Selasa, 09 November 2010

The Hit Man's Show



Yep, tell me that I have been living in a cave, dengan jujur sebelumnya saya katakan bahwa saya kurang mengenal siapakah gerangan David Foster itu. Jadi saya bahkan tidak terlalu peduli waktu teman-teman saya sibuk membicarakan rencana kedatangan konsernya di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2010. "I'm not a big fan of David Foster," demikian jawab saya berulang kali dalam menanggapi gairah antusiasme mereka. Saya pikir, masih mendingan bila yang datang konser adalah Coldplay, Keane, Oasis, atau bahkan Paramore atau Blink-182 Reunion concert juga pasti seru... Semuanya, asalkan bukan si David Foster ini yang jelas-jelas saya ingat tidak punya satupun karya lagunya di koleksi Mp3 iPod saya.

Namun tiba-tiba seolah terkena "karma", saat saya sudah di tengah jalan pulang dari kantor, tiba-tiba Managing Director kantor saya menelpon dan menawari untuk menonton konser David Foster di ballroom Ritz-Carlton, Pacific Place. Jelas-jelas tawaran itu saya tolak (apalagi saat itu sudah hampir jam 7 malam, sedangkan konser tersebut dijadwalkan mulai jam setengah delapan!) namun karena beliau mengatakan bahwa ada 1 tiket lebih yang mubazir bila tidak dimanfaatkan, mental gratisan dalam pikiran bawah sadar saya langsung menyeruak naik. Saya banting setir memutar balik menuju Pacific Place, dum dam dum... :-)

Untuk menghemat waktu, segera saya memakai parkir valet service. Saat tiba di depan Pacific Place, lobi sudah dipenuhi oleh kaum jetset yang terlihat jelas dari penampilan mereka, berbeda jauh dengan saya yang mengenakan T-shirt, skinny jeans, jaket kulit dan sepatu kets. Belakangan saya baru tahu bahwa harga tiket konser David Foster yang termurah saja Rp 1 juta dan yang termahal mencapai Rp 25 juta! Pantas saja orang-orang berdandan mewah untuk menghadiri konser ini...

Ruang ballroom Ritz Carlton telah disulap menjadi tempat konser yang elegan dan kursi-kursi sudah tampak terlihat penuh. Kami berenam harus duduk di barisan kursi paling belakang, untungnya disediakan dua layar besar yang terlihat jelas. Sambil menunggu sekitar 1 jam lebih, penonton berulang kali diperlihatkan iklan Surya Mild (sponsor utama) yang seolah-olah sengaja diputar untuk mencuci otak para audiens. Setelahnya layar berganti menjadi potongan video klip lagu-lagu populer yang disambung-sambung, dari sanalah saya baru menyadari bahwa hampir semua lagu yang ngetop di seluruh dunia adalah ciptaan David Foster!

Akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu, seluruh penonton serempak berdiri memberikan sambutan tepuk tangan yang sangat meriah. Terlihat seorang pria Kaukasoid paruh baya berambut perak dan berpakaian necis diterangi lampu sorot yang terang, dialah David Foster, Sang Legenda yang dielu-elukan seluruh orang pada malam itu.

David dengan ramah menyapa seluruh hadirin, dan saya tidak pernah lupa dengan sindirannya kepada para penonton yang duduk di barisan paling depan, "Hi, rich people!" Semua orang pun tertawa mendengarnya. Ya, David jelas menyindir orang-orang tajir yang rela membayar Rp 25 juta di untuk duduk di barisan kursi paling depan. Setelah berbasa-basi sejenak, kemudian ia memperkenalkan 4 pria yang tergabung di dalam The Canadian Tenors sebagai artis pembuka. Mereka menyanyikan lagu, Hallelujah dan The Prayer (aslinya dibawakan oleh Andrea Bocelli dan Celine Dion). Sambutan penonton cukup baik tetapi masih belum heboh.

Berikutnya, David memperkenalkan seorang penyanyi wanita yang sangat kental dengan musik jazz, Natalie Cole. Ya, menyimak namanya, ia memang puteri kandung dari penyanyi legendaris, Nat King Cole. Salah satu aksi panggungnya yang membuat saya bergidik merinding adalah saat ia membawakan lagu L.O.V.E dibarengi dengan video dan suara ayahnya di layar. Seakan-akan saya sedang menyaksikan kembali kebangkitan Nat King Cole menyanyi berduet dengan puterinya.

Artis ketiga yang mendampingi konser David setelahnya adalah Ruben Studdard. Bagi para penggemar American Idol, ia bukanlah sosok yang asing sebab Ruben adalah juara pertama American Idol di tahun 2003, mengalahkan Clay Aiken. Tubuhnya yang tambun dan suaranya yang sangat blues memang identik sekali dengan tipikal penyanyi-penyanyi kulit hitam pada umumnya. Namun yang membuat saya berkesan disini adalah David sempat mengajak penonton ikut berinteraksi dengan memikirkan sebuah kalimat yang akan dijadikan permainan dimana kalimat tersebut akan menjadi judul lagu yang harus dinyanyikan Ruben secara spontan. Bisa dibayangkan betapa serunya saat itu!

Salah seorang penonton konser menunjuk tangan dan berkata, "Who ate my fish!" David menyetujui dan ia lantas meminta Ruben menyanyikan lagu dengan judul tersebut secara spontan. Namun Ruben menunjukkan bakatnya, ia benar-benar bisa menyanyikan sebuah lagu secara spontan dengan nada yang memukau, diiringi denting piano David. Penonton pun sontak tertawa dan untuk pertama kalinya melakukan standing ovation.

Usai Ruben undur diri, David memperkenalkan artis berikutnya, Peter Cetera, yang di masa silam pernah bergabung ke dalam band legendaris, Chicago. Dengan pakaian sangat necis yang rasanya lebih cocok tampil sebagai penyanyi opera, Peter membawakan lagu-lagu hits seperti, "You're the Inspiration" dan "If You Leave Me Now". Seluruh hadirin pun turut larut menyanyi bersama-sama.

Setelah para penonton bertepuk tangan mengiringi Peter yang undur diri dari atas panggung, David berdiri dari pianonya dan bercerita bahwa ia percaya bahwa Asia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan dibarengi jumlah penduduk yang besar adalah masa depan dunia. Untuk itu, ia berharap bukan tidak mungkin kelak superstar kelas dunia berasal dari Asia dan mungkin salah satunya adalah artis yang ia bawa sebagai pemuncak acara, Charice!

Saya masih ingat, reaksi banyak penonton saat itu menunjukkan tipikal khas orang Indonesia, kurang apresiatif apalagi terhadap sesama orang Asia di tengah pertunjukan konser penyanyi bule. Charice berjalan di atas panggung dengan rambut panjang bergelombang yang disemir kecoklatan eksotis, mata sipit dan tubuh mungil, namun penuh aura kepercayaan diri yang meluap-luap.

Charice berbasa-basi sejenak, menceritakan bahwa ia berasal dari Filipina dan dulu sudah puluhan kali mengikuti kontes bakat menyanyi sejak kecil sebelum akhirnya ditemukan oleh David Foster. Ia lantas mengungkapkan bahwa ini adalah kesempatan kedua kalinya ia mengunjungi Jakarta. Sebelumnya ia mengaku pernah diundang menyanyi di acara ulang tahun pribadi seseorang (wow, siapakah gerangan orang yang tajir tersebut??).

Kemudian Charice membuktikan bahwa ia memang layak diikutsertakan menjadi salah satu artis yang mendampingi konser David Foster, bahkan layak ditempatkan di momen paling akhir sebagai artis pengisi puncak acara. Dengan suara yang luar biasa memukau, dibarengi power yang menggetarkan udara, Charice dengan lihai menyanyikan lagu-lagu hits dari Celine Dion dan Whitney Houston. Sontak para penonton yang tadinya agak meremehkan kini berbalik takjub dan tanpa dikomando seluruh hadirin memberikan standing ovation yang membahana, tidak hanya sekali-dua kali saja, namun berkali-kali! Jelas diperlukan suara yang sangat luar biasa untuk mampu menghipnotis penonton dari Indonesia berlaku seperti itu...

Mendekati penghujung acara, David mengundang semua penyanyi dan mereka semua berada di atas panggung, menyanyikan lagu Earth Song (dinyanyikan aslinya oleh Michael Jackson) bersama-sama, hingga akhirnya pamit undur diri dari hadapan penonton. Lampu ruangan dinyalakan namun mayoritas penonton masih tidak beranjak dari kursinya dan berteriak meminta encore, "We want more! We want more!". Beberapa menit kemudian, tiba-tiba David kembali muncul dari balik tirai dan duduk di bangku pianonya, spontan para penonton kembali berteriak histeris. Lampu kembali dimatikan dan ia memainkan sebuah melodi lagu selama kurang lebih sepuluh menit. Setelah itu, ia mengangkat tangannya, membungkuk mengucapkan terima kasih dan menghilang dari atas panggung. Lampu telah dinyalakan dan tampaknya sekarang konser telah benar-benar usai...

Sepulang dari Pacific Place, saya jelas-jelas tidak menyesal telah menghadiri konser David Foster walaupun sempat menggerutu di awal. Saya jadi mengerti mengapa David dengan sangat berani mengklaim dirinya sebagai "The Hit Man" mengingat semua karya-karyanya yang sudah langganan di Top Chart lagu-lagu dunia. Namun terlepas dari semua kebesaran yang ditorehkan David Foster, malam itu Charice-lah yang membuat saya sangat-sangat terkesan :-))

Senin, 30 Agustus 2010

One Odd Day

Hari Senin kelabu ini adalah salah satu hari teraneh di dalam hidup saya. Pagi hari untuk pertama kalinya mencoba naik Bus Transjakarta dari Sudirman ke Bundaran HI dan untuk pertama kalinya juga handphone saya dicopet! :-(

Alhasil saya harus pontang-panting pergi ke Gerai Indosat untuk memblokir nomor ponsel dan PIN BlackBerry, lebih melelahkan lagi saya harus mendatangi tiga Gerai Indosat di Sarinah, Mal Ambassador, dan Arta Graha hanya untuk mendapatkan stok SIM Card yang mereka punya. Namun di tengah saya pontang-panting dengan menaiki taksi, entah mengapa saya malah merasakan kesejukan dari keramahan dan rasa empati dua sopir taksi yang saya tumpangi saat saya berkeluh kesah tentang keapesan saya tersebut.

Sewaktu pulang malam harinya di areal parkiran kantor, lebih aneh lagi tiba-tiba saya berjumpa dengan seorang pria yang tidak tahu harus kemana akan pulang (sumpah, saya juga sama tidak percayanya dengan Anda waktu mendengar kata-kata pria tersebut). Ia mengaku baru seminggu bekerja di Jakarta dan menumpang di rumah Oomnya di daerah Cikarang. Entah bagaimana, Oomnya mendapat tugas ke Bogor dan tidak bisa menjemputnya dan ia bahkan tidak tahu jelas dimana alamat rumah Oomnya. Ajaibnya lagi, ia mengaku tidak punya sepeser uang, bahkan rekening tabungan di bank. Saya hanya bertanya-tanya, apakah pria ini punya motif untuk menipu saya?

Oke, secara logika ditambah dengan kondisi psikologis baru saja kehilangan handphone pagi harinya, saya berhak mengacuhkan pria aneh tersebut atau malah melempar urusan ini kepada satpam kantor. Namun entah mengapa, hati kecil saya merasakan iba kepadanya. Satu sisi di dalam diri saya ingin segera bergegas pergi saja mengatakan, "Sorry bro, it's not my business. I have my own problem, you know!". Namun di sisi lain, rasa kemanusiaan saya menyeruak dan menahan kaki saya untuk tetap diam di tempat.

Akhirnya, yah, sebutlah saya bodoh. Berbekal kartu namanya (dari kartu namanya, ia bekerja di salah satu kantor di Sampoerna Strategic Square sebagai Accounting), melihat sejenak KTP-nya dan kepercayaan buta, saya ikhlas meminjaminya uang agar ia bisa pulang ke daerah Cikarang dengan menggunakan taksi, meskipun saya masih ragu mengingat ia tetap mengatakan berulang kali tidak tahu jelas dimana alamat rumah Oomnya dan mengatakan mungkin akan turun di terminal. Ia berjanji, besok pada saat jam makan siang akan menjumpai saya bersama dengan Oomnya sembari mengembalikan uang yang saya pinjami tersebut. Saat saya menutup pintu taksinya, saya menjabat tangannya sejenak sembari berkata pelan, "Mas An**, meskipun saya baru tertimpa musibah, saya percaya dengan Anda dan semoga Tuhan melindungi Anda".

Ketika pulang, entah mengapa saya jadi bingung dan menangis sendiri di dalam mobil. Benar-benar satu hari yang aneh, tertimpa musibah kecopetan di pagi hari dan mendadak membantu seorang pria asing yang kebingungan di malam hari.

God, did You put me to the test? Tuhan, tolong berikan hikmat-Mu kepadaku...

Kamis, 05 Agustus 2010

The Effortless Effort


"In the future, everyone will be world famous for fifteen minutes." (Andy Warhol)
Belakangan ini semua orang tampaknya sedang kompak membicarakan topik yang sama, yaitu "Keong Racun". Konon bermula dari trending topic di Twitter, akhirnya "Keong Racun" merambah ke status-status di Facebook, Yahoo Messenger, BlackBerry Messenger, hingga lantas bergulir dari mulut ke mulut begitu cepat. "Keong Racun" di sini bukanlah hewan moluska yang mengandung racun, melainkan sebuah judul lagu dangdut koplo!

Bagaimana kisah awal mula popularitas "Keong Racun" yang membahana kemana-mana ini? Ternyata semuanya berawal dari keisengan dua gadis bernama Sinta dan Jojo yang coba-coba bernyanyi lip-sync membawakan lagu "Keong Racun" dan menguploadnya ke YouTube. Hasilnya luar biasa, dalam waktu singkat video live action-nya telah ditonton oleh ribuan orang dan dibicarakan di Twitter sehingga mendongkrak nama "Keong Racun" dalam trending topic. Berikutnya wabah "Keong Racun" menggelinding semakin besar seperti efek bola salju tanpa dapat dikendalikan lagi. Apa yang tampaknya menjadi trigger fenomena ini?

Lagu "Keong Racun" sebelumnya merupakan lagu dangdut koplo biasa yang hanya dikenal kalangan terbatas saja. Penciptanya dan penyanyi aslinya bahkan nyaris tidak pernah dikenal publik secara luas. Tetapi dua anak muda yang iseng berhasil menjadikan "Keong Racun" menjadi fenomena nyaris tanpa publikasi sama sekali. Ini menunjukkan bahwa di dunia Marketing 2.0, pola pikir tradisional yang menonjolkan kualitas produk semata tidak akan bisa berhasil. Resep kesuksesan "Keong Racun" di dunia Marketing 2.0 adalah lagu yang ear catchy dibawakan oleh dua gadis manis dengan gaya fun semau gue di YouTube, bisa ditonton gratis kapan pun, dan yang terpenting bisa di-share seru-seruan ke peer group. Dengan sendirinya orang-oranglah yang mengiklankan "Keong Racun" melalui file sharing ke teman-temannya sendiri. Mereka mau melakukan itu karena merasa bahwa yang dilakukannya bukanlah komersialisasi iklan. Bisa dibayangkan seandainya yang membawakan "Keong Racun" adalah penyanyi sekaliber Agnes Monica, tentu saja tidak akan ada banyak orang yang mau melakukan file sharing secara sukarela.

Semua unsur di atas terangkum manis di dalam satu nama: "Keong Racun". Sebuah nama yang aneh namun dengan cepat bertransformasi menjadi kosakata baru yang ajaib, mudah menempel di kepala dan tidak keluar-keluar. Dalam Public Relations, langkah pertama bila ingin mempopulerkan sesuatu, adalah dengan menciptakan kosakata baru yang berpotensi menggantikan kata kerja (contoh paling gampang: Googling dan Tweeting).

Impact dari fenomena "Keong Racun" ini sangat dahsyat! Sinta dan Jojo mendadak menjadi selebritis instan. Diliput acara televisi, diwawancarai, difoto, masuk ke artikel berita, bahkan hingga dikontrak oleh sebuah manajemen musik, barangkali adalah hal-hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bahkan diberitakan bahwa Rektor Universitas Pasundan sampai berniat memberikan beasiswa penuh kepada Jojo karena dianggap turut berjasa mempopulerkan nama universitasnya. Seakan masih kurang heboh, tiba-tiba muncul pula rekaman lagu "Keong Racun" di YouTube yang dibawakan oleh dua gadis bule!

Can you imagine the domino effect? Semuanya dimulai dari keisengan melalui YouTube, menggila di dunia Web 2.0 (Twitter, Facebook, YM, BBM), dan akhirnya meluas kemana-mana di dunia nyata. Peran Social Networking Sites dalam membentuk sebuah tren atau opini publik semakin nyata. Ini adalah tantangan sekaligus sebuah kemudahan sebenarnya bagi para pemasar untuk menjalankan strategi marketing. Bayangkan tanpa mengeluarkan biaya besar untuk periklanan tradisional, kita bisa menggunakan media sosial di internet sebagai corong publikasi secara efektif. Namun kelemahannya hanya satu, yaitu mencari trigger apakah yang mampu membuat orang-orang merasa memiliki keterlibatan emosional sehingga mereka akan rela menyebar-luaskan sebuah brand di internet karena merasa sebagai bagian dari identitas sebuah brand dan bukannya sebagai pengiklan gratisan.

Tidak selamanya peran media sosial di internet menjadi sesuatu yang positif bagi para produsen. Bila tidak diperlakukan dengan baik atau dikontrol dengan benar, media sosial di internet malah akan menjadi senjata bumerang yang sangat kejam. Nissin Wafers pernah mengalami hal tersebut. Melalui promosi fanpage Nissin Ngumpul Seru di Facebook, pihak Nissin melakukan blunder dengan menulis status yang seolah mengajak Facebookers menonton video porno Ariel sembari memakan Nissin Wafers. Alhasil hujatan pun menghujani wall Nissin di Facebook. Akhirnya Nissin meminta maaf namun berdalih ada seseorang yang telah meng-hack akun fanpage-nya di Facebook dan menulis status ngawur tersebut.

Web 2.0 seperti petir. Bila digunakan dan dikendalikan dengan benar, ia bisa menjadi listrik yang membantu kehidupan. Namun bila salah, ia bisa menyengat dan menghanguskan. Web 2.0 membantu menyebarkan sisi positif mengenai Anda atau juga sisi negatif tentang Anda dengan cepat (tentu saja lebih cepat tersebar segala sesuatu yang negatif). Teknologi 2.0 mengizinkan terjadinya interaksi dua arah antara produsen dan konsumen, tidak lagi satu arah top-down dari produsen ke konsumen semata.

Menciptakan Buzz Marketing sesungguhnya gampang-gampang susah. Gampang di awalnya namun sangat susah untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Contoh paling nyata adalah produk obat sakit kepala Dumin. Berbekal tantangan ambisius agar brand Dumin mampu menjadi bahan pembicaraan orang-orang dalam waktu singkat, agensi kreatif yang menaunginya memutuskan untuk menciptakan karakter fiktif bernama Ririn Dumin. Ririn dikisahkan sebagai perempuan atraktif yang supel, optimistis, ceria, dan bercita-cita menjadi seorang artis. Untuk itu ia rela mengikuti beragam audisi dan sering curhat mengenai kejadian sehari-harinya melalui video-video yang dipost ke YouTube. Supaya tampak nyata, Ririn pun juga memiliki akun di Facebook, Twitter, bahkan menempel selebaran-selebaran di pinggir jalan lengkap dengan nomor handphone yang tampaknya fiktif.

Impact telah berjalan. Orang-orang mulai membicarakan siapakah sebenarnya Ririn Dumin ini. Ada yang percaya bahwa ia benar-benar nyata, namun ada pula yang menuduhnya hanyalah akal-akalan produsen untuk berpromosi saja. Hingga akhirnya Ririn diceritakan berhasil dikontrak menjadi bintang utama di iklan pertamanya. Coba tebak apa iklan pertama Ririn? Anda benar, obat sakit kepala Dumin! Itu adalah iklan pertama Ririn dan tampaknya juga yang terakhir. Setelah penasaran itu terjawab, orang-orang dengan cepat melupakan nama "Dumin".

Meskipun fenomena "Keong Racun" adalah salah satu contoh Public Relations yang paling sukses dalam sekejap tetapi saya pribadi berpendapat bahwa fenomena "Keong Racun" ini bukanlah sebuah tren melainkan sebuah fad. Pada prinsipnya fad melejit dengan cepat namun juga kandas secepat lahirnya. Sedangkan tren meluas tidak secepat fad namun matinya juga perlahan-lahan. Secara gampang, bisa dikatakan bahwa fad adalah tren yang mati terlalu cepat. Kita lihat bersama saja, sampai kapankah fenomena "Keong Racun" akan bertahan?

Sabtu, 19 Juni 2010

Oceans


"Suatu hari, seorang anak lelaki yang melihat laut bertanya kepadaku, apa itu samudra?"

Film ini dibuka dengan kalimat pertanyaan tersebut. Seorang anak lelaki dengan pandangan polos penuh harap bertanya kepada seorang pria paruh baya di hadapannya. Pria itu lantas dengan penuh kebapakan mengantarnya masuk ke dalam dunia menakjubkan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Entah mengapa pertama kali saya membaca kalimat pembuka tersebut, saya jadi teringat kisah sastra "The Old Man and The Sea" milik Ernest Hemingway.

Oceans merupakan sebuah film dokumenter Perancis yang bercerita mengenai samudra dan kehidupan di dalamnya. Meskipun berjenis film dokumenter, namun Jacques Perrin dan Jacques Cluzaud menyajikan film ini dengan sangat menarik; terasa hidup, dramatis, dan membebaskan penonton dari segala interpretasi serta impresi yang menggurui. Film ini sebelumnya sudah diputar secara terbatas pada Festival Sinema Perancis 25 April lalu di Platinum XXI FX Plaza (sebenarnya Oceans memang dijadwalkan dirilis bertepatan dengan Earth Day 22 April di seluruh dunia). Sungguh beruntung akhirnya film ini diputar lagi untuk publik di bioskop 21 (meskipun hanya terbatas di bioskop-bioskop 21 tertentu saja) dan pada bulan Juni ini, akhirnya saya berkesempatan menontonnya!

Mahluk pertama yang hadir di film ini adalah seekor reptil yang memiliki kemampuan adaptasi yang mengagumkan, seekor iguana laut. Meskipun memiliki fisik yang serupa dengan iguana biasa, namun reptil ini mampu menyelam di lautan lepas sembari memakan rumput-rumput laut. Anda akan menyaksikan bagaimana reptil ini berenang mengibaskan ekornya dengan luwes, dan selama persekian detik saya merasa seperti menonton seekor monster prasejarah yang sedang berenang di lautan di sebuah film Hollywood. Kemudian di pesisir pantai, beberapa horse shoe crab terlihat mendarat dan berkumpul. Mereka adalah mahluk-mahluk bercangkang yang membuat Anda merasa mengunjungi kembali Bumi di awal zaman Pleistosen. Tetapi bagian terbaiknya adalah di saat narasi film ini bertutur bahwa prasangka kita selama ini bahwa kehidupan di alam selalu sama dan berulang-ulang tiap generasi adalah salah sebab perubahan datang begitu cepat. Kemudian tampaklah kumpulan iguana laut yang sontak merasa gugup saat di langit kejauhan terbit sesosok matahari yang terang dengan suara yang sangat menggetarkan diikuti kepulan debu raksasa. Sosok matahari itu pelan-pelan terus naik tinggi dan memperlihatkan wujud aslinya, sebuah roket milik peradaban cerdas.

Berikutnya serombongan ubur-ubur raksasa berwarna kuning mencolok terlihat beriringan menyeberangi lautan dengan ritme tubuh yang rileks seolah mereka semua telah memiliki kesepakatan telepatik untuk sampai di sebuah tempat tujuan yang sama. Kemudian sekumpulan ikan-ikan kecil dengan sisik-sisiknya yang berkilauan dengan koreografi yang indah bergantian membentuk beragam bentuk-bentuk yang mengagumkan. Dan sudah menjadi hal yang pasti bahwa sekumpulan spesies kecil akan selalu mengundang predator dalam jumlah banyak. Tiba-tiba seperti undangan yang sudah tersebar luas, sekawanan lumba-lumba dengan cicit riang berjumpalitan menyambar ikan-ikan tersebut, ikan sailfish membelah lautan dengan moncong tombak dan kecepatannya yang luar biasa, ikan-ikan pari yang melayang anggun, burung-burung camar yang terbang tinggi lalu menukik turun menyelam ke laut mematuk ikan-ikan, dan tak ketinggalan di sudut perburuan beberapa ikan hiu dengan langkah penuh percaya diri melahap ikan-ikan yang ada. Seperti sudah direncanakan sebagai pesta meriah yang menyenangkan semua tamu, paus bungkuk ikut berpartisipasi di tengah-tengah keramaian, dan akhirnya film ini menangkap sebuah pertunjukan utama yang spektakuler dari alam, di saat paus bungkuk ini menyibak ke atas permukaan lautan dan di sekelilingnya burung-burung camar seolah bergantian meluncur masuk ke lautan seperti sederet peluru yang ditembakkan secara berurutan, seolah menonton sebuah pertunjukan teater Broadway yang memukau!

Kita juga akan menelusuri keanekaragaman kehidupan di dalam lautan. Keajaiban yang memancar dalam spesies-spesies indah yang belum pernah kita saksikan sebelumnya. Mahluk-mahluk unik berwarna cerah mencolok atau pun bersirip luar biasa menakjubkan sehingga membuat mata kita seolah menyaksikan parade busana milik mahluk-mahluk bawah laut. Anda bahkan akan merasa tidak lagi berada di Bumi namun di sebuah planet asing saat menyaksikan gerombolan kepiting-kepiting yang merangkak dan bertumpuk-tumpuk di dasar samudra. Teman saya berkelakar bahwa mereka mengingatkannya pada mahluk-mahluk arachnida di film Starship Troopers.

Rasakan pula aura keagungan yang menyelubungi saat beberapa paus bungkuk (humpback whale) terlihat bergerak dengan penuh keanggunan. Dengarkan pula gaung suara-suara paus yang membahana, mengumandangkan kebijaksanaan kuno yang merasuk di setiap hati manusia yang mendengarkannya, membuat saya seperti merasakan bahwa mereka bukan hanya mahluk terrestrial namun juga mahluk spiritual.

Begitu pula dengan lumba-lumba yang selalu terlihat aktif dan ceria. Tatapan mata mereka yang cerdas disertai serentetan pulsa cicitan riang, mengesankan bahwa mereka adalah spesies yang mampu bersosialisasi dan mengenali eksistensi dirinya sendiri. Konon lumba-lumba merupakan spesies yang bahkan lebih cerdas dari simpanse. Tidak ketinggalan anjing laut, walrus, pinguin, dan beruang kutub juga ikut dihadirkan di dalam film ini.

Yang juga membuat saya merinding adalah saat film ini menangkap dengan begitu mendetail, lompatan seekor hiu putih raksasa (great white shark) yang menelan hidup-hidup seekor anjing laut di udara! Ketika anjing laut itu merasa frustasi tidak mampu meloloskan diri dari kejaran hiu, ia mencoba melompat ke udara untuk menyelamatkan diri namun ternyata seekor hiu putih raksasa juga mampu melompat ke udara sebaik anjing laut tersebut. Ada pula kisah mengenai kegigihan anak-anak penyu yang harus segera mencapai lautan lepas saat mereka baru saja menetas. Bila mereka berhenti sebentar saja, dengan segera burung-burung tanpa sungkan menyambar dan menjadikan mereka sebagai kudapan lezat.

Kehidupan di samudra lepas penuh warna sekaligus bahaya. Para predator berkeliaran dimana-mana dalam bentuk apa saja. Namun samudra belum pernah menghadapi musuh yang paling berbahaya dari semuanya sepanjang sejarah, yaitu kita, Homo sapiens. Peradaban modern semakin mencemari samudra dengan sampah-sampah sekaligus polusi yang mengalir deras dari arteri-arteri sungai, langsung menusuk menuju jantung samudra. Sebuah adegan terekam saat seekor anjing laut berenang di lautan dangkal yang penuh sampah, termasuk sampah berbentuk sebuah keranjang troli supermarket!

Di sebuah tempat di lautan, terdapat sebuah dinding panjang kokoh yang menghadang perkasa ombak-ombak samudra. Dinding-dinding yang terbuat dari jalinan jaring-jaring yang setiap harinya menjerat begitu banyak mahluk-mahluk indah di lautan. Bahkan seekor paus bungkuk pun tidak mampu melepaskan diri dari jerat tersebut. Mahluk-mahluk tersebut tidak dapat meloloskan diri. Semakin meronta-ronta, semakin erat mereka terjerat dan pelan-pelan kematian akan menghampiri memeluk mereka yang tertambat di antara jaring-jaring yang terbentang luas tersebut.

Perburuan adalah salah satu bagian dari dominasi manusia, beberapa di antaranya nyaris tidak bisa dibedakan dengan pembantaian. Terlihat saat kapal-kapal raksasa meluncurkan peluru-peluru harpun yang menusuk paus-paus malang sehingga lautan berbuih merah penuh darah. Demikian pula aksi pembantaian massal lumba-lumba di wilayah Taiji, Jepang (adegan ini diekspos secara mendetail di film dokumenter lainnya, The Cove). Tetapi adegan yang paling memilukan adalah saat beberapa nelayan berwajah oriental menangkap seekor ikan hiu biru (blue shark). Dengan cekatan mereka memotong semua sirip dan ekornya lantas melemparkan kembali hiu tersebut ke lautan dalam kondisi hidup-hidup! Hiu itu pelan-pelan tenggelam tak berdaya ke dasar lautan yang dingin. Mulutnya yang membuka-menutup seolah berteriak kesakitan tanpa suara dan matanya yang hitam bulat penuh seperti merefleksikan semua ketidaktahuannya mengapa ia harus dihukum seperti itu. Di Asia, sirip dan ekor hiu memang laris-manis menjadi makanan mahal dan bahan obat-obatan walaupun menurut penelitian sesungguhnya manfaat sirip dan tulang rawan hiu selama ini terlalu dilebih-lebihkan. Rasa lezat yang tersaji di santapan sirip ikan hiu sebenarnya tak lebih dari kaldu ayam yang menyertainya.

Film Oceans berusaha membuktikan bahwa sebenarnya manusia bisa hidup berdampingan dengan spesies-spesies lain. Sungguh mengagumkan melihat seorang penyelam berenang bersama seekor paus bungkuk. Manusia yang kecil dan terlihat rapuh di hadapan sesosok mahluk raksasa yang mempesona. Paus itu seakan mengerling dan membiarkan penyelam tersebut sedekat mungkin dengan dirinya, memamerkan aura kewibawaannya yang menyeruak keluar. Bahkan ada pula seorang penyelam yang berenang berdampingan dengan seekor ikan hiu biru! Predator tersebut bahkan seolah terlihat tidak menghiraukan kehadiran penyelam tersebut. Gambaran hiu di film-film Hollywood benar-benar terlalu berlebihan.

Sebagai mahluk yang paling cerdas sekaligus rakus, manusia adalah ancaman sekaligus harapan bagi alam. Banyak kepunahan spesies-spesies yang diakibatkan oleh kesembronoan manusia. Pria paruh baya itu bertanya kepada orang-orang yang tidak kelihatan di sebuah museum yang memajang ratusan koleksi hewan-hewan laut yang diawetkan, "Apakah kita akan membiarkan daftar kepunahan mahluk-mahluk ini terus berlanjut?" Pria itu lantas mengajak anak laki-laki itu menatap pemandangan samudra yang gemerlap penuh mahluk-mahluk eksotik yang berenang di dalamnya. Akankah keajaiban ini kelak harus kita saksikan terkungkung di sebuah akuarium kaca raksasa buatan manusia karena kita tidak mampu menjaganya di samudra lepas di luar sana?

Buat saya pribadi, duo Jacques menampilkan sebuah film dokumenter yang sangat indah sekaligus memukau mengenai samudra dan Bumi. Film ini ditampilkan dengan kualitas visual yang sangat baik, sinematografi yang menakjubkan, dan audio yang sangat jernih (Anda bahkan dapat mendengarkan suara penyu dan kecipak air dengan jelas) dan juga diiringi musik-musik orkestra yang menyenangkan. Saya pribadi sangat merekomendasikan film Oceans. Prenons soin de l'océan!

Rabu, 28 April 2010

Humanity in 21st Century Reflection

Photography by: Monica Szczupider

Foto di atas termasuk salah satu dari kompilasi galeri foto "Vision of Earth 2009" yang dicanangkan National Geographic. Tampak seekor simpanse betina berusia 40 tahunan bernama Dorothy meninggal di Pusat Rehabilitasi Simpanse Sanaga-Yong di Kamerun. Dorothy memiliki masa lalu yang cukup kelam. Selama 25 tahun, ia menghabiskan hidup dengan leher dirantai dan dilatih merokok serta meminum bir untuk menghibur pengunjung, sampai akhirnya ia diselamatkan. Yang membuat semuanya menjadi luar biasa adalah respon keluarga simpanse yang menyaksikan penguburan Dorothy. Disebutkan bahwa beberapa dari mereka menunjukkan ekspresi agresi dan teriakan-teriakan frustasi. Tetapi yang paling mencengangkan adalah ketertarikan mereka semua memperhatikan Dorothy dalam kesunyian. Seolah mereka memahami bahwa Dorothy tidak akan pernah ada di antara mereka lagi.

Hal itu membuat saya sedikit merinding. Sampai sebatas mana simpanse mampu menunjukkan rasa empati dan kesedihan? Sampai sejauh mana simpanse mampu memahami makna duka cita kehilangan salah satu anggota keluarganya? Apakah mereka telah mengenali eksistensi jati dirinya sendiri? Sadar akan keberadaan dirinya sendiri sebagai "sebuah mahluk", seperti halnya Rene Descartes yang menegaskan eksistensi manusia lewat "Cogito Ergo Sum" (I Think Therefore I Am). Apakah semua pemahaman manusia selama ini terhadap binatang perlu ditinjau ulang?

Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa binatang mungkin dapat menunjukkan emosi secara terbatas. Tetapi pengamatan secara awam bisa salah mengenali emosi-emosi tersebut karena manusia memiliki kecenderungan apa yang disebut anthromorphism, memberikan atribut-atribut manusia kepada sesuatu selain manusia (hewan, tumbuhan, dewa, batu, dsb). Ini berarti dongeng mengenai Si Kancil yang gemar mencuri timun di ladang Pak Tani juga bisa dikategorikan ke dalam salah satu contoh penerapan anthromorphism.

Tetapi bagaimana seandainya primata-primata tersebut memiliki konsep-konsep manusiawi yang jauh lebih kompleks dari yang pernah kita duga? Bahwa ternyata mereka tidak seprimitif yang kita sangka? Mungkinkah mereka juga mengenal emosi cinta yang memaksa mereka untuk menjalani kehidupan monogami? Mungkinkah mereka merasakan keimanan terhadap konsep Ketuhanan? Mungkinkah justru mereka yang selama ini mengamati kita dan mempergunjingkan semua kelakuan kita saat sedang bersantai ria di pepohonan? Apakah semua yang ditulis Darwin itu sedang terjadi, bahwa kita sedang menyaksikan sebuah lompatan evolusioner?

Sebaliknya di satu sisi, stereotip para pria yang paling umum adalah mereka hanyalah mahluk Homo sapiens dengan keinginan-keinginan dasar dan kecenderungan-kecenderungan sederhana. Mereka hanya tertarik dengan makan, berburu, dan seks. Some people rather call men are modern apes! Pria, seperti halnya semua pejantan dilaporkan sering bertindak agresif, mempertontonkan dominasi terhadap teritorial dan pasangan dari rival-rivalnya, dan juga memiliki kecenderungan mengawini betina sebanyak-banyaknya. Karena pria mewarisi kandungan testosteron yang meluap-luap dari nenek moyangnya sebagai pemburu ulung dan mempertahankan keturunannya. Sampai detik ini pun, pria-pria masih bangga memegang label sebagai pemegang garis keturunan dengan mempertahankan nama keluarga mereka.

Sedikit rumit dari para pria, wanita diciptakan sangat atraktif. Wanita memiliki keinginan-keinginan besar dengan kecenderungan-kecenderungan tidak terprediksi. Kelakuan wanita seringkali tidak mampu diramal oleh mesin logika pria. Bila pria memiliki tombol On dan Off, maka wanita mungkin memiliki sedikitnya 50 tombol yang saling berkaitan. Wanita memang memiliki sisi emosi yang lebih kompleks dari pria. Otak wanita terprogram untuk mampu melakukan berbagai aktivitas dalam satu kesempatan (multitasking) karena kedua belahan otaknya terhubung dengan seikat saraf corpus callosum yang lebih tebal dari milik pria. Karena itu sangat wajar bila seringkali para pria kebingungan untuk mampu memahami wanita.

Namun pada era-era sekarang, stereotip itu sedikit bergeser. Pria bukan lagi mahluk yang maskulin, kasar, dan liar. Dulu mereka memanggul tombak, menenteng pisau, dan mengokang senapan. Sekarang mereka menenteng BlackBerry sambil menenggak Cognac dengan belahan rambut tersisir rapi, sepatu mengkilap, dan aroma parfum yang tersebar. Pria masa kini semakin memperhatikan penampilan, citra diri, bahkan menjadi perasa. Alih-alih menjadi Mars yang rasional, dunia kini perlahan-lahan menjelma menjadi Venus yang emosional. Sosok-sosok modern seperti David Beckham dan Edward Cullen telah menggantikan sosok macho Charles Bronson atau Clint Eastwood. Fenomena "pria metroseksual" semakin tidak dapat dibendung. Sekalipun awalnya dicerca sebagai pria banci pesolek atau gay, perlahan-lahan para pengoloknya juga terbawa arus untuk semakin peduli berdandan. Yah, pria sekarang seolah mulai "berevolusi" secara mental dan kelakuan untuk menjadi wanita... Like it or not, it's the fact.

Jadi saya dapat berkelakar bahwa, if the chimps will begin act like men and men were modern apes, hence women are the future of men!




Kamis, 22 April 2010

God Lives in Serengeti









Source: Nick Brandt Photography. All rights reserved.

Happy Earth Day on April 22, people!

Selasa, 20 April 2010

I LOVE US


<"This is not a love story. This is a story about love.">

(500) Days of Summer adalah film drama... err what I suppose to call it, a romantic-but-tragic-with-alittlebit-comedy-drama? Sebuah kisah cinta dari seorang pemuda bernama Tom Hansen dan seorang gadis, Summer Finn. Awalnya mungkin terdengar klise, Tom merasakan sebuah chemistry saat pertama kali bertemu Summer. Kepercayaannya terhadap nilai-nilai seperti cinta sejati, takdir, keajaiban cinta dan puisi-puisi cinta, membuat Tom merasakan bahwa Summer adalah jawaban dari semua pencarian hatinya selama ini. Summer adalah kepingan puzzle terakhir yang melengkapi semua rangkaian mozaik indah di dalam hati Tom.

Tom memberikan sinyal-sinyal ketertarikan kepada Summer dan gadis itu tidak menolaknya, meskipun pada beberapa detail, terlihat isyarat yang nyaris tersamar bahwa Summer tidak menerima Tom sepenuhnya. Who cares? Mereka berdua menjalani hari demi hari seperti pasangan normal lainnya di seluruh dunia; menonton bioskop bersama, makan bersama, bercanda penuh keakraban, saling bertukar pikiran, berdansa, bahkan berciuman mesra dan tidur bersama. Tom merasakan semuanya berjalan sempurna namun ia tidak pernah mendengar sekalipun ucapan cinta dari Summer.

Saat Tom bergumul di dalam kepalanya sendiri dan meminta saran dari sahabat-sahabatnya, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada Summer, sedang ke arah manakah hubungan kita berjalan saat ini? Summer tidak memberikan jawaban yang jelas. Ia hanya menjawab, "Well, I am happy. Are you happy?" Tom hanya tersenyum memaksakan diri seolah semuanya memang berjalan baik-baik saja.

Hingga memasuki hari ke 400, hubungan Tom dan Summer mulai renggang. Tom tetap berusaha melihat Summer dengan tatapan mata yang berbinar seperti di hari pertama ia memandangnya. Tetapi Summer mulai memberi jarak di antara mereka berdua. Hingga akhirnya setelah cukup lama tidak bertemu, Summer mengundang Tom ke pesta pribadinya di sebuah apartemen. Tom datang dengan setelan pakaian paling rapi, belahan rambut paling keren, dan membawa hadiah buku kesukaan Summer. Di sinilah, Marc Webb sebagai sutradara membuat ilustrasi scene yang sangat menyentuh dalam ironi. Marc membuat layar televisi Anda terpisah menjadi dua, antara ekspektasi di dalam kepala Tom dan realita yang terjadi.

Di dalam scene ekspektasi, semuanya mengalir manis dan indah. Summer membuka pintu, menciumnya lembut dan mengajaknya masuk. Saat ia membuka hadiah dari Tom, Summer kembali menciumnya dengan senang. Di sana mereka berdua terlibat pembicaraan akrab sepanjang waktu, tidak terpengaruh para tamu lainnya, dan berdiri berdampingan di balkon sambil memegang segelas sampanye dan menatap langit senja. Sedangkan di scene realita, Summer membuka pintu dan memeluknya sekilas. Saat membuka hadiah dari Tom, ia hanya menyentuhkan tangan di bahu Tom sebagai tanda simpati. Tom terlibat pembicaraan basa-basi dengan teman-teman Summer dan menjelang sore, Tom sendirian menenggak sebotol sampanye di balkon. Ia menunggu Summer selesai dengan semua teman-temannya. Sayang semua penantian Tom menjadi tercerai-berai saat ia melihat Summer dengan ekspresi bahagia memamerkan sebuah cincin yang melingkar di jarinya kepada seorang temannya.

Tom merasakan dunia yang ia pijak runtuh seketika. Ia keluar dari apartemen Summer tanpa merasa perlu pamit kepadanya. Dari sana, ia merasa frustasi dan tidak bisa mengerti bagaimana ini semua bisa terjadi. Sampai akhirnya suatu saat Summer berhasil menjelaskan semuanya kepada Tom mengapa itu semua harus terjadi. Summer pernah mengatakan bahwa ia tidak ingin menjadi pacar seseorang. Ia tidak percaya akan cinta. Ia meyakini bahwa pernikahan hanyalah awal dari sebuah perceraian, seperti halnya pernikahan kedua orangtuanya. Tetapi sekarang, Summer telah menikahi seorang pria dan pria itu bukanlah Tom.

But the best part is not yet to come, tepat di hari ke 500, melalui sebuah peristiwa kebetulan yang sempurna, Tom menemukan sesosok gadis lain. Sejak itu hari-hari milik Tom kembali di-reset menjadi hari ke 1 bersama seorang gadis cantik bernama Autumn. Tom kini mempercayai bahwa tidak ada yang namanya keajaiban cinta sejati atau takdir. Semua hanyalah kebetulan semata.

Ini adalah film yang memukau, menurut saya. Sangat jarang melihat film bertema cinta yang dilihat dari sudut pandang pelaku seorang pria. Film ini memberikan pesan bahwa sesungguhnya perempuan itu tidak selalu lemah dalam sebuah hubungan cinta. Seringkali justru perempuanlah yang memegang kendali sebuah hubungan. Pria yang sedang jatuh cinta akan dibutakan oleh serbuan hormon testosteron yang menyala-nyala di dalam dirinya. Sebaliknya, wanita mampu merasakan kapan cinta itu seharusnya tidak mereka miliki. Dalam film di atas, Summer secara gampang tidak pernah benar-benar merasa yakin terhadap Tom, meskipun Tom Hansen merasa sudah memberikan segalanya yang terbaik. Sampai entah bagaimana Summer berjumpa dengan seorang pria lain yang mampu memberi keyakinan itu kepada Summer Finn.

Tetapi kabar baiknya adalah, there's still a plenty of fish in the sea. Keep your heart open hence the sunshine could shine in. Ada kata-kata bijak yang mengatakan, saat sebuah pintu menutup, pintu yang lain akan terbuka. Kadang-kadang kita terlalu terfokus pada pintu yang menutup itu sehingga tidak memperhatikan pintu lain yang membuka untuk kita. Broken heart is hard but life goes on. They who reject you, protect you from someone who doesn't want you and leaves room for someone who does. You just haven't met your someone special yet!

Dedicated to all men who ever broken their hearts.

Senin, 08 Maret 2010

My Ambigram

Ambigram adalah seni tulisan yang dapat dibaca sebagai sebuah atau beberapa kata yang sama, tidak hanya dari satu bentuk bagaimana ia ditampilkan, tetapi juga dari banyak sudut pandang, arah, dan orientasi yang berbeda (Wikipedia, "Ambigram", 2010).

Saya pribadi baru aware apa itu ambigram setelah membaca novel Dan Brown, Angels & Demons. Di novel itu, tulisan "Angels & Demons" dibuat menjadi sebuah ambigram sehingga bisa tetap dibaca sama biarpun dibalik. Di dalam cerita itu, terdapat sebuah organisasi kuno rahasia, Illuminati yang juga memiliki simbol yang berupa ambigram namanya sendiri.

Kebetulan, sekitar bulan Juli 2009, salah seorang desainer grafis bernama Hariadi sedang mengadakan proyek ambisius menciptakan desain ambigram sebanyak-banyaknya demi mengejar target dapat ditampilkan di hasil search teratas pada Google. Alhasil, ia pun juga berbaik hati mau membuatkan nama saya menjadi sebuah ambigram. Sudah lama berlalu sih memang, tetapi saya baru kepikiran untuk meng-upload desain ambigram ini sekarang :-)