Selasa, 25 Maret 2008

The Sign of Design

Apa sih "Desain Grafis" itu? Kebanyakan orang hanya manggut-manggut sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal saat mendapat pertanyaan itu. Hal serupa terjadi saat saya memutuskan untuk kuliah mengambil jurusan di atas yang diberi nama lain, 'Desain Komunikasi Visual.' Bila ditanya, "Kuliahnya jurusan apa, dik?" Lantas saya jawab, "De ka ve, oom. Itu Desain Komunikasi Visual." Hampir pasti penanya tadi juga hanya manggut-manggut sembari mengucapkan, "Ooooo..." yang dapat dipastikan ia sama tidak tahunya andai kita menjawab, "Jurusan Akuntansi Forensik, Nanoteknologi, Filsafat, Kriminologi, Mekatronika, atau Manajemen Risiko."

Apakah benar 'Desain Grafis' memang merupakan hal yang masih baru di Indonesia, sehingga masih merupakan hal yang asing di masyarakat awam? Memang harus diakui bahwa bidang keahlian ini baru benar-benar booming setelah tahun 2000-an, ditandai dengan dibukanya jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) di banyak universitas, walaupun sampai sekarang pun masih banyak orang yang tidak benar-benar memahaminya. Jujur, saya sendiri sewaktu mendaftar di jurusan DKV pada tahun 2002, juga diliputi banyak ketidaktahuan dan ada sedikit gambling (saat itu baru diakreditasi C karena baru dibuka pada 1998). Yang saya tahu saat itu dan juga persepsi banyak orang awam adalah tugas di DKV hanyalah menggambar dan menggambar.

Setelah berada di dalamnya; mengalami, melakukan, berinteraksi, dan berkarya, hingga menyelesaikan kuliah dalam waktu 5 tahun, persepsi saya pada awal masuk kuliah terhadap DKV tersebut pelan-pelan luntur. Supaya hal ini menjadi lebih jelas, marilah kita simak dahulu esensi dari 'desain'. Berasal dari bahasa Inggris, design; mempunyai arti rancang dan bangun. Menurut Masuwiek ("Desain Menuju Sebuah Perkembangan", 28 Nov 2006, www.masuwiek.blogsome.com), dapat disimpulkan bahwa definisi desain adalah proses, cara, perbuatan dengan mengatur segala sesuatu sebelum bertindak atau merancang. Menurut Masuwiek juga, sebenarnya masyarakat Indonesia sudah akrab dengan kegiatan 'desain', yaitu: menempa, mengukir, merancang, menata, membangun, menggambar, dsb. Sementara "grafis" berasal dari bahasa Inggris juga, graphic (asal mulanya dari bahasa Yunani, Graphein), yang berarti gambar. Jadi definisi desain grafis (graphic design) secara sederhana adalah: merancang gambar (visual).

Desain masih belum sepenuhnya diterima sebagai bidang ilmu, layaknya kedokteran, arsitektur, atau akuntansi. Hal ini bisa dimaklumi karena perkembangannya sendiri memang masih muda, yaitu setelah era Perang Dunia II. Sekalipun begitu ada pula yang mengklaim bahwa coretan-coretan di dinding gua manusia purba sudah dapat dikategorikan sebagai awal mula 'desain' :-) Sebenarnya desain memang dapat diterima sebagai bidang ilmu karena mempunyai prosedur-prosedur tertentu dan dapat dipelajari secara ilmiah. Justru kita dapat mengatakan bahwa design is the science of art & the art of business. Di era modern seperti ini, kesadaran akan pentingnya 'bahasa visual' di banyak aspek semakin meningkat sehingga popularitas desain grafis pun ikut meningkat.

Bagaimana dengan Desain Komunikasi Visual (DKV)? Istilah ini juga berasal dari bahasa Inggris, Visual Communication Design, yang dapat diartikan sebagai proses, cara, perbuatan untuk mendesain (menata/merancang) bahasa visual sebagai alat komunikasi kepada audiens. Di sini ungkapan bahwa "A picture means thousand words", benar-benar diterapkan. Pada perkembangannya, DKV tidak melulu hanya berhubungan dengan 'visual' saja, tetapi juga mencakup bidang lain, seperti: multimedia, sinematografi, web design, komik, packaging, dan sesuatu yang abstrak, seperti periklanan (advertising). Sementara desain grafis sendiri sebenarnya dapat diidentikkan dengan perancangan two-dimensional design saja, seperti poster, brosur, lay-out, ilustrasi, dsb. Cakupan DKV yang lebih luas juga meliputi desain grafis itu sendiri. Tetapi dua istilah yang sebenarnya berbeda ini kadang-kadang menjadi tumpang-tindih karena kebanyakan desainer menjadi bingung saat harus menyebut dirinya sebagai 'orang DKV', 'Desainer DKV', atau 'Visualisator', dibandingkan istilah 'Graphic Designer' yang lebih terasa tepat. Istilah desain grafis sendiri lebih mudah disebut dan dinilai sudah mewakili DKV itu sendiri.

Pertanyaan selanjutnya, "Apakah Graphic Designer itu juga seorang seniman?" Saya pun saat pertama kali kuliah DKV juga terjebak dengan persepsi ini. Jawabannya adalah, "TIDAK." Sekalipun begitu perlu diketahui bahwa dunia desain adalah bagian dari dunia seni itu sendiri. Bahkan jurusan DKV pun berada di bawah Fakultas Seni dan Desain, sehingga gelar yang diperoleh lulusan DKV pun adalah S.Sn (Sarjana Seni) atau Bachelor of Art & Design. Seniman dan Graphic Designer juga sama-sama harus kreatif dan mempunyai jiwa seni. Tetapi apa yang membedakan mereka? Seniman dalam berkarya tidak perlu memperhatikan apakah pesan yang disampaikan pada audiens mampu ditangkap atau tidak. Dalam berkarya, seniman lebih bebas dan tidak mau dibatasi waktu. Kebanyakan seniman juga tidak mengenal teori-teori desain atau prosedur dalam berkarya, yang penting ia mengekspresikan jiwanya dalam sebuah karya. Berbeda dengan desainer yang terikat akan waktu saat berkarya karena ia adalah seorang profesional. Inspirasi memang tidak bisa dipaksakan, tetapi proses kerja desainer tetap harus terjadwal. Karya yang dihasilkan pun harus mampu menyampaikan pesan kepada target audiens dengan baik. Inilah sebabnya seniman tidak perlu mengerti perbedaan warna RGB dan CMYK, yang penting warna dalam karyanya sesuai dengan imajinasinya.

Benarkah masuk jurusan DKV harus semata-mata pandai menggambar? Tak diragukan lagi, DKV memang sangat identik dengan menggambar. Tetapi itu hanyalah salah satu poin plus saja. Selebihnya kreatifitas, konsep berpikir (strategi marketing, psikologi konsumen, riset produk), dan skill (salah satunya menggambar itu tadi), yang diperlukan dalam dunia DKV. Dengan makin ketatnya persaingan kerja, orang-orang DKV tidak boleh hanya mampu menguasai skill saja dalam mendesain. Itu sama saja dengan 'tukang desain'. Seorang desainer adalah konseptor yang punya pemikiran sehingga mampu menggunakan desain sebagai solusi atas masalah klien. Itu sebabnya mengapa orang desain juga dituntut menguasai sedikit strategi marketing dan riset produk. Misalnya, produk X dan produk Y terbuat dari kualitas yang sama. Tetapi karena produk X mampu dikomunikasikan tepat kepada target marketnya dengan benar, maka yang laku di pasaran adalah produk X. Di sini kita perlu mencermati apa saja kelebihan produk X dan apa strategi yang tepat untuk produk Y supaya bisa menerobos masuk. Cukup menarik, bukan? Menurut Djoko Hartanto, founder Concept Magz, desainer yang ideal harus mempunyai craftsmanship dan good thinking. Hal itu diibaratkan seorang wanita yang cantik dan pintar. Dua unsur tadi bisa disempurnakan lagi dengan kemampuan persuasi yang handal kepada klien dalam mempresentasikan ide-idenya. 3 hal ini bisa diibaratkan wanita cantik yang pintar dan supel ;-) Tetapi berdasarkan pada pengamatan saya, di kebanyakan industri desain, kemampuan presentasi ini banyak dialihkan kepada Account Officer, karena mereka menganggap desainer kurang cakap dalam presentasi. Mari benahi hal ini :-)

Karena cakupan DKV yang luas ini, maka prospek kerjanya pun juga terbentang luas. Seorang lulusan DKV dapat menjadi Konsultan periklanan, Brand Manager, Art Director, Creative Director, Animator 3-D, Sutradara film/video klip, Fotografer, Web Designer, Product Designer, Ilustrator, Komikus, Lay-Outer di majalah/percetakan, dan Graphic Designer itu sendiri (mendesain brosur, poster, dsb). Yang jago konsep mungkin cocok menjadi Konsultan, Brand Manager, atau Art/Creative director. Yang jago gambar mungkin pas menjadi Ilustrator atau Komikus. Yang senang dengan bahasa program mungkin handal menjadi Web Designer. Yang mampu menerjemahkan situasi dalam bahasa adegan mungkin berpotensi menjadi Sutradara. Yang menyukai bahasa gambar/bahasa tubuh mungkin mampu menjadi Fotografer. Yang telaten, memperhatikan aspek detail, dan punya jiwa kreatif mungkin bisa menjadi Graphic Designer. Demikian semua sebenarnya punya spesialisasi masing-masing dalam bidang desain komunikasi visual.

Semoga sebuah artikel kecil ini mampu memberikan wawasan mengenai dunia "Desain Komunikasi Visual", terutama bagi Anda yang masih awam dan ingin mengetahui sekilas di dalamnya, ataupun bagi Anda yang ingin memasuki jurusan ini di tingkat universitas :-) Bagi Anda yang masih berpikiran bahwa DKV adalah mata kuliah yang tidak perlu otak, cukup modal bakat menggambar saja, renungkanlah kata-kata ini: "Design is not everything. But Everything is designed." Coba kalau semuanya tidak didesain dengan baik, pasti semuanya jadi asal-asalan saja, ya kan?

Journey to The East (part 3 - Xian Yu)


Hanya 2 hari di Beijing, besoknya kami mengunjungi saudara kakek di kota kecil Xian Yu (Provinsi Fu Chien). Turun di bandara lokal (lagi-lagi terlihat lebih baik dari Bandara Soekarno-Hatta/Juanda), kami disambut seorang petugas bandara yang dengan profesional melakukan hormat secara militer kepada tiap penumpang pesawat yang turun. Naik taksi menuju Xian Yu melewati jalan tol selama kurang lebih 2 jam. Infrastruktur di China jelas brilian, tiap kota pasti dihubungkan dengan jalan tol. Status kota ini sebenarnya masih kotamadya, tetapi mobil BMW seri 7 dan 5 sangat mudah ditemui, anehnya mobil BMW seri 3 sangat sulit dijumpai. Ini menunjukkan banyak OKB-OKB di China. Yang sangat unik, di kota ini semua pengemudi (mobil/bus/sepeda motor) sangat gemar membunyikan klakson sehingga terdengar sangat bising.

Pertokoan di sini sangat hidup, bayangkan sepanjang jalan banyak toko-toko yang ramai dikunjungi pembeli. Dandanan anak-anak mudanya pun bahkan lebih berani dibandingkan anak-anak muda Jakarta, meski kadang norak dan lucu :-) Restoran di sini juga cukup mewah untuk ukuran sebuah kota kecil, dilengkapi televisi layar datar segala. Hanya saja semua alat elektronik hampir semuanya produk China. Kami dijamu oleh saudara kakek dengan hidangan yang tidak henti-hentinya disuguhkan. Makan bukan lagi sampai kenyang, tetapi sampai capek :-) Makanan khas Xian Yu yang dihidangkan saat itu adalah rebung bambu muda dan daging kambing muda yang empuk sekali.

Di kota kecil ini, kami disediakan 2 kamar di sebuah hotel bintang satu yang terbilang cukup baik dan cukup luas (sayang bangunannya terlihat kurang terawat). Uniknya peraturan di hotel ini melarang para tamu membawa kunci kamar bila keluar hotel. Saat bepergian, kunci kamar harus dititipkan pada pengawas kamar dan bila kita sudah pulang barulah kita meminta kunci tersebut. Cukup merepotkan memang, namun peraturan ini konon diterapkan setelah banyak terjadi kasus kunci-kunci kamar hotel yang hilang saat dipegang oleh tamu sendiri.

Di jalanan kota, saya sempat menyaksikan 2 orang pengemis cilik meminta uang dengan melakukan akrobat sambil berakting menangis. Sedih sekali melihatnya :-( Ternyata di tengah keberhasilan ekonomi China, masih ada warganya yang harus mengemis dengan cara yang memprihatinkan. Menyeberang jalan di China pada umumnya cukup aman, karena tersedia lampu lalu lintas yang mengaturnya. Bila lampu pejalan kaki masih merah, janganlah menyeberang. Bila sudah hijau, barulah aman menyeberang. Lampu ini dilengkapi dengan timer yang dapat memberitahukan masih berapa detik lagi lampu itu akan berganti warna. Tetapi rata-rata orang lokal kurang displin, mereka sering menyeberang asal jalanan sepi biarpun masih menyala merah, sama dengan orang Indonesia :-)

Saat malam tiba, kami diajak berjalan-jalan di taman kota Xian Yu. Sangat mengagumkan! Bahkan taman kota di Jakarta/Surabaya pun terlihat tak ubahnya tempat mesum yang tidak terawat. Di sana meski tidak terlalu terlihat modern tetapi tamannya terawat baik. Orang-orang ramai menikmati suasana dengan nyaman, melihat sungai yang memantulkan cahaya kota, dan jembatan mirip Golden Gate yang sengaja dihiasi lampu warna-warni. Ibu saya mengatakan bahwa kira-kira 10 tahun lalu kota ini masih terlihat ndeso, tetapi sekarang Xian Yu telah sangat berubah. Bahkan saya melihat sendiri ada sederet iklan bra wanita yang cukup vulgar, dipasang di pinggir pembatas jalan raya (Di Jakarta pun, rasanya hal ini masih mustahil). Sukabumi, Tegal, Pasuruan, biarpun lewat 20 tahun rasanya tetap saja ndeso :-)

Saat berada di China, jangan tertipu dengan penampilan! Menurut pengamatan saya, orang-orang China sangat lazim memakai jas, bahkan kadang-kadang lengkap dengan dasi. Di Indonesia, tentu saja hanya pekerja kantoran elit atau para bos yang memakai dandanan itu. Tetapi di China, mulai dari tukang jual buah, pekerja kantoran, hingga para PKL, dapat mengenakan jas dan dasi. Saya melihat sendiri di Shanghai, ada PKL yang berjualan 'seni tanda tangan' mengenakan kemeja berdasi dan berompi. Perawakannya juga gagah dan rapi, layaknya seorang yang terpelajar :-)

2 hari kemudian, kami kembali ke Shanghai untuk menemui kakak saya dan kemudian menginap semalam lagi. Besoknya kami sudah harus kembali ke Pudong, mengejar pesawat untuk terbang kembali ke Jakarta. Sebuah perjalanan yang mengesankan dari Ressurection of the Dragon, China. Sesampai di pesawat Garuda, saya langsung meminta koran Indonesia, tak sabar ingin mengetahui berita-berita di tanah air. Alamak! Ternyata semua berita-beritanya menunjukkan kesemrawutan Indonesia. Jakarta saat itu macet total akibat hari pertama kerja setelah libur panjang lebaran, banjir di mana-mana, angin ribut menumbangkan pohon, tanah longsor, harga sembako naik, dsb :-(

Akhirnya pesawat transit lagi di Changi, kemudian malamnya tiba di Soekarno-Hatta. Biarpun senang di negeri orang tetapi lebih nyaman tinggal di negeri sendiri :-) Di China, semuanya terkesan bergerak cepat, sinis, dan kasar. Di Indonesia, semuanya terasa lebih lambat (atau malas?), ramah dan banyak senyum. Saat itu saya ingat Jakarta sedang hujan, tetapi saat diinformasikan ternyata suhu Jakarta masih berkisar 27 derajat! Bila malam hari saat hujan saja segitu, apalagi di siang hari bolong?? Perbedaan lain, toilet bandaranya terlihat kotor sekali dan keran-kerannya lecek semua (semua toilet di China menggunakan keran otomatis sehingga lebih menghemat air).

Indonesia... dulu Engkau pernah lebih maju dari China (di tahun '70-80 an, China masih miskin karena merupakan negara komunis tertutup), tetapi sekarang Jakarta pun harus belajar dari kota kecil bernama Xian Yu. Saya jadi teringat kata-kata Olivia Zallianty, saat ia pulang dari sekolah di Beijing, "Di China kamu tidak perlu memikirkan apa-apa. Kamu cukup bangkit dari tempat dudukmu dan melakukan apa yang kamu bisa lakukan." Di sana saya belum pernah melihat ada gerombolan anak muda yang cuma duduk-duduk menganggur di pinggir jalan, seakan setiap detik waktu terlalu berharga untuk disia-siakan. Sangat berbeda jauh kalau dibandingkan dengan di Indonesia, sangat mudah ditemui orang-orang yang gemar nongkrong di pinggir jalan.

Rupanya kata-kata, "belajarlah sampai ke negeri China" itu memang benar. Masih belum terlambat bagi Indonesia untuk belajar meniru kebangkitan China. Mungkin langkah awalnya adalah membasmi para koruptor dengan tegas dan menegakkan supremasi hukum.

Journey to The East (part 2 - Beijing)



Setelah 5 hari di Shanghai, besoknya pagi-pagi kami kembali berkemas naik taksi station wagon menuju bandara domestik. Ternyata Shanghai dan Beijing punya 2 airport, satu untuk internasional, satunya untuk domestik. Kami berangkat menuju Beijing, ibukota China. Sesampainya di Beijing, kami dijemput saudara ayah di sana lalu menginap kembali di hotel pinggiran kota, Atravis Express Hotel Dongsi Beijing. Hotel yang juga bintang 1, tetapi sangat bersih dan nyaman (di sini tidak ada PC di dalam kamar hotel), tetapi di dalam kamar mandi disediakan macam-macam barang; handuk, sikat gigi, alat cukur, dan kondom :-) Suhu di Beijing lebih dingin daripada Shanghai karena lokasinya di sebelah utara, sekitar 12-16 derajat. Saya amati di Beijing banyak sekali orang-orang China Muslim yang dikenal dengan orang Xin Jiang (Suku Uyghur). Mereka banyak membuka tempat makan dengan masakan kambing dan mudah dikenali karena memakai peci dan gemar memajang kaligrafi Arab di tempat mereka. Di sudut-sudut kota saya perhatikan banyak orang-orang sipil yang berjaga di perempatan jalan dengan lengan yang diikatkan kain merah. Semula saya menduga mereka adalah para petugas sipil yang ditunjuk pemerintah untuk membantu menjaga keamanan atau kelancaran lalu lintas. Belakangan saya diberitahu bahwa mereka adalah orang yang ketahuan membuang sampah/meludah sembarangan tetapi tidak mampu membayar denda. Alhasil mereka diharuskan berjaga sampai menangkap basah pelanggar lain untuk menggantikan mereka atau paling tidak berjaga di jalanan selama 2 jam :-)

Seusai makan siang, kami diajak saudara ayah berjalan-jalan menaiki MRT (Subway train). Ini jelas pengalaman baru buat saya karena di Indonesia tidak ada :-) Keretanya berjalan dengan cepat dan nyaman (tidak bergoncang-goncang), bahkan disediakan informasi stasiun yang sedang dilewati kereta dalam huruf kanji dan Inggris. Yang sangat mengesankan, saat memasuki terowongan, terlihat sederet iklan yang dapat terlihat jelas walaupun kereta bergerak dengan kecepatan penuh. Iklan ini pasti dibuat dari ribuan gambar-gambar yang didesain hanya bisa dilihat jelas dengan cara bergerak cepat. Kami turun di daerah dekat Tian An Men, yang bangunan luarnya sangat mudah dikenali karena ada fotonya Mao Ze Dong yang besar. Di sini juga ada bangunan unik berbentuk kubah kaca futuristik yang ternyata merupakan gedung National Center of the Performing Art (NCPA). Di depan Tian An Men, jalan rayanya luar biasa lebar!!! Bedanya di sini penjagaan sangat ketat, polisi dan tentara berjaga-jaga di mana-mana. Penjagaan ini saya yakin juga diperketat karena saat itu Beijing sedang mempersiapkan diri sebagai host Olimpiade 2008. Saya menyaksikan sendiri, seorang polisi muda dengan sopan dan menghormat dahulu, menanyakan isi tas yang sedang dibawa wanita tua. Kalau polisi di Indonesia kira-kira bisa seperti itu tidak, ya? :-)

Memasuki Tian An Men, ternyata di dalamnya masih ada berlapis-lapis tembok, yang ternyata merupakan Forbidden City yang sangat terkenal itu. Istana Kaisar ini memang sengaja dibuat berlapis-lapis supaya bila saat diserang musuh, tidak langsung menembus jantung istana. Sangat banyak turis di sini dan juga banyak calo yang menawarkan jasa. Penampilan mereka seringkali seperti turis lain. Mungkin status calo di China bisa dianggap ilegal. Di sini saya hampir menahan ketawa saat sekilas mendengar seorang tour leader lokal yang mencoba menjelaskan sejarah kompleks istana ini kepada rombongan turis bule dengan bahasa Inggris yang belepotan. Sudah menjadi rahasia umum memang, kemampuan berbahasa Inggris orang China secara umum masih kurang. Yang jelas Forbidden City sangat luas sekali dan punya banyak bangunan-bangunan serta memorabilia kerajaan di dalamnya, bisa tersesat kalau nyasar di situ :-) Istana ini terakhir kali digunakan oleh Kaisar Henry Pu Yi, yang kabur kehilangan kekuasaannya ke Manchuria setelah China menjadi republik. Hal ini pernah difilmkan dalam film The Last Emperor.

Kami juga sempat melakukan citywalk dengan berjalan-jalan menyusuri Beijing. Kapitalisme benar-benar ada di sini, tidak jauh dari Tian An Men, berdiri megah sebuah showroom Porsche :-) Sesampai di downtown, ada sebuah pusat keramaian yang unik sekali, Wangfujing. Di sana terdapat satu jalan penuh menjual makanan. Ada jajanan tradisional seperti di film-film silat; manisan bulat yang ditusuk-tusuk seperti sate. Di depannya ada bangunan mal yang khusus menjual official merchandise Olimpiade Beijing 2008. Saya kira barang-barang yang dijual di sini cukup murah, ternyata tidak. Sebuah T-shirt putih polos yang bertuliskan Beijing 2008 saja, dijual kira-kira hampir 100 ribu Rupiah! Tetapi di toko-toko kecil, biasanya pakaian dijual cukup murah. Bayangkan celana jeans bisa dijual hanya seharga 15 ribu Rupiah saja.

Saya perhatikan baik di Shanghai ataupun Beijing, sering terlihat seorang perempuan lokal dengan dandanan menarik menggandeng seorang pria bule. Semula saya mengira mereka mungkin hanyalah partner kerja (si perempuan mungkin ditugaskan kantor untuk menemani klien/relasi bisnis perusahaannya selama di China) ataupun pasangan kekasih. Tetapi karena cukup banyak terlihat fenomena ini, saya menjadi curiga dan pada satu waktu diam-diam mendengarkan bahwa vocabulary si perempuan sangat pas-pasan dalam berbahasa Inggris, sehingga saya menarik kesimpulan bahwa mereka adalah para freelancer yang mencoba menjual cinta sesaat dalam kurs Dolar. Dugaan saya makin tepat saat secara kebetulan, di sebuah keramaian saya melihat sendiri dua perempuan lokal tiba-tiba menyapa dua pria bule, "Hi, how are you?" Tetapi dua pria bule ini cuek saja sembari tetap berlalu, sementara salah seorang perempuan sontak berkata, "Hey wait!" lalu kemudian dengan kesal kembali melanjutkan langkah mereka.

Di luar itu semua, Beijing benar-benar mengagumkan. Merupakan perpaduan antara kota modern dengan jejak-jejak peradaban kuno ribuan tahun lalu. Sayang seperti halnya masalah di kota-kota besar pada umumnya, Beijing mempunyai tingkat polusi yang lumayan parah. Di pagi hari, kadang-kadang kota diselimuti smog (smoke & fog), kombinasi antara kabut dan asap polusi. Jakarta juga mempunyai kadar polusi yang parah. Bedanya, saat itu Beijing terasa lebih nyaman dengan suhu di bawah 16 derajat, stabilitas keamanan maksimal, dan kemacetan yang minimal. Sementara Jakarta bersuhu di atas 27 derajat dengan kemacetan parah dan ancaman kriminalitas di mana-mana.

Kamis, 20 Maret 2008

Journey to The East (part 1 - Shanghai)



Kebetulan saya berkesempatan untuk bepergian ke luar negeri mendekati akhir 2007 bersama keluarga.
Honestly, this is my first trip to abroad, jadinya agak nervous juga. Maklum, selama ini paling jauh hanya ke Bali. Negara yang saya tuju kali ini adalah The Awaken Giant, China.

Berangkat dari Jakarta dengan penerbangan malam hari menuju Shanghai, pesawat transit selama 1 jam di Changi International Airport, Singapura. Waktu luang itu saya manfaatkan untuk turun dari pesawat sekadar melihat-lihat apa benar Singapura seperti yang orang-orang katakan. Saat pertama masuk ke dalam Changi, brrrr... Dingiiin sekali! Suhu AC bandara mungkin di bawah 20 derajat, benar-benar beda bila dibandingkan dengan suhu AC di Bandara Soekarno-Hatta. Bandaranya terlihat bersih, teratur, dan modern. Bahkan disediakan terminal internet gratis di sana, yang tentu saja sulit disia-siakan oleh pengunjung dari Indonesia :-) Yang menarik lagi, di dekat toilet selalu disediakan keran yang airnya dapat langsung diminum (fountain drinking water). Di Indonesia, jangan pernah melakukan ini kalau tidak mau terkena diare. Tetapi kabarnya di koridor-koridor Busway Jakarta, pemkot DKI mulai menyediakan fasilitas publik ini.

Saat pesawat akan take-off, para petugas Changi (mayoritas keturunan India) dengan profesional menginformasikan hal itu dalam bahasa Inggris dan Melayu. Mereka sigap memeriksa tiap penumpang dengan detector lengkap dengan boarding pass-nya, tidak asal-asalan seperti petugas di Jakarta. Bahkan mereka sampai bisa melakukan cross-check dengan pihak maskapai hanya untuk memastikan seat penumpang sesuai dengan catatan boarding pass (penumpang akan ketahuan kalau menukar tempat duduk).

Perjalanan menuju Shanghai memakan waktu selama 5 jam. Cukup membosankan sehingga aktivitas satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah tidur. Sebagai pengenalan, Shanghai merupakan kota termodern di China, bahkan sebelum Beijing maju, karena sejak dulu sudah merupakan kota perdagangan internasional. Akhirnya di waktu pagi hari, pesawat telah tiba di Pudong International Airport, Shanghai. Saya setengah tidak percaya telah tiba di negeri orang :-) Kesan pertama saya, Pudong sungguh layak menyandang gelar bandara internasional. Pudong sangat luas sekali, dan sama seperti Changi, terlihat bersih dan modern, membuat Soekarno-Hatta, bandara internasional kebanggaan Indonesia terlihat usang. Yang unik, para petugas di bandara Pudong, hampir 90% adalah anak muda! Mulai dari cleaning service, security, hingga petugas imigrasi. Bahkan penampilan mereka (terutama yang perempuan) tidak kalah cantik dengan yang biasa berseliweran di mal-mal Jakarta/Surabaya.

Setelah lolos dari bagian imigrasi, kami sekeluarga pun segera menunggu di bagian penjemputan. Kebetulan kakak saya bekerja di Shanghai dan dia mengatakan akan menjemput kami dengan taksi. Akhirnya, kakak saya tiba dan segera membawa barang-barang kami ke dalam mobil yang disiapkan. Taksi yang dimaksud ternyata bukan betul-betul taksi, tetapi mobil station wagon yang dilengkapi argometer. Mobil buatan China ini bisa muat sampai 8 penumpang dan sudah dilengkapi dengan parking detector.

Keluar dari area bandara, membuat mata saya terbelalak. Pudong dihubungkan langsung dengan jalan tol yang sangat luasss! Jalan tol Cikampek saja tidak ada apa-apanya, makanya tidak ada kata 'macet'. Bahkan terlihat dari kejauhan Pudong berdiri di hamparan tanah kosong. Ini berarti China membangun bangunan dengan membuka daerah baru, tidak seperti Indonesia yang membangun bangunan dengan menggusur bangunan lainnya. Memasuki daerah perkotaan, terlihat taman-taman kota yang asri lengkap dengan pedestrian area yang nyaman. Jalanan pun tidak hiruk-pikuk seperti Jakarta. Yang unik di sana, selalu disediakan jalan khusus kendaraan roda dua (sepeda/sepeda motor), jadi tidak menganggu jalan utama. Sepeda memang merupakan alat transportasi paling populer di China. Di sana sepeda listrik sekarang menjadi pilihan favorit dibandingkan sepeda konvensional atau sepeda motor.

Kami menginap di hotel di pinggiran kota, sebuah hotel yang berbintang 1, bila saya lihat di kartu namanya. Meski begitu, hotelnya cukup bagus untuk ukuran bintang 1. Bayangkan di dalam kamar pun disediakan 1 unit PC dengan sambungan internet. Kakak saya bilang untuk mengakses internet di hotel, di-charge biaya 10 RMB (Rp 12.000), tetapi dapat digunakan selama 1x24 jam. Murah kan? Di Indonesia, tarif warnet termurah 1 jam saja mungkin masih Rp 3.000.

Kakak saya lalu mengajak kami berjalan-jalan di pusat elektronik di Shanghai dengan naik bus. Pengalaman baru buat saya (saya di Indonesia tidak pernah naik bus umum), karena harus mengantri di halte (tidak asal naik-turun penumpang di mana saja seperti bus Indonesia), bus pun berjalan di jalur khusus di pinggir (seperti jalur busway tanpa pembatasnya). Orang-orang di sana saya perhatikan juga sudah punya rasa kesopanan. Bila ada orang tua masuk bus, yang muda dengan sigap memberikan tempat duduknya. Kalau di Indonesia mungkin, yang muda tetap saja cuek atau pura-pura tidak tahu.

Sampai di pusat perbelanjaan elektronik Shanghai, WOW! Seperti berjalan-jalan di Shibuya, Jepang. Orang-orang berjalan di mana-mana dengan bangunan-bangunan mal tinggi. Bahkan ada yang dilengkapi layar iklan digital yang besar pula. Jalan rayanya pun sangat lebar sekali. Saya kira ini adalah downtown-nya Shanghai, tetapi besok-besoknya kakak saya membuktikan saya salah sama sekali! Shanghai terlalu luas untuk dijelajahi hanya dalam hitungan hari. Mal-mal yang ada mungkin lebih banyak dari mal di Jakarta, tetapi di sana kita bisa melakukan city tour dengan berjalan kaki melintasi kota. Kalau di Jakarta, bisa dicegat preman pasar :-) Oya, menyeberang jalan di sini sangat aman, karena kita menyeberang di bawah tanah, melalui terowongan yang dibangun di bawah jalan raya (pedestrian subway) jadi tidak mungkin tertabrak. Komunisme telah lama luntur di masyarakat China, buktinya di sana-sini terlihat simbol-simbol komersial dan kapitalisme; KFC, McDonald's, Giordano, Levi's, Coca-Cola, Baleno, Louis Vuitton, dsb, menghiasi kota Shanghai. Mobil di sana hampir semuanya keluaran tahun 2000 ke atas. Mobil-mobil favorit di sana adalah VW, BMW, Toyota, Honda, Buick, dan mobil-mobil lokal China sendiri. Justru sulit menemukan mobil-mobil keluaran di bawah tahun 2000, maklum saja China baru kaya raya di era 2000-an.

Di beberapa daerah turis, seperti di Nan Jing Lu (People's Square), saya mendapati fenomena unik. Ada beberapa PKL yang menjajakan barangnya dengan diam-diam. Biasanya mereka menawarkan arloji Rolex palsu atau mainan anak. Mereka segera kabur bila ada petugas patroli yang datang. Kakak saya bilang bahwa mereka adalah orang-orang dari desa yang mencoba cari uang di Shanghai. Melihat barang-barang yang mereka jual hampir seragam, saya menduga bahwa pastilah ada yang mengatur dan mengepalai mereka. Besoknya, kami diajak pergi ke pusat grosir pakaian, Xing Wang (mirip dengan Pasar Atum Surabaya atau Mangga Dua Jakarta). Disana betul-betul pusat "fashion"! Pakaian, tas, sepatu, dan asesoris model apa saja (termasuk barang 'tembakan') tersedia di sana, dengan harga relatif murah. Anak-anak muda di sana pun tidak malu-malu lagi berdandan nyentrik, seperti anak-anak muda di Harajuku, Jepang. Bila Anda berbelanja di tempat ini, kakak saya bilang wajib menawar harga. Bahkan bila Anda pandai menawar, bisa-bisa harganya cuma seperempatnya saja. Uniknya di China, mereka menawar dari harga terendah lalu baru naik sedikit demi sedikit :-) Hanya saja para penjual akan marah kalau Anda sudah menawar habis-habisan lalu saat disetujui, Anda tidak jadi membelinya.

Kami juga berkesempatan mencoba kereta monorel yang mirip dengan subway train, hanya saja berjalan di atas rel yang terletak di jalur yang dibangun di atas gedung-gedung. Saat sedang mengantri, ada seorang petugas stasiun yang berpatroli memastikan bahwa calon penumpang berdiri di belakang garis kuning. Ia juga mengatur barisan agar penumpang manula lebih didahulukan dari yang muda. Stasiun dan keretanya sama-sama terlihat masih baru, bersih dan nyaman. Di dalamnya terdapat video yang memutar tayangan-tayangan iklan.

Pulangnya saya mencoba naik taksi ke hotel (cara ini kurang disarankan karena tarif taksi cukup mahal). Agak terkejut karena pengemudinya anak muda yang cukup tampan dan modis :-) Saya amati antara kursi sopir dengan kursi penumpang di depan dan belakang dipisahkan dengan semacam fiberglass, mungkin untuk menghindari risiko tindak kriminalitas. Bahkan di dalam taksi pun juga ada video kecil yang menayangkan iklan-iklan dan sekilas berita-berita umum. Taksi di sana juga sangat disiplin, mereka tidak berani menurunkan/menaikkan penumpang di sembarang tempat.

Kami juga sempat diajak kakak berkunjung ke alumni universitasnya, Jiao Dong University, yang terletak di pinggiran kota. Universitas yang konon termasuk salah satu yang terbaik di China, bahkan diperhitungkan di dunia ini, sangat luas sekali. Dikelilingi taman, pohon-pohon besar, bahkan ada danau buatan, Jiao Dong Da Xue, benar-benar sulit dibandingkan dengan universitas di Indonesia. Di sini saya berkesempatan mencicipi makanan di kantin yang sangat murah dan melimpah porsinya :-) Kantin di universitas ini dibangun cukup modern dan sangat besar, menyerupai foodcourt area di mal. Para mahasiswa di sini banyak yang berjalan kaki (terdapat kompleks asrama) dan menggunakan sepeda. Di jalanan dekat kampus ini juga ada fenomena unik. Ternyata mobil Chery QQ (800 cc) yang mungil dan bentuknya meniru Chevrolet Spark itu dijadikan taksi di daerah ini. Terbayang tidak kalo di Indonesia? :-)

Malam terakhir di Shanghai, kami diajak ke daerah yang sangat terkenal, Wai Tan (Shanghai Bund). Di daerah sini terdapat Oriental Pearl TV Tower yang merupakan maskot Shanghai, Jin Mao Tower (gedung tertinggi di China), dan sebuah gedung yang sedang diselesaikan namun tercatat sebagai bangunan tertinggi di dunia, Shanghai World Financial Center (mengalahkan Menara Petronas Malaysia dan Taiwan 101 Commercial Building). Daerah ini dialiri sungai Huang Phu dan dulunya merupakan pusat perdagangan kolonial di abad 18-19, makanya banyak bangunan-bangunan bergaya Eropa. Pemandangan di malam hari sangat indah sekali, kita bahkan dapat menaiki kapal feri di melintasi sungai yang membelah kota. Memang banyak PKL di daerah ini, bahkan di pojokan jalan ada 2-3 pengemis, tetapi secara umum, sangat aman sekalipun tidak terlihat polisi di mana-mana. Perempuan berjalan sendirian malam hari di Shanghai masih dapat merasakan kenyamanan. Hal yang menarik di sini, pertama adalah ada sejumlah pedagang kue yang berwajah kebule-bulean. Mereka menjajakan kuenya di trotoar tepi bangunan-bangunan bersejarah tersebut. Ternyata mereka merupakan kaum urban dari perbatasan China Utara dengan Uzbekistan dan Rusia yang mengadu nasib ke Shanghai dengan menjajakan kue-kue tradisional daerah mereka. Di daerah ini juga ada sebuah Sex Shop yang terang-terangan di tempat terbuka yang cukup strategis :-) Jika melihat toko ini, apa masih pantas China disebut dengan negara komunis yang tertutup dan kolot?

Meskipun China sudah sangat maju, ada beberapa perilaku yang sedikit kontras dari sebagian warganya. Salah satunya adalah mereka sering sekali meludah sembarangan. Bahkan saya menyaksikan sendiri ada orang yang meludah di dalam restoran dan di dalam pusat perbelanjaan. Sejorok-joroknya orang Indonesia tentu tidak akan melakukan ini. Konon Pemerintah China sekarang melarang warganya meludah sembarangan saat medekati Olimpiade Beijing. Orang China juga punya kebiasaan berkata-kata dengan cepat dan keras, sehingga sering terlihat kasar. Lagi-lagi orang Indonesia pasti juga akan kaget bila sedang berkomunikasi dengan mereka. Soal makanan, ternyata orang China paling doyan makan sambil kumpul-kumpul, makanya di sana banyak sekali restoran yang menyediakan semacam VIP room, lengkap dengan toilet dalam, sofa, dan televisi. Saran saya, jangan lupa bawa air minum sendiri karena mereka jarang minum/menyediakan air putih, selain teh. Porsi makanan di China sangat banyak sekali, kalau di Indonesia bisa untuk 3-4 orang. Mereka juga lebih banyak menyantap lauk-pauk, berbeda dengan orang Indonesia yang memilih lebih banyak menyantap nasi, sampai nambah nasi terus kalau masih merasa lapar.