Jumat, 05 Juni 2009

Cerita Derita Ibu Prita


"Sepotong lidah bisa lebih buas dari harimau, lebih tajam dari pedang, dan lebih panas dari kobaran api."
Prita Mulyasari adalah seorang wanita biasa seperti kebanyakan tipikal ibu-ibu muda lainnya di kota besar. Seorang karyawan yang baik, istri yang saleh dan seorang ibu dari dua anak kecil, si sulung berusia 3 tahun dan si bungsu berusia 1 tahun 3 bulan yang masih menyusui. Semua kejadian ini dimulai saat Ibu Prita mengeluhkan panas tinggi suhu tubuhnya disertai pusing, sehingga pada tanggal 07 Agustus 2008 di malam hari, ia berinisiatif memeriksakan diri ke Rumah Sakit Omni International yang berlokasi di Jl. Alam Sutera, Serpong, Tangerang.

Menurut pengakuan Ibu Prita, dia langsung dirujuk ke UGD dan diminta melakukan tes laboratorium. Hasilnya untuk suhu tubuhnya mencapai 39 derajat dan untuk kadar trombosit hanya mencapai 27.000! (kondisi normal trombosit dikatakan sebanyak 200.000). Ibu Prita dianjurkan untuk menjalani rawat inap. Keesokan harinya, dokter yang menangani pasien, dr. Hengky Gosal, datang dan dikatakan mengabarkan revisi hasil trombosit kemarin dari 27.000 menjadi 181.000 sambil mendiagnosis bahwa Ibu Prita terkena demam berdarah. Setelah itu, dr. Hengky diceritakan memberikan berbagai suntikan yang bahkan tidak pernah dijelaskan kepada Ibu Prita dan keluarganya sehingga Ibu Prita mengaku tangan kirinya mulai membengkak.

Keesokan harinya, dr. Hengky kembali mengubah diagnosisnya dengan mengatakan bahwa Ibu Prita terkena "virus udara" (definisi 'virus udara' ini kurang jelas, saya mencoba googling namun tidak menemukan petunjuk jelas. Saya hanya menduga mungkin virus yang menyebar lewat udara. Tetapi virus apa?). Malamnya, Ibu Prita kembali disuntik terus-menerus dan kali ini ia mengaku sempat mengalami sesak nafas sehingga harus mendapatkan bantuan oksigen.

Karena penjelasan dr. Hengky yang tak kunjung memuaskan, Ibu Prita dan keluarganya berniat pindah ke RS lain. Namun data medis yang diberikan oleh RS Omni adalah hasil trombosit sebanyak 181.000, bukan 27.000. Di RS lain, Ibu Prita menceritakan dia didiagnosis terkena penyakit gondongan yang sudah parah karena telah membengkak. Ia pun melayangkan komplain kepada manajemen RS Omni, dan ditanggapi oleh dr. Grace Hilza Yarlen Nela, selaku pihak penanggungjawab. Namun menurut pengakuan Ibu Prita, dr. Grace mewakili RS Omni tetap tidak mau mengakui hasil analisis trombosit sebanyak 27.000 tersebut. Setelah terjadi perdebatan panjang, akhirnya disepakati laporan itu akan dikirim ke rumah Ibu Prita melalui kurir. Diceritakan selanjutnya bahwa sampai sore tiba, surat itu tidak pernah datang. Dokter Grace sendiri saat ditelepon langsung malahan berbohong dengan mengatakan bahwa surat itu telah diterima seseorang bernama Rukiah (padahal menurut Ibu Prita, tidak ada orang bernama Rukiah di rumahnya) dan yang mencurigakan, dr. Grace tidak bisa menyebutkan alamat rumah Ibu Prita meskipun bersikukuh telah mengirimkan surat itu. Ibu Prita dan suaminya pun merasa curiga bila tes laboratorium trombositnya pertama kali itu fiktif dan tak lebih dari kedok RS Omni untuk mendapatkan pasien rawat inap tambahan.

Karena merasa kesal dan sangat kecewa, Ibu Prita menuliskan pengalaman buruknya ini kepada berbagai surat pembaca di media massa. Tak cukup itu, ia juga menuliskan pengalamannya melalui e-mail dan menyebarkannya ke beberapa koleganya di Bank Sinar Mas. Nah, bak surat berantai, e-mail Ibu Prita ini lantas di-forward ke mana-mana oleh orang yang bersimpati sehingga tersebar ke banyak orang, hingga sampai ke telinga RS Omni. Mungkin karena dampak yang dirasakan RS Omni pasca tersebarnya tulisan Ibu Prita itu terlalu terasa, RS Omni segera mengambil langkah melawan balik. Tanpa berusaha melakukan klarifikasi apa pun, RS Omni langsung merasa perlu memberi bantahan di media massa nasional. Seakan ingin menghantam dengan kekuatan penuh, RS Omni, dr. Hengky, dan dr. Grace, segera menyewa pengacara untuk menuntut balik Ibu Prita secara hukum!

Berikut ini pengumuman dan bantahan dari pihak RS Omni yang dimuat di Kompas, 08 September 2008:


Kami, RISMA SITUMORANG, HERIBERTUS & PARTNERS, Advokat dan Konsultan HKI, berkantor di Jalan Antara No. 45A Pasar Baru, Jakarta Pusat, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA, Dr. HENGKY GOSAL, SpPD dan Dr. GRACE HILZA YARLEN NELA;

Sehubungan dengan adanya surat elektronik (e-mail) terbuka dari SAUDARI PRITA MULYASARI beralamat di Villa Melati Mas Residence Blok C 3/13 Serpong Tangerang (mail from: prita.mulyasari@ yahoo.com) kepada customer_care@ banksinarmas. com, dan telah disebarluaskan ke berbagai alamat e-mail lainnya, dengan judul
'PENIPUAN OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA TANGERANG';

Dengan ini kami mengumumkan dan memberitahukan kepada khalayak umum/masyarakat dan pihak ketiga, 'BANTAHAN kami' atas surat terbuka tersebut sebagai berikut:

1. Bahwa isi surat elektronik (e-mail) terbuka tersebut tidak benar serta tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi (tidak ada penyimpangan dalam SOP dan etik), sehingga isi surat tersebut telah menyesatkan kepada para pembaca khususnya pasien, dokter, relasi OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA, relasi Dr. HENGKY GOSAL, SpPD, dan relasi Dr. GRACE HILZA YARLEN NELA, serta masyarakat luas baik di dalam maupun di luar negeri.

2. Bahwa tindakan SAUDARI PRITA MULYASARI yang tidak bertanggungjawab tersebut telah mencemarkan nama baik OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA, Dr. HENGKY GOSAL, SpPD, dan Dr. GRACE HILZA YARLEN NELA, serta menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril bagi klien kami.

3. Bahwa atas tuduhan yang tidak bertanggungjawab dan tidak berdasar hukum tersebut, klien kami saat ini akan melakukan upaya hukum terhadap SAUDARI PRITA MULYASARI baik secara hukum pidana maupun secara hukum perdata.

Demikian PENGUMUMAN & BANTAHAN ini disampaikan kepada khalayak ramai untuk tidak terkecoh dan tidak terpengaruh dengan berita yang tidak berdasar fakta/tidak benar dan berisi kebohongan tersebut.

Jakarta, 8 September 2008
Kuasa Hukum
OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA,
Dr. HENGKY GOSAL, SpPD dan Dr. GRACE HILZA YARLEN NELA
RISMA SITUMORANG, HERIBERTUS & PARTNERS


Tercatat, pada tanggal 13 Mei 2009, Ibu Prita resmi dipenjara karena didakwa telah melakukan pencemaran nama baik dan pelanggaran atas UU Informasi & Transaksi Elektronik (ITE). Ironis, korban pertama UU yang masih baru ini bukan seorang cracker ulung atau teroris, tetapi adalah seorang ibu rumah tangga yang bahkan masih harus menyusui bayinya! Seperti apakah isi UU yang dinilai kontroversial ini? “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” [pasal 27 ayat 3 UU 11/2008] dengan ancaman pidana 6 tahun dan atau denda 1 miliar.

UU ini pun sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Sejauh mana perbuatan seseorang bisa didefinisikan sebagai "penghinaan" atau "pencemaran nama baik"? Apakah komplain konsumen di media massa bisa dikategorikan ke dalam 2 hal tersebut? Saya khawatir keberadaan UU ini malah nantinya bisa memasung kebebasan berpendapat di media massa dan internet. Bahkan UU ITE ini sebenarnya bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999. Di dalam UU ini, konsumen dinyatakan berhak untuk didengarkan pendapat dan keluhannya akan barang/jasa yang digunakan. dan berhak untuk diperlakukan secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif. Ada pula hak konsumen untuk mendapat kompensasi/ganti rugi bila barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.

Sebenarnya, Ibu Prita bukan benar-benar korban pertama UU ini. Tercatat, di bulan November 2008, Erick Jazier Ardiansjah, seorang Account Executive Equity dari Bahana Securities, juga ditangkap polisi karena didakwa menyebarkan berita penipuan melalui e-mail. Sebenarnya sudah menjadi tugas bagi Erick untuk memberikan sebanyak mungkin informasi (termasuk rumor) kepada para nasabahnya. Tetapi tidak ada jaminan bahwa para nasabah ini tidak akan mem-forward e-mail itu ke mana-mana. E-mail yang bermasalah ini berisikan rumor tentang beberapa bank di Indonesia yang dikabarkan mengalami masalah likuiditas dan kegagalan transaksi antar bank. Alhasil, Erick pun segera ditangkap karena dianggap menyebarkan hasutan yang dapat mengacaukan stabilitas perbankan di Indonesia.

Bahkan sebelum kasus Erick dan Ibu Prita ini mencuat, di bulan November 2006, Khoe Seng Seng telah mengalami kasus yang mirip. Khoe Seng mengaku bahwa ia merasa tertipu saat membeli ruko di Mangga Dua yang dikelola PT Duta Pertiwi dan ternyata status tanah tersebut milik pemda dan hanya berupa HPL (Hak Pengelolaan Lahan), bukan hak milik. Merasa kecewa, ia menulis pada surat pembaca di Kompas dan Suara Pembaruan. Namun ia malah dilaporkan oleh PT Duta Pertiwi dengan tuduhan pencemaran nama baik (pada saat itu, UU ITE belum dibentuk).

Kedua kejadian antara Khoe Seng, Erick, dan Ibu Prita sebenarnya sangat identik tetapi simpati rupanya lebih mengalir kepada Ibu Prita. Mengapa? Karena pada kasus Erick, implikasinya sangat luas, bisa mempengaruhi industri perbankan seluruh Indonesia! Sementara pada kasus Ibu Prita, implikasinya relatif terbatas, tak lebih dari surat pembaca di media massa yang kebetulan dibaca dan direspon banyak orang. Terlebih, secara psikologis, masyarakat tentu lebih bisa bersimpati kepada ibu muda yang terpaksa tidak bisa menyusui bayinya karena dipenjara daripada kepada seorang pria pegawai sebuah lembaga sekuritas atau seorang pria keturunan Tionghoa. Paling tidak Khoe Seng dan Ibu Prita sama-sama mewakili pihak konsumen yang lemah, tak berdaya, dan termarjinalkan.

Kalau kita mau jujur, perbuatan Ibu Prita itu sebenarnya sangat wajar dan manusiawi sekali. Menurut riset, seorang konsumen yang puas akan mengatakan pada 3-4 orang lain. Tetapi konsumen yang tidak puas akan menyebarkannya pada 11 orang! Di sinilah kekuatan word of mouth atau buzzing bekerja. Dalam hal ini, Ibu Prita merupakan konsumen (pasien) yang kecewa terhadap produk (jasa) dari RS Omni. Padahal Ibu Prita telah membayar sejumlah harga untuk mendapatkan jasa tersebut. Maka kekecewaan konsumen lazimnya disuarakan di media massa untuk menarik perhatian publik dengan harapan akan mendapatkan respon dari produsen. But hey, RS Omni malah memperkarakan si konsumen dengan tuduhan pencemaran nama baik! Did you get my point? Apalagi ini kekecewaan konsumen yang berhubungan dengan kesehatan (nyawa manusia-ada indikasi malpraktik), tentu akan lebih sensitif daripada sekadar kekecewaan terhadap kualitas barang semata.

Akhirnya simpati publik pun membanjir tanpa dapat dibendung. Diberitakan bahwa dukungan di Facebook untuk Ibu Prita mencapai 150 ribu anggota. Sementara untuk grup penolakan terhadap RS Omni Internasional Tangerang sudah mencapai 23 ribu anggota. Dukungan dari banyak pihak, mulai blogger, mahasiswa, masyarakat awam, YLKI, anggota dewan, hingga berujung pada Capres-Cawapres pun turut berdatangan. Tekanan bertubi-tubi untuk membebaskan Ibu Prita pun akhirnya menemui hasil. Statusnya diturunkan dari "tahanan penjara" menjadi "tahanan kota". Pada tanggal 03 Juni 2009, beliau diizinkan pulang ke rumah menemui suami dan kedua anaknya. Kejaksaan Agung pun mulai memeriksa jaksa yang mendakwa kasus ini. Bahkan kepolisian terkesan ingin ikut "mencuci dosa" dengan mengatakan bahwa kejaksaan yang menahan Ibu Prita dan kejaksaan yang ngotot menggunakan pasal UU ITE untuk mendakwa Ibu Prita.

Saya yakin saat ini RS Omni Tangerang menuai badai dari angin yang telah ditabur sendiri. Saya percaya omzetnya akan menurun drastis seiring menurunnya jumlah pasien. Saya kira juga akan ada beberapa kontrak/kerjasama yang dibatalkan sepihak oleh sponsor karena mereka melihat brand RS Omni telah hancur lebur di mata publik. Semua ini menurut saya karena respon yang diambil untuk melawan threat yang keliru. Saat seorang konsumen memberitakan kejelekan produk kita dan mendapat respon publik, tidak perlu membantahnya apalagi memberangusnya (kecuali berita itu sungguh sebuah hal yang tidak benar). Publik justru akan semakin resistan. Ingat, bargaining power mereka jauh lebih kuat. Secara logika, apabila Ibu Prita berniat menipu publik dengan menyebarkan berita bohong, apakah ia akan memberikan nama lengkap, alamat, dan nomor ponselnya di surat pembaca?

Menurut saran beberapa ahli Crisis Management, sangat disarankan saat menghadapi masalah itu, RS Omni menggunakan hak jawab saja di milis-milis yang bersangkutan lalu berusaha menghubungi Ibu Prita dan berusaha mencari win-win solution. Sangat dianjurkan bahwa kalangan top management RS Omni sendiri yang mengunjungi rumah Ibu Prita dan menjelaskan permasalahan ini. Akui saja keteledoran RS Omni yang menghasilkan tes trombosit yang tidak valid. Setelah minta maaf dan kesepakatan tercapai, RS Omni bisa memohon Ibu Prita untuk kembali menulis pernyataan di milis, e-mail, dan surat pembaca bahwa semuanya telah diselesaikan dengan baik oleh RS Omni. Sebuah solusi yang terdengar lebih santun kan, daripada menyewa pengacara mahal atau memasang iklan satu halaman penuh di media massa nasional? RS Omni malah harus bersyukur kalau tidak dituntut balik oleh Ibu Prita yang sudah dizalimi dan didukung segenap elemen masyarakat.

Setelah itu untuk membangun kembali brand yang terpuruk, RS Omni direkomendasikan menggunakan strategi Public Relations. Jangan melawan arus, biarkan semuanya mereda dan beri kesempatan PR untuk membangun ulang brand RS Omni secara perlahan-lahan menuju arah yang positif. Hal yang jelas sangat tidak mudah, namun bukan mustahil dilakukan. Satu lagi, sepertinya RS Omni perlu segera membenahi seluruh sistem manajemennya secara radikal, terutama Customer Relationship Management, sebelum mengalami kebangkrutan akibat tidak ada lagi pasien yang mau berobat ke sana...

Sekarang, jangan-jangan saya juga bisa dituntut RS Omni karena dituding ikut membantu menyebarkan berita bohong di blog ini? Capeee deeehh... :-p

Kamis, 14 Mei 2009

Stone Age in Modern Time


Judul di atas mungkin terdengar kontradiktif dan tidak masuk akal. Apa iya di zaman modern seperti sekarang ini, kita masih bisa mendapati sebuah 'zaman batu'? Well, mari kita kembali ke beberapa bulan silam dari sekarang, tepatnya saat saya masih bekerja di sebuah kantor advertising di daerah Kemang.

Siang itu, langit terasa berawan teduh seakan menghalangi sinar matahari terik yang menghujam bumi tanpa permisi. Semua orang tampak sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing di kantor, tak terkecuali saya. Mendadak, bahkan tanpa peringatan apa pun, Zzzap!... Kantor menjadi gelap-gulita, layar-layar monitor menjadi hitam membisu. Satu-satunya pencahayaan yang ada saat itu hanyalah secercah cahaya dari luar yang malu-malu masuk melalui jendela. Kejadian sepersekian detik itu langsung diikuti oleh beragam reaksi spontan dari hampir semua orang di kantor. Ada yang mengeluh panjang, ada yang mengumpat PLN karena pekerjaannya belum sempat di-save. Ada yang tertawa meledek bahkan mungkin merasa senang karena bisa istirahat sejenak dari pekerjaannya, ada yang mempertanyakan kemanakah gerangan UPS kantor, sampai ada yang dengan polosnya melontarkan pertanyaan retoris, "Eh, mati lampu ya?" :-)

Tiba-tiba seperti anak ayam yang kehilangan induk, semua orang di kantor yang tadinya serius mengerjakan pekerjaannya masing-masing kini seolah kehilangan visi. Situasinya mirip dengan chaos theory dalam skala rendah, semua orang melakukan hal-hal tanpa tujuan. Ada yang memilih ngobrol di teras sambil merokok, ada yang lebih suka ngobrol di dalam, ada yang memainkan handphone, sampai ada yang cuma menatapi langit di kejauhan. Tak sampai 10 menit, hampir semua orang di kantor memilih ke luar ruangan karena di dalam terasa gerah, maklum AC juga ikut tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Untungnya, Creative Director kami waktu itu cepat tanggap dengan segera mengumpulkan personel-personelnya untuk melakukan brainstorming di tengah padamnya listrik ;-)

Sampai hampir setengah jam kemudian, tiba-tiba listrik kembali menyala, dan seketika itu juga semua orang di kantor seperti kembali menemukan jati diri masing-masing. Tanpa dikomando, mereka semua langsung kembali ke tempat duduk dan menyalakan komputer, kembali sibuk dalam rutinitas pekerjaan. Tiba-tiba terlintas dalam benak saya, betapa kehidupan modern sangat bergantung dengan pasokan listrik. Bayangkan, tanpa adanya listrik, kita nyaris tidak bisa melakukan apa pun (apalagi kalau listrik padam pada waktu malam hari). Lampu, TV, komputer, internet, kulkas, AC, charger handphone, semuanya menjadi tidak berfungsi lagi. Analoginya seperti Anda mempunyai sebuah Ferrari tetapi sayangnya bensin belum ditemukan.

Teknologi yang tadinya berfungsi untuk memudahkan manusia ternyata lambat-laun malah menimbulkan ketergantungan manusia terhadap teknologi itu sendiri (reverse adaptive technology). Contoh lain, bila handphone kita low-bat dan kebetulan kita tidak membawa charger. Rasanya seperti separuh nyawa kita lenyap karena kehilangan komunikasi dengan orang lain. Andaikan modem ISP tiba-tiba macet atau jaringan internet sedang down, rasanya juga kita seolah terisolasi dengan dunia luar. Bayangkan juga bila iPod mendadak rewel atau tiba-tiba komputer kita hang, ban kendaraan kita kempis, mesin mogok, dan sebagainya.

Saya jadi berspekulasi seandainya tiba-tiba bencana hujan meteor datang menghujam Bumi atau terjadi bencana Badai Magnetik Matahari dalam skala besar, seperti di film Knowing. Peradaban modern yang kita banggakan selama ini langsung lenyap dalam hitungan jam. Semua peralatan menjadi rusak, semua bangunan artifisial runtuh, dan hanya segelintir manusia yang selamat dari bencana ini. Masihkah kita bisa bertahan hidup bahkan membangun ulang peradaban dengan segala pengetahuan yang kita miliki saat kita masih hidup tenang di zaman modern dan mengklaim diri sebagai manusia abad 21? Sekalipun kita semua rata-rata pernah bersekolah, bahkan sampai lulus kuliah, tetapi siapakah dari kita yang bisa menenun benang menjadi pakaian? Mengerti cara bercocok-tanam dan memanennya? Bisa membuat perkakas logam? Bisa menciptakan peralatan elektronik? Mampu menyalakan api dari gesekan kayu atau batu? Saya yakin jawabannya, hampir tidak ada.

Jadi saat ini, apakah manusia yang mengendalikan teknologi ataukah sebaliknya, teknologikah yang mengendalikan manusia? Saya sendiri saat ini tengah dilanda 'Facebook syndrome'. Sehari saja tidak membuka Facebook, seolah saya menjadi manusia gua yang terperosok dari dunia modern, walaupun faktanya saya masih tinggal di kota dan melakukan aktivitas seperti biasa. Seperti mungkin jutaan orang lainnya, saya mulai kehilangan realitas akibat terlalu sering menjelajahi Facebook dan berinteraksi di dalamnya.

Bahkan ada sejumlah orang yang benar-benar hidupnya telah dikontrol oleh Facebook. Ciri-cirinya adalah orang ini selalu rajin meng-update statusnya dalam hitungan menit! Misalnya, ia meng-share bahwa ia: "sedang makan siang". Semenit kemudian, statusnya berganti menjadi: "makan nasi goreng seafood, yummy!" Sepuluh menit kemudian, berubah menjadi: "Uda makan kenyaaang, skrg siap kerja lage". Lantas di-update lagi menjadi: "Abis makan, koq jadi ngantuuk, duh males kerja neeh", dan seterusnya. Jangan-jangan nanti kalau dia tersandung, statusnya juga berubah menjadi: "sedang kesandung" :-))

Tidak hanya Facebook. Banyak contoh populer lainnya, misalnya manusia-manusia 'autis' yang kemana-mana sibuk memencet-mencet BlackBerry (BB). Jadi sekarang ini bukan hal yang aneh bila kita melihat dua orang yang duduk berhadap-hadapan tetapi sama sekali membisu karena keduanya malah sibuk mengurusi BB mereka masing-masing :-) Fitur eksklusif BB yang mengizinkan pemiliknya untuk saling chatting ternyata malah menjauhkan mereka dari komunikasi sosial sesungguhnya!

Masihkah kita tinggal di zaman batu? Jangan-jangan Morpheus benar, dunia modern yang kita tinggali ini ternyata hanyalah persepsi semu dari dunia matrix ;-)

Senin, 02 Maret 2009

Ponari dan Batu Bertuah


Bak seperti judul novel "Harry Potter & the Sorcerer's Stone", kisah tentang batu bertuah ternyata tidak hanya ada di Hogwarts saja, tetapi juga mampir sampai ke ranah Jombang. Bila batu bertuah yang ditemukan Harry berasal dari Nicholas Flamel, Sang Alchemist legendaris, maka batu bertuah yang muncul di Jombang ini konon berasal dari sambaran petir, mirip seperti bekas luka di dahi Harry Potter sendiri!

Pemilik batu ajaib di Jombang itu adalah Ponari, seorang anak ingusan berusia 9 tahun yang masih duduk di kelas 3 SD. Konon ia mendapatkan batu itu saat sedang bermain-main di tengah hujan lebat. Mendadak saat petir menggelegar, ia merasakan ada sesuatu mengenai kepalanya. Bukan snitch, apalagi bludger, hanya sebuah batu kecil dan konon lagi, katanya mengeluarkan sinar kemerah-merahan. Si Ponari lantas memutuskan untuk mengantongi batu itu dan membawanya pulang.

Entah siapa yang pertama menyebarkan isu dan siapa pasien pertama yang mendapat terapi batu tersebut, mendadak desa tempat tinggal Ponari sudah riuh-ramai dikunjungi banyak orang yang mendambakan kesembuhan instan. Tiba-tiba saja Ponari telah menjelma menjadi from zero to hero, dari seorang anak kampung biasa mendadak menjadi dukun cilik yang dielu-elukan banyak orang! Terapi yang ditawarkan sangat sederhana, sediakan air dalam wadah untuk siap menerima kobokan tangan Ponari yang selalu mengenggam batu ajaibnya, dan saat pasien menenggak habis air antah-berantah itu, maka teorinya si pasien akan langsung waras-wiris! Tak peduli batu itu sering jatuh terguling ke tanah dan tidak pernah dicuci, atau tangan Ponari baru saja lincah mengorek upil lantas menggaruk pantatnya yang gatal :-)

Kepercayaan akan kesembuhan instan itulah yang telah menghipnotis ribuan orang dan menggiring mereka satu persatu mengunjungi kediaman Ponari. Keluarga Ponari pun mencium aroma bisnis yang memikat, langsung serta-merta terbentuk panitia dadakan yang mencoba mengelola barisan pengantre 'batu bertuah' sebagai tambang uang. Hasil yang didapat sungguh mencengangkan, dalam sehari konon mereka mampu mengumpulkan 50 juta Rupiah! Uang sebanyak ini dalam sehari sudah cukup meyakinkan warga satu desa akan betapa tingginya competitive advantage yang dimiliki Ponari. Alhasil, dalam sekejap muncul sekelompok pemuda (preman) menjaga pintu masuk desa dengan dalih-dalih keamanan, muncul pula sederet pedagang dadakan menjajakan dagangannya, serta para tetangga yang juga mendadak ramah membisniskan rumahnya sebagai losmen sementara bagi para pengantri 'batu bertuah'.

Menurut perhitungan, dalam sehari para pengantri di rumah Ponari bisa mencapai 10.000 orang! (Hampir mendekati jumlah penonton Java Jazz 2009 di hari pertama yang menghadirkan Jason Mraz). Ribuan orang sakit berkumpul, berdesak-desakan, mengantri, serta main serobot, kita bisa menduga akibatnya, 2 pasien tak dikenal tewas seketika. Sejak insiden itu dimuat di media massa, kepolisian Jombang dan bupati Jombang mulai turun tangan. Ratusan polisi dikerahkan ikut mengatur barisan pengantri, sementara si bupati konon membujuk Ponari dan keluarganya menyudahi praktek ajaib mereka untuk menghindari korban jiwa baru. Sayangnya pertukaran uang yang sudah mencapai omzet milyaran Rupiah membuat beberapa pihak menginginkan praktik pengobatan 'zaman batu' ini tetap lestari. Si Ponari pun dianggap sebagai tangible asset yang harus diperlakukan secara spesial. Ia tampak seperti bayi atau anak lumpuh down syndrome dengan digendong kemana-mana. Popularitasnya pun meningkat pesat, bak selebritis baru, ia sering diwawancarai wartawan, difoto, bahkan mendapat pengawalan ketat dari pihak panitia dadakan serta kepolisian. Sang kepala sekolah pun sampai rela menjemputnya ke rumah dan mengantarnya ke sekolah hanya demi Si Ponari bisa bersekolah kembali.

Setelah lama menjadi pembicaraan publik, tibalah Kak Seto, seorang pemerhati anak (tetapi tidak pernah memperhatikan anak-anak jalanan) ke Jombang. Usai berdiskusi dengan keluarga Ponari, kepolisian, dan bupati Jombang, diputuskan untuk mengakhiri bisnis batu-batuan ini. Ponari harus tetap bersekolah dan menikmati masa anak-anaknya dengan merdeka. Sampai waktu yang belum ditentukan, akhirnya praktik 'batu bertuah' dihentikan.

Para pasien yang belum kebagian air kobokan ajaib itu tentu saja merasa kehilangan besar. Entah mungkin merasa sudah kepalang tanggung sampai di rumah Ponari, akhirnya dengan gelap mata mereka mengambil air comberan rumah Ponari, air bekas hujan yang mengucur dari genting rumah Ponari, hingga tanah dari pekarangan rumah Ponari yang dibungkus daun pisang. Semuanya berbekal keyakinan buta bahwa itu semua sama berkhasiatnya dengan air rendaman batu antah-berantah milik Ponari!

Di akhir penutupan bisnis itu, lagi-lagi konon, kakek Ponari mengaku bisa menyetorkan uang cash sebesar 1 milyar Rupiah ke rekening bank! Wuih, perlu dipertanyakan bila Dirjen Pajak Jombang tidak cepat tanggap dengan langsung meminta NPWP keluarga Ponari, hehe...

Batu bertuah ternyata tidak dimiliki Ponari semata. Masih di Jombang, ada pihak lain yang juga mengklaim mempunyai batu petir lainnya. Dewi Sulistyowati, si gadis belia berusia 14 tahun mengaku juga menemukan batu istimewa dari sambaran petir. Berbeda dengan teknik Ponari yang mengandalkan air kobokan, teknik yang dipakai Dewi dan ayahnya dalam mengobati orang, lebih 'elegan'. Masih memanfaatkan air sebagai medium, namun batu ini hanya ditaruh di sampingnya lalu mulut ayah Dewi berkomat-kamit membaca doa lantas air jampi-jampi ini diminumkan ke pasien. Mendadak lagi muncul isu-isu keblinger yang menyebutkan bahwa batu Ponari dan batu Dewi adalah 'suami-istri' dengan sebutan Rono-Rene.

Seperti tidak mau kalah dengan putera-puteri Jombang, Siti Nur Rohmah, seorang perempuan Jombang berusia 35 tahun juga mengaku menemukan batu ajaib. Bila batu milik Ponari dan Dewi berasal dari sambaran petir, batu milik Siti ini lebih ajaib lagi, karena berasal dari sebuah mimpi! Ya, Siti mengaku ia bermimpi dititipi sebuah batu pualam oleh kakek tua bernama Ki Renggo. Metode penyembuhan yang dilakukan Siti sama persis dengan Ponari, yaitu batu dicelupkan ke dalam air, lalu air rendaman itu diminum dengan lahap oleh si pasien.

Rupanya tren 'batu bertuah' sedang melanda Indonesia, khususnya di daerah Jawa Timur. Di Bangkalan, Madura, Irfan Maulana, seorang anak berumur 6 tahun tiba-tiba mengejutkan publik dengan juga mengaku-ngaku menemukan batu ajaib. Serupa dengan Siti, Irfan cilik juga mengaku mendapatkannya dari mimpi bertemu 3 pria bersorban yang memberinya uang Rp 1000 untuk membeli air mineral. Mendadak uang tersebut berubah menjadi batu hitam lantas ketiga pria itu berpesan agar batu itu dimanfaatkan untuk kesembuhan orang banyak.

Bila memang Ponari sungguh menemukan batu ajaib yang mungkin menggelinding dari surga, mengapa kemunculannya hampir bersamaan diikuti oleh Dewi, Siti, dan Irfan? Masa benar 4 'batu bertuah' itu secara kebetulan bisa muncul bersama-sama ke dunia fana? Bagaimana juga 4 butir batu ini mampu memperdaya logika ribuan manusia yang rela berdesak-desakan menjadi pasien terapi batu ajaib ini?

Salah seorang pasien Ponari mengaku ia pernah berobat ke dokter spesialis untuk menyembuhkan sakitnya. Sudah tiga kali ia berobat namun kondisinya belum membaik padahal sekali datang ke dokter, ia harus merogoh kocek sebesar Rp 100.000. Sudah pasti ia tergiur dengan terapi gambling ala batu bertuah, bermodalkan 5000-10.000 Rupiah untuk membeli kupon, ia berharap bisa mendapatkan kesembuhan instan dengan menenggak air kobokan Ponari. Kalaupun tidak sembuh, ya mungkin ia berpikir tidak terlalu rugi membuang uang sepersepuluh dari tarif dokter spesialis.

Walaupun belum terbukti secara ilmiah bahwa batu-batu milik Ponari, Dewi, Siti, dan Irfan memang bisa menyembuhkan, sebenarnya diduga kuat kalaupun memang ada pasien yang sembuh setelah meminum air rendaman batu itu, maka itu adalah hasil dari sugesti. Dunia medis mengenal fenomena ini, bila ada pasien yang mengeluh sakit perut dan dokter memberinya aspirin (pil untuk sakit kepala) atau justru kapsul kosong, dan pasien mempercayai bahwa ia sedang meminum obat sakit perut, ia akan sembuh. Fenomena 'pikiran menipu tubuh' ini disebut placebo effect.

Kemungkinan lain, si pasien yang bersangkutan menderita penyakit somatis. Sakit somatis adalah sakit yang tidak ada obatnya karena berasal dari psikologis penderita yang bersangkutan, bukan biologis. Misalnya sakit perut atau pusing karena mengalami depresi ringan atau nervous, sehingga sakit ini akan sembuh dengan sendirinya, baik meminum obat atau tidak sama sekali.

Beberapa pengamat berasumsi membludaknya peminat terapi 'zaman batu' ini tidak lepas dari kegagalan pemerintah mewujudkan pelayanan kesehatan yang merata dengan kualitas baik dan tarif terjangkau. Biaya pengobatan gratis bagi warga miskin yang sempat digembar-gemborkan Dinas Kesehatan pun rupanya hanya masih berupa teori di atas kertas. Pelaksanaannya di lapangan nyaris tidak ada sama sekali. Maka wajar saja bila banyak orang yang mengalihkan pengobatan ke sumber-sumber yang tidak rasional sama sekali, seperti Ponari dan kawan-kawan.

Sekadar intermezzo, diberitakan di Detik.com, bahwa Ponari yang dielu-elukan sebagai dukun sakti itu ternyata di sekolahnya dikenal sebagai anak yang bodoh bahkan nyaris tidak naik kelas. Seandainya air rendaman batu petirnya memang berkhasiat menyembuhkan, mengapa ia tidak meminum air kobokannya sendiri supaya menjadi anak pintar yang jenius?

Bila bangsa ini terus mengabaikan logika, maka wajarlah bila bangsa ini terus dilanda kemalangan dan kemunduran... Let's changing the nation by changing ourselves!

Minggu, 08 Februari 2009

Simply Irresistible (Case Study of Gender Difference)


Pernahkah Anda memperhatikan seorang lawan jenis dan entah mengapa menyukai tingkah lakunya yang sederhana, tanpa alasan rasional? Saya pribadi juga mengalami hal yang sama, menunjukkan ketertarikan secara implisit pada perempuan seperti gambar di atas.

1. A Woman Wearing Glasses

Call me weird, entah mengapa secara subjektif saya selalu menyukai perempuan-perempuan berkacamata. Memang bagi banyak orang, kacamata menyimbolkan kesan kuno, kuper, bookworm bitch, library minded, sehingga banyak gadis rela menanggalkan kacamatanya lantas beralih ke softlens atau malah menjalani operasi lasik, demi puja-puji orang-orang di sekelilingnya. Namun, buat saya, kacamata justru merupakan ikon kecerdasan, intelektualitas, kecermatan, dan memang tak bisa lepas dari asosiasi kutu buku (who cares? I do reading books, too!) Justru kacamata itu bisa menegaskan karakter yang kuat bagi pemakainya. Saya juga tidak pernah keberatan berteman dengan perempuan yang jauh lebih pintar dari saya.

2. A Woman with an Ice Cream

Kalau kebetulan ada seorang gadis yang sedang menghabiskan es krimnya, entah mengapa saya juga senang memandanginya :-) Apalagi kalau si gadis memakan es krim itu dengan cara yang agak lucu, entah dengan dijilati, dihisap, sampai celemotan di bibirnya, hal itu membuat saya tersenyum di dalam hati dan terkadang memaksa fantasi ini melayang ke mana-mana ;-) Ah, satu lagi efek dari Badai Testosteron yang sedang melanda...

3. A Woman Applying Make-up

Mungkin sudah menjadi kodrat seorang perempuan untuk selalu ingin tampil cantik, dan salah satu cara untuk menggapai kecantikan itu adalah dengan melakukan make-up. Semenjak kecil, saya sudah terpesona menatap ibu saya berdandan sebelum pergi menghadiri acara-acara spesial. Pesona masa kecil itu sampai kini masih bertahan saat saya melihat perempuan merias wajah mereka sendiri.

Bagaimana ia dengan lembut menyisir rambutnya, telaten menorehkan eyeshadow/mascara pada kedua matanya, menaburkan bedak, sesekali memberikan blush-on ke dua pipinya, lalu mengoleskan lipstik pada bibirnya, kemudian mengatupkan kedua sisi bibirnya supaya rata, atau menggunakan secarik tisu untuk mengurangi efek dramatis lipstiknya. Setelah itu, ia akan menyemprotkan sedikit wewangian segar ke bagian-bagian tubuhnya, dan dengan tersenyum simpul puas menatap hasil akhir masterpiece-nya di cermin. Pria mungkin tidak bisa memahami ritual yang sekilas terlihat sederhana namun sesungguhnya kompleks ini, namun setiap pria selalu bisa mengagumi hasilnya.

Sebagai pria, saya pernah menyimpan rasa 'kecemburuan' kepada perempuan. Kaum hawa seakan dilahirkan untuk menjadi mahluk yang mempesona. Pakaian yang mereka kenakan begitu beragam dan semuanya sangat fashionable, berbeda dengan busana pria yang cenderung kaku dan seragam; hanya kemeja/T-shirt, celana panjang, sesekali dilengkapi jas dan dasi, that's it.

Bila pria berambut panjang, masyarakat awam akan mencelanya sembari meyakinkan hanya kaum seniman dan rocker yang cocok berambut gondrong. Namun bila perempuan memilih berambut pendek saat ini, alih-alih menyebutnya tomboy, mereka lebih senang memuji penampilan baru tersebut dengan mengatakan: "Berani tampil beda", "Kelihatan lebih muda & segar", "Lebih kelihatan manis", "Modern look", "Edgy", dan sebagainya. Malah belakangan rambut bob ala Victoria Beckham atau rambut pendek ala Rihanna sangat ngetren di kalangan perempuan. Bahkan rambut yang lebih pendek boyish look seperti Agyness Deyn, sangat menuai beragam pujian dari kalangan fashion & hairstylist.

Tak hanya itu 'keunggulan' yang dimiliki perempuan. Bila mereka mendapat masalah, mereka tinggal memasang wajah polos (terkadang diselipi kesan manja) meminta bantuan dari para pria. Entah mungkin terdorong rasa heroik tinggi atau tidak bisa menolak sorot mata perempuan yang meluluhkan logika beku pria, biasanya tingkat keefektifan cara ini hampir mendekati 95%. Riset kecil mengenai kebenaran ini pernah dibuktikan di serial reality show, "Tolooong!", yang pernah ditayangkan di SCTV. Pada satu adegan ada seorang gadis manis yang pura-pura meminta tolong pada warga sekitar karena ban mobilnya kempis. Baru saja ia berakting teriak minta tolong, langsung 2 motor yang kebetulan lewat segera berhenti dan menghampiri si gadis. Tentu saja para pengendaranya semua adalah pria :-) Hal yang sangat kontras terjadi saat si talent adalah seorang bapak paruh baya yang harus menunggu sekitar 1 jam untuk mendapat bantuan pertamanya!

Psikologi perempuan dalam berbelanja juga sangat menarik bagi saya secara pribadi. Berbeda dengan pria yang sangat direct dalam mencapai tujuan dengan mengagung-agungkan logikanya, perempuan justru sering tampil atraktif. Seperti prosedur para personel SWAT yang terlatih untuk menumpas teroris, mereka tidak langsung mendobrak pintu depan, menghajar, dan menendang pantat musuh satu-persatu. Mereka justru tampil menyisir dari lingkungan sekitar, perlahan memperkecil sweeping zone, hingga akhirnya mengepung markas teroris tersebut.

Tipikal yang sama ditunjukkan perempuan. Bila pria berbelanja, ia cenderung langsung bergerak menuju sasaran. Ia sedang membutuhkan T-shirt putih, dan dengan sadar ia akan mengeleminir semua target yang bukan termasuk T-shirt putih. Setelah mendapat T-shirt putih, besar kemungkinan ia akan langsung pulang, mission accomplished, well done! Sementara kaum perempuan punya pendekatan yang berbeda. Bila ia membutuhkan T-shirt putih, ia justru akan melakukan penyisiran dari toko-toko lain, melihat objek-objek lainnya dahulu, membandingkan harga, dan secara otomatis akan memasukkan semua objek yang disentuhnya di toko ke dalam visualisasi bila dipadukan dengan koleksi-koleksi yang sudah ia punyai di lemari bajunya. Dalam berbelanja, perempuan juga cenderung memperluas target range, sehingga tidak hanya T-shirt putih yang dibidik, tetapi juga mungkin T-shirt merah, blouse biru, blazer beludru, sepatu stiletto, dsb. Tidak heran, aktivitas berbelanja perempuan selalu memakan waktu yang lama!

Namun ada sebuah anomali dalam psikologi berbelanja wanita. Anomali yang mungkin tidak pernah dapat dipahami oleh analisis mesin logika pria, namun dipandang sebagai sebuah keuntungan oleh mesin emosional perempuan. Anomali yang bisa mengubah hasil akhir dari sebuah keinginan awal. Misalnya, perempuan yang tadinya ingin membeli T-shirt putih, namun saat pulang, mungkin ia justru membeli rok A-Line, tank-top, printed handbag, tetapi tidak membeli T-shirt putih sama sekali! Alasan mereka membeli barang-barang tersebut (selain sedang diskon) adalah karena cocok dipadukan dengan koleksi-koleksi mereka sebelumnya.

Berbahagialah, kalian kaum perempuan... Berdasarkan ramalan pakar-pakar marketing tersohor, saat ini Bumi sedang bertransformasi menjadi Venus (planet yang konon diasosiasikan dengan perempuan). Alih-alih menjadi rasional ala 'mahluk Mars', seluruh dunia kini sedang menikmati peran baru mereka yang emosional. Lihat saja, betapa jumlah pria-pria metroseksual semakin meningkat seiring meningkatnya kesadaran pria untuk memperhatikan penampilan. Lupakan pria macho ala Charles Bronson atau Clint Eastwood semasa muda! Kini pria mendambakan diri menjadi sosok David Beckham, F4, atau bahkan Edward Cullen!

Konsep marketing pun diyakini juga turut bergeser. Hermawan Kartajaya, melalui buku best-seller-nya, "Marketing in Venus", mengatakan bahwa komunikasi pemasaran yang bersifat top-down, one-way, dan massal menjadi kurang efektif. Justru komunikasi interaktif, kolegial, peer-to-peer, kelak akan merajai masa depan. Kita sudah melihat indikasi-indikasi itu dengan meningkatnya popularitas Facebook, Yahoo Messenger, Mailing List, Forum, dan BlackBerry.

Ah, ternyata membicarakan mengenai perbedaan gender saja, bisa sampai meluber ke mana-mana ;-P

Sabtu, 04 Oktober 2008

Journey to The East (part 4 HK-Shenzhen)



Pada liburan lebaran selama seminggu kali ini, saya kembali berkesempatan untuk berpergian ke luar negeri. Kali ini benar-benar perjalanan yang istimewa, because this is my first trip to abroad, ALONE! Memang sih bukan berarti sama sekali sendirian seperti perjalanan para turis nekad 'backpacker', saya masih mengambil paket tur. Namun tetap saja kali ini semuanya terasa lebih challenging dan bebas, tentunya.

Semula saya tertarik dengan paket wisata ke Thailand, dengan eksotisme magis yang dimiliki Bangkok. Imajinasi saya sudah melayang menembus belantara Patpong yang menggoda, pesona Pattaya yang menggelora, dan Phuket yang menawan. Bahkan kecantikan perempuan-perempuan Thai yang unik yang konon merupakan campuran Asia Tenggara dan Asia Timur (pengecualian untuk para banci Thailand yang juga cantik), cukup ampuh menarik minat saya dari dahulu ;-) Tarif yang relatif murah serta jarak yang tidak terlalu jauh dari Indonesia juga menjadi nilai plus bagi saya. Sayang beribu sayang, kondisi sosial-politik Thailand saat itu sedang memanas dan sangat tidak stabil. Hampir tiap hari, ribuan orang turun ke jalan menuntut Perdana Menteri Samak Sundravej untuk mundur. Aksi People's Power ini dari hari ke hari makin membesar hingga puncaknya mereka sempat memboikot Bandara Phuket dan Kantor Perdana Menteri di Bangkok. Dapat dipastikan jaringan turisme di Thailand saat itu terganggu. Pada perkembangan selanjutnya, Samak Sundravej akhirnya dipecat oleh Mahkamah Konstitusi Thailand, dengan alasan yang konyol, karena menjadi host dalam acara memasak komersial di televisi!

Akhirnya dengan berat hati, pilihan saya alihkan ke paket tur Hong Kong-Shenzhen. Jujur buat saya, dari dua tujuan wisata ini, hanya Hong Kong yang menarik minat saya. Bekas koloni Inggris yang diserahkan kepada China di tahun 1997 ini lebih mempunyai nilai sejarah dan daya tarik dibanding Shenzhen. Sejarah lahirnya Hong Kong bermula dari Perang Candu (1839-1842) dimana Inggris melihat peluang besar dari perdagangan opium di China. Silau akan pundi-pundi uang yang kelak mengalir, Inggris memasukkan opium secara ilegal dari India ke Guangzhou. Selain ilegal, opium yang melimpah ini juga menyebabkan banyak rakyat Guangzhou menjadi pemalas dan pecandu. China pun gusar dan membakar gudang-gudang opium di Guangzhou. Sebaliknya Inggris pun berang dan berbalik mengobarkan perang kepada China! Karena persenjataan Inggris yang lebih baik, China mengalami kekalahan dan harus tunduk menandatangani Perjanjian Nanking (the Treaty of Nanking). Salah satu isi perjanjian itu adalah meminjamkan Hong Kong kepada Inggris selama 155 tahun hingga 1 Juli 1997 kelak.

Hong Kong pernah dikenal sebagai kawasan termaju di Asia Pasifik (selain Jepang, Korsel, dan Singapura tentunya). Tidak hanya untuk urusan bisnis, industri perfilman Hong Kong pun sangat terkenal dan mampu bersaing dengan perfilman Hollywood. Warga Hong Kong terlanjur larut lama dalam kenyamanan kapitalisme di bawah belaian Pemerintah Inggris, sehingga sangat wajar di saat mendekati tahun 1997, mayoritas warga Hong Kong bereaksi resah! Untuk mengambil simpati Hong Kong, Pemerintah China menawarkan otonomi pemerintahan khusus (Special Administrative Region) yang dikenal dengan istilah, "satu negara dua sistem". Kombinasi antara 150 tahun pengaruh kolonial Inggris dan 5000 tahun tradisi China kuno menjadikan Hong Kong begitu unik. Pada akhirnya justru kehebatan Hong Kong mampu disusul China yang terus melesat. Sementara selama ini, dibandingkan Hong Kong yang sudah sangat mendunia, Shenzhen hanya saya kenal melalui objek wisata miniatur-miniatur keajaiban dunianya saja.

Pada pagi hari jam 06.15, akhirnya dengan pesawat China Airlines, rombongan tur kami berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Hong Kong. Pesawat maskapai ini boleh dibilang sudah modern, karena memasang video passanger di masing-masing seat, dengan fitur yang sangat lengkap! Ada fasilitas musik, film-film terbaru, games, bahkan fasilitas iXplorer.

Perjalanan selama 4,5 jam jelas sangat membosankan bila hanya mendengarkan musik, karena itu saya mencoba menonton "The Happening", film thriller karya M. Shyamalan. Ide ceritanya sangat menarik, namun eksekusi filmnya terlihat berantakan. Kecewa dengan ekspektasi yang terlanjur tinggi, saya memilih film lain yang sudah terlihat 'ancur' sekalian, "You Don't Mess with the Zohan", yang dibintangi Adam Sandler. Film ini sangat kocak dan penuh dengan humor-humor seks yang vulgar (saya jadi membayangkan duet Borat-Zohan dalam satu film). Sementara fasilitas iXplorer ini sangat istimewa, karena mengizinkan penumpang untuk dapat melihat situasi di luar pesawat melalui video kamera eksternal. Visualnya ada dua macam, yaitu visual ke depan (dari hidung pesawat) dan visual ke bawah (dari badan pesawat).

Sesampainya di Hong Kong, pesawat mendarat di Bandara Internasional Chek Lap Kok sekitar jam 11 lebih. Bandara ini sungguh luar biasa karena dibangun di sebuah pulau artifisial hasil reklamasi yang dinamai Pulau Chek Lap Kok. Interior bandara ini tersusun atas jutaan kaca, sehingga pada siang hari, suasananya sangat terang. Saat ini, nama 'Bandara Chek Lap Kok' tidak lagi digunakan, dan diganti dengan nama 'Hong Kong Internasional Airport'. Di sini kami disambut oleh tour guide lokal Hong Kong yang cukup informatif tetapi sayangnya terlihat kaku. Langsung tanpa basa-basi kami menaiki bus untuk melanjutkan perjalanan ke Shenzhen selama kurang lebih 2 jam.

Perjalanan ini melintasi tol yang lebar dan lenggang (seperti jalan tol Jakarta-Bandung) dan Shenzhen Bay Bridge. Di tengah perjalanan, saya melihat banyak sekali Toyota Alphard dan Toyota Previa berlalu-lalang. Memasuki perbatasan antara Hong Kong dengan China, kami turun ke kantor imigrasi Hong Kong untuk menjalani pemeriksaan dokumen. Di sini kantornya terlihat agak kumuh, berbeda dengan image bandara Hong Kong yang megah (mungkin karena berada di perbatasan). Lepas dari kantor imigrasi Hong Kong, sekitar 15 menit, kami menjalani pemeriksaan lagi di Huanggang Port Entry Concourse, kantor imigrasi China (karena Shenzhen berada di bawah otoritas China). Di sini, pemeriksaan berjalan lebih ketat, dan kami disambut seorang tour guide lokal China yang lebih informatif dan ramah. Bahkan kemampuannya berbahasa Inggris saya nilai malah lebih baik daripada tour guide Hong Kong sendiri! Sudah menjadi rahasia umum bila orang China memang rata-rata kurang menguasai bahasa Inggris.

Kami akan segera memasuki Shenzhen, kota di Mainland China yang langsung berbatasan dengan wilayah Hong Kong. Mmm... apakah kali ini opini pertama saya mengenai Shenzhen ini benar? Bahwa Shenzhen tidak terlalu worthy untuk dikunjungi...?

Shenzhen: From Nothing to Something



Shenzhen merupakan sebuah kota modern yang baru terdengar mungkin sepuluh-lima belas tahun terakhir ini saja, bila dibandingkan dengan Guangzhou, Shanghai, ataupun Beijing. Kota ini berbatasan langsung dengan kawasan New Territories di bawah otoritas Pemerintah Hong Kong. Di zaman dulu, daerah Shenzhen sangat dijaga ketat karena banyaknya warga miskin China yang ingin lari ke Hong Kong untuk mencari pekerjaan. Kota ini terletak di provinsi Guangdong, daerah selatan China, sehingga beriklim tropis dan panas sepanjang tahun seperti Indonesia. Hampir semua penduduk Shenzhen selalu membangga-banggakan nama Deng Xiaoping.

Akhirnya tibalah kami memasuki Shenzhen, kesan pertama yang muncul adalah kota ini sudah terlihat modern! Gedung-gedung bertingkat dimana-mana, mobil-mobil mewah bersliweran (sebuah Ferrari terlihat diparkir di depan hotel kami), dan orang-orang yang berlalu-lalang terlihat mengenakan pakaian yang fashionable. Sepertinya Jakarta dan Surabaya saja masih kalah bila dibandingkan head to head dengan Shenzhen. Bahkan Gucci berani membuka toko 2 lantai di pinggir jalan! Kami diantar menuju Century Plaza Hotel, sebuah hotel berbintang 4 berlantai 22 di kawasan downtown. Kota ini terlihat seperti China dengan citarasa Hong Kong, karena banyak orang-orangnya yang berbicara bahasa Kong Hu. Di jalanan tidak terlihat sama sekali sepeda motor, bahkan jarang terlihat orang bersepeda (padahal China dikenal sebagai gudangnya sepeda). Ternyata ini merupakan kebijakan pemkot Shenzhen yang melarang sepeda motor untuk alasan ketertiban. Melihat kondisi Jakarta, rasanya alasan ini sangat bisa dibenarkan. Tetapi perlu diketahui, bus-bus umum di sana sangat nyaman dan relatif murah, sehingga orang tidak perlu membeli kendaraan pribadi (kecuali orang yang kaya).

Usai makan malam, tour guide menawari kami untuk berbelanja di Luo Hu, salah satu pusat perbelanjaan yang populer di Shenzhen. Namun di tengah-tengah citywalk menuju Luo Hu, tour guide lokal mendadak mengingatkan kami untuk menjaga barang baik-baik dan jangan keluyuran sendirian malam-malam (terutama para pria). Saya baru mengerti maksudnya setelah saya melihat dengan mata kepala sendiri, sangat banyak perempuan-perempuan muda dengan dandanan menarik berdiri di pinggir jalan, menatap setiap pria yang lewat dengan pandangan seribu arti. Bahkan mudah dijumpai tempat-tempat massage dengan seorang perempuan muda bergaun biru (ya, gaun!) berdiri di depan pintu sembari membawa handy talkie.

Memasuki Luo Hu, ternyata tempat ini sangat mirip dengan Xing Wang di Shanghai (hanya tidak seramai Xing Wang). Kalau di Indonesia, mirip dengan Mangga Dua atau Pasar Atum yang banyak menjual barang-barang branded aspal. Dimana-mana terlihat toko menjual tas, sandal, sepatu, arloji, dan aksesoris. Yang beda adalah rata-rata penjaga toko di sini merupakan cewek-cewek muda yang cantik dengan dandanan menarik! Namun yang membuat saya il-feel di tempat ini adalah, sangat banyak sekali orang Indonesia di Luo Hu! Bayangkan hampir tiap melangkah 3 toko, kita pasti akan mendapati orang berbahasa Indonesia! Mungkin Shenzhen memang tempat favorit orang Indonesia untuk berlibur dan berbelanja. Ada isu-isu negatif yang beredar bahwa beberapa penjual di Luo Hu sering memberikan kembalian uang palsu kepada pembeli yang tidak waspada. Di Shenzhen saat ini, bila kita berbelanja biasanya tidak diberikan kantong plastik, kecuali kita membelinya! Memang terkesan konyol, namun ini merupakan kebijakan yang ramah lingkungan untuk mengurangi limbah plastik.

Sepulang dari Luo Hu, saya semakin mendapati sisi lain wajah Shenzhen yang modern dan makmur. Di mana-mana banyak sekali orang-orang nongkrong di pinggir jalan, walau tidak separah seperti di Indonesia (fenomena ini hampir tidak ada di Beijing dan Shanghai). Bahkan yang membikin shock, salah satu rombongan tur kami sempat dicegat dua anak jalanan yang meminta kue yang dipegangnya. Yang bikin hati ini kecut adalah, salah satu anak jalanan itu adalah anak perempuan yang sangat cantik! Matanya besar, hidungnya mancung, dan kulitnya putih. Saya jadi mikir, apes bener dia lahir di China, coba kalau di Indonesia, pasti jadi rebutan banyak orang :-) Dalam perjalanan pulang ke hotel, perempuan-perempuan yang mangkal di pinggir jalan semakin banyak dan terlihat beberapa petugas keamanan (bukan polisi) yang berpatroli, hal ini menandakan bahwa Shenzhen pastilah punya banyak catatan kriminalitas (Di Shanghai dan Beijing saja jarang terlihat petugas keamanan). Seakan saling melengkapi, semakin larut malam, beberapa orang bahkan semakin agresif menawari jasa massage kepada sejumlah pria... duh, benar-benar Shenzhen Undercover! Namun overall, di jalanan Shenzhen sama sekali tidak terlihat gelandangan kumal, pengemis, ataupun polisi cepekan, seperti di Jakarta.

Besok paginya, tur kami mendapat tour guide lokal yang baru, seorang perempuan berusia 27 tahun. Dia bercerita konon karena ulah oknum-oknum yang menambah semarak malam Shenzhen itulah, mayoritas cewek-cewek muda Shenzen kini enggan dipanggil "Xiaocie", yang mempunyai arti 'nona'. Panggilan "Xiaocie" di Shenzhen ternyata bergeser menjadi negatif karena diidentikkan dengan image kupu-kupu malam. Untuk itu, mereka lebih suka dipanggil, "Liang Ni", yang artinya 'anak perempuan yang secantik bulan' ;-) Tour guide kami yang baru ini memperkenalkan diri dengan nama panggilan, Ancin. Bahasa Indonesianya sangat fasih dengan logat seperti Tionghoa Medan/Bangka kental, sehingga saya mengira ia memang berasal dari Medan/Bangka. Ternyata Ancin ini adalah orang China asli yang mengaku belajar bahasa Indonesia selama 2 tahun di Guangzhou! Sekarang ia bekerja sebagai tour guide lokal di Shenzen untuk melayani turis Indonesia. Salute, girl! Lucunya, Ancin dengan polos mengaku bahwa sampai saat ini ia belum pernah mengunjungi Indonesia :-)

Di hari kedua, kami diajak mengunjungi sebuah klinik herbal yang menyediakan layanan pemeriksaan kesehatan, lengkap dengan pemberian resep, peracikan dan pemberian obat-obat tradisional. Konon adik dari Megawati pernah berkunjung ke tempat ini untuk mengobati kencing manisnya. Selain itu, tempat ini juga menjual kain-kain sutera dan aksesoris-aksesoris perhiasan. Well, bagi saya kunjungan ke tempat ini sangat membosankan. Satu-satunya hal yang menarik bagi saya di tempat ini adalah ada beberapa pegawai yang mampu berbahasa Indonesia, bahkan banyak dari mereka mampu mengucapkan sepatah-dua patah kata-kata dalam bahasa Indonesia kepada calon pembeli. Berikutnya, kami mengunjungi sebuah pabrik sekaligus tempat penjualan batu giok yang konon di-support penuh oleh pemkot Shenzhen, yaitu Shenzhen Xingyu Mineral Museum. Bangunan luarnya terlihat usang dan meragukan, namun setelah melihat ke dalam ruangan, interiornya cukup mewah. Di sini lagi-lagi banyak pegawai yang mampu dan fasih berbahasa Indonesia! Kami diajari cara membedakan antara batu giok yang asli dengan imitasi dari warna, serat, dan bunyinya. Tidak hanya batu giok, tempat ini juga menjual teh unik khas Shenzen, yaitu teh leci. Para turis dilarang keras memotret di dalam klinik herbal dan pabrik batu giok ini karena kedua tempat ini dianggap sebagai aset pemerintah yang bersifat rahasia.

Pada hari ketiga, kami mengunjungi objek wisata paling terkenal di Shenzhen, Window of The World. Di bagian depannya, piramida kaca Louvre sudah menyambut kita. Di kejauhan terlihat Menara Eiffel dan Arch de Triomphe yang menjulang. Terlihat ramai sekali orang-orang saling berpotretan di sini. Window of The World merupakan miniatur-miniatur dari berbagai tempat paling terkenal di seluruh dunia! Ukuran replika yang paling besar di sini adalah Menara Eiffel. Replika-replika yang lain seperti, Kremlin, Colosseum, Air Terjun Niagara, Menara Pisa, bahkan Candi Borobudur, dapat Anda temukan di sini. Tempat wisata ini sangat luas sekali dan terlihat bersih serta aman. Sama sekali tidak ada calo di dalam (bahkan Forbidden City di Beijing pun masih kecolongan calo-calo berkeliaran). Namun kita dapat menaiki sebuah kereta untuk mengelilingi Window of The World dalam waktu 45 menit. Ancin berkelakar bahwa inilah kereta tercepat di dunia karena dapat mengelilingi seluruh dunia dalam waktu secepat itu :-)

Berikutnya kami mengunjungi China Folk Culture Villages. Semula saya cukup malas begitu tahu bahwa ini hanyalah taman miniatur objek-objek wisata di China (seperti TMII) yang juga menyuguhkan aksi tari-tarian. Namun begitu berkeliling di dalamnya, saya sungguh terkagum-kagum! Luas sekali dan di sana kita dapat melihat dan berinteraksi langsung dengan kehidupan suku-suku di China lengkap dengan pakaian dan bangunan khas tradisional mereka. Saya jadi
membayangkan andai Indonesia mampu mengemas keragaman budaya suku-sukunya sebaik ini. Berikutnya kami menonton sebuah teater di Impression Theater. Di acara ini, wisatawan dilarang memotret karena dianggap dapat merusak efek panggung acara. Seluruh acara telah direkam ke dalam VCD dan diperjualbelikan di stan khusus. Acaranya sendiri sungguh spektakuler! Ratusan pemain (mayoritas perempuan muda yang cantik) berpakaian sangat indah memainkan koreografi yang memukau, didukung efek-efek panggung yang sangat hebat untuk ukuran drama panggung di ruangan tertutup! Malamnya, kami diajak menonton teater lagi "Dancing with the Dragon and the Phoenix", kali ini diadakan di tempat khusus terbuka yang jauh lebih luas. Acaranya lebih hebat lagi karena menampilkan pemain yang lebih banyak dan efek-efek panggung yang sangat luar biasa. Very highly recommended!

Setelah berkeliling selama 3 hari di Shenzhen dan mendengar cerita-cerita dari Ancin, saya sungguh menghormati Shenzhen. Pandangan remeh saya terhadap kota ini di awal kedatangan mendadak sirna begitu saja. Bagaimana tidak, dulu Shenzhen merupakan kampung nelayan yang miskin dan kumuh. Hanya berselang 30 tahun kemudian, Shenzhen kini menjelma menjadi kota megapolitan yang sangat modern dan makmur! Semua ini bermula dari keberanian Deng Xiaoping yang menetapkan Shenzhen sebagai Special Economic Zone untuk mengimbangi kemapanan Hong Kong. Ancin mengutip kelakar Deng Xiaoping, bahwa janganlah kita mempersoalkan mana yang lebih baik antara kucing hitam (komunisme) atau kucing putih (kapitalisme), yang penting adalah kucing itu mampu menangkap tikus. Keputusan membuka Shenzhen bagi para investor ini sungguh revolusioner karena saat ini terbukti Shenzhen menjelma menjadi kota baru yang modern, nyaris tanpa sejarah sama sekali (selain sejarah sebagai kampung nelayan). Untuk menghormati jasa Deng Xiaoping, di Lotus Hill Park Shenzhen, dibangun patung Deng Xiaoping dari perunggu setinggi 6 meter.

Kini jumlah penduduk Shenzhen meningkat menjadi sekitar 7 juta jiwa, mayoritas warganya yang berusia muda merupakan kaum urban. Di Shenzhen juga ada anekdot populer yang menyatakan bahwa di kota ini perbandingan antara pria dan wanita mencapai 1:8, jadi di sini dapat dikatakan seorang pria bisa mencari pacar yang banyak ;-) Faktanya, perempuan-perempuan muda di Shenzhen sangat cantik dan pandai berdandan, sehingga konon banyak pria Hong Kong yang mencari istri atau sekadar plesiran ke Shenzhen.

Pada perjalanan berikutnya, kami akan segera mengunjungi Hong Kong! Jadi tidak sabar rasanya ingin menelusuri bekas koloni Inggris tersebut. Oya, di tanggal 1 Oktober ini kebetulan merupakan Hari Kemerdekaan Nasional China, namun di jalan-jalan situasinya tidak terlihat berbeda dengan hari-hari biasa selain bendera-bendera yang dikibarkan. Kalau Agustusan di Indonesia, pasti suasananya jauh lebih meriah.

Hong Kong: Live it. Love it!




Keesokan paginya kami kembali berkemas-kemas menuju Hong Kong. Setelah mengucapkan salam perpisahan dengan Ancin, kami menaiki bus menuju Shenzhen Bay Customs untuk kembali menjalani pemeriksaan imigrasi. Kali ini pemeriksaan hanya berlangsung di Shenzhen namun dilakukan dua kali (dokumen dan barang). Memasuki wilayah Hong Kong, kami langsung diantar menuju Royal Park Hotel. Hotel berbintang 4 di kawasan Shatin ini ternyata mempunyai jalan masuk yang langsung terhubung dengan New Town Plaza, sebuah shopping mall yang cukup megah (kesukaan turis Indonesia, hotel dekat dengan tempat shopping). Setelah melakukan check-in, rombongan segera berangkat ke Disneyland di Lantau Island. Perjalanan selama 1 jam ini melewati Tsing Ma Bridge yang sekilas terlihat seperti Golden Gate-nya Hong Kong.

Seorang dewasa dikenai admission ticket seharga 350 HKD. Namun harga itu saya rasa masih worthed untuk taman hiburan sekelas Disneyland. Memasuki taman hiburan ini, hanya ada satu kata: "WOW!" Sungguh sangat fantastis! Meskipun kata teman saya, masih kalah dengan Disneyland di Tokyo, tetapi paling tidak bila dibandingkan dengan Dufan sungguh seperti membandingkan antara lukisan Monalisa dengan lukisan anak SMP. Memasuki entrance, kita seakan memasuki sebuah kota tersendiri. Di arah kanan-kiri merupakan toko-toko souvenir khas Disney yang sengaja didesain menyerupai bangunan toko-toko di era Wild Wild West. Disneyland terlihat sangat bersih sekalipun para petugas cleaning service di sini sangat jarang terlihat. Bahkan daun-daun yang berjatuhan dari pohon pun tidak terlihat. Hampir 95% petugas di Disneyland Hong Kong merupakan anak-anak muda yang masih berusia twenty something.

Terbagi menjadi 4 area: Tomorrowland, Adventureland, Fantasyland, dan Main Street USA, kita dapat mencoba wahana-wahana yang tersebar di tempat itu. Saya sendiri tidak sempat mengunjungi semua wahana di sana, namun yang paling saya rekomendasikan adalah 'The Golden Mickeys' dan 'Mickey's PhilharMagic'. Sebenarnya ada satu atraksi lagi yang layak direkomendasikan, 'Festival of the Lion King', hanya sayang saya belum sempat memasuki atraksi tersebut karena antrinya sangat panjang. Bagi yang menyukai sensasi ketegangan dengan adrenalin tinggi, saya sarankan mencoba wahana 'Space Mountains', sebuah roller coaster yang menyusuri kegelapan galaksi lengkap dengan tikungan-tikungan tajam. Yang ingin merasakan asyiknya mengendarai mobil listrik yang nyaman dapat mencoba wahana 'Autopia', yang di-support oleh Honda. Bahkan di kawasan Tomorrowland, ada sebuah tong sampah robotik yang bisa berjalan sendiri sambil bersuara dalam bahasa Kong Hu.

Saat tengah hari, ada parade karakter-karakter Disney yang melewati tengah kota, disusul parade 'High School Musical' yang berulangkali meneriakkan, "Wildcats, let's go!" dan di malam harinya ada parade Halloween 'Nightmare Before Christmas' yang dipimpin karakter Jack Skellington yang duduk di buah labu besar, sangat keren! Puncak acara berlangsung sekitar pukul 20.00 di Main Street USA, dimana ribuan orang menyaksikan berlangsungnya atraksi fireworks yang sangat meriah selama kurang lebih setengah jam. Yang hebat seusai ribuan orang itu menyingkir, hanya sedikit sekali sampah yang tertinggal. Kalau di Indonesia mungkin sudah banyak sekali sampah-sampah yang berserakan.

Pulang ke hotel, badan terasa lelah semua meski hati merasa senang dan puas :-) Hari keempat di Hong Kong, rombongan tur diberikan hari bebas untuk berpergian ke mana saja. Di hari ini saya menemui saudara ayah yang berdomisili di Hong Kong. Karena bingung tidak tahu mau ke mana, saya menurut saja waktu diajak pergi ke kawasan kota di Hong Kong Island. Menaiki double decker bus (jadi ingat seperti bus Ksatria di Harry Potter), perjalanan ke kota memakan waktu sekitar 45 menit. Sesampainya di kawasan Central, wow sungguh Hong Kong merupakan surga belanja bagi para turis! Di kanan-kiri semuanya toko berkelas dan banyak orang berlalu-lalang di sana-sini. Saya lalu diajak menaiki sebuah trem yang bertarif murah (jauh-dekat cuma 2 HKD). Sayangnya karena murah, maka kita harus mau berdesak-desakan ria dengan penumpang lain, untungnya tidak ada copet di sini :-)

Melewati Wan Chai, kemudian kami turun di kawasan Causeway Bay. Di sini juga sangat penuh dengan toko-toko, shopping mall, dan orang berlalu-lalang. Jalan-jalan di daerah ini cukup sempit namun tidak macet. Uniknya di pinggir toko-toko high class tersebut, terdapat beberapa jalan kecil yang berjubel dengan dagangan kaki lima. Mereka umumnya menjual pakaian, tas, sepatu non-branded dengan harga murah. Susah mencari barang bajakan di Hong Kong. Di daerah Causeway Bay ini saya menjumpai restoran "Sedap Gurih" yang menjual masakan-masakan khas Indonesia. Bahkan di sebelahnya terdapat supermarket "Chandra" yang menjual beragam produk-produk dari tanah air. Kata Oom saya tersebut, di kawasan dekat Victoria Park ini bila hari Minggu, sangat banyak TKW Indonesia yang berjubel, sehingga orang Hong Kong menyebutnya dengan "Xiao Yin Ni" (Indonesia Mini).

Setelah menjelang malam, kami memutuskan untuk pulang menaiki subway train menuju Shatin lalu beristirahat di hotel. Besok paginya di hari terakhir, saya memutuskan untuk berkeliling membelanjakan sisa uang HKD di New Town Plaza. Karena jadwal check-out hotel adalah pukul 12.00, maka seusai breakfast jam 09.00, segera saya melangkahkan kaki menuju mall tersebut. Di waktu sepagi itu, tentu saja hampir semua toko masih tutup dan barulah sekitar jam 10.00, beberapa pegawai mulai datang membuka toko dan membersihkan interior. Untungnya masih keburu membeli beberapa barang dan kembali ke hotel sebelum jam 12.00 :-)

Setelah semua peserta tur berkumpul, segera kami menaiki bus menuju Hong Kong International Airport, yang juga terletak di kawasan Lantau Island. Karena masih ada waktu sekitar 2 jam sebelum boarding, kembali rombongan tur diberikan waktu untuk berbelanja. Di airport ini cukup banyak tersedia toko-toko yang menarik, seperti Hong Kong Disneyland shop, Giordano, dan Toys R Us. Bahkan toko-toko branded sekelas Prada, Bvlgari, dan Chanel juga ada di sini. Berbeda sekali dengan toko-toko di Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang terlihat suram dan usang.

Setelah menempuh waktu sekitar 4,5 jam, akhirnya pesawat China Airlines yang kami tumpangi mendarat di Soekarno-Hatta. Benar saja, kekisruhan dan kelambanan khas Indonesia langsung nyata terasa di tempat ini. Bayangkan untuk pengambilan bagasi saja, diperlukan waktu selama lebih dari 1 jam. Bahkan troli-troli untuk penumpang pun semuanya sudah ada di tangan petugas-petugas bandara yang siap 'membantu' meringankan beban bawaan. Barulah sekitar 45 menit kemudian, beberapa staf mulai menyediakan troli kosong. Belum lagi begitu keluar ke arrival area, beberapa calo langsung menyambut dan menawarkan jasa taksi dan telepon dengan gigih. Cerita suram Indonesia masih berlanjut, di luar beberapa sopir taksi tanpa seragam langsung tanpa basa-basi menawari taksi non argometer dengan harga yang ngawur! Benarlah kata orang bahwa kondisi airport sebuah negara menunjukkan wajah bangsa itu sendiri.

Parahnya kemudian seorang wanita berseragam membawa catatan (saya jadi mengira ia petugas resmi) menghampiri saya dan menawari jasa taksi, sehingga saya iyakan. Ternyata kemudian ia malah juga mengajukan penawaran tarif taksi borongan yang cuma lebih murah dari penawaran sopir taksi liar yang pertama. Karena saya sudah lelah, akhirnya penawaran itu saya iyakan. Eh, ternyata masih ada lagi seorang pria yang dengan sopan membukakan pintu taksi buat saya lalu tanpa sungkan menagih tipping seharga 10 ribu Rupiah!

Klimaks cerita ini berakhir saat di dalam perjalanan, mendadak si sopir taksi menawarkan tarif yang lebih tinggi lalu mematikan argometer. Setelah tawar-menawar ala Indonesia, akhirnya si sopir bersedia menurunkan tarif sebesar 10%. Sepertinya mereka semua saling bekerjasama untuk berbagi komisi. Padahal taksi Royal City yang saya tumpangi ini berlabel taksi resmi Bandara Soekarno-Hatta, I really miss Blue Bird Taxi! Betapa malunya saya kembali ke Indonesia langsung mengalami kisah seperti ini. Saya jadi membayangkan bila sang penumpang adalah turis bule, tentu parasit-parasit seperti ini akan lebih agresif lagi. Inilah yang membuat mengapa republik ini tidak pernah maju pesat, karena banyaknya korupsi dan kolusi di mana-mana. Mungkin Indonesia membutuhkan seorang Deng Xiaoping yang berani, tegas, revolusioner, dan jenius untuk menjadi sosok pemimpin, sehingga mampu mengangkat perekonomian negara ini seperti beliau menyulap perekonomian Shenzhen.