aneh tersebut atau malah melempar urusan ini kepada satpam kantor. Namun entah mengapa, hati kecil saya merasakan iba kepadanya. Satu sisi di dalam diri saya ingin segera bergegas pergi saja mengatakan, "Sorry bro, it's not my business. I have my own problem, you know!". Namun di sisi lain, rasa kemanusiaan saya menyeruak dan menahan kaki saya untuk tetap diam di tempat.

Akhirnya, yah, sebutlah saya bodoh. Berbekal kartu namanya (dari kartu namanya, ia bekerja di salah satu kantor di Sampoerna Strategic Square sebagai Accounting), melihat sejenak KTP-nya dan kepercayaan buta, saya ikhlas meminjaminya uang agar ia bisa pulang ke daerah Cikarang dengan menggunakan taksi, meskipun saya masih ragu mengingat ia tetap mengatakan berulang kali tidak tahu jelas dimana alamat rumah Oomnya dan mengatakan mungkin akan turun di terminal. Ia berjanji, besok pada saat jam makan siang akan menjumpai saya bersama dengan Oomnya sembari mengembalikan uang yang saya pinjami tersebut. Saat saya menutup pintu taksinya, saya menjabat tangannya sejenak sembari berkata pelan, "Mas An**, meskipun saya baru tertimpa musibah, saya percaya dengan Anda dan semoga Tuhan melindungi Anda".

Ketika pulang, entah mengapa saya jadi bingung dan menangis sendiri di dalam mobil. Benar-benar satu hari yang aneh, tertimpa musibah kecopetan di pagi hari dan mendadak membantu seorang pria asing yang kebingungan di malam hari.

God, did You put me to the test? Tuhan, tolong berikan hikmat-Mu kepadaku...

Kamis, 05 Agustus 2010

The Effortless Effort


"In the future, everyone will be world famous for fifteen minutes." (Andy Warhol)
Belakangan ini semua orang tampaknya sedang kompak membicarakan topik yang sama, yaitu "Keong Racun". Konon bermula dari trending topic di Twitter, akhirnya "Keong Racun" merambah ke status-status di Facebook, Yahoo Messenger, BlackBerry Messenger, hingga lantas bergulir dari mulut ke mulut begitu cepat. "Keong Racun" di sini bukanlah hewan moluska yang mengandung racun, melainkan sebuah judul lagu dangdut koplo!

Bagaimana kisah awal mula popularitas "Keong Racun" yang membahana kemana-mana ini? Ternyata semuanya berawal dari keisengan dua gadis bernama Sinta dan Jojo yang coba-coba bernyanyi lip-sync membawakan lagu "Keong Racun" dan menguploadnya ke YouTube. Hasilnya luar biasa, dalam waktu singkat video live action-nya telah ditonton oleh ribuan orang dan dibicarakan di Twitter sehingga mendongkrak nama "Keong Racun" dalam trending topic. Berikutnya wabah "Keong Racun" menggelinding semakin besar seperti efek bola salju tanpa dapat dikendalikan lagi. Apa yang tampaknya menjadi trigger fenomena ini?

Lagu "Keong Racun" sebelumnya merupakan lagu dangdut koplo biasa yang hanya dikenal kalangan terbatas saja. Penciptanya dan penyanyi aslinya bahkan nyaris tidak pernah dikenal publik secara luas. Tetapi dua anak muda yang iseng berhasil menjadikan "Keong Racun" menjadi fenomena nyaris tanpa publikasi sama sekali. Ini menunjukkan bahwa di dunia Marketing 2.0, pola pikir tradisional yang menonjolkan kualitas produk semata tidak akan bisa berhasil. Resep kesuksesan "Keong Racun" di dunia Marketing 2.0 adalah lagu yang ear catchy dibawakan oleh dua gadis manis dengan gaya fun semau gue di YouTube, bisa ditonton gratis kapan pun, dan yang terpenting bisa di-share seru-seruan ke peer group. Dengan sendirinya orang-oranglah yang mengiklankan "Keong Racun" melalui file sharing ke teman-temannya sendiri. Mereka mau melakukan itu karena merasa bahwa yang dilakukannya bukanlah komersialisasi iklan. Bisa dibayangkan seandainya yang membawakan "Keong Racun" adalah penyanyi sekaliber Agnes Monica, tentu saja tidak akan ada banyak orang yang mau melakukan file sharing secara sukarela.

Semua unsur di atas terangkum manis di dalam satu nama: "Keong Racun". Sebuah nama yang aneh namun dengan cepat bertransformasi menjadi kosakata baru yang ajaib, mudah menempel di kepala dan tidak keluar-keluar. Dalam Public Relations, langkah pertama bila ingin mempopulerkan sesuatu, adalah dengan menciptakan kosakata baru yang berpotensi menggantikan kata kerja (contoh paling gampang: Googling dan Tweeting).

Impact dari fenomena "Keong Racun" ini sangat dahsyat! Sinta dan Jojo mendadak menjadi selebritis instan. Diliput acara televisi, diwawancarai, difoto, masuk ke artikel berita, bahkan hingga dikontrak oleh sebuah manajemen musik, barangkali adalah hal-hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bahkan diberitakan bahwa Rektor Universitas Pasundan sampai berniat memberikan beasiswa penuh kepada Jojo karena dianggap turut berjasa mempopulerkan nama universitasnya. Seakan masih kurang heboh, tiba-tiba muncul pula rekaman lagu "Keong Racun" di YouTube yang dibawakan oleh dua gadis bule!

Can you imagine the domino effect? Semuanya dimulai dari keisengan melalui YouTube, menggila di dunia Web 2.0 (Twitter, Facebook, YM, BBM), dan akhirnya meluas kemana-mana di dunia nyata. Peran Social Networking Sites dalam membentuk sebuah tren atau opini publik semakin nyata. Ini adalah tantangan sekaligus sebuah kemudahan sebenarnya bagi para pemasar untuk menjalankan strategi marketing. Bayangkan tanpa mengeluarkan biaya besar untuk periklanan tradisional, kita bisa menggunakan media sosial di internet sebagai corong publikasi secara efektif. Namun kelemahannya hanya satu, yaitu mencari trigger apakah yang mampu membuat orang-orang merasa memiliki keterlibatan emosional sehingga mereka akan rela menyebar-luaskan sebuah brand di internet karena merasa sebagai bagian dari identitas sebuah brand dan bukannya sebagai pengiklan gratisan.

Tidak selamanya peran media sosial di internet menjadi sesuatu yang positif bagi para produsen. Bila tidak diperlakukan dengan baik atau dikontrol dengan benar, media sosial di internet malah akan menjadi senjata bumerang yang sangat kejam. Nissin Wafers pernah mengalami hal tersebut. Melalui promosi fanpage Nissin Ngumpul Seru di Facebook, pihak Nissin melakukan blunder dengan menulis status yang seolah mengajak Facebookers menonton video porno Ariel sembari memakan Nissin Wafers. Alhasil hujatan pun menghujani wall Nissin di Facebook. Akhirnya Nissin meminta maaf namun berdalih ada seseorang yang telah meng-hack akun fanpage-nya di Facebook dan menulis status ngawur tersebut.

Web 2.0 seperti petir. Bila digunakan dan dikendalikan dengan benar, ia bisa menjadi listrik yang membantu kehidupan. Namun bila salah, ia bisa menyengat dan menghanguskan. Web 2.0 membantu menyebarkan sisi positif mengenai Anda atau juga sisi negatif tentang Anda dengan cepat (tentu saja lebih cepat tersebar segala sesuatu yang negatif). Teknologi 2.0 mengizinkan terjadinya interaksi dua arah antara produsen dan konsumen, tidak lagi satu arah top-down dari produsen ke konsumen semata.

Menciptakan Buzz Marketing sesungguhnya gampang-gampang susah. Gampang di awalnya namun sangat susah untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Contoh paling nyata adalah produk obat sakit kepala Dumin. Berbekal tantangan ambisius agar brand Dumin mampu menjadi bahan pembicaraan orang-orang dalam waktu singkat, agensi kreatif yang menaunginya memutuskan untuk menciptakan karakter fiktif bernama Ririn Dumin. Ririn dikisahkan sebagai perempuan atraktif yang supel, optimistis, ceria, dan bercita-cita menjadi seorang artis. Untuk itu ia rela mengikuti beragam audisi dan sering curhat mengenai kejadian sehari-harinya melalui video-video yang dipost ke YouTube. Supaya tampak nyata, Ririn pun juga memiliki akun di Facebook, Twitter, bahkan menempel selebaran-selebaran di pinggir jalan lengkap dengan nomor handphone yang tampaknya fiktif.

Impact telah berjalan. Orang-orang mulai membicarakan siapakah sebenarnya Ririn Dumin ini. Ada yang percaya bahwa ia benar-benar nyata, namun ada pula yang menuduhnya hanyalah akal-akalan produsen untuk berpromosi saja. Hingga akhirnya Ririn diceritakan berhasil dikontrak menjadi bintang utama di iklan pertamanya. Coba tebak apa iklan pertama Ririn? Anda benar, obat sakit kepala Dumin! Itu adalah iklan pertama Ririn dan tampaknya juga yang terakhir. Setelah penasaran itu terjawab, orang-orang dengan cepat melupakan nama "Dumin".

Meskipun fenomena "Keong Racun" adalah salah satu contoh Public Relations yang paling sukses dalam sekejap tetapi saya pribadi berpendapat bahwa fenomena "Keong Racun" ini bukanlah sebuah tren melainkan sebuah fad. Pada prinsipnya fad melejit dengan cepat namun juga kandas secepat lahirnya. Sedangkan tren meluas tidak secepat fad namun matinya juga perlahan-lahan. Secara gampang, bisa dikatakan bahwa fad adalah tren yang mati terlalu cepat. Kita lihat bersama saja, sampai kapankah fenomena "Keong Racun" akan bertahan?

Sabtu, 19 Juni 2010

Oceans


"Suatu hari, seorang anak lelaki yang melihat laut bertanya kepadaku, apa itu samudra?"

Film ini dibuka dengan kalimat pertanyaan tersebut. Seorang anak lelaki dengan pandangan polos penuh harap bertanya kepada seorang pria paruh baya di hadapannya. Pria itu lantas dengan penuh kebapakan mengantarnya masuk ke dalam dunia menakjubkan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Entah mengapa pertama kali saya membaca kalimat pembuka tersebut, saya jadi teringat kisah sastra "The Old Man and The Sea" milik Ernest Hemingway.

Oceans merupakan sebuah film dokumenter Perancis yang bercerita mengenai samudra dan kehidupan di dalamnya. Meskipun berjenis film dokumenter, namun Jacques Perrin dan Jacques Cluzaud menyajikan film ini dengan sangat menarik; terasa hidup, dramatis, dan membebaskan penonton dari segala interpretasi serta impresi yang menggurui. Film ini sebelumnya sudah diputar secara terbatas pada Festival Sinema Perancis 25 April lalu di Platinum XXI FX Plaza (sebenarnya Oceans memang dijadwalkan dirilis bertepatan dengan Earth Day 22 April di seluruh dunia). Sungguh beruntung akhirnya film ini diputar lagi untuk publik di bioskop 21 (meskipun hanya terbatas di bioskop-bioskop 21 tertentu saja) dan pada bulan Juni ini, akhirnya saya berkesempatan menontonnya!

Mahluk pertama yang hadir di film ini adalah seekor reptil yang memiliki kemampuan adaptasi yang mengagumkan, seekor iguana laut. Meskipun memiliki fisik yang serupa dengan iguana biasa, namun reptil ini mampu menyelam di lautan lepas sembari memakan rumput-rumput laut. Anda akan menyaksikan bagaimana reptil ini berenang mengibaskan ekornya dengan luwes, dan selama persekian detik saya merasa seperti menonton seekor monster prasejarah yang sedang berenang di lautan di sebuah film Hollywood. Kemudian di pesisir pantai, beberapa horse shoe crab terlihat mendarat dan berkumpul. Mereka adalah mahluk-mahluk bercangkang yang membuat Anda merasa mengunjungi kembali Bumi di awal zaman Pleistosen. Tetapi bagian terbaiknya adalah di saat narasi film ini bertutur bahwa prasangka kita selama ini bahwa kehidupan di alam selalu sama dan berulang-ulang tiap generasi adalah salah sebab perubahan datang begitu cepat. Kemudian tampaklah kumpulan iguana laut yang sontak merasa gugup saat di langit kejauhan terbit sesosok matahari yang terang dengan suara yang sangat menggetarkan diikuti kepulan debu raksasa. Sosok matahari itu pelan-pelan terus naik tinggi dan memperlihatkan wujud aslinya, sebuah roket milik peradaban cerdas.

Berikutnya serombongan ubur-ubur raksasa berwarna kuning mencolok terlihat beriringan menyeberangi lautan dengan ritme tubuh yang rileks seolah mereka semua telah memiliki kesepakatan telepatik untuk sampai di sebuah tempat tujuan yang sama. Kemudian sekumpulan ikan-ikan kecil dengan sisik-sisiknya yang berkilauan dengan koreografi yang indah bergantian membentuk beragam bentuk-bentuk yang mengagumkan. Dan sudah menjadi hal yang pasti bahwa sekumpulan spesies kecil akan selalu mengundang predator dalam jumlah banyak. Tiba-tiba seperti undangan yang sudah tersebar luas, sekawanan lumba-lumba dengan cicit riang berjumpalitan menyambar ikan-ikan tersebut, ikan sailfish membelah lautan dengan moncong tombak dan kecepatannya yang luar biasa, ikan-ikan pari yang melayang anggun, burung-burung camar yang terbang tinggi lalu menukik turun menyelam ke laut mematuk ikan-ikan, dan tak ketinggalan di sudut perburuan beberapa ikan hiu dengan langkah penuh percaya diri melahap ikan-ikan yang ada. Seperti sudah direncanakan sebagai pesta meriah yang menyenangkan semua tamu, paus bungkuk ikut berpartisipasi di tengah-tengah keramaian, dan akhirnya film ini menangkap sebuah pertunjukan utama yang spektakuler dari alam, di saat paus bungkuk ini menyibak ke atas permukaan lautan dan di sekelilingnya burung-burung camar seolah bergantian meluncur masuk ke lautan seperti sederet peluru yang ditembakkan secara berurutan, seolah menonton sebuah pertunjukan teater Broadway yang memukau!

Kita juga akan menelusuri keanekaragaman kehidupan di dalam lautan. Keajaiban yang memancar dalam spesies-spesies indah yang belum pernah kita saksikan sebelumnya. Mahluk-mahluk unik berwarna cerah mencolok atau pun bersirip luar biasa menakjubkan sehingga membuat mata kita seolah menyaksikan parade busana milik mahluk-mahluk bawah laut. Anda bahkan akan merasa tidak lagi berada di Bumi namun di sebuah planet asing saat menyaksikan gerombolan kepiting-kepiting yang merangkak dan bertumpuk-tumpuk di dasar samudra. Teman saya berkelakar bahwa mereka mengingatkannya pada mahluk-mahluk arachnida di film Starship Troopers.

Rasakan pula aura keagungan yang menyelubungi saat beberapa paus bungkuk (humpback whale) terlihat bergerak dengan penuh keanggunan. Dengarkan pula gaung suara-suara paus yang membahana, mengumandangkan kebijaksanaan kuno yang merasuk di setiap hati manusia yang mendengarkannya, membuat saya seperti merasakan bahwa mereka bukan hanya mahluk terrestrial namun juga mahluk spiritual.

Begitu pula dengan lumba-lumba yang selalu terlihat aktif dan ceria. Tatapan mata mereka yang cerdas disertai serentetan pulsa cicitan riang, mengesankan bahwa mereka adalah spesies yang mampu bersosialisasi dan mengenali eksistensi dirinya sendiri. Konon lumba-lumba merupakan spesies yang bahkan lebih cerdas dari simpanse. Tidak ketinggalan anjing laut, walrus, pinguin, dan beruang kutub juga ikut dihadirkan di dalam film ini.

Yang juga membuat saya merinding adalah saat film ini menangkap dengan begitu mendetail, lompatan seekor hiu putih raksasa (great white shark) yang menelan hidup-hidup seekor anjing laut di udara! Ketika anjing laut itu merasa frustasi tidak mampu meloloskan diri dari kejaran hiu, ia mencoba melompat ke udara untuk menyelamatkan diri namun ternyata seekor hiu putih raksasa juga mampu melompat ke udara sebaik anjing laut tersebut. Ada pula kisah mengenai kegigihan anak-anak penyu yang harus segera mencapai lautan lepas saat mereka baru saja menetas. Bila mereka berhenti sebentar saja, dengan segera burung-burung tanpa sungkan menyambar dan menjadikan mereka sebagai kudapan lezat.

Kehidupan di samudra lepas penuh warna sekaligus bahaya. Para predator berkeliaran dimana-mana dalam bentuk apa saja. Namun samudra belum pernah menghadapi musuh yang paling berbahaya dari semuanya sepanjang sejarah, yaitu kita, Homo sapiens. Peradaban modern semakin mencemari samudra dengan sampah-sampah sekaligus polusi yang mengalir deras dari arteri-arteri sungai, langsung menusuk menuju jantung samudra. Sebuah adegan terekam saat seekor anjing laut berenang di lautan dangkal yang penuh sampah, termasuk sampah berbentuk sebuah keranjang troli supermarket!

Di sebuah tempat di lautan, terdapat sebuah dinding panjang kokoh yang menghadang perkasa ombak-ombak samudra. Dinding-dinding yang terbuat dari jalinan jaring-jaring yang setiap harinya menjerat begitu banyak mahluk-mahluk indah di lautan. Bahkan seekor paus bungkuk pun tidak mampu melepaskan diri dari jerat tersebut. Mahluk-mahluk tersebut tidak dapat meloloskan diri. Semakin meronta-ronta, semakin erat mereka terjerat dan pelan-pelan kematian akan menghampiri memeluk mereka yang tertambat di antara jaring-jaring yang terbentang luas tersebut.

Perburuan adalah salah satu bagian dari dominasi manusia, beberapa di antaranya nyaris tidak bisa dibedakan dengan pembantaian. Terlihat saat kapal-kapal raksasa meluncurkan peluru-peluru harpun yang menusuk paus-paus malang sehingga lautan berbuih merah penuh darah. Demikian pula aksi pembantaian massal lumba-lumba di wilayah Taiji, Jepang (adegan ini diekspos secara mendetail di film dokumenter lainnya, The Cove). Tetapi adegan yang paling memilukan adalah saat beberapa nelayan berwajah oriental menangkap seekor ikan hiu biru (blue shark). Dengan cekatan mereka memotong semua sirip dan ekornya lantas melemparkan kembali hiu tersebut ke lautan dalam kondisi hidup-hidup! Hiu itu pelan-pelan tenggelam tak berdaya ke dasar lautan yang dingin. Mulutnya yang membuka-menutup seolah berteriak kesakitan tanpa suara dan matanya yang hitam bulat penuh seperti merefleksikan semua ketidaktahuannya mengapa ia harus dihukum seperti itu. Di Asia, sirip dan ekor hiu memang laris-manis menjadi makanan mahal dan bahan obat-obatan walaupun menurut penelitian sesungguhnya manfaat sirip dan tulang rawan hiu selama ini terlalu dilebih-lebihkan. Rasa lezat yang tersaji di santapan sirip ikan hiu sebenarnya tak lebih dari kaldu ayam yang menyertainya.

Film Oceans berusaha membuktikan bahwa sebenarnya manusia bisa hidup berdampingan dengan spesies-spesies lain. Sungguh mengagumkan melihat seorang penyelam berenang bersama seekor paus bungkuk. Manusia yang kecil dan terlihat rapuh di hadapan sesosok mahluk raksasa yang mempesona. Paus itu seakan mengerling dan membiarkan penyelam tersebut sedekat mungkin dengan dirinya, memamerkan aura kewibawaannya yang menyeruak keluar. Bahkan ada pula seorang penyelam yang berenang berdampingan dengan seekor ikan hiu biru! Predator tersebut bahkan seolah terlihat tidak menghiraukan kehadiran penyelam tersebut. Gambaran hiu di film-film Hollywood benar-benar terlalu berlebihan.

Sebagai mahluk yang paling cerdas sekaligus rakus, manusia adalah ancaman sekaligus harapan bagi alam. Banyak kepunahan spesies-spesies yang diakibatkan oleh kesembronoan manusia. Pria paruh baya itu bertanya kepada orang-orang yang tidak kelihatan di sebuah museum yang memajang ratusan koleksi hewan-hewan laut yang diawetkan, "Apakah kita akan membiarkan daftar kepunahan mahluk-mahluk ini terus berlanjut?" Pria itu lantas mengajak anak laki-laki itu menatap pemandangan samudra yang gemerlap penuh mahluk-mahluk eksotik yang berenang di dalamnya. Akankah keajaiban ini kelak harus kita saksikan terkungkung di sebuah akuarium kaca raksasa buatan manusia karena kita tidak mampu menjaganya di samudra lepas di luar sana?

Buat saya pribadi, duo Jacques menampilkan sebuah film dokumenter yang sangat indah sekaligus memukau mengenai samudra dan Bumi. Film ini ditampilkan dengan kualitas visual yang sangat baik, sinematografi yang menakjubkan, dan audio yang sangat jernih (Anda bahkan dapat mendengarkan suara penyu dan kecipak air dengan jelas) dan juga diiringi musik-musik orkestra yang menyenangkan. Saya pribadi sangat merekomendasikan film Oceans. Prenons soin de l'océan!