Selasa, 25 Maret 2008

Journey to The East (part 3 - Xian Yu)


Hanya 2 hari di Beijing, besoknya kami mengunjungi saudara kakek di kota kecil Xian Yu (Provinsi Fu Chien). Turun di bandara lokal (lagi-lagi terlihat lebih baik dari Bandara Soekarno-Hatta/Juanda), kami disambut seorang petugas bandara yang dengan profesional melakukan hormat secara militer kepada tiap penumpang pesawat yang turun. Naik taksi menuju Xian Yu melewati jalan tol selama kurang lebih 2 jam. Infrastruktur di China jelas brilian, tiap kota pasti dihubungkan dengan jalan tol. Status kota ini sebenarnya masih kotamadya, tetapi mobil BMW seri 7 dan 5 sangat mudah ditemui, anehnya mobil BMW seri 3 sangat sulit dijumpai. Ini menunjukkan banyak OKB-OKB di China. Yang sangat unik, di kota ini semua pengemudi (mobil/bus/sepeda motor) sangat gemar membunyikan klakson sehingga terdengar sangat bising.

Pertokoan di sini sangat hidup, bayangkan sepanjang jalan banyak toko-toko yang ramai dikunjungi pembeli. Dandanan anak-anak mudanya pun bahkan lebih berani dibandingkan anak-anak muda Jakarta, meski kadang norak dan lucu :-) Restoran di sini juga cukup mewah untuk ukuran sebuah kota kecil, dilengkapi televisi layar datar segala. Hanya saja semua alat elektronik hampir semuanya produk China. Kami dijamu oleh saudara kakek dengan hidangan yang tidak henti-hentinya disuguhkan. Makan bukan lagi sampai kenyang, tetapi sampai capek :-) Makanan khas Xian Yu yang dihidangkan saat itu adalah rebung bambu muda dan daging kambing muda yang empuk sekali.

Di kota kecil ini, kami disediakan 2 kamar di sebuah hotel bintang satu yang terbilang cukup baik dan cukup luas (sayang bangunannya terlihat kurang terawat). Uniknya peraturan di hotel ini melarang para tamu membawa kunci kamar bila keluar hotel. Saat bepergian, kunci kamar harus dititipkan pada pengawas kamar dan bila kita sudah pulang barulah kita meminta kunci tersebut. Cukup merepotkan memang, namun peraturan ini konon diterapkan setelah banyak terjadi kasus kunci-kunci kamar hotel yang hilang saat dipegang oleh tamu sendiri.

Di jalanan kota, saya sempat menyaksikan 2 orang pengemis cilik meminta uang dengan melakukan akrobat sambil berakting menangis. Sedih sekali melihatnya :-( Ternyata di tengah keberhasilan ekonomi China, masih ada warganya yang harus mengemis dengan cara yang memprihatinkan. Menyeberang jalan di China pada umumnya cukup aman, karena tersedia lampu lalu lintas yang mengaturnya. Bila lampu pejalan kaki masih merah, janganlah menyeberang. Bila sudah hijau, barulah aman menyeberang. Lampu ini dilengkapi dengan timer yang dapat memberitahukan masih berapa detik lagi lampu itu akan berganti warna. Tetapi rata-rata orang lokal kurang displin, mereka sering menyeberang asal jalanan sepi biarpun masih menyala merah, sama dengan orang Indonesia :-)

Saat malam tiba, kami diajak berjalan-jalan di taman kota Xian Yu. Sangat mengagumkan! Bahkan taman kota di Jakarta/Surabaya pun terlihat tak ubahnya tempat mesum yang tidak terawat. Di sana meski tidak terlalu terlihat modern tetapi tamannya terawat baik. Orang-orang ramai menikmati suasana dengan nyaman, melihat sungai yang memantulkan cahaya kota, dan jembatan mirip Golden Gate yang sengaja dihiasi lampu warna-warni. Ibu saya mengatakan bahwa kira-kira 10 tahun lalu kota ini masih terlihat ndeso, tetapi sekarang Xian Yu telah sangat berubah. Bahkan saya melihat sendiri ada sederet iklan bra wanita yang cukup vulgar, dipasang di pinggir pembatas jalan raya (Di Jakarta pun, rasanya hal ini masih mustahil). Sukabumi, Tegal, Pasuruan, biarpun lewat 20 tahun rasanya tetap saja ndeso :-)

Saat berada di China, jangan tertipu dengan penampilan! Menurut pengamatan saya, orang-orang China sangat lazim memakai jas, bahkan kadang-kadang lengkap dengan dasi. Di Indonesia, tentu saja hanya pekerja kantoran elit atau para bos yang memakai dandanan itu. Tetapi di China, mulai dari tukang jual buah, pekerja kantoran, hingga para PKL, dapat mengenakan jas dan dasi. Saya melihat sendiri di Shanghai, ada PKL yang berjualan 'seni tanda tangan' mengenakan kemeja berdasi dan berompi. Perawakannya juga gagah dan rapi, layaknya seorang yang terpelajar :-)

2 hari kemudian, kami kembali ke Shanghai untuk menemui kakak saya dan kemudian menginap semalam lagi. Besoknya kami sudah harus kembali ke Pudong, mengejar pesawat untuk terbang kembali ke Jakarta. Sebuah perjalanan yang mengesankan dari Ressurection of the Dragon, China. Sesampai di pesawat Garuda, saya langsung meminta koran Indonesia, tak sabar ingin mengetahui berita-berita di tanah air. Alamak! Ternyata semua berita-beritanya menunjukkan kesemrawutan Indonesia. Jakarta saat itu macet total akibat hari pertama kerja setelah libur panjang lebaran, banjir di mana-mana, angin ribut menumbangkan pohon, tanah longsor, harga sembako naik, dsb :-(

Akhirnya pesawat transit lagi di Changi, kemudian malamnya tiba di Soekarno-Hatta. Biarpun senang di negeri orang tetapi lebih nyaman tinggal di negeri sendiri :-) Di China, semuanya terkesan bergerak cepat, sinis, dan kasar. Di Indonesia, semuanya terasa lebih lambat (atau malas?), ramah dan banyak senyum. Saat itu saya ingat Jakarta sedang hujan, tetapi saat diinformasikan ternyata suhu Jakarta masih berkisar 27 derajat! Bila malam hari saat hujan saja segitu, apalagi di siang hari bolong?? Perbedaan lain, toilet bandaranya terlihat kotor sekali dan keran-kerannya lecek semua (semua toilet di China menggunakan keran otomatis sehingga lebih menghemat air).

Indonesia... dulu Engkau pernah lebih maju dari China (di tahun '70-80 an, China masih miskin karena merupakan negara komunis tertutup), tetapi sekarang Jakarta pun harus belajar dari kota kecil bernama Xian Yu. Saya jadi teringat kata-kata Olivia Zallianty, saat ia pulang dari sekolah di Beijing, "Di China kamu tidak perlu memikirkan apa-apa. Kamu cukup bangkit dari tempat dudukmu dan melakukan apa yang kamu bisa lakukan." Di sana saya belum pernah melihat ada gerombolan anak muda yang cuma duduk-duduk menganggur di pinggir jalan, seakan setiap detik waktu terlalu berharga untuk disia-siakan. Sangat berbeda jauh kalau dibandingkan dengan di Indonesia, sangat mudah ditemui orang-orang yang gemar nongkrong di pinggir jalan.

Rupanya kata-kata, "belajarlah sampai ke negeri China" itu memang benar. Masih belum terlambat bagi Indonesia untuk belajar meniru kebangkitan China. Mungkin langkah awalnya adalah membasmi para koruptor dengan tegas dan menegakkan supremasi hukum.

Tidak ada komentar: