Kamis, 20 Maret 2008

Journey to The East (part 1 - Shanghai)



Kebetulan saya berkesempatan untuk bepergian ke luar negeri mendekati akhir 2007 bersama keluarga.
Honestly, this is my first trip to abroad, jadinya agak nervous juga. Maklum, selama ini paling jauh hanya ke Bali. Negara yang saya tuju kali ini adalah The Awaken Giant, China.

Berangkat dari Jakarta dengan penerbangan malam hari menuju Shanghai, pesawat transit selama 1 jam di Changi International Airport, Singapura. Waktu luang itu saya manfaatkan untuk turun dari pesawat sekadar melihat-lihat apa benar Singapura seperti yang orang-orang katakan. Saat pertama masuk ke dalam Changi, brrrr... Dingiiin sekali! Suhu AC bandara mungkin di bawah 20 derajat, benar-benar beda bila dibandingkan dengan suhu AC di Bandara Soekarno-Hatta. Bandaranya terlihat bersih, teratur, dan modern. Bahkan disediakan terminal internet gratis di sana, yang tentu saja sulit disia-siakan oleh pengunjung dari Indonesia :-) Yang menarik lagi, di dekat toilet selalu disediakan keran yang airnya dapat langsung diminum (fountain drinking water). Di Indonesia, jangan pernah melakukan ini kalau tidak mau terkena diare. Tetapi kabarnya di koridor-koridor Busway Jakarta, pemkot DKI mulai menyediakan fasilitas publik ini.

Saat pesawat akan take-off, para petugas Changi (mayoritas keturunan India) dengan profesional menginformasikan hal itu dalam bahasa Inggris dan Melayu. Mereka sigap memeriksa tiap penumpang dengan detector lengkap dengan boarding pass-nya, tidak asal-asalan seperti petugas di Jakarta. Bahkan mereka sampai bisa melakukan cross-check dengan pihak maskapai hanya untuk memastikan seat penumpang sesuai dengan catatan boarding pass (penumpang akan ketahuan kalau menukar tempat duduk).

Perjalanan menuju Shanghai memakan waktu selama 5 jam. Cukup membosankan sehingga aktivitas satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah tidur. Sebagai pengenalan, Shanghai merupakan kota termodern di China, bahkan sebelum Beijing maju, karena sejak dulu sudah merupakan kota perdagangan internasional. Akhirnya di waktu pagi hari, pesawat telah tiba di Pudong International Airport, Shanghai. Saya setengah tidak percaya telah tiba di negeri orang :-) Kesan pertama saya, Pudong sungguh layak menyandang gelar bandara internasional. Pudong sangat luas sekali, dan sama seperti Changi, terlihat bersih dan modern, membuat Soekarno-Hatta, bandara internasional kebanggaan Indonesia terlihat usang. Yang unik, para petugas di bandara Pudong, hampir 90% adalah anak muda! Mulai dari cleaning service, security, hingga petugas imigrasi. Bahkan penampilan mereka (terutama yang perempuan) tidak kalah cantik dengan yang biasa berseliweran di mal-mal Jakarta/Surabaya.

Setelah lolos dari bagian imigrasi, kami sekeluarga pun segera menunggu di bagian penjemputan. Kebetulan kakak saya bekerja di Shanghai dan dia mengatakan akan menjemput kami dengan taksi. Akhirnya, kakak saya tiba dan segera membawa barang-barang kami ke dalam mobil yang disiapkan. Taksi yang dimaksud ternyata bukan betul-betul taksi, tetapi mobil station wagon yang dilengkapi argometer. Mobil buatan China ini bisa muat sampai 8 penumpang dan sudah dilengkapi dengan parking detector.

Keluar dari area bandara, membuat mata saya terbelalak. Pudong dihubungkan langsung dengan jalan tol yang sangat luasss! Jalan tol Cikampek saja tidak ada apa-apanya, makanya tidak ada kata 'macet'. Bahkan terlihat dari kejauhan Pudong berdiri di hamparan tanah kosong. Ini berarti China membangun bangunan dengan membuka daerah baru, tidak seperti Indonesia yang membangun bangunan dengan menggusur bangunan lainnya. Memasuki daerah perkotaan, terlihat taman-taman kota yang asri lengkap dengan pedestrian area yang nyaman. Jalanan pun tidak hiruk-pikuk seperti Jakarta. Yang unik di sana, selalu disediakan jalan khusus kendaraan roda dua (sepeda/sepeda motor), jadi tidak menganggu jalan utama. Sepeda memang merupakan alat transportasi paling populer di China. Di sana sepeda listrik sekarang menjadi pilihan favorit dibandingkan sepeda konvensional atau sepeda motor.

Kami menginap di hotel di pinggiran kota, sebuah hotel yang berbintang 1, bila saya lihat di kartu namanya. Meski begitu, hotelnya cukup bagus untuk ukuran bintang 1. Bayangkan di dalam kamar pun disediakan 1 unit PC dengan sambungan internet. Kakak saya bilang untuk mengakses internet di hotel, di-charge biaya 10 RMB (Rp 12.000), tetapi dapat digunakan selama 1x24 jam. Murah kan? Di Indonesia, tarif warnet termurah 1 jam saja mungkin masih Rp 3.000.

Kakak saya lalu mengajak kami berjalan-jalan di pusat elektronik di Shanghai dengan naik bus. Pengalaman baru buat saya (saya di Indonesia tidak pernah naik bus umum), karena harus mengantri di halte (tidak asal naik-turun penumpang di mana saja seperti bus Indonesia), bus pun berjalan di jalur khusus di pinggir (seperti jalur busway tanpa pembatasnya). Orang-orang di sana saya perhatikan juga sudah punya rasa kesopanan. Bila ada orang tua masuk bus, yang muda dengan sigap memberikan tempat duduknya. Kalau di Indonesia mungkin, yang muda tetap saja cuek atau pura-pura tidak tahu.

Sampai di pusat perbelanjaan elektronik Shanghai, WOW! Seperti berjalan-jalan di Shibuya, Jepang. Orang-orang berjalan di mana-mana dengan bangunan-bangunan mal tinggi. Bahkan ada yang dilengkapi layar iklan digital yang besar pula. Jalan rayanya pun sangat lebar sekali. Saya kira ini adalah downtown-nya Shanghai, tetapi besok-besoknya kakak saya membuktikan saya salah sama sekali! Shanghai terlalu luas untuk dijelajahi hanya dalam hitungan hari. Mal-mal yang ada mungkin lebih banyak dari mal di Jakarta, tetapi di sana kita bisa melakukan city tour dengan berjalan kaki melintasi kota. Kalau di Jakarta, bisa dicegat preman pasar :-) Oya, menyeberang jalan di sini sangat aman, karena kita menyeberang di bawah tanah, melalui terowongan yang dibangun di bawah jalan raya (pedestrian subway) jadi tidak mungkin tertabrak. Komunisme telah lama luntur di masyarakat China, buktinya di sana-sini terlihat simbol-simbol komersial dan kapitalisme; KFC, McDonald's, Giordano, Levi's, Coca-Cola, Baleno, Louis Vuitton, dsb, menghiasi kota Shanghai. Mobil di sana hampir semuanya keluaran tahun 2000 ke atas. Mobil-mobil favorit di sana adalah VW, BMW, Toyota, Honda, Buick, dan mobil-mobil lokal China sendiri. Justru sulit menemukan mobil-mobil keluaran di bawah tahun 2000, maklum saja China baru kaya raya di era 2000-an.

Di beberapa daerah turis, seperti di Nan Jing Lu (People's Square), saya mendapati fenomena unik. Ada beberapa PKL yang menjajakan barangnya dengan diam-diam. Biasanya mereka menawarkan arloji Rolex palsu atau mainan anak. Mereka segera kabur bila ada petugas patroli yang datang. Kakak saya bilang bahwa mereka adalah orang-orang dari desa yang mencoba cari uang di Shanghai. Melihat barang-barang yang mereka jual hampir seragam, saya menduga bahwa pastilah ada yang mengatur dan mengepalai mereka. Besoknya, kami diajak pergi ke pusat grosir pakaian, Xing Wang (mirip dengan Pasar Atum Surabaya atau Mangga Dua Jakarta). Disana betul-betul pusat "fashion"! Pakaian, tas, sepatu, dan asesoris model apa saja (termasuk barang 'tembakan') tersedia di sana, dengan harga relatif murah. Anak-anak muda di sana pun tidak malu-malu lagi berdandan nyentrik, seperti anak-anak muda di Harajuku, Jepang. Bila Anda berbelanja di tempat ini, kakak saya bilang wajib menawar harga. Bahkan bila Anda pandai menawar, bisa-bisa harganya cuma seperempatnya saja. Uniknya di China, mereka menawar dari harga terendah lalu baru naik sedikit demi sedikit :-) Hanya saja para penjual akan marah kalau Anda sudah menawar habis-habisan lalu saat disetujui, Anda tidak jadi membelinya.

Kami juga berkesempatan mencoba kereta monorel yang mirip dengan subway train, hanya saja berjalan di atas rel yang terletak di jalur yang dibangun di atas gedung-gedung. Saat sedang mengantri, ada seorang petugas stasiun yang berpatroli memastikan bahwa calon penumpang berdiri di belakang garis kuning. Ia juga mengatur barisan agar penumpang manula lebih didahulukan dari yang muda. Stasiun dan keretanya sama-sama terlihat masih baru, bersih dan nyaman. Di dalamnya terdapat video yang memutar tayangan-tayangan iklan.

Pulangnya saya mencoba naik taksi ke hotel (cara ini kurang disarankan karena tarif taksi cukup mahal). Agak terkejut karena pengemudinya anak muda yang cukup tampan dan modis :-) Saya amati antara kursi sopir dengan kursi penumpang di depan dan belakang dipisahkan dengan semacam fiberglass, mungkin untuk menghindari risiko tindak kriminalitas. Bahkan di dalam taksi pun juga ada video kecil yang menayangkan iklan-iklan dan sekilas berita-berita umum. Taksi di sana juga sangat disiplin, mereka tidak berani menurunkan/menaikkan penumpang di sembarang tempat.

Kami juga sempat diajak kakak berkunjung ke alumni universitasnya, Jiao Dong University, yang terletak di pinggiran kota. Universitas yang konon termasuk salah satu yang terbaik di China, bahkan diperhitungkan di dunia ini, sangat luas sekali. Dikelilingi taman, pohon-pohon besar, bahkan ada danau buatan, Jiao Dong Da Xue, benar-benar sulit dibandingkan dengan universitas di Indonesia. Di sini saya berkesempatan mencicipi makanan di kantin yang sangat murah dan melimpah porsinya :-) Kantin di universitas ini dibangun cukup modern dan sangat besar, menyerupai foodcourt area di mal. Para mahasiswa di sini banyak yang berjalan kaki (terdapat kompleks asrama) dan menggunakan sepeda. Di jalanan dekat kampus ini juga ada fenomena unik. Ternyata mobil Chery QQ (800 cc) yang mungil dan bentuknya meniru Chevrolet Spark itu dijadikan taksi di daerah ini. Terbayang tidak kalo di Indonesia? :-)

Malam terakhir di Shanghai, kami diajak ke daerah yang sangat terkenal, Wai Tan (Shanghai Bund). Di daerah sini terdapat Oriental Pearl TV Tower yang merupakan maskot Shanghai, Jin Mao Tower (gedung tertinggi di China), dan sebuah gedung yang sedang diselesaikan namun tercatat sebagai bangunan tertinggi di dunia, Shanghai World Financial Center (mengalahkan Menara Petronas Malaysia dan Taiwan 101 Commercial Building). Daerah ini dialiri sungai Huang Phu dan dulunya merupakan pusat perdagangan kolonial di abad 18-19, makanya banyak bangunan-bangunan bergaya Eropa. Pemandangan di malam hari sangat indah sekali, kita bahkan dapat menaiki kapal feri di melintasi sungai yang membelah kota. Memang banyak PKL di daerah ini, bahkan di pojokan jalan ada 2-3 pengemis, tetapi secara umum, sangat aman sekalipun tidak terlihat polisi di mana-mana. Perempuan berjalan sendirian malam hari di Shanghai masih dapat merasakan kenyamanan. Hal yang menarik di sini, pertama adalah ada sejumlah pedagang kue yang berwajah kebule-bulean. Mereka menjajakan kuenya di trotoar tepi bangunan-bangunan bersejarah tersebut. Ternyata mereka merupakan kaum urban dari perbatasan China Utara dengan Uzbekistan dan Rusia yang mengadu nasib ke Shanghai dengan menjajakan kue-kue tradisional daerah mereka. Di daerah ini juga ada sebuah Sex Shop yang terang-terangan di tempat terbuka yang cukup strategis :-) Jika melihat toko ini, apa masih pantas China disebut dengan negara komunis yang tertutup dan kolot?

Meskipun China sudah sangat maju, ada beberapa perilaku yang sedikit kontras dari sebagian warganya. Salah satunya adalah mereka sering sekali meludah sembarangan. Bahkan saya menyaksikan sendiri ada orang yang meludah di dalam restoran dan di dalam pusat perbelanjaan. Sejorok-joroknya orang Indonesia tentu tidak akan melakukan ini. Konon Pemerintah China sekarang melarang warganya meludah sembarangan saat medekati Olimpiade Beijing. Orang China juga punya kebiasaan berkata-kata dengan cepat dan keras, sehingga sering terlihat kasar. Lagi-lagi orang Indonesia pasti juga akan kaget bila sedang berkomunikasi dengan mereka. Soal makanan, ternyata orang China paling doyan makan sambil kumpul-kumpul, makanya di sana banyak sekali restoran yang menyediakan semacam VIP room, lengkap dengan toilet dalam, sofa, dan televisi. Saran saya, jangan lupa bawa air minum sendiri karena mereka jarang minum/menyediakan air putih, selain teh. Porsi makanan di China sangat banyak sekali, kalau di Indonesia bisa untuk 3-4 orang. Mereka juga lebih banyak menyantap lauk-pauk, berbeda dengan orang Indonesia yang memilih lebih banyak menyantap nasi, sampai nambah nasi terus kalau masih merasa lapar.




Tidak ada komentar: