Minggu, 25 Oktober 2009

Hong Kong: Discover it, Live it, and Love it!


Setelah menaiki kereta super cepat dari Shenzhen menuju Hong Kong, akhirnya kami kembali turun ke daerah Mong Kok, dan menginap kembali di hotel yang sama di Argyle Street. Setelah menaruh barang-barang di hotel, saya memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di daerah sekitar hotel. Tepat disebelah bangunan hotel, terdapat stan khusus yang menjual berbagai macam teh kemasan yang laris sekali! Pembelinya pun rela mengantri dan rata-rata mereka adalah anak muda. Di beberapa tempat, stan-stan sejenis cukup banyak dan rata-rata semuanya ramai, membuat saya menarik kesimpulan bahwa bisnis teh kemasan yang bervariasi mulai dari teh hijau, teh susu, teh dengan agar-agar, dsb, sedang populer di Hong Kong.

Di kawasan ini sangat banyak sekali pertokoan, mulai dari yang branded seperti Baleno, Levi's, Converse, Nike, sampai butik-butik yang menjual pakaian-pakaian non merek. Yang mungkin juga membuat iman para shopaholic runtuh adalah tepat di seberang Argyle Street, terdapat sebuah pasar malam yang sangat terkenal sebagai tempat belanja, yaitu Ladies Market! Pasar ini berada di Tung Choi Street dan dikenal sebagai tempat dijualnya pakaian dan barang-barang lain dalam harga yang lumayan miring dibandingkan dengan harga barang-barang di department store di Hong Kong. Anda pun masih bisa menawar harga-harga di sana. Mengapa dinamakan "Ladies Market"? Karena dulu memang pasar ini dikenal ramai karena menjual barang-barang khas perempuan, seperti: pakaian wanita, kosmetik, dan sebagainya. Tetapi sekarang di sana, Anda bisa menemukan semua jenis pakaian, tas, sepatu, arloji, sampai barang-barang branded bajakan yang diselundupkan dari Shenzhen.

Menariknya di kawasan ini, terdapat pula berbagai atraksi jalanan yang menghibur para turis. Saya sempat melihat beberapa pengamen jalanan dan juga seorang seniman pantonim yang lazimnya kita lihat di Perancis. Saya kurang tahu apakah mereka memang merupakan bagian dari atraksi Ladies Market yang didukung pemerintah ataukah hanya warga lokal yang sengaja mencari nafkah di sana. Yang jelas saya hampir tidak pernah melihat polisi atau petugas keamanan berpatroli di sana, mungkin karena tingkat kriminalitas di Hong Kong sangat rendah.

Di sebelah bangunan hotel yang satunya lagi, malah saya menjumpai sebuah pusat penjualan handphone yang cukup besar (kalau dari luar malah hanya terlihat seperti pertokoan yang kecil). Kondisi di dalamnya cukup bersih dan nyaman, namun yang janggal, saya melihat sendiri ada dua anak muda yang dengan sok kerennya merokok di dalam pusat perbelanjaan tersebut! Padahal UU Hong Kong yang baru dengan sangat tegas melarang sama sekali aktivitas merokok di ruang-ruang publik dengan ancaman denda 5.000 HKD. Di mana-mana kita akan dapat mudah menemukan poster-poster berisi pengumuman ini. Mungkin sekali 2 anak muda tersebut bukanlah warga asli Hong Kong, melainkan pendatang dari China Daratan.

Secara umum biaya hidup sehari-hari di Hong Kong sangat mahal. Sebagai ukuran, sebotol air mineral saja dijual seharga 6 HKD atau setara dengan Rp 9.000 (bandingkan dengan Shenzhen yang menjual hanya seharga 3 RMB atau senilai dengan Rp 4.500 saja). Di beberapa tempat, bahkan sebotol air mineral ini bisa dijual mencapai 10 HKD! Sekali makan untuk sebuah mangkuk mie saja, Anda harus merogoh kocek rata-rata sebesar 20 HKD atau Rp 30.000 (padahal hanya makan di tempat sekelas depot kecil). Sangat kontras dengan biaya makan pagi di depot-depot Zhuhai berupa dimsum dan segelas tociang (sweet soybean) yang hanya seharga 5 RMB alias Rp 7.500 saja.

Selain Ladies Market, sebenarnya di kawasan Mong Kok juga terdapat sebuah pasar yang mirip seperti Ladies Market, yaitu sebuah pasar di Prince Edward Road. Meskipun barang-barang yang dijual di sini hampir mirip, namun karena jarang dikunjungi turis, harga-harga yang dibrandol pun relatif lebih murah daripada di Ladies Market. Lagi-lagi di daerah ini, saya sangat sering sekali menemukan beberapa wanita berparas Indonesia yang sesekali bercakap-cakap dengan logat Jawa Timuran yang kental :-)

Saya memperhatikan bahwa rata-rata anak muda di Hong Kong sangat fashionable. Bahkan di tempat-tempat seperti pasar di Prince Edward Road pun, kita mudah menemukan perempuan-perempuan muda berdandan menarik. Dari beberapa pengamatan umum selama di Hong Kong, saya menemukan ada 2 trend yang sedang menginfeksi hampir semua anak muda di Hong Kong:

1. Potongan rambut untuk pria 98% selalu berponi miring dengan belahan samping, sementara rambut di bagian belakang lebih pendek dan sedikit berantakan.

2. Bila memakai topi dengan model trucker hat, posisi topi selalu disematkan dengan agak menonjol ke atas (seolah-olah topi itu hanya ditempelkan ke kepala saja, tidak dilesakkan ke dalam dengan baik). Banyak cowok dan cewek yang bergaya dengan penampilan ini.

Besoknya, saya bersama ibu, kakak perempuan, dan adik perempuan saya, memutuskan untuk pergi ke daerah Causeway Bay menaiki MRT. Sebagai informasi, sebutan MRT (Mass Rapid Transportation) di Hong Kong malah disebut terbalik menjadi MTR yang merupakan singkatan dari Mass Transit Railway. Membeli tiket MRT ternyata sangat mudah karena kita bisa membelinya sendiri di mesin penjual otomatis hanya dengan memasukkan koin dan memencet tempat tujuan kita di layar sentuh. Semua informasi tersedia jelas dalam bahasa Mandarin dan Inggris. Mungkin bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan budaya bertanya lisan, hal ini cukup membuat bingung. Membeli tiket MTR dibagi menjadi dua, yaitu pembelian non berlangganan (single journey) dan pembelian berlangganan dengan menggunakan Octopus Card (semacam kartu voucher yang bisa diisi ulang).

Untuk 1 penumpang dewasa (single adult journey) dari Mong Kok menuju Causeway Bay, harus memasukkan koin senilai 10,5 HKD (setara dengan sekitar Rp 15.000). Cukup mahal memang untuk ukuran Indonesia, tetapi paling tidak menaiki MTR di Hong Kong cukup nyaman, meskipun harus berdesak-desakan dengan penumpang bila di jam office hours, dan dijamin bebas macet. Untuk melalui Causeway Bay, ternyata kami harus berpindah kereta di Admiralty. Setelah itu barulah kami turun di Causeway Bay, yang merupakan salah satu kawasan surga belanja di Hong Kong. Di sana banyak sekali pertokoan high class bertebaran di sana-sini. Yang menarik di daerah ini terdapat Victoria Park yang merupakan pangkalan tidak resmi bagi para TKW Indonesia untuk bertemu. Jadi sudah pasti Anda akan menemukan banyak sekali orang Indonesia di daerah ini :-) Hal lain yang menarik bagi saya adalah ternyata beberapa jembatan penyeberangan di Hong Kong dilengkapi dengan elevator! Setelah saya tanyakan pada Oom saya, ternyata elevator itu sebenarnya ditujukan bagi pengguna kursi roda yang ingin menyeberang jalan. Wow, benar-benar sebuah fasilitas publik yang sangat memperhatikan hak orang-orang cacat. Oya, selama berjalan-jalan di trotoar Hong Kong, hati-hati dengan tetesan-tetesan air dari atas. Sebab itu adalah tetesan dari AC-AC yang terpasang di gedung-gedung bertingkat (biasanya apartemen) dan Anda tidak bisa melakukan apa pun kecuali berusaha menghindarinya agar tidak basah.

Setelah pulang kembali ke hotel, besoknya kami memutuskan untuk berjalan-jalan seharian lagi di kawasan Mong Kok sebelum pulang ke Indonesia. Di Mong Kok, kami mengunjungi sebuah mall paling elit, Langham Place di Nathan Road. Bangunannya tinggi dan terlihat futuristik namun sayang sekali Langham Place seolah tenggelam di tengah belantara gedung-gedung bertingkat lainnya. Barang-barang yang dijual di sana sudah tentu merupakan barang-barang elit, dan kelihatannya barang yang bisa saya beli cuma Levi's di sana :-D

Sepulangnya dari sana, tiba-tiba ayah saya mengajak untuk makan bubur di pasar lokal. Akhirnya kami memasuki Fa Yuen Street Market, yang statusnya sama dengan pasar-pasar sembako di Indonesia. Namun saya sempat terhenyak melihat keadaan pasar di sana, sangat bersih sekali! Tidak ada sampah berserakan (paling hanya genangan air dan sebuah kaleng softdrink saja), bahkan disediakan eskalator kecil untuk menaiki lantai atas. Saya juga terheran-heran karena bahkan tidak melihat seekor lalat pun (kalau saya ingat-ingat, saya bahkan belum pernah menjumpai seekor lalat selama di Hong Kong). Yang paling menarik di sana, ternyata ada juga sebuah stan yang bernama "Toko Indonesia" yang menjual berbagai sayuran dan bumbu-bumbu dapur. Mungkin sekali pemiliknya adalah orang Indonesia.

Saat menyusuri jalanan pulang ke hotel, saya menemukan sesuatu yang menarik. Di trotoar, terdapat sejumlah poster yang dipajang. Saat saya amati, ternyata poster-poster itu berisikan protes dari Falun gong mengenai diberangusnya ajaran mereka secara keji. Mereka membeberkan sejumlah testimoni mengenai cara kejam Pemerintah China menginterogasi dan memberangus aktivis-aktivis Falun gong. Ada juga tuntutan kepada mantan Presiden China, Zhiang Zhemin, untuk diseret ke Mahkamah Internasional dengan tuduhan sebagai otak pelaku kejahatan terhadap Falun gong. Hal ini tentunya sangat menarik mengingat kini Hong Kong telah menjadi bagian dari China dan Pemerintah China dikenal sangat tegas memberantas setiap usaha-usaha yang mengusik kestabilan sosial. Bahkan di sebuah poster terdapat foto beberapa polisi Hong Kong yang terlihat menyeret seorang demonstran lalu diberi tulisan besar, "Is This the Future of Hong Kong?"

Akhirnya setelah 2 hari berpetualang, kami memutuskan untuk pulang kembali ke Indonesia. Di hari itu, cuaca agak kurang bersahabat, sejak pagi langit sudah mendung dan kami harus menyeret koper menuju halte bus terdekat untuk menaiki bus khusus yang langsung menuju airport. Bus-bus di Hong Kong cukup besar, biasanya bertingkat (double decker bus), dan bagusnya di dalam bus disediakan tempat khusus untuk meletakkan barang-barang yang besar dan berat (kalau di Indonesia mungkin sudah menjadi sasaran empuk para pencuri tuh, hehe).

Satu lagi saran terakhir, bagi Anda yang ingin berpergian ke luar negeri tanpa menggunakan tour, pastikan bahwa Anda tidak membawa barang bawaan banyak dan bisa berbahasa setempat. Sebab kami sering mengalami situasi kebingungan mau ke mana sebab ke mana-mana harus benar-benar mengerti rute-rute bus yang kami naiki. Untung masih ada Oom saya yang berdomisili di sana (itu pun masih sempat bingung sendiri) dan kakak saya yang bisa memesankan hotel. Jadi kalau berpergian orang banyak dengan barang-barang bawaan banyak, sangat direkomendasikan menggunakan jasa tour.

Sebagai informasi tambahan, tulisan aksara China (Han Zhi) dibedakan menjadi dua macam, yaitu Simplified Chinese dan Traditional Chinese. Ada sejumlah perbedaan di beberapa aksara China antara kedua versi tersebut. China Daratan menggunakan Simplified Chinese, sementara di Taiwan, Hong Kong, dan Macao, masih menggunakan Traditional Chinese. Umumnya bila kita belajar bahasa Mandarin, maka kita pastilah mempelajari Simplified Chinese, di samping lebih mudah dipelajari juga model aksara ini lebih banyak digunakan di seluruh dunia.

Akhirnya saya kembali ke Jakarta dengan menumpang Cathay Pacific. Penerbangan saat itu cukup mencekam, sebab langit sedang dalam kondisi mendung, bahkan di tengah-tengah penerbangan, gerimis mendadak turun dan pesawat sempat beberapa kali terguncang. Untungnya pesawat berhasil mendarat selamat di Jakarta. Di sini lagi-lagi saya harus dipaksa menjumpai keleletan khas Indonesia. Bayangkan saja mengambil bagasi saja harus menunggu waktu selama 50 menit sendiri, dan itu pun harus menunggu mendapat troli sebab semua troli telah "diamankan" oleh petugas-petugas di sana. Puncak kejengkelan saya memuncak saat para penumpang harus membeludak mengantri memasuki pemeriksaan barang hanya gara-gara mesin X-ray yang dioperasikan cuma satu saja (padahal jumlah penumpang saat itu mencapai ratusan). Kegoblokan lainnya adalah tidak diberikan sekat-sekat khusus yang berliku-liku seperti halnya yang saya lihat di pemeriksaan imigrasi di luar negeri, untuk mengurangi panjang antrian, jadi semua orang langsung tumpah ruah berjajar semrawut berebutan memasukkan barangnya ke mesin X-ray.

Mungkin karena petugasnya sendiri merasa kewalahan menghadapi serbuan ratusan penumpang tersebut, lalu dengan entengnya mereka mempersilahkan para penumpang cukup memasukkan handbag saja ke mesin X-ray, sedangkan barang-barang dari bagasi langsung bisa dibawa keluar. Bahkan yang konyol, ada seorang bapak yang sudah menurunkan kardus dari troli untuk diletakkan di mesin X-ray, si petugas dengan ramahnya berkata, "Sudah Pak, jangan rajin-rajin, barang dari bagasi langsung saja dibawa keluar". Hati kecil saya tersenyum kecut lalu berkata, "WELCOME TO INDONESIA!"

Minggu, 18 Oktober 2009

Zhuhai - Shenzhen: Twin Gates of Mainland China



Setelah dari Macao, kami berniat untuk menyeberang ke kota terdekat di perbatasan China Daratan, yaitu Zhuhai. Dengan menaiki bus umum, kami singgah di China Immigration Inspection di Zhuhai. Di sana suasananya sangat ramai sekali, benar-benar mencerminkan sebuah pos perbatasan, penuh dengan orang-orang hilir-mudik membawa tas.

Lepas dari pemeriksaan imigrasi, kami kembali menaiki bus lokal menuju ke lokasi hotel di mana kami akan menginap. Seakan seperti sudah memasuki China Daratan, jalanan yang kami lalui sudah merupakan jalanan yang lebar dan lapang, sungguh berbeda sekali dengan jalan di Macao atau Hong Kong yang sempit-sempit.

Zhuhai sebenarnya bukan sebuah kota yang besar. Kota setingkat kabupaten ini terletak di Provinsi Guangdong dan berbatasan langsung dengan Macao di bagian selatan. Meskipun begitu, suasana kotanya benar-benar terasa nyaman dan tertata cukup rapi. Saya merasakan suasana yang adem-ayem saat berjalan-jalan di Zhuhai. Orang-orang di sana tidak terlihat tumpah-ruah di jalanan seperti halnya bila kita berjalan-jalan di Indonesia (meskipun jumlah penduduk di China berkali-kali lipat dari jumlah penduduk di Indonesia). Saya juga melihat diseberang jalan dibangun sebuah taman kota yang luas dan sangat terawat dengan pohon-pohon yang rindang. Bahkan di dekat hotel yang kami tempati, berdiri sebuah toko buku megah tiga lantai dengan koleksi yang cukup lengkap. Uniknya bila kita membeli buku di sana, mereka tidak memberikan kantung plastik, melainkan hanya tali dari kertas untuk menyegel buku-buku tersebut. Saya juga sempat mampir ke sebuah mall di sana. Cukup baguslah, seperti department store yang banyak menjual koleksi pakaian-pakaian.

Karena kami hanya menginap 2 hari saja di Zhuhai, maka saya agak menyesalkan bahwa saya tidak dapat mengunjungi objek wisata yang menarik di sana. Salah satunya yang terkenal adalah Patung Fisher Lady yang sedang mengangkat mutiara dan terletak di atas bukit karang kecil di pinggir laut. Ternyata patung ini dibangun sebagai simbol bahwa Zhuhai dikenal sebagai kota penghasil mutiara. Kalau saya lihat dari fotonya (karena saya belum sempat ke sana), sekilas patung wanita tersebut malah terlihat seperti patung khas Yunani, yaitu seorang wanita bertelanjang dada yang mengangkat sebuah tembikar. Sekilas patung ini juga mengingatkan saya pada patung Putri Duyung yang terkenal itu, di Copenhagen, Denmark.

Oya, yang cukup menarik untuk diceritakan adalah jam makan di Zhuhai tidak seperti di Indonesia, di mana tempat makan selalu buka dan melayani pelanggan setiap waktu. Di Zhuhai, rata-rata tempat makan akan tutup saat jam makan siang selesai dan baru buka lagi nanti saat sore menjelang jam makan malam. Kami sekeluarga pernah hampir kesiangan makan, sehingga cukup heran juga karena tidak ada pengunjung lain yang sedang makan selain kami. Uniknya, tak lama kemudian, para pegawai tempat makan itu dengan kompak berkumpul bersama di salah satu meja lantas makan siang bersama-sama. Hal yang terlihat janggal di Indonesia sebab para pegawai tempat makan yang makan siang bersama di meja pelanggan pasti terlihat kurang sopan.

Besoknya kami segera berkemas-kemas menuju Shenzhen. Setelah bertanya-tanya pada penduduk sekitar, transpotasi terbaik menuju Shenzhen, akhirnya kembali kami menaiki sebuah bus yang khusus melayani rute Zhuhai-Shenzhen. Untuk itu kami harus menuju ke terminal khusus yang ada bertuliskan dalam bahasa Inggris, yaitu "Central Station for Tourist in Zhuhai City". Terminal tersebut ternyata kecil dan terlihat sepi sekali. Namun bangunannya terlihat modern dan bersih. Tidak ada kesan kumuh sama sekali, seperti terminal bus di Indonesia. Akhirnya bus kami datang dan rupanya perjalanan dari Zhuhai menuju Shenzhen memakan waktu sekitar 2,5 jam. Dan sepanjang perjalanan, saya merasa sangat bosan sekali sehingga saya lebih memilih untuk tidur.

Sesampainya di Shenzhen, bus berhenti di Luo Hu Port. Bangunan Luo Hu ini sudah sangat terkenal di Shenzhen karena di dalam kompleks ini terdapat 3 objek vital, yaitu: terminal bus, stasiun kereta api, dan pusat perbelanjaan. Shenzhen merupakan kota yang lebih besar dan ramai dibandingkan dengan Zhuhai, sekaligus lebih kisruh. Seolah-olah menegaskan karakter sebagian orang China yang belum sedisiplin seperti di Hong Kong atau Macao, saya melihat sendiri ada 2 pria yang nekad menyeberang jalan yang jelas-jelas ramai dan sudah diberi pagar pembatas besi. Dua pria itu nekad menyeberang dengan cara memanjat pagar pembatas tersebut, seperti halnya pemandangan di Indonesia. Meskipun begitu, menyeberang jalan di Shenzhen cukup nyaman karena menggunakan lampu khusus tanda pejalan kaki.

Karena saya sudah pernah mengunjungi Shenzhen, maka sejujurnya saya kurang begitu tertarik menjelajahi kota ini untuk kedua kalinya. Namun ibu, kakak perempuan, dan adik perempuan saya tentu saja sangat berminat berpetualang di Luo Hu Shopping Center, sebuah tempat yang akan dapat memuaskan naluri berbelanja setiap wanita. Yah, Luo Hu memang sudah melegenda sebagai tempat dijualnya beragam barang-barang tembakan merek terkenal dengan harga miring. Kalau Anda pandai menawar, Anda bahkan bisa membawa pulang dengan harga nyaris mencapai seperempat dari harga yang ditawarkan si penjual. Tetapi tentu saja Anda harus siap adu kesabaran tawar-menawar dan siap mental bila si penjual ternyata malah tersinggung.

Shenzhen memang dipenuhi oleh gadis-gadis berparas menarik. Ada anekdot yang muncul bahwa di Shenzhen, jumlah perbandingan antara pria dengan wanita mencapai 1:8! Namun kalau diperhatikan, penampilan mereka tidak semodis gadis-gadis di Hong Kong. Yang paling unik adalah, entah mungkin sudah menjadi kebiasaan di banyak gadis-gadis China Daratan, mereka jarang mencukur bulu ketiak mereka. Jadi menjadi hal yang sedikit janggal bagi saya bila menemui seorang gadis berparas cantik namun tidak mencukur bulu ketiak mereka ;-P

Hanya 2 hari di Shenzhen, akhirnya kami segera memutuskan untuk kembali ke Hong Kong. Kali ini kami menuju Hong Kong dengan menaiki kereta api super cepat. Setelah memasuki stasiun di daerah Luo Hu Port, sekali lagi kami harus mengantri dan melalui pemeriksaan imigrasi untuk menaiki kereta menuju Hong Kong. Jangan bayangkan kereta yang kami naiki seperti kereta di Indonesia, karena kereta ini malah lebih mirip seperti kereta MRT yang modern. Laju kecepatannya pun sangat cepat sekali dan kereta ini akan berhenti di stasiun-stasiun tertentu. Karena hotel yang kami tempati sebelumnya di Hong Kong berada di daerah Kowloon, maka kami segera turun saat kereta berhenti di Kowloon Tong. Setelah itu, kami harus membeli tiket lagi untuk menaiki kereta MRT untuk turun di Mongkok Subway Station. Akhirnya, saya kembali lagi ke Hong Kong!

Jumat, 09 Oktober 2009

Macao: Asia Rasa Portugal




Akhirnya kami berangkat menaiki bus menuju The China Ferry Terminal untuk menaiki kapal ferry yang akan menyeberang menuju Macao. Apa yang disebut "terminal ferry" itu ternyata di mata saya lebih tampak seperti bangunan mall kecil yang berpenyejuk udara, dikelilingi pertokoan, dan dilengkapi eskalator. Di sana ramai sekali, banyak terlihat orang-orang yang mengantri, dan beberapa dari mereka saya lihat mengeluarkan paspor Jepang yang bersampul merah.

Sewaktu berbaris akan memasuki kapal ferry, terjadi insiden kecil, seorang wanita di barisan depan tiba-tiba berteriak dan menunjuk-nunjuk laut, si petugas sempat menoleh sejenak lalu dengan tegas kembali menyuruh wanita tersebut melanjutkan langkahnya. Belakangan saya baru tahu kalau dompetnya jatuh tercebur ke laut, apes sekali! Saat memasuki kapal, ada petugas wanita yang berpakaian rapi ala pramugari menyambut dan menyuruh setiap penumpang untuk meletakkan barang bawaan yang berat seperti koper di bagian depan. Tentu saja saya sempat merasa heran dengan aturan itu karena kalau di Indonesia, bisa berisiko dicuri orang. Tetapi karena semua orang melakukannya, akhirnya saya juga meletakkan tas di bagian depan kapal yang memang dikhususkan untuk meletakkan barang-barang, sementara para penumpang duduk di kursi masing-masing.

Perjalanan dari Hong Kong menuju Macao memakan waktu sekitar 2 jam lebih dan saat itu kebetulan kondisi ombak tidak terlalu tenang sehingga jujur saja saya dan sebagian besar penumpang saat itu merasakan sedikit mual. Untuk meredakan efek mual dan pusing, akhirnya saya memutuskan untuk tidur saja.

Akhirnya kapal ferry telah tiba di Macao, kami segera tidak sabar untuk menginjak daratan. Di sana lagi-lagi kami harus mengisi data-data dan melewati pemeriksaan imigrasi. Sekalipun Macao saat ini sudah menjadi bagian dari China, namun sama seperti Hong Kong, di Macao juga diberlakukan Special Administrative Region yang mengizinkan Hong Kong dan Macao mempunyai otoritas mengatur wilayahnya sendiri sepanjang masih tunduk terhadap pemerintah pusat di Beijing. Sebelum bergabung dengan China di tahun 1999, Macao merupakan daerah kekuasaan Portugal sekaligus koloni Eropa di Asia yang terakhir. Karena itu di Macao, Anda akan mudah sekali menemukan jejak-jejak Portugis di setiap sudut kota. Dalam bahasa Mandarin, "Macao" disebut dengan "Aomen" yang artinya adalah "pintu perdagangan".

Apa yang pertama saya rasakan saat pertama kali tiba di Macao? Panas luar biasa! Posisi Macao yang secara geografis lebih selatan dari Hong Kong benar-benar mirip dengan cuaca Indonesia, yaitu 29-30 derajat Celcius. Di sana lagi-lagi kami harus melalui pemeriksaan imigrasi Macao. Sekeluarnya dari pemeriksaan imigrasi, saya melihat sebuah becak! Ya, ternyata Macao masih mempunyai becak tradisional unik yang disebut trishaw. Becak ini berbeda dengan di Indonesia karena pengemudinya mengayuh sepeda di bagian depan. Namun herannya di jalanan, saya tidak melihat trishaw yang berkeliaran.

Karena merasa capek akibat perjalanan yang kurang mulus di kapal ferry, kami cepat-cepat ingin sampai ke hotel yang sudah dipesankan oleh kakak saya. Namun entah bagaimana, Oom saya kesusahan mencari transportasi umum dengan jurusan yang ke daerah tersebut. Alhasil setelah bertanya sana-sini, kami menumpang sebuah minibus hotel lain yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan hotel kami, hahaha... Sebenarnya minibus itu disediakan secara gratis untuk mengantar calon tamu-tamu hotel yang akan menginap dari terminal ferry :-P Di tengah-tengah perjalanan, saya sempat terpukau menyaksikan bentuk bangunan yang unik di kejauhan. Samar-samar saya membaca gedung itu bertuliskan, "Grand Lisboa".

Hotel yang kami tempati adalah hotel berbintang satu yang terletak di daerah Rua de Madeira, yaitu East Asia Hotel. Bangunannya terlihat tua namun kamarnya bersih dan cukup nyaman. Karena saat itu sudah sekitar jam 2 siang, kami memutuskan untuk mencari tempat makan. Nah, semula kami merasa bingung mengapa banyak tempat makan yang tutup atau tidak ada orang sama sekali. Ternyata merupakan kebiasaan lama di sana bahwa pada jam-jam segitu, tempat-tempat makan akan tutup sejenak selama 2-3 jam.

Suasana di Macao menarik sekali, menyusuri jalan-jalan sempit yang lebih tenang dibanding Hong Kong, dengan deretan toko-toko lama khas Pecinan yang unik karena memakai nama Mandarin dan Portugis (saya sering menemukan toko "pastelaria" yang ternyata adalah toko kue). Harga-harga makanan disini pun jelas lebih murah dan terasa enak daripada di Hong Kong. Rata-rata hampir semua tulisan di Macao ditulis dengan huruf Mandarin dan Portugis. Baru belakangan saja, ditambahi dengan keterangan dalam bahasa Inggris.

Menjelang senja, kami memutuskan untuk berjalan-jalan ke tengah kota. Hawanya terasa makin sejuk dengan angin sepoi-sepoi. Saya mengamati, trotoar di Macao sungguh eksotik, tidak seperti trotoar biasa yang hanya terbuat dari batu-batu, namun trotoar di Macao terbuat dari kepingan mozaik batu-batu kecil! Pada jarak tertentu, mozaik ini akan membentuk gambar dan melukiskan sesuatu yang berhubungan dengan laut, seperti: udang, cumi-cumi, ikan paus, kapal, dsb. Benar-benar a piece of art! Yang aneh, di jalan-jalan tertentu, tempat menyeberang bagi pejalan kaki tidak dicat seperti zebra-cross, melainkan hanya dua garis yang melintang saja, sehingga sempat membuat saya yang mau menyeberang menjadi tidak yakin ini zebra-cross atau bukan. Saat berjalan-jalan, terlihat pula banyak bangunan-bangunan bergaya kolonial khas Eropa di kanan-kiri yang terawat baik. Terdapat pula toilet-toilet umum dengan nama Portugis, sanitario publico. Sayangnya saya belum sempat melongok ke dalamnya.

Akhirnya saya sampai di sebuah tempat yang ramai, gemerlap, dan lebar (tidak seperti jalanan sempit yang saya lalui sebelumnya). Di daerah itu, menjulang sebuah gedung tinggi yang gemerlap dan ternyata gedung itulah yang sempat membuat saya terpukau sebelumnya dari kejauhan, "Grand Lisboa". Di depannya persis, juga ada sebuah gedung yang dipenuhi gemerlap lampu (namun kalah tinggi) dengan nama "Casino Lisboa". Ternyata kedua gedung tersebut adalah bangunan kasino yang paling terkenal di Macao! Ya, Macao memang dikenal sebagai "Las Vegas-nya Asia". Ayah saya memberitahu bahwa pada zaman dulu, "Casino Lisboa" merupakan satu-satunya kasino paling terkenal di seluruh Macao. Belakangan baru dibangun gedung kasino yang lebih elit lagi tepat di depan Casino Lisboa, yaitu Grand Lisboa tersebut. Di seberang gedung-gedung, terlihat seperti taman kota dengan desain kontemporer yang dikelilingi piramida-piramida kaca (mengingatkan saya pada piramida kaca Louvre yang terkenal itu).

Ternyata Grand Lisboa bebas dimasuki oleh pengunjung, seiring makin derasnya kunjungan turis ke Macao. Memasuki ke dalam, sungguh luar biasa mewahnya interior gedung kasino ini! Ada beberapa pajangan yang rata-rata sangat mewah, seperti gading gajah yang diukir dengan sangat mendetail, ukiran kayu dengan dewa-dewi yang juga sangat mendetail, perahu naga dari emas, dsb. Di lantai dua barulah para pengunjung bisa mencoba bermain poker atau mesin judi pachinko. Kebetulan saat saya di sana, terdapat pertunjukan kabaret gadis-gadis berwajah bule menari-nari ala tarian Flamenco yang doyan sekali mengangkat-angkat rok mereka. Saya mengamati sekeliling, terpampang pula spanduk raksasa yang menuliskan "Adult live show: AV Japan Show" di lantai atas (saya tidak tahu gedung Grand Lisboa sampai berapa tingkat, yang pasti para pengunjung hanya diizinkan naik sampai ke lantai 3 saja).

Tidak terasa, hari sudah menjelang malam dan karena kami berencana hanya tinggal 2 hari saja di Macao, saya bersikeras untuk mampir ke ikon Macao yang paling populer, Ruins of St. Paul's! Akhirnya Oom saya menanyakan arah ke Katedral St. Paul kepada petugas di Grand Lisboa. Wah, ternyata dia menjawab dengan cukup antusias, bahkan terkesan bangga menjelaskan arah-arah yang harus diambil menuju Katedral St. Paul dengan bahasa Kong Hu-nya. Cukup mengejutkan mengingat di China, orang-orang biasanya berkata-kata dengan nada ketus dan ekspresi jutek yang terkesan sangat kasar bagi orang Indonesia.

Sepulang dari Grand Lisboa, ternyata langit gerimis rintik-rintik. Untungnya berjalan kaki di trotoar Macao sangat nyaman dan aman. Selain disisi yang menghadap ke jalan diberi pagar (sehingga tidak ada kendaraan yang bisa nyelonong ke trotoar sekaligus menghalangi pejalan kaki menyeberang jalan sembarangan), trotoar di sana selalu menyambung dengan bangunan di sebelahnya dan bangunan tersebut pasti beratap, sehingga pejalan kaki yang melintasi trotoar tidak akan basah kehujanan. Bandingkan dengan trotoar-trotoar di Indonesia, sudah sempit, penuh lubang, basah kalau hujan, masih diserobot parkir liar dan warung-warung PKL pula.

Kami menyusuri jalan-jalan sempit yang berakhir di Senado Square. Benar-benar merupakan perpaduan unik, bayangkan saja, di jalanan ala citywalk dengan jalan berbatu-batu kerikil khas Eropa, di kanan-kiri Anda bisa menemukan pertokoan modern seperti Giordano yang bersebelahan dengan Starbucks dan berjarak beberapa meter dari gedung-gedung kuno (terdapat museum Largo de S. Domingos - Treasure of Sacred Art yang bangunannya mencolok karena terlihat kuno dan dicat kuning). Akhirnya saya sampai di jalanan menuju Ruins of St. Paul's. Di kejauhan sana, terlihat Katedral St. Paul yang berdiri gagah. Sayang karena hari sudah malam (sudah terlihat sepi) dan ayah saya sudah capek, akhirnya saya hanya bisa memandangi dari kejauhan dan berfoto-foto saja. Untuk mendekati Katedral tersebut, kita harus menaiki anak tangga karena Katedral St. Paul terletak di atas dataran yang lebih tinggi. Di dekat saya berfoto-foto, terdapat patung yang menarik, yaitu patung wanita yang memberikan sesuatu (seperti bunga) kepada pria dan di atas patung wanita tersebut, ada patung burung bangau, meskipun saya belum mendapatkan penjelasan mengenai konsep dan maksud patung ini dibuat.

Reruntuhan Katedral St. Paul sebenarnya merupakan Katedral Katolik Roma yang dibangun dari tahun 1582-1602 dan mengalami kebakaran hebat di tahun 1835 sehingga hanya menyisakan tembok bagian depan katedral saja (facade). Dalam bahasa Mandarin, Ruins of St. Paul's ini disebut "Ta Ba Shan" yang artinya kalau saya duga adalah "Gunung Paul Besar" :-)

Keesokan paginya, kami bermaksud sarapan di daerah Senado Square kemarin. Di sana saya merasa cukup heran melihat para manula berbaris antri untuk mendapatkan koran. Saya menduga para manula di Macao kalau pagi dijatah koran gratis atau mungkin bisa mendapatkan hanya dengan setengah harga sehingga rela antri panjang seperti itu. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 9 pagi, and guess what? 90% pertokoan di sana masih tutup dan orang-orang seolah terlihat masih menikmati segarnya pagi. Sangat kontras sekali dengan Jakarta yang jam 6 pagi saja, jalanan sudah riuh ramai, penuh sesak dengan kendaraan yang berangkat kerja disertai perang klakson.

Menjelang siang, kami segera check-out dari hotel dan menaiki bus yang akan berangkat menuju Zhuhai, perbatasan antara Macao dengan Mainland China. Oya, saat di Macao, saya masih menjumpai beberapa perempuan dengan wajah Melayu yang berlogat Jawa medok. Ternyata Macao menjadi salah satu tempat destinasi favorit bagi para TKW. Overall, Macao memang kota yang menarik, santai, namun lama-lama membosankan...