Sabtu, 04 Oktober 2008

Journey to The East (part 4 HK-Shenzhen)



Pada liburan lebaran selama seminggu kali ini, saya kembali berkesempatan untuk berpergian ke luar negeri. Kali ini benar-benar perjalanan yang istimewa, because this is my first trip to abroad, ALONE! Memang sih bukan berarti sama sekali sendirian seperti perjalanan para turis nekad 'backpacker', saya masih mengambil paket tur. Namun tetap saja kali ini semuanya terasa lebih challenging dan bebas, tentunya.

Semula saya tertarik dengan paket wisata ke Thailand, dengan eksotisme magis yang dimiliki Bangkok. Imajinasi saya sudah melayang menembus belantara Patpong yang menggoda, pesona Pattaya yang menggelora, dan Phuket yang menawan. Bahkan kecantikan perempuan-perempuan Thai yang unik yang konon merupakan campuran Asia Tenggara dan Asia Timur (pengecualian untuk para banci Thailand yang juga cantik), cukup ampuh menarik minat saya dari dahulu ;-) Tarif yang relatif murah serta jarak yang tidak terlalu jauh dari Indonesia juga menjadi nilai plus bagi saya. Sayang beribu sayang, kondisi sosial-politik Thailand saat itu sedang memanas dan sangat tidak stabil. Hampir tiap hari, ribuan orang turun ke jalan menuntut Perdana Menteri Samak Sundravej untuk mundur. Aksi People's Power ini dari hari ke hari makin membesar hingga puncaknya mereka sempat memboikot Bandara Phuket dan Kantor Perdana Menteri di Bangkok. Dapat dipastikan jaringan turisme di Thailand saat itu terganggu. Pada perkembangan selanjutnya, Samak Sundravej akhirnya dipecat oleh Mahkamah Konstitusi Thailand, dengan alasan yang konyol, karena menjadi host dalam acara memasak komersial di televisi!

Akhirnya dengan berat hati, pilihan saya alihkan ke paket tur Hong Kong-Shenzhen. Jujur buat saya, dari dua tujuan wisata ini, hanya Hong Kong yang menarik minat saya. Bekas koloni Inggris yang diserahkan kepada China di tahun 1997 ini lebih mempunyai nilai sejarah dan daya tarik dibanding Shenzhen. Sejarah lahirnya Hong Kong bermula dari Perang Candu (1839-1842) dimana Inggris melihat peluang besar dari perdagangan opium di China. Silau akan pundi-pundi uang yang kelak mengalir, Inggris memasukkan opium secara ilegal dari India ke Guangzhou. Selain ilegal, opium yang melimpah ini juga menyebabkan banyak rakyat Guangzhou menjadi pemalas dan pecandu. China pun gusar dan membakar gudang-gudang opium di Guangzhou. Sebaliknya Inggris pun berang dan berbalik mengobarkan perang kepada China! Karena persenjataan Inggris yang lebih baik, China mengalami kekalahan dan harus tunduk menandatangani Perjanjian Nanking (the Treaty of Nanking). Salah satu isi perjanjian itu adalah meminjamkan Hong Kong kepada Inggris selama 155 tahun hingga 1 Juli 1997 kelak.

Hong Kong pernah dikenal sebagai kawasan termaju di Asia Pasifik (selain Jepang, Korsel, dan Singapura tentunya). Tidak hanya untuk urusan bisnis, industri perfilman Hong Kong pun sangat terkenal dan mampu bersaing dengan perfilman Hollywood. Warga Hong Kong terlanjur larut lama dalam kenyamanan kapitalisme di bawah belaian Pemerintah Inggris, sehingga sangat wajar di saat mendekati tahun 1997, mayoritas warga Hong Kong bereaksi resah! Untuk mengambil simpati Hong Kong, Pemerintah China menawarkan otonomi pemerintahan khusus (Special Administrative Region) yang dikenal dengan istilah, "satu negara dua sistem". Kombinasi antara 150 tahun pengaruh kolonial Inggris dan 5000 tahun tradisi China kuno menjadikan Hong Kong begitu unik. Pada akhirnya justru kehebatan Hong Kong mampu disusul China yang terus melesat. Sementara selama ini, dibandingkan Hong Kong yang sudah sangat mendunia, Shenzhen hanya saya kenal melalui objek wisata miniatur-miniatur keajaiban dunianya saja.

Pada pagi hari jam 06.15, akhirnya dengan pesawat China Airlines, rombongan tur kami berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Hong Kong. Pesawat maskapai ini boleh dibilang sudah modern, karena memasang video passanger di masing-masing seat, dengan fitur yang sangat lengkap! Ada fasilitas musik, film-film terbaru, games, bahkan fasilitas iXplorer.

Perjalanan selama 4,5 jam jelas sangat membosankan bila hanya mendengarkan musik, karena itu saya mencoba menonton "The Happening", film thriller karya M. Shyamalan. Ide ceritanya sangat menarik, namun eksekusi filmnya terlihat berantakan. Kecewa dengan ekspektasi yang terlanjur tinggi, saya memilih film lain yang sudah terlihat 'ancur' sekalian, "You Don't Mess with the Zohan", yang dibintangi Adam Sandler. Film ini sangat kocak dan penuh dengan humor-humor seks yang vulgar (saya jadi membayangkan duet Borat-Zohan dalam satu film). Sementara fasilitas iXplorer ini sangat istimewa, karena mengizinkan penumpang untuk dapat melihat situasi di luar pesawat melalui video kamera eksternal. Visualnya ada dua macam, yaitu visual ke depan (dari hidung pesawat) dan visual ke bawah (dari badan pesawat).

Sesampainya di Hong Kong, pesawat mendarat di Bandara Internasional Chek Lap Kok sekitar jam 11 lebih. Bandara ini sungguh luar biasa karena dibangun di sebuah pulau artifisial hasil reklamasi yang dinamai Pulau Chek Lap Kok. Interior bandara ini tersusun atas jutaan kaca, sehingga pada siang hari, suasananya sangat terang. Saat ini, nama 'Bandara Chek Lap Kok' tidak lagi digunakan, dan diganti dengan nama 'Hong Kong Internasional Airport'. Di sini kami disambut oleh tour guide lokal Hong Kong yang cukup informatif tetapi sayangnya terlihat kaku. Langsung tanpa basa-basi kami menaiki bus untuk melanjutkan perjalanan ke Shenzhen selama kurang lebih 2 jam.

Perjalanan ini melintasi tol yang lebar dan lenggang (seperti jalan tol Jakarta-Bandung) dan Shenzhen Bay Bridge. Di tengah perjalanan, saya melihat banyak sekali Toyota Alphard dan Toyota Previa berlalu-lalang. Memasuki perbatasan antara Hong Kong dengan China, kami turun ke kantor imigrasi Hong Kong untuk menjalani pemeriksaan dokumen. Di sini kantornya terlihat agak kumuh, berbeda dengan image bandara Hong Kong yang megah (mungkin karena berada di perbatasan). Lepas dari kantor imigrasi Hong Kong, sekitar 15 menit, kami menjalani pemeriksaan lagi di Huanggang Port Entry Concourse, kantor imigrasi China (karena Shenzhen berada di bawah otoritas China). Di sini, pemeriksaan berjalan lebih ketat, dan kami disambut seorang tour guide lokal China yang lebih informatif dan ramah. Bahkan kemampuannya berbahasa Inggris saya nilai malah lebih baik daripada tour guide Hong Kong sendiri! Sudah menjadi rahasia umum bila orang China memang rata-rata kurang menguasai bahasa Inggris.

Kami akan segera memasuki Shenzhen, kota di Mainland China yang langsung berbatasan dengan wilayah Hong Kong. Mmm... apakah kali ini opini pertama saya mengenai Shenzhen ini benar? Bahwa Shenzhen tidak terlalu worthy untuk dikunjungi...?

Shenzhen: From Nothing to Something



Shenzhen merupakan sebuah kota modern yang baru terdengar mungkin sepuluh-lima belas tahun terakhir ini saja, bila dibandingkan dengan Guangzhou, Shanghai, ataupun Beijing. Kota ini berbatasan langsung dengan kawasan New Territories di bawah otoritas Pemerintah Hong Kong. Di zaman dulu, daerah Shenzhen sangat dijaga ketat karena banyaknya warga miskin China yang ingin lari ke Hong Kong untuk mencari pekerjaan. Kota ini terletak di provinsi Guangdong, daerah selatan China, sehingga beriklim tropis dan panas sepanjang tahun seperti Indonesia. Hampir semua penduduk Shenzhen selalu membangga-banggakan nama Deng Xiaoping.

Akhirnya tibalah kami memasuki Shenzhen, kesan pertama yang muncul adalah kota ini sudah terlihat modern! Gedung-gedung bertingkat dimana-mana, mobil-mobil mewah bersliweran (sebuah Ferrari terlihat diparkir di depan hotel kami), dan orang-orang yang berlalu-lalang terlihat mengenakan pakaian yang fashionable. Sepertinya Jakarta dan Surabaya saja masih kalah bila dibandingkan head to head dengan Shenzhen. Bahkan Gucci berani membuka toko 2 lantai di pinggir jalan! Kami diantar menuju Century Plaza Hotel, sebuah hotel berbintang 4 berlantai 22 di kawasan downtown. Kota ini terlihat seperti China dengan citarasa Hong Kong, karena banyak orang-orangnya yang berbicara bahasa Kong Hu. Di jalanan tidak terlihat sama sekali sepeda motor, bahkan jarang terlihat orang bersepeda (padahal China dikenal sebagai gudangnya sepeda). Ternyata ini merupakan kebijakan pemkot Shenzhen yang melarang sepeda motor untuk alasan ketertiban. Melihat kondisi Jakarta, rasanya alasan ini sangat bisa dibenarkan. Tetapi perlu diketahui, bus-bus umum di sana sangat nyaman dan relatif murah, sehingga orang tidak perlu membeli kendaraan pribadi (kecuali orang yang kaya).

Usai makan malam, tour guide menawari kami untuk berbelanja di Luo Hu, salah satu pusat perbelanjaan yang populer di Shenzhen. Namun di tengah-tengah citywalk menuju Luo Hu, tour guide lokal mendadak mengingatkan kami untuk menjaga barang baik-baik dan jangan keluyuran sendirian malam-malam (terutama para pria). Saya baru mengerti maksudnya setelah saya melihat dengan mata kepala sendiri, sangat banyak perempuan-perempuan muda dengan dandanan menarik berdiri di pinggir jalan, menatap setiap pria yang lewat dengan pandangan seribu arti. Bahkan mudah dijumpai tempat-tempat massage dengan seorang perempuan muda bergaun biru (ya, gaun!) berdiri di depan pintu sembari membawa handy talkie.

Memasuki Luo Hu, ternyata tempat ini sangat mirip dengan Xing Wang di Shanghai (hanya tidak seramai Xing Wang). Kalau di Indonesia, mirip dengan Mangga Dua atau Pasar Atum yang banyak menjual barang-barang branded aspal. Dimana-mana terlihat toko menjual tas, sandal, sepatu, arloji, dan aksesoris. Yang beda adalah rata-rata penjaga toko di sini merupakan cewek-cewek muda yang cantik dengan dandanan menarik! Namun yang membuat saya il-feel di tempat ini adalah, sangat banyak sekali orang Indonesia di Luo Hu! Bayangkan hampir tiap melangkah 3 toko, kita pasti akan mendapati orang berbahasa Indonesia! Mungkin Shenzhen memang tempat favorit orang Indonesia untuk berlibur dan berbelanja. Ada isu-isu negatif yang beredar bahwa beberapa penjual di Luo Hu sering memberikan kembalian uang palsu kepada pembeli yang tidak waspada. Di Shenzhen saat ini, bila kita berbelanja biasanya tidak diberikan kantong plastik, kecuali kita membelinya! Memang terkesan konyol, namun ini merupakan kebijakan yang ramah lingkungan untuk mengurangi limbah plastik.

Sepulang dari Luo Hu, saya semakin mendapati sisi lain wajah Shenzhen yang modern dan makmur. Di mana-mana banyak sekali orang-orang nongkrong di pinggir jalan, walau tidak separah seperti di Indonesia (fenomena ini hampir tidak ada di Beijing dan Shanghai). Bahkan yang membikin shock, salah satu rombongan tur kami sempat dicegat dua anak jalanan yang meminta kue yang dipegangnya. Yang bikin hati ini kecut adalah, salah satu anak jalanan itu adalah anak perempuan yang sangat cantik! Matanya besar, hidungnya mancung, dan kulitnya putih. Saya jadi mikir, apes bener dia lahir di China, coba kalau di Indonesia, pasti jadi rebutan banyak orang :-) Dalam perjalanan pulang ke hotel, perempuan-perempuan yang mangkal di pinggir jalan semakin banyak dan terlihat beberapa petugas keamanan (bukan polisi) yang berpatroli, hal ini menandakan bahwa Shenzhen pastilah punya banyak catatan kriminalitas (Di Shanghai dan Beijing saja jarang terlihat petugas keamanan). Seakan saling melengkapi, semakin larut malam, beberapa orang bahkan semakin agresif menawari jasa massage kepada sejumlah pria... duh, benar-benar Shenzhen Undercover! Namun overall, di jalanan Shenzhen sama sekali tidak terlihat gelandangan kumal, pengemis, ataupun polisi cepekan, seperti di Jakarta.

Besok paginya, tur kami mendapat tour guide lokal yang baru, seorang perempuan berusia 27 tahun. Dia bercerita konon karena ulah oknum-oknum yang menambah semarak malam Shenzhen itulah, mayoritas cewek-cewek muda Shenzen kini enggan dipanggil "Xiaocie", yang mempunyai arti 'nona'. Panggilan "Xiaocie" di Shenzhen ternyata bergeser menjadi negatif karena diidentikkan dengan image kupu-kupu malam. Untuk itu, mereka lebih suka dipanggil, "Liang Ni", yang artinya 'anak perempuan yang secantik bulan' ;-) Tour guide kami yang baru ini memperkenalkan diri dengan nama panggilan, Ancin. Bahasa Indonesianya sangat fasih dengan logat seperti Tionghoa Medan/Bangka kental, sehingga saya mengira ia memang berasal dari Medan/Bangka. Ternyata Ancin ini adalah orang China asli yang mengaku belajar bahasa Indonesia selama 2 tahun di Guangzhou! Sekarang ia bekerja sebagai tour guide lokal di Shenzen untuk melayani turis Indonesia. Salute, girl! Lucunya, Ancin dengan polos mengaku bahwa sampai saat ini ia belum pernah mengunjungi Indonesia :-)

Di hari kedua, kami diajak mengunjungi sebuah klinik herbal yang menyediakan layanan pemeriksaan kesehatan, lengkap dengan pemberian resep, peracikan dan pemberian obat-obat tradisional. Konon adik dari Megawati pernah berkunjung ke tempat ini untuk mengobati kencing manisnya. Selain itu, tempat ini juga menjual kain-kain sutera dan aksesoris-aksesoris perhiasan. Well, bagi saya kunjungan ke tempat ini sangat membosankan. Satu-satunya hal yang menarik bagi saya di tempat ini adalah ada beberapa pegawai yang mampu berbahasa Indonesia, bahkan banyak dari mereka mampu mengucapkan sepatah-dua patah kata-kata dalam bahasa Indonesia kepada calon pembeli. Berikutnya, kami mengunjungi sebuah pabrik sekaligus tempat penjualan batu giok yang konon di-support penuh oleh pemkot Shenzhen, yaitu Shenzhen Xingyu Mineral Museum. Bangunan luarnya terlihat usang dan meragukan, namun setelah melihat ke dalam ruangan, interiornya cukup mewah. Di sini lagi-lagi banyak pegawai yang mampu dan fasih berbahasa Indonesia! Kami diajari cara membedakan antara batu giok yang asli dengan imitasi dari warna, serat, dan bunyinya. Tidak hanya batu giok, tempat ini juga menjual teh unik khas Shenzen, yaitu teh leci. Para turis dilarang keras memotret di dalam klinik herbal dan pabrik batu giok ini karena kedua tempat ini dianggap sebagai aset pemerintah yang bersifat rahasia.

Pada hari ketiga, kami mengunjungi objek wisata paling terkenal di Shenzhen, Window of The World. Di bagian depannya, piramida kaca Louvre sudah menyambut kita. Di kejauhan terlihat Menara Eiffel dan Arch de Triomphe yang menjulang. Terlihat ramai sekali orang-orang saling berpotretan di sini. Window of The World merupakan miniatur-miniatur dari berbagai tempat paling terkenal di seluruh dunia! Ukuran replika yang paling besar di sini adalah Menara Eiffel. Replika-replika yang lain seperti, Kremlin, Colosseum, Air Terjun Niagara, Menara Pisa, bahkan Candi Borobudur, dapat Anda temukan di sini. Tempat wisata ini sangat luas sekali dan terlihat bersih serta aman. Sama sekali tidak ada calo di dalam (bahkan Forbidden City di Beijing pun masih kecolongan calo-calo berkeliaran). Namun kita dapat menaiki sebuah kereta untuk mengelilingi Window of The World dalam waktu 45 menit. Ancin berkelakar bahwa inilah kereta tercepat di dunia karena dapat mengelilingi seluruh dunia dalam waktu secepat itu :-)

Berikutnya kami mengunjungi China Folk Culture Villages. Semula saya cukup malas begitu tahu bahwa ini hanyalah taman miniatur objek-objek wisata di China (seperti TMII) yang juga menyuguhkan aksi tari-tarian. Namun begitu berkeliling di dalamnya, saya sungguh terkagum-kagum! Luas sekali dan di sana kita dapat melihat dan berinteraksi langsung dengan kehidupan suku-suku di China lengkap dengan pakaian dan bangunan khas tradisional mereka. Saya jadi
membayangkan andai Indonesia mampu mengemas keragaman budaya suku-sukunya sebaik ini. Berikutnya kami menonton sebuah teater di Impression Theater. Di acara ini, wisatawan dilarang memotret karena dianggap dapat merusak efek panggung acara. Seluruh acara telah direkam ke dalam VCD dan diperjualbelikan di stan khusus. Acaranya sendiri sungguh spektakuler! Ratusan pemain (mayoritas perempuan muda yang cantik) berpakaian sangat indah memainkan koreografi yang memukau, didukung efek-efek panggung yang sangat hebat untuk ukuran drama panggung di ruangan tertutup! Malamnya, kami diajak menonton teater lagi "Dancing with the Dragon and the Phoenix", kali ini diadakan di tempat khusus terbuka yang jauh lebih luas. Acaranya lebih hebat lagi karena menampilkan pemain yang lebih banyak dan efek-efek panggung yang sangat luar biasa. Very highly recommended!

Setelah berkeliling selama 3 hari di Shenzhen dan mendengar cerita-cerita dari Ancin, saya sungguh menghormati Shenzhen. Pandangan remeh saya terhadap kota ini di awal kedatangan mendadak sirna begitu saja. Bagaimana tidak, dulu Shenzhen merupakan kampung nelayan yang miskin dan kumuh. Hanya berselang 30 tahun kemudian, Shenzhen kini menjelma menjadi kota megapolitan yang sangat modern dan makmur! Semua ini bermula dari keberanian Deng Xiaoping yang menetapkan Shenzhen sebagai Special Economic Zone untuk mengimbangi kemapanan Hong Kong. Ancin mengutip kelakar Deng Xiaoping, bahwa janganlah kita mempersoalkan mana yang lebih baik antara kucing hitam (komunisme) atau kucing putih (kapitalisme), yang penting adalah kucing itu mampu menangkap tikus. Keputusan membuka Shenzhen bagi para investor ini sungguh revolusioner karena saat ini terbukti Shenzhen menjelma menjadi kota baru yang modern, nyaris tanpa sejarah sama sekali (selain sejarah sebagai kampung nelayan). Untuk menghormati jasa Deng Xiaoping, di Lotus Hill Park Shenzhen, dibangun patung Deng Xiaoping dari perunggu setinggi 6 meter.

Kini jumlah penduduk Shenzhen meningkat menjadi sekitar 7 juta jiwa, mayoritas warganya yang berusia muda merupakan kaum urban. Di Shenzhen juga ada anekdot populer yang menyatakan bahwa di kota ini perbandingan antara pria dan wanita mencapai 1:8, jadi di sini dapat dikatakan seorang pria bisa mencari pacar yang banyak ;-) Faktanya, perempuan-perempuan muda di Shenzhen sangat cantik dan pandai berdandan, sehingga konon banyak pria Hong Kong yang mencari istri atau sekadar plesiran ke Shenzhen.

Pada perjalanan berikutnya, kami akan segera mengunjungi Hong Kong! Jadi tidak sabar rasanya ingin menelusuri bekas koloni Inggris tersebut. Oya, di tanggal 1 Oktober ini kebetulan merupakan Hari Kemerdekaan Nasional China, namun di jalan-jalan situasinya tidak terlihat berbeda dengan hari-hari biasa selain bendera-bendera yang dikibarkan. Kalau Agustusan di Indonesia, pasti suasananya jauh lebih meriah.

Hong Kong: Live it. Love it!




Keesokan paginya kami kembali berkemas-kemas menuju Hong Kong. Setelah mengucapkan salam perpisahan dengan Ancin, kami menaiki bus menuju Shenzhen Bay Customs untuk kembali menjalani pemeriksaan imigrasi. Kali ini pemeriksaan hanya berlangsung di Shenzhen namun dilakukan dua kali (dokumen dan barang). Memasuki wilayah Hong Kong, kami langsung diantar menuju Royal Park Hotel. Hotel berbintang 4 di kawasan Shatin ini ternyata mempunyai jalan masuk yang langsung terhubung dengan New Town Plaza, sebuah shopping mall yang cukup megah (kesukaan turis Indonesia, hotel dekat dengan tempat shopping). Setelah melakukan check-in, rombongan segera berangkat ke Disneyland di Lantau Island. Perjalanan selama 1 jam ini melewati Tsing Ma Bridge yang sekilas terlihat seperti Golden Gate-nya Hong Kong.

Seorang dewasa dikenai admission ticket seharga 350 HKD. Namun harga itu saya rasa masih worthed untuk taman hiburan sekelas Disneyland. Memasuki taman hiburan ini, hanya ada satu kata: "WOW!" Sungguh sangat fantastis! Meskipun kata teman saya, masih kalah dengan Disneyland di Tokyo, tetapi paling tidak bila dibandingkan dengan Dufan sungguh seperti membandingkan antara lukisan Monalisa dengan lukisan anak SMP. Memasuki entrance, kita seakan memasuki sebuah kota tersendiri. Di arah kanan-kiri merupakan toko-toko souvenir khas Disney yang sengaja didesain menyerupai bangunan toko-toko di era Wild Wild West. Disneyland terlihat sangat bersih sekalipun para petugas cleaning service di sini sangat jarang terlihat. Bahkan daun-daun yang berjatuhan dari pohon pun tidak terlihat. Hampir 95% petugas di Disneyland Hong Kong merupakan anak-anak muda yang masih berusia twenty something.

Terbagi menjadi 4 area: Tomorrowland, Adventureland, Fantasyland, dan Main Street USA, kita dapat mencoba wahana-wahana yang tersebar di tempat itu. Saya sendiri tidak sempat mengunjungi semua wahana di sana, namun yang paling saya rekomendasikan adalah 'The Golden Mickeys' dan 'Mickey's PhilharMagic'. Sebenarnya ada satu atraksi lagi yang layak direkomendasikan, 'Festival of the Lion King', hanya sayang saya belum sempat memasuki atraksi tersebut karena antrinya sangat panjang. Bagi yang menyukai sensasi ketegangan dengan adrenalin tinggi, saya sarankan mencoba wahana 'Space Mountains', sebuah roller coaster yang menyusuri kegelapan galaksi lengkap dengan tikungan-tikungan tajam. Yang ingin merasakan asyiknya mengendarai mobil listrik yang nyaman dapat mencoba wahana 'Autopia', yang di-support oleh Honda. Bahkan di kawasan Tomorrowland, ada sebuah tong sampah robotik yang bisa berjalan sendiri sambil bersuara dalam bahasa Kong Hu.

Saat tengah hari, ada parade karakter-karakter Disney yang melewati tengah kota, disusul parade 'High School Musical' yang berulangkali meneriakkan, "Wildcats, let's go!" dan di malam harinya ada parade Halloween 'Nightmare Before Christmas' yang dipimpin karakter Jack Skellington yang duduk di buah labu besar, sangat keren! Puncak acara berlangsung sekitar pukul 20.00 di Main Street USA, dimana ribuan orang menyaksikan berlangsungnya atraksi fireworks yang sangat meriah selama kurang lebih setengah jam. Yang hebat seusai ribuan orang itu menyingkir, hanya sedikit sekali sampah yang tertinggal. Kalau di Indonesia mungkin sudah banyak sekali sampah-sampah yang berserakan.

Pulang ke hotel, badan terasa lelah semua meski hati merasa senang dan puas :-) Hari keempat di Hong Kong, rombongan tur diberikan hari bebas untuk berpergian ke mana saja. Di hari ini saya menemui saudara ayah yang berdomisili di Hong Kong. Karena bingung tidak tahu mau ke mana, saya menurut saja waktu diajak pergi ke kawasan kota di Hong Kong Island. Menaiki double decker bus (jadi ingat seperti bus Ksatria di Harry Potter), perjalanan ke kota memakan waktu sekitar 45 menit. Sesampainya di kawasan Central, wow sungguh Hong Kong merupakan surga belanja bagi para turis! Di kanan-kiri semuanya toko berkelas dan banyak orang berlalu-lalang di sana-sini. Saya lalu diajak menaiki sebuah trem yang bertarif murah (jauh-dekat cuma 2 HKD). Sayangnya karena murah, maka kita harus mau berdesak-desakan ria dengan penumpang lain, untungnya tidak ada copet di sini :-)

Melewati Wan Chai, kemudian kami turun di kawasan Causeway Bay. Di sini juga sangat penuh dengan toko-toko, shopping mall, dan orang berlalu-lalang. Jalan-jalan di daerah ini cukup sempit namun tidak macet. Uniknya di pinggir toko-toko high class tersebut, terdapat beberapa jalan kecil yang berjubel dengan dagangan kaki lima. Mereka umumnya menjual pakaian, tas, sepatu non-branded dengan harga murah. Susah mencari barang bajakan di Hong Kong. Di daerah Causeway Bay ini saya menjumpai restoran "Sedap Gurih" yang menjual masakan-masakan khas Indonesia. Bahkan di sebelahnya terdapat supermarket "Chandra" yang menjual beragam produk-produk dari tanah air. Kata Oom saya tersebut, di kawasan dekat Victoria Park ini bila hari Minggu, sangat banyak TKW Indonesia yang berjubel, sehingga orang Hong Kong menyebutnya dengan "Xiao Yin Ni" (Indonesia Mini).

Setelah menjelang malam, kami memutuskan untuk pulang menaiki subway train menuju Shatin lalu beristirahat di hotel. Besok paginya di hari terakhir, saya memutuskan untuk berkeliling membelanjakan sisa uang HKD di New Town Plaza. Karena jadwal check-out hotel adalah pukul 12.00, maka seusai breakfast jam 09.00, segera saya melangkahkan kaki menuju mall tersebut. Di waktu sepagi itu, tentu saja hampir semua toko masih tutup dan barulah sekitar jam 10.00, beberapa pegawai mulai datang membuka toko dan membersihkan interior. Untungnya masih keburu membeli beberapa barang dan kembali ke hotel sebelum jam 12.00 :-)

Setelah semua peserta tur berkumpul, segera kami menaiki bus menuju Hong Kong International Airport, yang juga terletak di kawasan Lantau Island. Karena masih ada waktu sekitar 2 jam sebelum boarding, kembali rombongan tur diberikan waktu untuk berbelanja. Di airport ini cukup banyak tersedia toko-toko yang menarik, seperti Hong Kong Disneyland shop, Giordano, dan Toys R Us. Bahkan toko-toko branded sekelas Prada, Bvlgari, dan Chanel juga ada di sini. Berbeda sekali dengan toko-toko di Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang terlihat suram dan usang.

Setelah menempuh waktu sekitar 4,5 jam, akhirnya pesawat China Airlines yang kami tumpangi mendarat di Soekarno-Hatta. Benar saja, kekisruhan dan kelambanan khas Indonesia langsung nyata terasa di tempat ini. Bayangkan untuk pengambilan bagasi saja, diperlukan waktu selama lebih dari 1 jam. Bahkan troli-troli untuk penumpang pun semuanya sudah ada di tangan petugas-petugas bandara yang siap 'membantu' meringankan beban bawaan. Barulah sekitar 45 menit kemudian, beberapa staf mulai menyediakan troli kosong. Belum lagi begitu keluar ke arrival area, beberapa calo langsung menyambut dan menawarkan jasa taksi dan telepon dengan gigih. Cerita suram Indonesia masih berlanjut, di luar beberapa sopir taksi tanpa seragam langsung tanpa basa-basi menawari taksi non argometer dengan harga yang ngawur! Benarlah kata orang bahwa kondisi airport sebuah negara menunjukkan wajah bangsa itu sendiri.

Parahnya kemudian seorang wanita berseragam membawa catatan (saya jadi mengira ia petugas resmi) menghampiri saya dan menawari jasa taksi, sehingga saya iyakan. Ternyata kemudian ia malah juga mengajukan penawaran tarif taksi borongan yang cuma lebih murah dari penawaran sopir taksi liar yang pertama. Karena saya sudah lelah, akhirnya penawaran itu saya iyakan. Eh, ternyata masih ada lagi seorang pria yang dengan sopan membukakan pintu taksi buat saya lalu tanpa sungkan menagih tipping seharga 10 ribu Rupiah!

Klimaks cerita ini berakhir saat di dalam perjalanan, mendadak si sopir taksi menawarkan tarif yang lebih tinggi lalu mematikan argometer. Setelah tawar-menawar ala Indonesia, akhirnya si sopir bersedia menurunkan tarif sebesar 10%. Sepertinya mereka semua saling bekerjasama untuk berbagi komisi. Padahal taksi Royal City yang saya tumpangi ini berlabel taksi resmi Bandara Soekarno-Hatta, I really miss Blue Bird Taxi! Betapa malunya saya kembali ke Indonesia langsung mengalami kisah seperti ini. Saya jadi membayangkan bila sang penumpang adalah turis bule, tentu parasit-parasit seperti ini akan lebih agresif lagi. Inilah yang membuat mengapa republik ini tidak pernah maju pesat, karena banyaknya korupsi dan kolusi di mana-mana. Mungkin Indonesia membutuhkan seorang Deng Xiaoping yang berani, tegas, revolusioner, dan jenius untuk menjadi sosok pemimpin, sehingga mampu mengangkat perekonomian negara ini seperti beliau menyulap perekonomian Shenzhen.

Minggu, 03 Agustus 2008

"Enjoy Jakarta" (Case of Citizen Journalism)


Slogan "Enjoy Jakarta" tentu sudah sangat familiar di telinga warga ibukota, seiring dengan antusiasme Pemkot DKI Jakarta untuk menjadikan Jakarta Raya sebagai salah satu tujuan wisata favorit kepada turis-turis asing yang selama ini hanya tersedot ke Bali semata. Positioning sebagai kota megapolitan yang modern, surga belanja (peluncuran Jakarta Great Sale yang diharapkan mampu mengganyang Great Singapore Sale), wahana-wahana wisata modern (Ancol/Dufan/TMII), kota dengan sentuhan multikultur (Betawi, Portugis, Belanda, Arab, dan Tiongkok), hingga kampanye 'Djakarta Tempo Doeloe' ala Batavia dan Sunda Kelapa. Belum lagi magnet wisata non-official di pinggiran jalan saat malam hari, ekstrim kuliner! Mulai dari sate biawak, sate kuda, daging ular, hingga sajian otak monyet ikut meramaikan hiruk-pikuk daya jual Jakarta.

Namun hingar-bingar makna "Enjoy Jakarta" itu hanya bisa kita resapi saat kita mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan modern. Mal-mal pada era saat ini telah menjelma menjadi 'Katredal Baru' bagi banyak orang Jakarta dengan ritualnya melestarikan konsumerisme. Memang kecintaan masyarakat terhadap mal bukannya tanpa alasan. Hanya di dalam mal, kita mendapatkan kenyamanan dan kemewahan. Sejuknya AC, harumnya pengharum udara yang khas, eskalator yang setia mengantar langkah kita, serta produk-produk yang memanjakan mata, membuat para jemaat 'Katredal Baru' ini seakan merasa berdosa bila tidak mengunjunginya tiap kali ada waktu senggang dalam jadwal mereka. Bila kebetulan rezeki belum mencukupi, window shopping pun tak jadi soal, yang penting keteduhan hati didapatkan dengan berjalan-jalan di mal. Kondisi ini didukung dengan sangat minimnya tersedia tempat-tempat hiburan publik lainnya yang layak, sehingga pilihan pun lagi-lagi jatuh pada pusat perbelanjaan kapitalis. Menikmati frappuccino Starbucks di area terbuka Senayan City, lengkap dengan jari-jari menari lincah di atas laptop dengan koneksi internet hot-spot, jelas lebih menggiurkan daripada berjalan-jalan di taman-taman kota yang remang-remang tak terawat.

Di luar koridor mal-mal yang nyaman tersebut, kita hanya bisa menemukan nestapa ibukota. Panas terik yang menghujam bumi, antrian panjang mesin-mesin transportasi yang memaksa para pemiliknya menjadi tua di jalanan, udara yang terkontaminasi karbon monoksida, gema sumpah-serapah yang bersahut-sahutan, dan ajang gagah-gagahan para preman ibukota, seakan melengkapi gedung-gedung tinggi Jakarta yang kelam tak bernyawa. Di kota inilah setiap wajah seakan saling berhimpitan memperebutkan selembar Rupiah. Sesuap nasi, seteguk air, dan susu untuk anak, adalah doktrin yang sangat efektif untuk membangkitkan naluri memerintah tubuh dan menyingkirkan nurani serta cinta. Para pujangga menyebut kondisi ini sebagai 'Neraka Jahanam Kecil di tengah-tengah Surgaloka Gemah Ripah Loh Jinawi".

Di jalanan, semua manusia seakan-akan berpacu dengan bayangan mereka sendiri. Tak heran lampu lalu-lintas (traffic light) seperti hanyalah sebuah mesin tua usang yang tak berwibawa di hadapan sepeda motor, bus umum, bajaj, dan metromini. Kehadiran busway yang diharapkan menjadi penyelamat tragedi kemacetan, ternyata hanya menambah keruwetan lalu lintas karena menghilangkan satu lajur dari tiga lajur jalan sebelumnya. Dua lajur tersisa tentu saja tak kuasa menahan gempuran mesin-mesin perang jalanan yang jumlahnya masih tetap. Seorang pejabat tinggi berdalih justru kondisi dua lajur yang penuh-sesak itulah yang diharapkan dapat memaksa warga ibukota segera beralih kepada busway. Namun ia mungkin lupa bahwa akses rute busway belum menyentuh setiap sudut Jakarta. Sedangkan kondisi transportasi publik lainnya masih sangat memprihatinkan. Pantas warga Jakarta enggan turun dari atas singasana nyaman kendaraan pribadi mereka, meski terus kesal di jalanan luar sana.

Menyadari bahwa busway tidak akan mampu mengemban misi melelehkan kemacetan akut sendirian, Pemkot Jakarta kembali menelurkan gagasan ambisius, proyek monorel. Transportasi publik ini diharapkan hanyalah awal dari sistem Mass Rapid Transport yang akan dikembangkan seluruhnya kelak. Suara-suara optimis yang mengatakan bahwa kota sebesar Jakarta sudah sepantasnya mempunyai subway train, semakin bergaung. Gaung yang hanya akan menabrak dinding sia-sia bila kita melihat keterbatasan lahan dan biaya yang jelas sangat fantastis, meskipun memang kebutuhan akan MRT sudah sangat mendesak. Dan saat ini kita dapat melihat sisa-sisa gaung optimisme tersebut melalui tiang-tiang monorel yang hanya berdiri bisu menunggu entah sampai kapan diselesaikan. Tiang-tiang itu seperti coretan-coretan angkuh vandalisme yang menghiasi kanvas lukisan paronama kota. Dapat dibayangkan bila proyek subway train harus mengalami kondisi serupa, terowongan yang telah digali berkilo-kilometer harus resah menunggu penyelesaian proyek. Dapat dipastikan Jakarta akan mempunyai wisma penampungan para pemulung dan gelandangan terpanjang di dunia!

Pemkot Jakarta memutar otak untuk mencari cara lain mengurangi volume kendaraan pribadi di jalan-jalan. Lahirlah Peraturan Daerah tentang Kawasan Pengendalian Lalu Lintas di jalan-jalan tertentu yang mewajibkan tiap kendaraan pribadi memuat sedikitnya 3 orang (Three in One). Aturan baru ini semula memberatkan para pengguna mobil pribadi yang sebelumnya bebas berlalu-lalang sendirian. Pada akhirnya, sesuai hukum ekonomi, every demand has its supply, muncullah para pahlawan-pahlawan tak bernama di pinggiran jalan protokol. Mereka selalu datang dan menghilang tepat waktu (07.00-10.00 dan 16.30-19.00) dan hanya diketahui dengan panggilan populer, Joki 3 in 1. Sebuah lahan bisnis baru mutualis yang menghadirkan kreativitas khas Indonesia.

Semula kemunculan para joki ini mungkin bermula dari tawaran spontan pengendara-pengendara mobil yang terdesak harus melewati kawasan 3 in 1. Begitu menjalani aktivitas ini, mendadak mereka mendapat sebuah pencerahan! "Naik mobil gratis trus dikasih duit, coi!", demikian mungkin isi kampanye yang tersebar. Akhirnya bisnis ini berjalan sangat pesat melalui komunikasi pemasaran word of mouth tersebut. Bila semula hanya tersedia 3-4 para joki yang menjajakan absensi raganya, kini sepanjang jalan 2 kilometer, tersedia sekitar 100 joki yang sigap memenuhi permintaan pasar. Suplai yang diajukan pun sangat bervariasi, mulai dari pria berpakaian rapi ala pekerja kantoran, anak-anak jalanan yang kumuh, ibu-ibu yang menggendong bayi (paket hemat including 2 persons in one-take), para pelajar berseragam, perempuan muda yang mengerling penuh makna, hingga cowok-cowok muda yang berdandan gaul (mungkin mengharapkan pengendara mobilnya cewek cantik, seksi, kaya, dan single). Namun tentu selalu ada cerita pahit di balik warna-warni kocak penampilan para joki tersebut. Seperti kisah joki kecil bernama Aisah yang masih berusia 7 tahun dan sudah merasakan kerasnya berjuang di jalanan Jakarta mencari lembaran Rupiah. Celoteh polos Aisah dan kawan-kawannya mungkin hanya akan menjadi kenangan masa lalu bila Pemkot Jakarta jadi mengadopsi sistem Electronic Road Pricing, seperti di Singapura, untuk menggantikan sistem 3 in 1.

Jakarta juga menyimpan album potret buram mengenai eksploitasi pekerja anak di bawah umur. Mungkin mata kita telah bosan selalu mendapati pemandangan gadis kecil berusia sekitar 8 tahun, menggendong adiknya yang balita di tengah-tengah lampu merah, mengadahkan tangannya sekadar meminta sekeping-dua keping logam. Namun puncak tumpahnya air mata nurani adalah saat menyimak cerita polos dari Robiatul, remaja lugu dari desa, berusia 16 tahun yang harus menjalani profesi menjadi sexy dancer di sebuah klub malam, berlenggak-lenggok memuaskan mata-mata biadab setiap malam tiba, kemudian pasrah menyerahkan kehangatan tubuh belianya memudar di atas ranjang lusuh, setelah sebuah jari milik binatang bertopeng manusia menunjuk dirinya untuk menemani.

Inilah realita hitam yang selalu setia mengintip di balik tiap tarikan nafas kita di ibukota. Di saat banyak orang yang harus menjual harga dirinya demi menyambung nyawa, tersiar kabar pernikahan seorang gadis cantik keponakan orang terkaya di republik ini, yang menghabiskan total biaya 10 Milyar Rupiah. Di saat ada seorang ibu yang frustasi membunuh bayinya sendiri akibat kelaparan, jumlah keanggotaan Klub Ferrari Indonesia semakin meningkat. Mungkin memang sisi kemanusiaan manusia Indonesia perlahan semakin terkikis ombak modernisasi dan hedonisme.

Saya memang bukan warga asli Jakarta. Jujur, saya mengalami cultural shock saat pertama kali harus hidup sendirian di bumi ibukota. Semuanya serba kacau dan egois, seakan keramahan khas nusantara hanyalah mitos antah-berantah. Meskipun begitu, Jakarta tetaplah merupakan tumpukan gula raksasa yang manis bagi semut-semut pendatang untuk berkoloni. Sudah sering kita mendengar ungkapan, "Ibukota lebih kejam dari ibu tiri", tetapi kaum urban dari pelosok tanah air tetap berduyun-duyun memasuki rimba belantara megapolitan membawa sejuta asa dan harapan masing-masing. Mungkin ada yang salah dengan konsep pembangunan di republik ini, sehingga semuanya harus tumpah-ruah meluber di Jakarta.

Apakah Anda juga merindukan sebuah kota yang megah dan modern namun menebarkan pesona keramahan yang manusiawi kepada setiap orang? Apa boleh buat, Jakarta sudah seperti ini, perlu kesadaran tingkat tinggi dari semua pihak untuk membenahi Jakarta bersama-sama. "Enjoy Jakarta, Mister! Enjoy your walking-walking, Madam! Let's give Jakarte to the expert!" :-)


Senin, 14 Juli 2008

Drama Serengeti





Sebuah drama kolosal telah dimainkan di atas panggung berhektar-hektar luasnya, didukung oleh ratusan pemain utama dan figuran, serta telah berlangsung selama jutaan tahun bahkan sebelum manusia pertama berdiri di atas dua kaki. Drama itu dapat kita saksikan selama 24 jam penuh di Serengeti, Afrika.

Serengeti merupakan padang rumput seluas 14.763 km persegi yang berstatus sebagai Taman Nasional dan telah ditetapkan UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Site). Di era kapitalisme modern, Pemerintah Tanzania memutuskan untuk mempromosikan Taman Nasional Serengeti sebagai one of the best tourist destinations di Afrika. Serengeti kini menjadi sumber pemasukan yang mewah bagi Tanzania dari dompet turis-turis kaya. Selain dihuni spesies-spesies yang menakjubkan, Serengeti juga menjadi tempat tinggal bagi Suku Maasai, suku prajurit tradisional Afrika yang legendaris. Rekaman video orang Eropa dari awal abad 20, memperlihatkan kehebatan dan kerapian kerjasama mereka dalam memburu singa.

Di atas panggung teatrikal inilah, alam menunjukkan keagungannya. Persaingan keras yang berasal dari insting setiap mahluk untuk bertahan hidup. Sabda Darwin bahwa yang kuat akan terus hidup, yang lemah tersingkir (survival of the fittest), menjadi hukum mutlak. Sejarah peradaban manusia selama ribuan tahun seakan hanya menjadi kepingan kecil, nyaris tidak berarti, dari sebuah puzzle raksasa utuh keperkasaan alam.

Berbagai skenario yang telah dipersiapkan alam, semuanya mampu mengaduk-aduk emosi manusia yang menyaksikannya. Mayoritas bayi herbivora yang baru dilahirkan akan berusaha berdiri dan berjalan mengikuti induknya. Bayi yang bahkan baru saja menatap warna dunia, merasakan ketatnya peraturan drama Serengeti. Ia berusaha berdiri dengan tubuh gemetar dan sesekali terjatuh. Induk di sampingnya terus memberi semangat dengan berusaha mendorongnya bangun. Sang induk menyadari bahwa dua nyawa sedang dipertaruhkan di atas bom waktu yang terus berjalan. Bayi yang masih lemah merupakan sasaran lezat para predator, karenanya mereka harus cepat menyingkir. Bila bayi tersebut masih tetap kesulitan melangkah, sang induk dengan berat hati akan meninggalkannya. Dan tidak lama kemudian, seekor predator dengan menyeringai akan menjumpai sebuah makanan lezat di atas nampan perak, seekor bayi herbivora yang tidak mampu melawan dan hanya bisa memanggil sang ibu dengan sia-sia.

Suatu saat tampak pula seekor bayi gajah berjalan sendirian di padang rumput luas. Kita hanya bisa menduga bahwa bayi gajah tersebut tersesat dari induknya. Gajah Afrika (Loxodonta africana)dikenal hidup dalam kelompok yang besar dan mengenal sistem hierarki dalam kepemimpinannya. Bayi gajah itu mengembara, berjalan jauh, mengendus-endus pepohonan, mencari-cari bau induknya. Sesekali insting kanak-kanaknya muncul mengambil alih kecemasannya, ia tampak senang bermain air tatkala menemukan sebuah sungai. Tiba-tiba seolah Dewi Fortuna datang membelainya, muncul sekelompok gajah mendatangi sungai tersebut. Bayi gajah itu sontak menghentikan permainannya dan mendatangi kawanan tersebut dengan harapan cerah. Di sinilah wajah lembut Dewi Fortuna mendadak berubah seakan tertawa meledek saat bayi gajah tersebut ditolak mentah-mentah! Nyata bahwa mereka bukanlah kelompok dari induk bayi gajah malang itu.

Ini sangat mengejutkan karena gajah dikenal mempunyai kehidupan sosial yang tinggi. Gajah biasanya akan menunjukkan solidaritasnya saat menemui gajah lain yang terluka atau tersesat. Bayi gajah itu pantang menyerah, ia menghampiri satu per satu gajah betina dalam kelompok tersebut. Reaksi yang didapatkan adalah kasar dan cenderung brutal, gajah-gajah dewasa itu menghalau si bayi dengan belalai besarnya. Bahkan salah satu dari mereka nyaris marah menginjak si bayi yang terus mengikuti. Padahal beberapa dari gajah betina tersebut juga mempunyai bayi yang seumur. Harapan semula bahwa bayi itu akan diadopsi menjadi surut, bahkan hilang sama sekali saat matahari mulai turun ke tempat peraduannya. Senja beranjak malam dan bayi itu telah kelelahan baru saja menghadapi penolakan kasar dari kaumnya sendiri. Cerita ditutup saat bayi gajah tersebut dikepung oleh sekelompok hyena yang tertawa-tawa eksentrik. Bayi gajah yang bisa berjalan tidaklah selemah bayi herbivora yang hanya bisa memanggil-manggil pasrah ibunya. Tetapi kerjasama hyena dewasa ditambah faktor kelelahan membuat Dewi Kematian datang menjemputnya dalam waktu 15 menit.

Seekor induk jackal (Canis auerus) terlihat panik dan frustasi saat memergoki seekor ular python (Python sebae) dewasa menutupi lubang masuk terowongan sarangnya. Sebuah kepanikan yang sangat beralasan karena di dalam sarang itu terdapat 4 ekor anaknya. Induk jackal itu mencoba mengusir dan menarik perhatian python tersebut. Tetapi obsesi reptil yang mampu berukuran sepanjang 4-5 meter ini sudah tidak dapat dihentikan siapa pun. Jackal betina itu hanya lemas tak berdaya mengawasi kepala ular raksasa itu menyusup masuk dan menyantap mereka. Namun python itu masih memiliki kemurahan hati karena ia hanya mengambil seekor anaknya lalu pergi menjauh. Ular itu bisa menelan habis 4 ekor anaknya bila ia mau. Induk jackal itu kemudian segera datang menjemput 3 ekor anaknya yang tersisa dan membawanya ke sarang baru. Besar kemungkinan sang python akan datang lagi kelak.

Tidak hanya tema "Kesedihan" yang dimainkan di atas panggung Serengeti. Ada pula tema "Kejayaan" yang diusung. Kejayaan dipuisikan saat kelompok singa betina berburu zebra (Equus burchelli) atau wildebeest (Connochaetes taurinus). Kerjasama yang rapi dengan serangan kuat seketika seperti tank, menjadi kebanggaan para singa. Semua serangan mengikuti satu prosedur: "Jatuhkan mangsa dan gigit kuat-kuat lehernya." Gigitan singa dewasa mampu mematahkan tulang leher herbivora dewasa. Kalaupun tulang leher itu tidak patah, kematian akan tetap datang saat gigitan itu meremas kerongkongan, memotong akses jalur respirasi dari dan ke dalam paru-paru.

Namun singa (Panthera leo) pun bukan aktor berjiwa koleris yang terus-terusan mendominasi skenario cerita. Singa mempunyai musuh bebuyutan, yaitu hyena (Crocuta crocuta). Mereka adalah predator berpenampilan seperti anjing yang berjiwa oportunistis. Hyena tidak peduli sekalipun para audiens mencemooh peran mereka yang pengecut. Mereka sangat jarang berburu sendirian, cenderung menyerang mangsa yang lemah atau terluka, dan sangat sering merampas makanan predator lain tanpa sungkan. Tetapi reputasi pengecut inilah yang membuat hyena mampu bertahan sampai detik ini bahkan mampu membuat para singa berpikir dua kali bila berurusan dengan hyena.

Saat para singa berpesta-pora menyantap hidangan, hampir pasti serombongan tamu tak diundang akan segera tiba. Sembari mengamati kerakusan para singa, hyena-hyena mulai melancarkan intimidasi. Singa yang terprovokasi mungkin akan mencoba menyerang atau menakuti-nakuti hyena. Tetapi hyena bukan aktor drama amatiran yang akan takut menghadapi gertak sambal. Mereka secara perlahan justru semakin nekad mengintimidasi hingga para singa memilih keputusan bijaksana.

Korban intrik hyena bukan hanya singa. Macan tutul (Panthera pardus) dan Citah (Acinonyx jubatus) juga mempunyai dendam yang sama terhadap mereka. Namun dari ketiga spesies kucing besar ini, hanya macan tutul yang mampu menemukan solusi cerdik. Setelah berhasil menyergap impala (Aepyceros melampus), macan tutul akan menyeretnya naik ke atas pohon. Ini dilakukan supaya stok makanan dapat tersimpan aman sebab hyena tidak dapat naik merebutnya. Namun pada kasus tertentu, singa yang diselimuti rasa lapar dapat terdorong memanjat pohon untuk merebut mangsa macan tutul. Anehnya, singa tampak lebih kesulitan saat menuruni pohon daripada saat menaiki. Beberapa pengamat berasumsi singa kehilangan kemampuannya menaiki pohon karena merasa bahwa kemampuan itu tidak lagi diperlukan untuk memburu mangsa.

Citah mendapat peran yang lebih mengenaskan daripada para sepupunya. Mempunyai reputasi hebat sebagai mahluk bumi tercepat untuk berlari sprint dengan kecepatan puncak 110 km/jam, mereka paling tidak berdaya mempertahankan mangsa. Seusai membunuh seekor Gazelle (Gazella thomsonii), citah harus menyantap mangsanya secepat mungkin dengan napas masih tersengal-sengal. Sebab hampir selalu, lagi-lagi hyena atau bahkan singa akan segera tiba begitu mendeteksi aroma pembunuhan. Citah merupakan satu-satunya keluarga kucing besar yang mengeluarkan suara mirip seperti kicauan daripada geraman. Kecepatan citah yang menggagumkan ternyata juga mempunyai kelemahan. Akselerasi hanya berlaku untuk perburuan dalam jarak dekat, tidak untuk perburuan jarak jauh. Karena itu dalam berburu, citah pasti akan mengintai sasaran dan bergerak mendekatinya hingga masuk dalam jangkauan akselerasinya. Para ilmuwan berspekulasi bila citah terus mempertahankan kecepatan tinggi melewati batas jangkauannya, jantung citah akan meledak akibat terpacu keras memompa darah berlebihan.

Tetapi alam juga menyimpan naskah cerita dengan tema "Keadilan". Berperan sebagai para predator tidak berarti mereka selalu berada di atas otoritas. Terkadang mereka juga harus menjiwai makna ketakutan, kepanikan, dan duka cita. Dalam banyak sejarah, seringkali para budak bangkit dan menyerang sang majikan. Begitu pula para herbivora, dalam kasus tertentu mereka merasakan gelora yang membara untuk membalas dendam. Seekor warthog (Phacochoerus africanus) jantan dewasa dalam kondisi prima tidak akan merasa takut sekalipun menghadapi dua ekor citah dewasa. Seekor hyena sendirian yang mengincar anak wildebeest terkadang harus pulang dengan tangan kosong di bawah provokasi gigih induknya.

Bahkan Serengeti mencatat kisah dua ekor citah bersaudara yang mengharukan. Mereka berhasil memisahkan seekor anak wildebeest dari induknya dan tanpa waktu panjang, salah satu citah segera menjatuhkan wildebeest muda itu dengan menggigit lehernya. Wildebeest muda itu tetap meronta-ronta dan tak henti memanggil ibunya dengan lirih. Sang induk terlihat ragu-ragu apakah ia akan menolong anaknya atau tidak. Akhirnya sang ibu mengambil keputusan berani, ia segera menerjang langsung ke arah citah yang terus menggigit leher anaknya. Induk wildebeest itu memberikan pelajaran berharga dengan sukses melontarkan citah itu ke udara. Namun saudaranya yang lain segera melanjutkan usaha pembunuhan wildebeest muda tersebut. Sang induk berhenti sejenak, ia menyadari anaknya terlalu lemah untuk ditolong dan akhirnya ia memilih untuk pergi meninggalkannya. Citah yang diserang wildebeest tadi datang mendekati saudaranya dengan tertatih-tatih seakan menagih imbalan. Pengorbanan yang sangat mahal untuk membeli daging wildebeest muda dengan bayaran sebuah luka panjang tertoreh di perut citah malang tersebut. Luka ini terlalu parah untuk bisa sembuh dengan sendirinya. Dalam waktu 24 jam, citah ini tidak akan lagi bercanda bersama saudaranya karena infeksi akan merengutnya.

Puncak akumulasi balas dendam benar-benar terbayarkan saat kawanan kerbau Afrika (Syncerus caffer) menjelajah dan menginspeksi daerah-daerah teritori singa yang ditinggalkan para singa untuk berburu. Begitu mencium bau anak singa yang bersembunyi ketakutan, mereka semakin bersemangat dan saat berhasil menemukan, tanpa dikomando kawanan kerbau Afrika ini akan menginjak-injak mati anak singa tersebut, bahkan melempar-lemparkan bangkainya dengan tanduknya seakan memperlakukan sampah. Puas beraksi, kerbau-kerbau liar itu lantas pergi meninggalkan jejak pelampiasan dendam antar generasi.

Alam memang menyukai anomali dan sengaja memunculkan mereka di tengah-tengah alur seakan ingin kekuatan oposisi menyeimbangkan kembali hukum rimba yang terlalu dominan. Bahkan seakan menginspirasi manusia untuk saling memperebutkan kekuasaan politik, para anggota keluarga kucing besar tidak pernah rukun. Dendam yang paling mendalam tentu saja tertoreh di antara kubu singa dan kubu hyena. Tidak hanya soal berebut makanan, mereka saling berusaha menyerang dan melukai satu sama lain tanpa alasan apa pun. Seekor hyena yang terjebak sendirian di dalam perangkap para singa, akan menjadi bulan-bulanan singa betina, sebelum akhirnya tewas dengan gigitan singa jantan dewasa di leher. Singa jantan bak pemimpin tertinggi yang mengemban misi suci menuntaskan langkah terakhir menghabisi musuh-musuh kaumnya. Demikian pula hyena juga mematuhi aturan tak tertulis kelompoknya bila menjumpai seekor singa sendirian yang terluka ataupun anak singa yang tersesat.

Sebuah pertunjukan luar biasa kembali diperagakan di Serengeti melibatkan tiga aktor sekaligus. Sebuah kisah tentang perjuangan dan kegigihan yang layak mendapatkan standing ovation. Cerita dimulai dari kerjasama singa yang berhasil mengisolasi seekor kerbau Afrika terpisah dari kawanannya. Meski sendirian, seekor kerbau Afrika dewasa tetap terlalu tangguh dan berbahaya. Singa-singa berusaha keras menyerang dan membuat luka serius dari belakang untuk menghindari tandukan kerbau. Terus diserang, akhirnya sang kerbau kewalahan juga sehingga terpaksa melarikan diri terjun ke sungai. Sang kerbau tahu bahwa singa takut dengan air, sehingga ia akan aman di sungai. Namun ungkapan "Lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya", benar-benar terjadi. Suara ceburan air sungai mendoktrinasi para buaya (Crocodylus niloticus) untuk segera berinisiatif menyambut sumber suara tersebut.

Insting kerbau Afrika malang ini mencium bahaya lain. Sang kerbau segera keluar dari sungai, namun para singa di daratan kembali menghampirinya. Singa-singa tersebut seolah tahu bahwa kerbau itu cuma mengulur waktu kematiannya sendiri. Saat singa telah mendekat, sang kerbau kembali terjun ke sungai. Tarik-ulur benang nyawa sang kerbau terus berlangsung hingga senja datang menyapa. Sang kerbau yang telah kelelahan akhirnya pasrah tidak berdaya saat tubuhnya dimakan hidup-hidup oleh para singa yang telah sabar menunggu hadiah Natal. Pesta-pora yang kelihatannya akan mengenyangkan singa-singa selama beberapa hari ini rupanya menyulut sumbu kecemburuan tetangga yang juga mengharapkan hadiah yang sama. Kali ini bukan para hyena, namun seekor buaya Nil dewasa.

Sungguh fenomena yang langka melihat seekor reptil Jurassic keluar dari teritorinya, sendirian mendekati para singa betina yang sedang menyantap jamuan malam. Dengan langkah tenang tetapi percaya diri, buaya ini langsung menyerobot pesta Natal para singa, seakan itu hanya merebut permen dari tangan beberapa anak ingusan. Terbiasa hidup sebagai predator di darat, para singa kebingungan menghadapi kelancangan buaya ini. Seekor dari mereka mencoba mengancam dengan meraung dan seekor lagi mencoba-coba menggigit ekor buaya tersebut. Melihat sang buaya tidak terpengaruh dengan kedua cara tersebut, para singa memutuskan untuk pergi meninggalkan musuh yang tampaknya terlalu kuat kali ini.

Klimaks drama Serengeti dikisahkan alam lewat judul "The Great Migration". Migrasi tahunan ini terjadi sekitar bulan Oktober yang diikuti oleh jutaan wildebeest dan sebagian zebra yang mencoba mencari rumput yang lebih segar di tanah seberang sejauh 500 mil. Mereka akan kembali lagi ke tempat semula di bulan April. Sebuah ritual yang telah berlangsung selama jutaan tahun dan tentu saja sekumpulan besar herbivora berarti sebuah isyarat undangan pesta tak tertulis bagi banyak predator. Untungnya bagi para buaya, migrasi besar-besaran ini pasti melalui teritori mereka, Sungai Mara.

Para singa yang telah lama mengikuti migrasi itu berusaha membuat sekelompok wildebeest terpecah-pecah dan mengejar wildebeest yang terpisah. Singa akan kebingungan tak berkutik andai para wildebeest tetap bergerak dalam satu kumpulan besar. Namun gangguan para singa hanyalah bagian kecil dari sebuah maha rencana alam. Buayalah yang akan merasakan hadiah terbesar dari proyek raksasa ini. Setelah tiba di tepian Sungai Mara, jutaan herbivora itu mendadak berhenti namun resah menanti langkah berikutnya. Buaya-buaya terlihat sudah menyiapkan pawai penyambutan dengan baik di bawah sana. Para wildebeest terlihat gelisah seakan tidak mau menjadi sukarelawan yang pertama namun mereka tidak berdaya mengintervensi naluri migrasi yang sudah diprogram alam di bawah alam sadar mereka.

Seperti telah terjadi kesepakatan singkat, akhirnya seekor wildebeest jantan yang terlihat gagah maju ke depan barisan dan mulai menyusuri pinggiran sungai yang tidak terlalu terjal. Dengan cermat ia memilih terjun ke aliran sungai yang tidak terlalu dalam. Sontak ratusan wildebeest di belakangnya mengikuti jalur yang sama, tetapi kemudian titik keberangkatan lain juga dibuka. Lambat-laun, aksi menyusuri tepian sungai berubah menjadi aksi terjun langsung ke sungai! Di sungai sendiri tentu saja para buaya tidak berpangku tangan. Hanya saja ternyata hajatan makan gratis buaya ini tidak semudah yang kita bayangkan. Kulit wildebeest yang basah menjadi licin di sungai dan manuver gesit wildebeest yang sehat menghindari sergapan, memaksa buaya harus bertindak penuh perhitungan.

Setelah akhirnya mampu menangkap seekor wildebeest malang, buaya akan segera mencaplok dengan rakus. Untungnya kesuksesan seekor buaya ini dengan segera menarik perhatian rekan-rekannya sehingga wildebeest-wildebeest lain dapat terhindar dari ancaman bahaya sementara. Buaya-buaya itu dengan keserakahan purba saling berebutan apa pun yang tersisa dari wildebeest tadi.

Di adegan lain, seekor buaya tampak kegirangan berhasil menangkap kaki belakang seekor zebra dewasa. Zebra itu tampak panik berusaha melepaskan diri namun butuh sesuatu yang luar biasa untuk bisa melepaskan diri dari rahang buaya yang lapar. Daripada berdiam diri menanti ajal menjemput, mengapa tidak mencoba sesuatu yang berguna? Demikian mungkin pikirnya. Didorong rasa frustasi, zebra itu menggigit punggung buaya. Andai gigitan itu dilakukan pada hewan tak berkulit perisai, mungkin akan memberikan efek signifikan. Sayangnya bila gigitan singa saja tidak berpengaruh pada buaya, apalagi gigitan seekor zebra? Sepupu kuda itu akhirnya harus menjadi bahan pemuas rasa lapar kawanan buaya Nil.

Saat-saat menegangkan akhirnya berlalu meninggalkan sisa-sisa takdir di belakangnya. Ratusan wildebeest dan sebagian zebra diperkirakan mati dalam perjalanan migrasi tersebut. Mati diburu predator, mati cedera atau kelelahan, mati tenggelam terseret arus, dan mati di mulut buaya. Tetapi inilah perjuangan demi meraih sesuatu yang lebih baik di ujung sana. Sesuatu yang baik untuk dapat diwariskan pada keturunan mereka yang kelak akan menjalani takdir yang sama. Uniknya kuda nil (Hippopotamus amphibius) kelihatannya menikmati perannya membersihkan sungai dari bangkai-bangkai tersebut. Ia mengumpulkan bangkai-bangkai wildebeest yang mati tenggelam dan menumpuknya di pinggiran. Tentu saja alam tidak pernah mensia-siakan sesuatu. Bangkai-bangkai itu segera saja menjadi makanan banyak burung.

Skenario terakhir yang merupakan ujian terberat di seluruh Serengeti, adalah bagian "Kemarau Panjang." Ketika memasuki masa kemarau, sungai-sungai akan mulai mengering. Mata air menjadi hal yang mewah di masa itu. Tak heran, banyak hewan akan berdesak-desakkan di mata-mata air yang masih tersisa. Sungai yang masih berair tentu saja masih merupakan teritori buaya dan sekali lagi buaya harus berterimakasih kepada alam karena saat kemarau, hewan-hewan yang mendekati sungai justru akan menggali liang kuburnya sendiri. Para herbivora menyadari bahaya dari buaya, namun rasa haus yang membakar tenggorokannya mengalahkan rasa takutnya tersebut. Di sinilah buaya mengambil keuntungan dengan cepat menyabet impala, babun (Papio anubis), dan burung-burung yang lengah saat meminum air sungai. Seekor singa betina yang kehausan terlihat ikut meminum di sungai yang sama. Namun insting predatornya yang terlatih seakan menuntunnya untuk segera pergi menjauh setelah melihat bayangan reptil mendekat.

Mamalia yang tidak mau berjudi nyawa dengan buaya memilih berdesak-desakan meminum dari sisa-sisa resapan mata air di pinggiran sungai. Babun yang lebih cerdas mencoba menggali tanah dan beruntung menemukan sedikit resapan air. Dengan segera babun-babun yang lain berdatangan berebut melepas dahaga. Gazelle yang sedikit nekad mencoba ikut meminum di resapan air yang sama dengan babun dan tentu saja pertemuan mereka dihiasi pertengkaran kecil. Namun tanduk gazelle sudah cukup untuk memadamkan keegoisan babun tersebut.

Kondisi kemarau semakin parah. Hewan-hewan semakin berdatangan untuk berebutan meminum persediaan air yang masih tersisa. Beberapa hewan yang tidak mampu bersaing pelan-pelan lemah dan akhirnya mati. Di tengah kekalutan itu, terdapat beberapa bayi gazelle sendirian, terpisah dari induknya. Babun yang berpengalaman perlahan mendekati bayi tersebut dan kemudian mencekiknya sehingga ia tidak mampu memanggil induknya. Setelah mati lemas, si babun dengan antusias menyeretnya menuju tempat sepi, jauh dari teman-temannya untuk mengkonsumsi protein sendirian. Kelicikannya ternyata terhadang oleh seekor warthog yang mencium bau bangkai. Panik melihat agresi warthog dengan taringnya, si babun lari terbirit-birit. Namun ia tidak ingin babi liar itu mencuri makanannya dengan mudah, babun itu mencoba memprovokasi warthog supaya meninggalkan bangkai itu. Taktiknya berhasil, babi liar itu kembali mengejar si babun, namun babun yang lain telah mengintai aksi mereka dan tak mensia-siakan peluang dengan langsung menyambar bangkai bayi gazelle sembari menaiki pohon. Warthog dan babun yang pertama hanya bisa memandang kesal.

Puncak kemarau semakin menghebat. Resapan-resapan mata air telah mengering sama sekali. Di sekitarnya terdapat banyak tengkorak mamalia berserakan. Sungai pun kini lebih pantas disebut genangan lumpur. Buaya masih bertahan hidup dengan memakan ikan catfish yang terjebak di genangan. Dengan lapisan lumpur yang mengeras di kulit, efek kemarau sedikit berkurang bagi buaya. Minggu demi minggu berlalu dan sungai kini telah menjadi cerukan yang kering sama sekali. Buaya yang masih mempunyai tenaga akan melangkah keluar dan bersembunyi di bawah bayangan semak-semak, diam menunggu berakhirnya kemarau yang sempat ia syukuri di awal musim. Ia berharap akan mampu bertahan seperti nenek moyangnya di masa-masa kemarau silam. Buaya-buaya lain yang tidak mampu bertahan dengan cepat menyusul menjadi tengkorak, seperti akhir kebanyakan hewan sebelumnya.

Tetapi alam yang mengambil, alam pula yang akan memberi. Pada hari yang biasa, diawali dari angin yang meniup awan nimbus penggembala bibit-bibit air, dengan segera awan hitam datang bergulung-gulung menutupi terik matahari. Harapan baru Serengeti seketika tumbuh seiring tetes-tetes hujan yang turun membasahi bumi. Hujan yang sedemikian lebat dan akan terus turun selama berminggu-minggu itu, seakan menghapus panas setahun dan mengisi cekungan sungai yang lama menguap. Kehidupan yang baru akan segera bersemi.

Hidup adalah perjuangan. Kata-kata ini benar-benar menjadi credo iman bagi setiap penghuni Serengeti. Semua spesies belajar untuk mempertahankan hidup mereka. Saat dikejar predator, zebra akan berlari sambil sesekali menendang-nendang. Tendangan kaki belakang zebra dewasa mampu mematahkan rahang singa. Anak-anak gazelle terlihat berlatih melompat-lompat dan segera beradu kepala saat tanduk mereka tumbuh. Saat dikejar citah, seekor gazelle lazimnya akan berlari dengan gerakan melompat dan mempertunjukkan bagian bawah ekornya yang putih. Ini seakan isyarat mengejek predator bahwa mereka mengejar gazelle yang dalam kondisi prima dan sulit ditaklukkan.

Para predator pun merasakan perjuangan hidup yang sama. Mereka harus menurunkan pengalaman pada anak-anak mereka agar tetap bisa bertahan hidup. Citah sesekali sengaja menangkap hidup-hidup bayi gazelle dan membawanya kepada anak-anaknya. Citah-citah muda akan segera tertarik untuk mengejar dan menangkap bayi gazelle malang itu. Kemudian mereka membiarkan bayi itu kembali berlari memanggil-manggil ibunya lalu disergap kembali. Setelah bosan dengan permainan kejam ini, citah-citah muda akan segera menghabisi bayi gazelle. Permainan tangkap-lepas mangsa ini berguna untuk membangkitkan naluri citah muda dan melatih kemampuan mereka untuk berburu mangsa.

Tahun demi tahun berlalu, Serengeti tetap patuh memainkan naskah cerita yang sama. Namun di era modern, keperkasaan alam mulai tertekan oleh dominasi manusia. Populasi manusia semakin meningkat dan benturan antara kepentingan manusia dengan ekosistem Serengeti tidak bisa dihindari. Manusia membutuhkan lahan dan air untuk pertanian, peternakan, dan tempat tinggal. Penduduk juga terkadang memburu atau memasang perangkap bagi predator alami yang diklaim memangsa ternak. Jalan tengah pun diambil, antara perbatasan Taman Nasional dengan pemukiman penduduk dibatasi pagar kawat beraliran listrik rendah. Tidak cukup hanya itu, Serengeti juga masih menghadapi masalah yang sama, perburuan gelap. Cula badak, kulit macan tutul, gading gajah, dan tanduk, selalu dihargai tinggi di pasar gelap bagi perdagangan obat dan kalangan kolektor. Manusia perlu menyadari bahwa kita hanyalah bagian kecil dari seluruh elemen alam yang mempesona. Mengusik keasrian itu dapat serta-merta mengubah kelemah-lembutan alam menjadi sebuah bencana.

(Semua kisah di atas dirangkum dari tayangan-tayangan nyata tentang dokumentasi kehidupan liar di Serengeti, Afrika).

Kamis, 05 Juni 2008

Laskar Pelangi atau Laskar Guntur?


Pancasila sebagai ideologi tertinggi dan pemersatu seluruh elemen bangsa di republik ini dipermalukan tepat di hari ulang tahunnya sendiri! Tercatat pada tanggal 1 Juni 2008, di Monas Jakarta, dekat lapangan parkir Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, terjadi tindakan anarkis yang dilakukan oleh sekelompok massa dari organisasi keagamaan.

Pada peristiwa mencekam itu, ratusan orang mengenakan atribut Front Pembela Islam (FPI) menyerang dengan brutal para aktivis Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang memperingati Hari Kelahiran Pancasila. Sedikitnya 12 anggota AKKBB terluka parah dalam insiden memalukan itu, termasuk Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism (ICIP), Syafii Anwar, Direktur Eksekutif Wahid Institute, Ahmad Suaedy, dan pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan, KH Maman Imanulhaq Faqieh dari Majalengka.

Menurut Kompas.com edisi 1 Juni 2008, Nong Dalrol Mahmadah, Koordinator Lapangan AKKBB, menuturkan bahwa tindakan anarkis itu terjadi pada pukul 13.00, saat 1500 anggota AKKBB (banyak dari mereka adalah perempuan dan anak-anak) berkumpul di Monas. "Secara cepat, anggota FPI berteriak-teriak dan mengejar menggunakan tongkat bambu. Anggota FPI serta-merta memukuli anggota AKKBB yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat seperti Ahmadiyah dan Aliansi Pluralitas Keagamaan," jelas Nong. "Mereka datang mengacak-ngacak kami, ada mobil yang dibakar. Pas kami dipukul pakai bambu, polisi baru datang." (home/megapolitan/news-paragraf 7)

Menurut Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Winarko kepada wartawan di Jakarta, Minggu, AKKBB rencananya hanya akan berdemo dari Cempaka Barat lalu ke depan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan langsung terus menuju Bundaran HI. Winarko mengaku bahwa pihaknya telah menyiapkan pengamanan cukup, namun tidak saat di Monas, karena mereka tidak memintanya. "Seharusnya massa AKKBB bubar setelah itu, tetapi nggak tahu kenapa malah ke Monas," tambahnya. (paragraf 3-4) Namun Nong membantah keras hal tersebut dengan mengatakan bahwa mereka sudah melapor akan bergerak ke Monas. "Kami sudah lapor bahwa kami akan ke Monas. Bohong kalau kami tidak lapor," kata Nong. (paragraf 5) Beberapa kabar juga menyebutkan bahwa polisi sudah merekomendasikan AKKBB agar tidak menuju Monas, karena dikhawatirkan terjadi gesekan setelah sebelumnya di sana terjadi aksi demonstrasi menolak kenaikan BBM.

Menurut versi FPI sendiri, aksi penyerangan itu dilakukan atas provokasi massa AKKBB terlebih dahulu. Apalagi mereka dianggap oleh FPI turut mendukung eksistensi Jamaah Ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran sesat. Menurut Munarman, Komandan Komando Laskar Islam, Ahmadiyah telah ditetapkan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) sebagai organisasi sesat, sehingga pantas disebut sebagai organisasi kriminal. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri sebelumnya telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah sesat, dan dua hal inilah yang dijadikan tameng bagi 'polisi-polisi' moral dadakan. Padahal kalau mau dipikir dengan akal sehat (terlepas dari ajaran agama), mana yang lebih pantas disebut sebagai 'organisasi kriminal' antara Jamaah Ahmadiyah dan FPI?

Diberitakan di Kompas.com edisi 2 Juni 2008, Munarman mengadakan jumpa pers di markas FPI untuk mengklarifikasi pemberitaan insiden itu. "Saya membuka berita-berita hari ini, ada akurasi yang sangat parah yang menyatakan bahwa FPI yang menyerbu. Hari ini, saya katakan bahwa yang kemarin mendatangi Monas adalah Komando Laskar Islam yang merupakan gabungan dari laskar-laskar seluruh Indonesia. Perlu ditegaskan bahwa aksi kemarin merespons undangan terbuka dan untuk mengamankan aksi tolak kenaikan harga BBM. Sementara, aksi yang mereka lakukan (AKKBB) itu memang untuk menyatakan dukungan kepada Ahmadiyah, bukan untuk peringatan hari Pancasila." (paragraf 2) Sementara menanggapi berita bahwa salah satu korban dari Insiden Monas itu adalah seorang kyai (KH Maman), Munarman dengan enteng mengatakan bahwa ia merupakan kyai palsu, karena seorang kyai sejati tidak akan mendukung Ahmadiyah.

Ironisnya jauh sebelum vonis Munarman itu, pada bulan Mei 2008, sekelompok ulama dari Jawa Timur mendatangi DPR. Di sana mereka berdialog dengan Ketua Umum DPR, Agung Laksono, dan menyampaikan permohonan agar pemerintah tidak membubarkan Ahmadiyah. Mereka memang mengaku tidak menyetujui inti ajaran Ahmadiyah, tetapi tetap menganggap bahwa mereka merupakan bagian dari keluarga besar Islam. Mereka juga mempertimbangkan bahwa Ahmadiyah telah cukup berjasa dalam perannya mengembangkan Islam lewat pondok-pondok pesantren.

AKKBB adalah sekelompok orang yang mempunyai visi dan pemikiran pluralisme. Mereka menganggap bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi individu yang tidak dapat dipaksakan atau dipengaruhi siapa pun, bahkan oleh negara sekalipun. Negara hanya berhak melindungi warganya menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya. Merasa simpati terhadap Ahmadiyah yang diserang sana-sini, AKKBB pun memberi dukungan moral kepada mereka untuk mempertahankan hak beragama dan berkeyakinan. Melihat ini, FPI terpancing marah karena menganggap AKKBB mencoba mencampuri urusan internal antar umat Islam.

Untuk kasus Ahmadiyah, saya bisa memahami ketidaktegasan pemerintah, meski tidak mengharapkan ketidaktegasan ini terus berlarut-larut. MUI sebagai penasihat utama pemerintah dalam bidang agama sudah mengharamkan Ahmadiyah, demikian pula salah satu anak pemerintah, Bakorpakem. Namun pemerintah masih tetap belum melarang Ahmadiyah secara resmi. Mengapa? Karena pemerintah tidak ingin dikecam dianggap menghalangi hak asasi warga negaranya untuk berkeyakinan, beragama, dan menjalankan ibadah, serta dianggap melakukan pelanggaran konstitusional UUD 1945, sebagaimana yang tercantum dalam UUD pasal 29 ayat 2.

FPI selama ini memang dikenal sebagai organisasi keagamaan garis keras yang sangat radikal dalam pandangan dan tindakan. Di satu sisi FPI berjuang keras menegakkan nilai-nilai Islam secara fundamental dalam seluruh aspek kehidupan. Tetapi di sisi lain, FPI hampir selalu menggunakan tindak kekerasan sebagai pembenaran dan pengerahan massa sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Karena itu anekdot yang beredar di masyarakat umum adalah FPI tidak jauh berbeda dengan preman-preman yang berjubah dan bersorban. Anggota-anggota FPI juga selalu terlihat pamer otot, gagah-gagahan, dan sembrono, misalnya: berombongan naik sepeda motor memacetkan jalan, menggeber-geber gas, tidak mengenakan helm, dan mungkin juga tidak membawa surat-surat izin kendaraan lengkap. Seragam resmi mereka hampir selalu merupakan busana Islami yang mencerminkan kesucian dan kesejukan hati. Sayangnya citra busana religius itu mendadak menguap tatkala digunakan sebagai atribut FPI. Anggota FPI juga sangat lazim mengenakan atribut-atribut ala ninja dan teroris Timur Tengah. Kalau citra busana yang dikenakan saja sudah menimbulkan interpretasi negatif, bagaimana bisa menunjukkan bahwa mereka mempunyai itikad dan integritas yang baik?

Sewaktu Anjasmara dan Izabel Yahya menjadi model 'telanjang' lewat manipulasi digital dalam instalasi seni kontemporer Pinkswingpark, mencitrakan Adam dan Hawa di Taman Eden, pada tahun 2005, FPI dengan tegas menganggap hal itu sebagai pornografi. Ketua Umum mereka, Habib Rizieq Shihab melaporkan kedua model tersebut berserta fotografer dan kurator kepada polisi dengan tuduhan perbuatan sengaja menyebarkan pornografi di muka umum. Habib Rizieq mengatakan pada media bahwa ia melaporkan hal ini karena ia menghormati hukum. Segala sesuatu harus diselesaikan secara hukum karena ini negara hukum, demikian kata Habib Rizieq. Memang demikian semestinya, karena di saat Anjasmara datang meminta maaf dan FPI sudah mencabut laporan pun, proses hukum tetap berjalan, meski kemudian tidak jelas kelanjutan kasusnya sampai sekarang.

Sayangnya, ucapan Habib Rizieq di atas bahwa mereka menghormati hukum seringkali berbeda dengan kelakuan anak buahnya di lapangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa anggota-anggota FPI sering melakukan pengrusakan tempat-tempat hiburan malam dengan dalih menyingkirkan kemaksiatan. Padahal itu sama saja memadamkan api dengan api, memerangi dosa dengan dosa yang lain. Apakah anarkisme itu bukan dosa? Isu yang beredar selanjutnya adalah aksi sweeping FPI berakhir saat sejumlah uang jasa 'keamanan' ditawarkan. Bahkan saat insiden Monas ini terjadi, Habib Rizieq melupakan ucapannya bahwa ia menghormati hukum. Sebagai pemimpin yang baik, bila ada bawahan yang bertindak keliru, tentu ia akan menegurnya dan mungkin memberi hukuman atas tindakan indisipliner tersebut. Kenyataannya, alih-alih menegur, Habib Rizieq malah menolak menyerahkan anak buahnya kepada pihak kepolisian untuk diproses secara hukum. Beliau justru menyerukan perlawanan sampai titik darah penghabisan. Padahal apa pun alasannya, tindakan pemukulan, kekerasan, anarkisme, dan penganiayaan tentu sama sekali tidak bisa dibenarkan, baik secara hukum maupun agama. Saya sama sekali tidak bisa membayangkan seandainya ada agama yang mengajarkan bahwa memukul, menganiaya, menzalimi, atau membunuh sesama, akan dijanjikan pahala besar di surga.

Saya bersyukur ternyata respon mayoritas anak bangsa ini adalah mengecam tindakan main hakim sendiri tersebut. Ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang bisa berpikir secara rasional dan mengesampingkan emosional. Diberitakan, Gus Dur dan Nahdlatul Ulama (NU) terang-terangan meminta FPI dibubarkan. Pada sebuah kesempatan, Gus Dur dengan blak-blakan mengatakan FPI sebagai "Organisasi Bajingan" (Habib Rizieq balik menghujat Gus Dur orang yang buta mata dan buta hati). Garda Bangsa di bawah komando NU, menyatakan siap membubarkan paksa FPI bila pemerintah takut melakukannya. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, juga turut mengecam tindakan kekerasan atas nama agama. Kini tinggal menunggu ketegasan pemerintah saja dalam menyikapi FPI yang seakan tidak mau mengaca pada diri sendiri. Tidak ada seorang pun yang boleh mengklaim dirinya paling benar dan suci lalu menghakimi orang lain menurut interpretasinya sendiri. Contohnya, Amerika Serikat yang merasa sebagai 'Polisi Dunia' merasa berhak menyerang negara lain yang berdaulat (pre-emptive strike) dengan dalih membela diri sebelum diserang atau demi perdamaian dunia. Benarkah tindakan Amerika tersebut?

Ada kisah menarik di dalam Injil, diceritakan bahwa Yesus pernah dimintai pendapat oleh orang-orang Yahudi untuk merajam seorang wanita yang berzinah, dengan dalih mematuhi Hukum Taurat Nabi Musa. Mereka mencoba menyudutkan Yesus dengan pertanyaan licin ini. Bila Yesus menyetujui perbuatan itu, mereka akan mengecamnya sebagai kekejaman. Sebaliknya bila Yesus menolaknya, mereka akan menuduh Yesus melanggar Taurat. Kalaupun Yesus diam saja, mereka juga akan mengatai Yesus bodoh dan tidak tegas. Namun Yesus hanya diam, jongkok dan menulis di tanah. Kemudian Yesus berkata, "Siapa pun yang tidak pernah berdosa boleh pertama melempari wanita ini." Orang-orang itu diam saja lalu membubarkan diri dimulai dari yang tertua. Yesus menemui wanita itu dan berkata,"Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi." (Yohanes 8: 3-11)

Respon tekanan terhadap FPI terus meluas. Hanya dalam semalam pasca insiden, Sekretariat FPI Cirebon didatangi sekelompok massa NU. Mereka merusak dan merobohkan papan nama sekretariat tersebut. Massa NU Cirebon marah kepada FPI karena telah menganiaya anggota Dewan Syuro DPP PKB, KH Maman Imanulhaq Faqieh dari Majalengka. FPI Cirebon sempat terpancing ingin melawan balik, tetapi berhasil ditenangkan Kapolres Cirebon. Pada tanggal 3 Juni, Ketua FPI Jember, Habib Abubakar mengeluarkan surat pernyataan membubarkan FPI Jember, setelah didatangi dan berdialog dengan Banser dan Garda Bangsa. Pada kesempatan itu, Abubakar menyesalkan Insiden Monas dan menyatakan bahwa aksi massa FPI pusat itu tidak sepaham dengan FPI Jember. Ia juga mewakili FPI Jember meminta maaf kepada korban Insiden Monas, masyarakat, dan Gus Dur atas sikap FPI selama ini.

Siapa pun yang mencintai Indonesia tentu sangat menyadari bahwa negeri ini berdiri di atas keberagaman. Jauh sebelum merdeka pun, Sumpah Pemuda 1928 telah meletakkan batu pondasi kemajemukan itu. Berbagai suku, etnis, budaya, dan agama, turut bersatu menjadi identitas nasional Bangsa Indonesia. Semangat pluralisme jelas tertanam dalam semboyan legendaris, 'Bhineka Tunggal Ika' (Unity in Diversity). Apakah kita harus merusak keindahan keragaman potensi sesama anak bangsa tersebut? Lagipula Pancasila telah ditetapkan oleh para Founding Fathers sebagai ideologi tunggal dan diperjuangkan mati-matian oleh para pahlawan. Meskipun sempat sedikit dikultuskan di era Orba, bila kita tidak menghormati Pancasila, bahkan ingin menggantinya dengan ideologi lain, bukankah itu sama saja dengan mengkhianati para pahlawan dan kemerdekaan negara ini?

Harus diakui tujuan utama FPI sebenarnya untuk kebaikan kita bersama. Sayang seribu sayang, pola pikir, ucapan, dan perbuatan mereka selalu mengesankan amarah belaka. Munarman, Komandan Komando Laskar Islam, mengatakan, "[...] Itu artinya mereka menantang kami lebih dulu. Jika tidak siap perang, jangan menantang." (paragraf 2). Siapa yang menantang dan siapa yang menganggap perang? Bila kita memposisikan diri sebagai palu, kita akan melihat semuanya sebagai paku. Apakah Allah adalah Allah yang Pemarah dan Maha Penghukum? Tidak adakah sisi Allah yang Penyayang dan Pemaaf? Gembirakah Allah melihat darah ditumpahkan? Apakah Islam adalah agama yang mengobarkan kebencian dan kemurkaan? Bukankah Islam sejati adalah rahmatan lil alamin, memberikan rahmat pada seluruh alam semesta?

Setali tiga uang, diberitakan di Kompas.com edisi 3 Juni 2008, Munarman membantah bahwa dirinya mencekik seorang anggota AKKBB saat terjadi penyerbuan itu. Pencekikan itu terekam dalam foto dan sempat dimuat di beberapa media, salah satunya adalah Koran Tempo. Menurut pengakuannya, ia bukan mencekik anggota AKKBB, melainkan anggota Laskar Islam, yang bernama Hasbullah. Munarman mengaku mengingatkannya agar ia tidak bertindak anarkis, meskipun kenyataannya saat itu tindak anarkisme tetap berlangsung lancar. Bila pengakuan itu benar, tentu Munarman sudah bertindak benar mengingatkan anggotanya. Menindaklanjuti berita foto pencekikan itu, Munarman mengatakan siap menempuh jalur hukum."Saya akan tuntut Koran Tempo lewat kuasa hukum. Ini bukti kecerobohan. Saya akan laporkan Tempo dan AKKBB." (paragraf 2)

Namun serupa dengan Habib Rizieq pula, Munarman mengatakan hal yang kontradiktif selanjutnya. Munarman menuntut Koran Tempo segera merehabilitasi namanya. Goenawan Mohamad (pemilik Tempo) juga harus meminta maaf kepada dirinya. "Kalau Tempo dalam waktu 1 x 24 jam tidak meminta maaf, Goenawan Mohamad tidak sujud kepada saya, saya serbu. Saya sudah siapkan laskar-laskar saya," ujarnya menegaskan. (paragraf 4)

Ia sudah berkata akan menempuh jalur hukum tetapi masih saja membawa-bawa ancaman serbu dan laskar-laskaran, demikian pula tuntutannya agar Goenawan Mohamad harus bersujud pada dirinya. Sebagai seorang Muslim yang baik, Munarman tentunya mengerti bahwa seorang Muslim hanya wajib bersujud kepada Allah. Apalagi Goenawan Mohamad merupakan orang yang lebih tua daripada Munarman. Bila ia tega menyuruhnya bersujud di kakinya, berarti Munarman merupakan pribadi yang kurang ajar dan arogan.

Siapakah Munarman? Ternyata ia merupakan mantan Ketua Dewan Pengurus YLBHI dan mantan aktivis HAM di KONTRAS. Sekarang ia berganti haluan menjadi komando lapangan organisasi keagamaan garis keras yang satu visi dengan FPI, Laskar Islam. Mengingat reputasinya di masa lalu, tentunya Munarman sangat mengerti hukum dan makna HAM. Tetapi seperti masa lampau track record-nya juga, saat ini beliau terlihat seperti mantan orang yang pernah tahu hukum dan mantan orang yang pernah mengerti HAM.

Habib Rizieq sendiri ternyata melewatkan masa SD-SMP kelas 2 di Sekolah Kristen Bethel Petamburan! Pria saleh keturunan Arab ini juga sangat berpendidikan. Beliau merupakan sarjana Pendidikan Hukum Islam dari King of Saud University, Riyadh, Arab Saudi. Bahkan Habib Rizieq sempat menempuh pendidikan S-2 di Universitas Islam Internasional Antar Bangsa, Malaysia, meskipun tidak tamat. Namun masa kecilnya pernah berada di lingkungan minoritas dan latar belakangnya yang berpendidikan tinggi tetap menjadikan dirinya tokoh yang maha radikal.

Yang agak menggelitik lainnya, saat terjadi musibah Tsunami di Serambi Mekah, Aceh, tahun 2004 lalu, tidak terdengar sama sekali gerakan dari FPI. Sangat berbeda dengan antusiasme yang ditunjukkan saat mereka membuka pendaftaran sukarelawan jihad untuk berperang ke Afghanistan dan Irak. Barulah setelah dikritik, akhirnya FPI turut mengirim tim sukarelawan dalam jumlah besar untuk membantu para korban Tsunami Aceh.

Pasca Insiden Monas, rupanya pemerintah memerlukan 3 hari untuk benar-benar bertindak tegas kepada FPI. Setelah ultimatum Polri agar pelaku kekerasan massa FPI menyerahkan diri malam sebelumnya tidak digubris, pada tanggal 4 Juni sekitar jam 07.00, 1500 personel polisi mengepung markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat. Dilaporkan polisi menggeledah markas FPI dan menyita 2 buah celurit, puluhan tongkat bambu, dan spanduk-spanduk yang berisikan pembangkangan sipil. Sekitar 58 orang diangkut polisi dan dibawa ke Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan, termasuk Habib Rizieq, yang sempat berorasi sejenak bahwa ia ingin mendampingi anggota-anggota FPI yang ditahan, sembari meminta agar tidak ada yang menghalangi tugas polisi. Beliau juga menegaskan bahwa FPI harus berani berbuat dan berani bertanggungjawab, meskipun sikap ksatria ini sama sekali berbeda dengan sikap sebelumnya dan baru muncul saat ribuan polisi mendatangi markas FPI. Sikap Habib sendiri usai diperiksa di Polda Metro Jaya, mendadak berubah dengan mau mengakui pluralitas bangsa. Namun ia tetap keukeuh menuntut Ahmadiyah dibubarkan. Sementara itu, Munarman yang sebelumnya juga selalu terlihat gagah berani berkoar-koar, sama sekali tidak terlihat dalam aksi penangkapan itu. Statusnya kini dinyatakan sebagai buronan. Dengan logika yang paling gampang, orang yang lari dapat diasumsikan ia merasa dirinya bersalah.

Padahal saat mengadakan jumpa pers pada tanggal 2 Juni, Munarman dengan berapi-api berkata, "Kalau ada yang ganggu laskar saya, satu orang pun silakan berhadapan dengan saya, saya tidak takut. Saya sediakan diri saya untuk ditangkap, dengan catatan bubarkan dulu Ahmadiyah." (Kompas.com ed 2 Juni 2008/home/nasional-paragraf 5)

Setelah Insiden Monas, praktis pada awal Juni 2008, seluruh media memberitakan tentang aksi kebrutalan FPI di Monas tersebut. Aksi demonstrasi dan anarkisme yang sebelumnya terjadi dalam rangka menuntut pembatalan kenaikan BBM, mendadak menjadi tenggelam. Melihat fenomena ini, beberapa pihak mengatakan bahwa ini adalah usaha pemerintah untuk mengalihkan perhatian. Habib Rizieq sendiri menuduh AKKBB dan Ahmadiyah merekayasa insiden ini supaya FPI disudutkan. Apapun teori konspirasi yang berkembang, menurut saya, Insiden Monas ini adalah murni hasil dari keteledoran FPI mengendalikan anggotanya di lapangan untuk kesekian kalinya. Tetapi tentu saja saya juga tidak bisa menolak opini bahwa pemerintah tentu diam-diam merasa senang mendapat 'kado' pengalihan perhatian yang tidak diduga-duga di waktu yang tepat dari FPI.

Wacana pembubaran FPI rasanya sangat sulit direalisasikan. Indikasi awalnya adalah Depkumham sendiri mengatakan bahwa FPI tidak berbadan hukum sehingga tidak bisa dibubarkan secara legal. Suara-suara yang semula berpadu mengecam kekerasan FPI pun menjadi terbelah menyikapi wacana pembubaran ini. Ada yang sepenuhnya mendukung karena sudah muak dengan cara-cara premanisme FPI. Ada yang mendukung pembubaran FPI namun juga disertai dengan pembubaran Ahmadiyah, karena kedua elemen itu dinilai telah sama-sama menodai Islam. Ada pula yang mengutuk Insiden Monas, tetapi menolak pembubaran FPI karena memandang sebenarnya FPI justru menegakkan nilai-nilai Islam yang telah luntur, berbeda dengan Ahmadiyah yang dinilai melenceng dari ajaran Islam. Sejarah FPI sendiri tidak bisa dipisahkan dari keberadaan ormas Pam Swakarsa di era reformasi yang dibekingi para jendral untuk menghalau aksi mahasiswa yang saat itu terus memanas. Hubungan mutualisme ini masih terus berlanjut diam-diam meski kemudian FPI telah berubah total menjadi ormas keagamaan. Itulah salah satu alasannya mengapa mereka tetap gagah beraksi seakan tidak takut terhadap polisi atau hukum, karena kedekatan hubungan masa lalu dengan para jendral.

Melihat talkshow yang ditayangkan oleh SCTV, antara pengacara FPI (Ahmad Michdan), pengacara AKKBB (Winarti), dan Jubir presiden (Andy Malarangeng), terlihat isyarat bahwa FPI menyadari dirinya mutlak bersalah dalam kasus anarkisme tersebut, sehingga pada talkshow itu, Ahmad terkesan tidak membantah semua tuduhan pemukulan yang dilakukan FPI. Namun ia menolak keras adanya wacana pembubaran FPI. Ahmad hanya ingin anggota FPI yang terlibat dijerat pasal tindak kekerasan dan kasus dianggap selesai. Ia menganggap bahwa anarki ada di mana-mana, misalnya di sepak bola. Ahmad mengatakan kekerasan yang dilakukan oleh individual tidak berarti juga dilakukan secara organisasional. Ia lantas mencontohkan kasus kekerasan para suporter bonek, tidak serta-merta dapat menurunkan vonis untuk membubarkan Persebaya. Tetapi Winarti membantahnya dengan alasan aktivitas utama Persebaya adalah melakukan sepak bola, sementara suporter juga tidak melakukan anarkisme setiap saat. Berbeda dengan FPI yang dianggapnya berideologi kekerasan dan mempunyai sederet daftar kasus anarkisme anggotanya. Menurutnya, sebuah organisasi dapat dibubarkan bila terbukti menghasut, menyebarkan kekerasan, dan meresahkan publik. Sementara itu, Andy beropini bahwa Persebaya pun secara organisasi dapat dihukum otoritas tertinggi (PSSI) bila terbukti bersalah. Namun untuk urusan pembubaran FPI, ia terkesan ambil langkah aman dengan mengulang-ulang kata, "Kita akan mengkaji terlebih dahulu melalui proses hukum." Sebagai informasi, Ahmad Michdan tergabung dalam Tim Pembela Muslim (TPM), yang juga menjadi pengacara dari Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas (trio teroris Bom Bali I).

Pada perkembangan selanjutnya, Habib Rizieq yang sebelumnya sempat berorasi hanya ingin mendampingi anggota-anggotanya sekaligus memastikan proses hukum berjalan sesuai prosedur, malahan resmi ditetapkan sebagai tersangka. Tuntutan masyarakat akan wacana pembubaran FPI pun mendadak makin surut dari hari ke hari. Bahkan makin banyak sekelompok orang yang terang-terangan memberikan dukungan pada Habib Rizieq dan FPI di Polda Metro Jaya. Mereka seakan cepat melupakan daftar panjang sejarah kebrutalan FPI. Pada tanggal 09 Juni 2008, akhirnya pemerintah resmi mengeluarkan SKB 3 menteri yang memutuskan penghentian segala aktivitas Jamaah Ahmadiyah. Pasca keluarnya SKB, mendadak Munarman muncul dari persembunyiannya, seperti ingin menepati janjinya, bahwa ia hanya akan muncul setelah keluarnya SKB Ahmadiyah. Kepada media, istri dan kedua putra Munarman mengaku bangga terhadap beliau karena telah memperjuangkan akidah. Mereka boleh bangga akan perjuangannya dalam hal agama, tetapi masihkah mereka bangga melihat sosoknya sebagai pemimpin orang-orang yang melakukan pengeroyokan secara brutal di tempat umum tepat saat peringatan Hari Kelahiran Pancasila?

Keputusan SKB ini dianggap sebagian orang tidak tegas dan mengambang, karena tidak ada kata-kata 'pelarangan' atau 'pembubaran'. Tetapi saya menganggap ini merupakan keputusan terbaik yang bisa dihasilkan pemerintah. Di satu sisi negara tidak bisa melakukan intervensi terhadap masalah beragama dan berkeyakinan. Di sisi lain, negara juga wajib menjaga stabilitas keamanan sosial, sehingga saya rasa inilah jalan tengah yang terbaik paling tidak untuk saat ini. Perlu diketahui untuk urusan SKB Ahmadiyah ini, pemerintah Indonesia bahkan harus menyampaikan penjelasan kepada PBB bahwa keluarnya surat keputusan bersama ini bukan dimaksudkan untuk mencampuri keyakinan individu, tetapi lebih untuk kebaikan bersama dan menghindari hal-hal yang lebih tidak diinginkan terjadi di kemudian hari.

Kalau boleh saya memberikan saran kepada FPI bila ingin dicintai oleh seluruh rakyat Indonesia, berubahlah segera secara permanen. Minta maaflah dengan tulus atas kesalahan yang terdahulu dan janganlah mengulanginya kembali. Lakukan perekrutan anggota dengan prosedur yang benar. Setelah itu kelola keanggotaan dengan baik sehingga terdata dan sulit disusupi oleh pihak luar (provokator). Berikan pemahaman dan pendidikan pada mereka supaya mampu mencerminkan rahmat dan mengayomi yang lemah. Buatlah sistem kerja yang produktif di dalam organisasi, sehingga FPI turut mengurangi jumlah pengangguran. Tidak ada orang-orang (terutama yang masih muda) yang punya waktu luang untuk berdemo sepanjang hari di jalanan, kecuali kaum pengangguran. Hilangkan seluruh mental anarkis di dalam tubuh FPI, niscaya orang-orang akan menghormati dan menghargai FPI. Bila perlu, ubah singkatan FPI menjadi Front Pembela Indonesia, yang siap membela harkat dan martabat bangsa dan mengisi kemerdekaan dengan positif tanpa menghilangkan identitas dan nilai-nilai Islami. Mari jadikan peringatan 1 abad Kebangkitan Nasional (1908-2008) sebagai momen untuk bersama-sama bangkit membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sekarang pilihan untuk tetap menjadi 'Laskar Guntur' atau berubah menjadi 'Laskar Pelangi', sepenuhnya ada di tangan FPI. Menjadi Laskar Guntur yang menakutkan, meneror, dan merusak, atau menjadi Laskar Pelangi yang indah, menyejukkan, dan mententramkan. Setelah guntur menggelegar dalam hujan yang kelam, semestinya pelangi akan muncul seiring dengan sinar mentari yang memberi kehangatan pada dunia.