Sabtu, 12 April 2008

Wajah Sebuah Bangsa


Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, berbudaya tinggi, dan santun. Keanekaragaman budaya itu dapat mudah kita jumpai dari ujung Aceh hingga ujung Papua. Perilaku luhur rakyat Indonesia dicerminkan lewat etos gotong-royong, nilai-nilai demokrasi dalam musyawarah mufakat, dan tepa selira dalam menghargai perbedaan. Masyarakatnya juga dikenal religius dengan mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa sehingga mampu menjadikannya filter degradasi moral. Tidak hanya watak bangsa yang ditempa sedemikian elok, tetapi kondisi alam bumi nusantara juga sungguh mempesona. Hutan-hutan tropis Indonesia membentang hijau dengan jutaan spesies yang memukau setiap ilmuwan biologi di dunia. Gunung-gunung tinggi menjulang, sawah-sawah menguning, ikan-ikan bercengkrama di lautan, ombak berkejaran di bawah bayang-bayang teduh nyiur yang melambai gemulai, ooh sungguh murah hati Tuhan terhadap Indonesia, sebongkah tanah yang dicampakkan dari surga!

Pujian-pujian di atas mungkin lazim ditemukan di buku-buku PMP/PPkn atau pelajaran sejarah di sekolah. Siswa serasa terlena akan sebuah utopia; bahwa ia tinggal di negeri impian di tengah-tengah masyarakat yang luhur. Tetapi mendadak krisis moneter Asia di akhir 1997 membuyarkan metafora itu dengan menampar wajah kita keras-keras. Indonesia yang saat itu digembar-gemborkan tinggal selangkah lagi untuk lepas-landas, mendadak amburadul seketika bahkan sampai hari ini, memasuki 10 tahun berlangsungnya reformasi.

Bukannya opini di paragraf pertama tadi hanyalah fatamorgana belaka. Itu semua merupakan fakta, meski tidak semuanya. Belanda saat pertama datang ke Indonesia menyadari potensi alam yang luar biasa. Hasil rempah-rempah yang dihasilkan rakyat akibat kerja rodi mampu membiayai kas Kerajaan Belanda di abad 17-19. Belanda, negeri kecil yang bahkan hanya seperempat Pulau Jawa itu mampu menjadi negara yang cukup diperhitungkan di Eropa karena memiliki 'sumber penghasilan' yang mewah. Itulah alasan mengapa Belanda terlihat berat melepas bekas jajahannya ini bahkan nyaris belum pernah mengakui secara resmi (de jure) kemerdekaan Indonesia! Orang Belanda menjuluki Indonesia dengan Indische Mooi (Hindia yang cantik). Tidak hanya kecantikan alamnya, perempuan-perempuan nusantara juga mampu mempesona orang Eropa saat itu. Mereka menyebutnya, Mutiara dari Timur. Bahkan keramahan orang Indonesia memang bukanlah mitos. Beda dengan orang asing yang cenderung individualistis dan bersikap rasional namun efektif, orang Indonesia cenderung ikhlas membantu sesamanya dengan senyum senantiasa tersungging di wajah.

Wajah ramah orang Indonesia ternyata menyimpan sisi lain, monster yang siap menyembur marah. Tercatat kerusuhan sipil pertama, Malari terjadi pada tahun 1974 di Jakarta. Semula para mahasiswa memprotes keras penanaman modal asing di tanah air, yang dinilai telah menggadaikan aset bangsa. PM Jepang, Tanaka, yang saat itu berkunjung ke Jakarta mendapat sambutan demonstrasi mahasiswa. Demonstrasi itu meluas menjadi kerusuhan massa. Belasan bangunan dibakar, puluhan mobil (terutama mobil buatan Jepang) juga dibakar. Saat itu sentimen anti Jepang turut berimbas pada sentimen anti Tionghoa. Wajah Presiden Soeharto tercoreng di tempat kekuasaannya sendiri di depan tamu pentingnya! Bahkan di era yang sama, Mochtar Lubis meluncurkan bukunya yang kontroversial, "10 Watak Bangsa Indonesia (1977)". Ia mengulas watak-watak negatif orang Indonesia, seperti: munafik, malas, feodalis (asal Bapak senang), percaya takhyul, bahkan ia juga telah menyinggung soal korupsi! Tulisan yang sangat lancang di era the Smiling General. Lubis hanya memuji orang Indonesia soal kecakapan dalam bidang seni.

Berikutnya kerusuhan sipil semakin bertambah dan bergeser dari isu politik menjadi isu SARA (Suku, Agama, Ras). Pada tahun 1995, kerusuhan meletus di Pekalongan dengan target warga keturunan Tionghoa. Di tahun 1996, belasan gereja dibakar di Situbondo. Setahun kemudian, Rengasdengklok merasakan hal yang sama. Penyebab kerusuhan selalu disebut 'Pihak ketiga', meski tidak jelas siapa. Puncak anarkisme terjadi pada tanggal 13-14 Mei 1998. Kondisi perekonomian republik sudah tiarap; nilai tukar Dolar mencapai Rp 17.000, bank-bank dilikuidasi, PHK dimana-mana, perusahaan bangkrut, harga sembako melonjak tinggi. Semua borok telah terbuka, orang mengetahui bahwa kedelai untuk membuat tempe pun diimpor dari Amerika. Negara mempunyai hutang luar negeri yang fantastis! Mahasiswa mengecam, tentara dikerahkan dan terjadilah insiden Trisakti yang tragis. Penembakan mahasiswa semakin menguatkan tekad seluruh mahasiswa dan membuat rakyat yang lapar semakin beringas. Tanpa dikomando, pada 2 hari kelabu itu, Jakarta bagai Racoon City (kota zombie dalam game Resident Evil). Bangunan dibakar, penjarahan di mana-mana, mobil-mobil dibakar, rumah-rumah dirusak. Tidak ada gunanya polisi dan tentara saat itu karena mereka sadar bahwa mereka sedang menantikan kejatuhan sebuah bangsa! Mayoritas korban kerusuhan saat itu lagi-lagi adalah warga keturunan Tionghoa, bahkan diduga kuat terjadi perkosaan massal dengan korban perempuan etnis Tionghoa. Dunia seketika tersentak melihat wajah beringas Indonesia. Orang-orang yang masih punya harapan lari meninggalkan Jakarta. Yang punya uang eksodus ke Malaysia/Singapura. Kerusuhan 1998 menjalar tidak hanya di ibukota. Solo, kota yang dikenal sangat santun dalam tradisi Jawa (sehingga ada ungkapan 'Putri Solo' bagi orang yang lamban), malah menjadi kota dengan kerusuhan terparah kedua. Dimana-mana orang sibuk menulis: "Pro Reformasi/Pribumi Asli/Muslim" pada depan rumah, toko, dan kendaraan mereka. Muncul 'polisi swasta' dengan nama Pam Swakarsa di mana-mana, menjaga kompleks perumahan dengan parang, golok, bambu runcing, dan celurit di tangan.

Mahasiswa bersatu dalam aksi demonstrasi terbesar dalam sejarah Indonesia. Mereka menduduki Gedung MPR/DPR dan menuntut reformasi total. Presiden Soeharto tidak punya pilihan. Merasa dikhianati sekutunya, abdinya, dan rakyatnya, pada tanggal 20 Mei, ia terpaksa menyerahkan jabatan pada Wapres saat itu, B.J. Habibie. Sejak itu monster yang berulangtahun di Mei 1998 terus menghinggapi republik ini. Kerusuhan hampir selalu terjadi dan kali ini penyebabnya berganti nama menjadi 'Provokator'. Meski hampir semua orang menganggap tragedi Mei 98 merupakan sebuah kebiadaban yang tidak pantas terjadi, sampai sekarang kita masih dapat melihat infeksinya terus menyebar.

Kerusuhan Ambon, Mataram, Sampit, bahkan Bali (para simpatisan Megawati yang kecewa pernah menebangi puluhan pohon di jalan menyebabkan kemacetan parah) terjadi! Yang paling horor adalah di Sampit, warga etnis Dayak dengan bangga memamerkan kepala milik etnis Madura yang baru saja ditebasnya pada wartawan! Di tahun 2006, gara-gara tidak puas dengan kekalahan tokohnya dalam pilkada Bengkulu, massa menyerbu kantor walikota dan merusaknya dengan brutal. Berikutnya daerah-daerah lain juga mengalami rusuh pilkada. Negeri Indonesia seakan negeri sejuta demonstrasi. Lihat saja di berita televisi, dapat dipastikan tiap hari selalu ada saja aksi demonstrasi. Tayangan berita kriminal juga seakan tak ada habisnya. Kerusuhan suporter sepak bola menjadi hal biasa. Psikologi masyarakat juga sudah sakit, seorang maling yang tertangkap hampir pasti digebuki beramai-ramai, bahkan dipukul dengan kulit durian, diseret dengan sepeda motor, atau dibakar hidup-hidup! Entah apakah ini sebuah efek jera yang kebablasan, dampak akumulasi kekecewaan bertahun-tahun yang dipendam atau sekadar kekesalan terhadap ketidaktegasan hukum. Kelihatannya di era reformasi ini, semua orang semakin mudah tersinggung.

Di tahun 2006-2007, terjadi beberapa kasus penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah (di antara mereka terdapat wanita & anak-anak). Bukan saya mendukung benar-tidaknya ajaran mereka, yang saya sesalkan adalah penyerangan terhadap mereka dilakukan secara brutal oleh ratusan massa dengan membawa agama yang mengajarkan rahmat kepada alam semesta. Hal yang paling memalukan adalah Jamaah Ahmadiyah ini begitu frustasi dengan keselamatan dirinya hingga nekad meminta suaka kepada Kanada dan Australia! John F. Kennedy pernah berucap, "Jangan tanya apa yang bisa negara berikan kepada kamu, tetapi tanya apa yang dapat kamu berikan pada negara." Hal patriotik ini memang selayaknya dilakukan setiap warga negara yang baik. Tetapi bila negara saja tidak dapat menjamin hak-hak dasar warga negaranya (bekerja, menjalankan agama, memperoleh pendidikan), jangan menuntut mereka mau melakukan kata-kata legendaris Kennedy tersebut.

Seorang penulis di koran pernah menyebut bangsa Indonesia sebagai Self Destroying Nation. Ia memberikan ilustrasi bahwa di saat ada salah satu dari mereka yang berhasil dan sukses, yang lain merasa iri sehingga ramai-ramai menjegalnya supaya semuanya 'adil sama rata'. Benar-tidaknya opini itu, saya kembalikan kepada Anda :-) Melihat semua fakta sejarah di atas, rasanya saya mengendus aroma paradoksal saat mendengar seorang pejabat tinggi berkata, "Bangsa Indonesia adalah bangsa Timur yang berbudi santun dan religius." Buktinya kok aksi demonstrasi dan anarkisme terus melanda bangsa ini? Di luar itu, Republik ini juga juara nomor 3 dunia soal korupsi, namun sukses menempatkan Soeharto sebagai pemimpin bangsa paling korup di dunia versi PBB dan Bank Dunia. Soeharto memang banyak berjasa bagi bangsa dan negara, tetapi dosa-dosanya juga sama banyaknya. Indonesia juga lagi-lagi juara 2 dunia soal pembajakan hak cipta (piracy). Yang mengejutkan, negara kita adalah negara dengan tingkat laju kerusakan hutan (deforestisasi) tercepat di dunia versi Guiness Book of World Records. Terakhir, juga sama mengejutkan, jumlah korban flu Burung di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia. Cukup banyak ya 'prestasi' bangsa kita? :-(

Orang Indonesia dikenal punya perilaku: "Senang lihat orang susah, susah lihat orang senang". Dulu waktu mobil masih berantena luar, tangan-tangan usil pasti merusaknya. Anak-anak kecil gemar main bel pintu orang. Saat terjadi kecelakaan, orang-orang hanya sibuk menonton tanpa ada inisiatif menolong. Waktu booming tayangan reality show di televisi yang ngerjain orang habis-habisan, rating penonton sangat tinggi. Bahkan acara MOP (Mbikin Orang Panik) yang ditayangkan di RCTI, pernah kebablasan dengan melibatkan beberapa personel polisi sungguhan dalam episode 'Jebakan Razia Narkoba'. Si korban tentu saja hampir mati ketakutan saat digelandang ke kantor polisi saat ditemukan 'narkoba' di dalam tasnya. Saat mengetahui bahwa ini hanyalah reality show belaka, si korban begitu lega sekaligus marah sehingga spontan memukul kaca lemari di kantor polisi sampai pecah. Setelah acara itu usai dan dianggap sukses, publik mengecam acara itu, oknum polisi yang terlibat dimutasi (dianggap melecehkan institusi Polri), dan acara itu sendiri akhirnya dihentikan oleh RCTI. Untuk meminimalisir risiko-risiko seperti itu, kini umumnya reality show meng-hire sejumlah talent untuk bersedia berperan sebagai 'korban' dan 'pelapor' yang semuanya sudah diatur dalam skenario khusus layaknya sinetron.

Selain virus anarkisme, kuman vandalisme juga menjangkiti bangsa ini. Contoh gampangnya adalah sarana-sarana publik dan rambu-rambu lalu lintas yang sengaja dirusak. Telepon umum dirusak. Lampu taman dipecah. Kereta api melintas dilempar batu. Tembok dicoret-coret. Bahkan tutup got dan rel kereta dicuri. Karena itu di Indonesia tidak pernah ada mesin penjual barang otomatis karena hampir pasti mubazir. Namun pada beberapa kasus, kita ternyata juga mampu merawat benda-benda tua, misalnya lokomotif zaman Belanda yang masih bisa berjalan dan orgel tua di Gereja Katedral, yang masih berfungsi baik.

Seperti tuduhan Lubis, orang Indonesia dikenal munafik. Tidak usah tersinggung bila Anda tidak merasa demikian. Faktanya ada segelintir orang yang merupakan 'Maling teriak maling'. Merusak tempat hiburan dengan dalih pembersihan maksiat (melawan dosa dengan dosa yang lain). Lantang menolak pornografi tetapi punya istri 4 (yang 3 masih muda dan cantik). Jago berdakwah dan berkhotbah tetapi terkena razia narkoba. Mengaku tahu hukum tetapi melakukan korupsi, pungli, dan menerima suap (contoh: Jaksa Urip penuntut Amrozi ketahuan menerima suap Rp. 6 M kasus BLBI).

Kita juga selalu lekat dengan hal-hal supranatural. Di abad 21 ini, satu desa di Demak panik karena isu Hantu Cekik. Warga berbondong-bondong menggantung bambu kuning di depan pintu demi mengusir Kolor Ijo. Ratusan orang berebutan tahi kerbau albino Keraton untuk penglaris. Ribuan orang berdoa di makam tertentu memohon berkah, bukannya memohon kepada Tuhan. Saat jatuh sakit bukannya berobat ke dokter, malah ke dukun meminta jampi-jampi. Pada tanggal 9 September 1999, dunia disangka kiamat dan orang-orang panik menjual emas mereka karena pada hari itu, emas-emas dikatakan akan menjadi tanah. Akhirnya mereka menyadari itu hanya isu belaka dan pedagang emaslah yang tersenyum untung. Entah apakah 9 September 2009 besok, isu konyol itu kembali muncul. Saat lumpur Lapindo meletus, beberapa orang melempari pusat semburan dengan kerikil sambil komat-kamit. Yang lain malah diceritakan pernah sengaja menenggelamkan anak sapi dan seekor ayam sebagai tumbal yang jelas-jelas mubazir.

Detik.com pada bulan Oktober 2006 memberitakan sekelompok warga di Cilitan, Cawang, Jakarta Timur, yang menangkap seekor babi yang diduga babi ngepet (babi jadi-jadian dari orang yang belajar ilmu sesat untuk mencuri harta). Babi berwarna hitam itu dipergoki warga saat sedang berkeliling membunyikan kentongan sahur. Dengan sigap, warga lantas menangkap dan memasukkan babi malang itu ke karung lalu memukulinya dengan brutal. Aksi anarkisme dan kerumunan massa ini mengundang banyak perhatian, termasuk patroli polisi setempat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, atas dasar saran polisi, warga mengundang seorang paranormal untuk melakukan tes analisis terhadap babi ini dan setelah berkomat-kamit sejenak, paranormal ini lantas menyatakan bahwa ini adalah seekor babi betulan! Warga yang kecewa pun menyerahkan babi yang sudah terluka berdarah-darah itu kepada polisi dan dikabarkan selanjutnya ada seorang warga pemilik rumah makan menu daging babi yang datang mengambil babinya yang apes tersebut.

Di bulan Juli 2008, ratusan warga Cikadut, Kabupaten Bandung sibuk mengepung seekor babi yang tiba-tiba tampak berkeliaran di pemukiman warga. Babi itu akhirnya diberitakan mati akibat kombinasi kelelahan dikejar-kejar dan kepalanya terbentur tembok kuburan. Warga antusias mengepung babi itu karena tidak ada yang memelihara babi di kampung itu sehingga diyakini babi itu merupakan babi ngepet. Setelah babi itu mati, sontak warga berjaga-jaga di sekeliling mayat babi itu, berharap-harap cemas bila mayat babi itu berubah menjadi mayat manusia. Setelah ditunggu sampai besok, ternyata bangkai babi itu tetaplah seekor babi! Seperti masih kurang percaya, bangkai itu ditutupi kafan, ditaburi kapur barus, dan ditunggui lagi sampai 2 hari. Setelah itu tidak terdengar lagi kabar mengenai jasad 'babi ngepet' ini selanjutnya di media.

Ada lagi kabar konyol yang diberitakan di Detik.com pada bulan Oktober 2008, warga Kabupaten Sumenep, Madura, dihebohkan dengan isu penangkapan 'burung pesugihan'. Burung aneh ini diyakini adalah jelmaan orang yang melakukan ritual pesugihan dan suka mengambil harta secara gaib di malam hari. Secara fisik, apa yang disebut 'burung pesugihan' ini sebenarnya 99% identik dengan kelelawar normal, hanya saja ia mempunyai ekor yang mencuat cukup panjang untuk ukuran ekor kelelawar, sehingga terkesan seperti ekor tikus. Jenis kelelawar berekor yang kelihatannya kurang lazim ini ternyata memang benar-benar ada dengan nama: free-tailed bat. Anda bisa mengeceknya di Google atau Wikipedia.

Kepandiran bangsa ini bertambah dengan cerita dari Bojonegoro. Alkisah, seorang kepala desa ditelepon seseorang yang mengaku sebagai Asisten I Pemkab Bojonegoro dan menyuruhnya mencari 8 orang untuk dijadikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemkab Bojonegoro. Syarat yang diajukan sebagai PNS hanya dua yaitu: berbadan tinggi dan wajahnya bertato! Sang kepala desa yang mungkin tergiur fee per kepala untuk jasa outsourcing ini segera mencari tenaga-tenaga potensial, dan didapatnyalah dua tetangganya sendiri. Mereka berdua pun dengan ikhlas merelakan wajahnya ditato sambil membayangkan kenyamanan kerja dan prestisenya menjadi PNS. Menjelang malam, sang kepala desa mengaku baru sadar kalau dirinya ditipu mentah-mentah setelah tidak ada kabar lanjut dari si penelepon misterius. Tetapi yang sangat dikasihani, dua tetangganya itu karena wajah mereka sudah terlanjur ditato permanen tetapi imbalan menjadi PNS tak kunjung datang. Dikabarkan mereka berdua berencana menuntut sang kepala desa yang keblinger untuk membiayai operasi plastik wajah mereka. Entah benar atau tidak, si kepala desa lantas membela diri dengan dalih sang penelpon misterius mampu menghinoptis lewat suara di telepon. Kisah tiga orang pandir ini tercantum di Kompas.com edisi 12 Oktober 2008 bagian Regional (Jawa).

Ada pula beberapa kisah yang mengundang gelak tawa logika. DPR pernah emosional mengecam Australia gara-gara koran mereka memuat karikatur yang melecehkan Presiden SBY. Padahal karikatur itu hanya membalas karikatur yang melecehkan PM John Howard di koran Indonesia sebelumnya, tetapi rupanya alasan itu tidak penting bagi DPR. Anggota DPR juga pernah ngotot meminta tunjangan laptop dengan dalih menunjang profesionalisme kerja. Padahal tunjangan mereka per bulan saja sudah Rp 10 juta (belum termasuk gaji pokok), sangat memadai untuk membeli laptop dari kantong mereka sendiri. Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai negara hukum (rechtstaat), bukan atas kekuasaan belaka (matchtstaat), tetapi yang terjadi di lapangan adalah pengerahan massa. Saat rusuh pilkada terjadi beberapa waktu lalu, massa pendukung tokoh yang kalah tidak terima dan mendatangi KPUD setempat, memaksa membatalkan kemenangan tokoh yang lain serta merekomendasikan pemilihan ulang pada KPU pusat. Puncak kelucuan terjadi esok harinya, saat ribuan massa tokoh yang sudah dinyatakan menang juga mendatangi KPUD dan memaksa KPU tetap mengesahkan kemenangan serta membatalkan rekomendasi sehari sebelumnya. Kalau begini caranya, bisa-bisa besok negara kita diganti nama menjadi 'Republik Indiana' kalau Istana Presiden, Gedung MPR/DPR , dan Mahkamah Konstitusi, dikepung ribuan massa yang menuntut pergantian nama itu. Menjelang pemilu 2009, ada puluhan parpol baru didaftarkan ke Depkumham. Cerita kocaknya adalah ada beberapa parpol yang ditolak lalu mendaftar kembali dengan nama baru kemudian diterima. Klimaks ceritanya adalah belasan parpol baru itu mencantumkan alamat palsu sebagai alamat kantor pusat mereka! Kalau masih mendaftar saja sudah tidak jujur seperti ini, bagaimana nanti bila mereka mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin bangsa ini???

Pada tahun 2006, sekelompok massa yang mengatasnamakan FBR (Forum Betawi Rembug) berdemo di depan rumah pedangdut Inul Daratista di Jakarta. Mereka menuntut Inul dan suaminya untuk angkat kaki dari Jakarta karena dinilai telah merusak moral bangsa lewat goyang ngebornya, sehingga tidak pantas tinggal di daerah Betawi (Jakarta). Apa FBR ini pemilik Jakarta, sehingga merasa punya otoritas penuh untuk mengusir seseorang?

MUI juga pernah mengeluarkan fatwa: mengharamkan doa antar umat beragama dan menolak keras pluralisme. Dengan segala hormat pada mereka, apakah fatwa ini relevan terhadap kondisi sekarang? Di saat upaya dialog antar agama terus ditingkatkan agar tercipta kerukunan di antara mereka, MUI malah berusaha memperkeruh air yang sedang dibersihkan. Siapa pun juga tahu bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Bermacam-macam suku, budaya, agama, dan ras, ada di dalamnya. Itulah mengapa semboyan bangsa kita adalah Bhineka Tunggal Ika (unity in diversity). Apa itu bukan pluralisme? Bila MUI masih keukeuh menolak pluralisme, berarti mereka mengingkari jati diri bangsanya sendiri.

Di bulan Oktober 2008, seorang kyai di Semarang, Syekh Puji mengatakan telah melakukan pernikahan siri dengan Lutfiana Ulfa, seorang gadis belia berusia 12 tahun yang baru saja lulus SD! Kyai berusia 43 tahun ini mengatakan bahwa si anak dan orangtuanya telah menyetujui pernikahan ini, bahkan ia berani menyebut Ulfa telah menyatakan cintanya. Ulfa juga dikatakan telah mengalami menstruasi pertamanya sehingga layak dinikahi. Syekh Puji berencana menobatkan istri ciliknya ini menjadi General Manager perusahaannya yang bergerak di bidang ekspor kaligrafi kuningan. Sebelumnya ia sudah memiliki seorang istri berusia 26 tahun yang mengurusi pondok pesantrennya. Seakan masih kurang mengumbar sensasi, ia mengungkapkan rencananya untuk menikahi dua gadis ingusan lagi, masing-masing berusia 9 tahun dan 7 tahun! Syekh Puji berdalih meneladani sunnah Rasulullah yang menikahi Aisyah yang masih berusia 7 tahun.

Tidak ada kalimat yang bisa diucapkan pada kyai ini selain 'Pedofilia berkedok agama'. Jelas mustahil seorang gadis berusia 12 tahun bisa menjalani hidup berkeluarga yang normal dengan suami yang lebih pantas menjadi ayahnya. Mungkinkah Ulfa yang baru lulus SD sanggup merasakan dan menyatakan cinta pada Syekh Puji yang berusia lebih tua 31 tahun?? Sanggupkah anak semuda ini memimpin dan mengatur sebuah perusahaan? Apakah keputusan yang dihasilkannya kelak mempunyai kekuatan hukum? Definisi akil baligh dengan mendapat menstruasi pertama tentu bukanlah syarat tunggal untuk bisa segera dinikahi. Pernikahan membutuhkan dua orang dewasa yang saling memahami, punya mental kuat berumahtangga dan mampu secara finansial membiayai kehidupannya, tidak hanya bermodal akil baligh saja. Hal ini pun bertentangan dengan UU Perkawinan yang menyatakan bahwa usia minimal bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Adakah pria dewasa yang masih normal mampu dan tega menyetubuhi anak-anak berusia 12, 9, dan 7 tahun, selain pengidap pedofilia?

Saya yakin di usia semuda itu fisik Ulfa masih belum berkembang matang, terlebih mentalnya yang tentu saja masih mental anak-anak. Apa kita tega melihat wajah polosnya (yang belum mengenal seks) merintih saat menjalani malam pertamanya? Yang diherankan lagi respon terhadap berita ini terlihat seperti tertahan sesuatu. MUI hanya menganjurkan supaya masyarakat tidak meniru ulahnya. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Agama hanya mengecam secara verbal tindakan kyai ini. Polisi hanya mengatakan akan menindaklanjuti laporan dari masyarakat. Ketua DPP Hizbut Tahir Indonesia, Haris Abu Ulya malah mengatakan bahwa pernikahan ini sah secara Islam karena Ulfa telah akil baligh. Konsep pernikahan siri sendiri sebenarnya merugikan si perempuan karena tidak diakui negara. Jadi status anaknya dan pembagian warisan bisa dipastikan akan kabur. Aneh memang, bila kita mencampuradukkan antara hukum agama dengan hukum negara. Jadinya seperti kasus Syekh Puji ini dimana banyak orang tidak berani mengatakan itu salah. Bahkan ada segelintir orang yang mengatakan bahwa hukum agama lebih tinggi kedudukannya dari hukum negara. Bila Syekh Puji ini sungguh bertujuan mulia, lebih baik ia mengawini beberapa janda-janda miskin, bukan malah anak-anak ingusan yang masih polos. Ia juga bisa mengadopsi Ulfa sebagai anak angkat daripada mengambilnya sebagai istri muda. Kita bisa membayangkan bahwa gadis-gadis belia ini tidak akan pernah mengalami masa remaja yang wajar dengan pergaulan teman-teman sebaya akibat harus menjadi istri yang solehah di rumah melayani suami seusia ayahnya siang-malam, bila jadi dinikahi Syekh Puji.

Pernah menyadari tidak, sejak bencana tsunami melanda Aceh dan Nias tahun 2004 silam, rasanya tanah air selalu dilanda berbagai bencana. Banjir, gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor, sampai kecelakaan transportasi. Ada yang mengatakan itu murka Tuhan sehingga mengajak taubat nasional. Ada pula yang mengatakan itu adalah fenomena alam belaka. Masalahnya mengapa tetangga-tetangga kita hampir tidak pernah terkena gangguan alam yang sama? Padahal Singapura, Malaysia, Brunei, dan Papua Nugini, hanya beberapa jengkal saja dari peta Indonesia. Mungkin Tuhan memang geram melihat perilaku orang Indonesia.

Beberapa sosiolog menduga bahwa kesemrawutan Indonesia disebabkan oleh ketidaksiapan mental menghadapi arus modernisasi. Berbeda dengan negara-negara maju yang mengalami tahap agraris, industri (produksi) dan tahap konsumsi, Indonesia saat masih berada di tahap agraris langsung meloncat menuju tahap konsumsi. Ibarat dari penggembala kambing langsung berbelanja di mal. Kecanggungan inilah yang membuat meski seseorang itu berpendidikan dan punya uang, ia tetap bermental 'kerdil', misalnya seorang mahasiswa memarkir sepeda motor di tempat yang dilarang parkir. Seseorang yang naik mobil BMW dengan enteng membuang kulit kacang dari jendela mobilnya di jalanan. Emile Durkheim, dalam bukunya, "The Division of Labor in Society" (1964), mengatakan telah terjadi anomie dalam masyarakat Indonesia. Ketidaksinkronan antara perubahan struktural dan kultural dalam masyarakat, sehingga terjadi kesenjangan seperti konservatisme di pihak lain dan teknologisasi di pihak satunya.

Ada pula pandangan dari orang luar negeri yang melihat bahwa orang Indonesia itu paradoks. Secara individual, mereka bisa diunggulkan, pintar, berprestasi, dan tangguh. Misalnya, prestasi Olimpiade Fisika yang direbut tim Indonesia, juara tunggal bulutangkis, beasiswa-beasiswa yang diraih mahasiswa Indonesia di banyak universitas terkenal, dsb. Tetapi saat orang Indonesia harus bekerja sama di dalam teamwork, mereka menjadi kebingungan, kehilangan visi, dan gagal. Contoh nyatanya adalah bahkan timnas sepak bola kita tidak pernah mengalahkan timnas negeri sekecil Singapura. Kabinet yang disusun dengan orang-orang pilihan di dalamnya pun masih belum dapat mengangkat negara ini dari keterpurukan krisis moneter.

Bangsa Indonesia sesungguhnya bangsa yang besar. Di era Soekarno dulu, meski pendapatan ekonomi negara masih reyot, kita cukup disegani bangsa lain. Saat ini, bahkan negara mini Singapura dengan beraninya ngotot meminta izin latihan perang di kawasan Riau, seakan mereka sudah menang posisi dalam tawar-menawar. Negeri tetangga, Malaysia, malahan lebih angkuh lagi. Rata-rata mereka menganggap orang Indonesia susah diatur dan gemar mencari masalah. TKI/TKW kita diperlakukan semena-semena meski mereka berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi Malaysia. Bahkan Malaysia semakin agresif mengekspansi daerah perbatasan dengan Indonesia pasca sukses mengakuisisi Sipadan-Ligitan. Orang Malaysia menyebut orang Indonesia dengan 'Indon', yang meski sekilas seperti hanya merupakan singkatan biasa, ternyata berkonotasi negatif (seperti sebutan 'Cina' bagi orang keturunan Tionghoa). Yang paling gres, Malaysia dengan berani mencatut beberapa identitas Indonesia, seperti: lagu Rasa Sayange, tari Reog, kain Batik, alat musik angklung, dan Orangutan (satwa yang sebenarnya lebih khas Indonesia daripada Malaysia).

Dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah-ruah dan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang banyak, seharusnya Indonesia merupakan salah satu negara penggerak ekonomi Asia, sejajar dengan China dan India. Malah SDA kita melebihi dua negara tersebut. Nyatanya saat ini dibandingkan dengan Vietnam yang baru selesai perang tahun 1970-an saja, kita sudah tertinggal. Ada beberapa orang menduga bahwa justru karena SDA yang melimpah itulah, bangsa Indonesia menjadi manja dan pemalas. Ini ada benarnya karena Jepang yang miskin SDA malah terpacu untuk meningkatkan kualitas SDM-nya. Bahkan China yang baru membuka diri dari belenggu komunis di tahun 1990, hanya butuh 1 dekade saja untuk menggegerkan ekonomi dunia. Watak dasar orang kita memang harus diakui adalah pemalas. Contoh nyatanya adalah para pegawai negeri yang gemar membolos dan kalaupun bekerja sering malas-malasan. Para siswa juga sering membolos/mencontek, kaum buruh sering bekerja asal-asalan (asal dibayar), sehingga relevan dengan motto: "Alon-alon asal kelakon". Alih-alih bekerja keras mewujudkan mimpi, kita malah bermimpi keras mewujudkan kerja. Di zaman sulit ini, banyak yang berpikiran mundur, "Masih enak zaman Pak Harto, semuanya murah." Yang lain menimpali, "Enakan zaman Belanda, biar mereka yang puyeng ngurus negara." Yang satu lagi bilang, "Paling enak zaman Adam & Hawa. Tinggal di Firdaus, cuma makan dan tidur."

Kondisi sosial masyarakat kita merupakan cerminan dari jiwa kita yang sakit. Yang salah dibela, tetapi yang benar disalahkan. Misalnya para PKL yang sudah tahu melanggar aturan dengan berjualan sembarangan, tetapi saat ditertibkan malah balik melawan petugas dengan dalih 'urusan perut'. Berjualan memang hak asasi tiap orang, tetapi kalau kita mendapatkan hak itu dengan merebut hak orang lain (membuat macet, menyerobot trotoar, membikin kotor), apakah itu pantas? Untuk kasus-kasus pelanggaran seperti ini, saya merekomendasikan tayangan Snapshot di MetroTV ;-) Contoh lain, Nurdin Halid yang tetap ngotot tidak mau mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI, padahal sudah jelas menjadi terdakwa kasus korupsi. Secara hukum dan etika, jelas Bang Nurdin pantas mundur. Bagaimana seorang narapidana mau memimpin organisasi dengan baik? Tetapi justru para pengurus PSSI pasang badan melindungi dia. Di saat mayoritas suporter ikut mendesak Nurdin mundur, ada sekelompok suporter yang masih nekad membela Nurdin dengan alasan harga diri orang Makassar. Apa hubungannya harga diri asal daerah dengan kriminalitas? Malah kalau Nurdin tetap bertahan, bisa-bisa FIFA dan AFC memberi sanksi berat pada timnas Indonesia. Rasanya peran para psikolog dan sosiolog perlu dilibatkan lebih jauh untuk membantu mengatasi masalah-masalah kronis ini.

Bagaimanapun kondisi saat ini, saya dengan jujur lebih menyukai Indonesia yang sekarang. Di era Orba, meski beban hidup terasa lebih ringan, sebagai etnis Tionghoa, saya sangat sering menerima perlakuan diskriminasi, baik terang-terangan maupun diam-diam. Padahal dulu di pelajaran PMP selalu diserukan sikap saling menghormati sesama tanpa membeda-bedakan yang ternyata hanya omong kosong. Bahkan dulu sekadar berjalan sendirian pun saya merasa cemas akan mengalami perlakuan rasial. Saat ini saya hampir tidak pernah menerima perlakuan rasial tersebut. Seakan semua orang telah sadar bahwa etnis Tionghoa pun juga anak bangsa yang sama-sama harus berjuang hidup di zaman serba krisis seperti ini.

Tulisan ini dibuat bukan untuk membenci bangsa dan negara saya sendiri, Indonesia. Justru karena saya masih mencintai Indonesia, saya mempersembahkan tulisan ini dan berharap agar ini menjadi refleksi kecil bagi kita semua untuk berubah ke arah yang lebih baik. Sebelum menuntut perubahan itu, mari ubahlah diri kita terlebih dahulu. Merdeka!

Rabu, 09 April 2008

Evolution vs Creation


Logo di atas adalah logo evolusionisme yang merupakan penghormatan terhadap Darwin. Bentuk ikan berkaki berarti seekor ikan yang berevolusi memunculkan kaki sehingga mampu mengekspansi daratan, sebuah keyakinan umum dalam teori evolusi. Sebelahnya merupakan parodi dari logo Darwin's Fish. Digambarkan seekor dinosaurus menyelubungi logo Darwin's Fish dengan tulisan 'TRUTH'. Hal ini terinspirasi dari temuan kontroversial mengenai jejak dinosaurus yang berdampingan dengan jejak kaki manusia di Sungai Paluxy, Texas. Meskipun hal ini tidak bisa dipastikan otentik tetapi mungkin saja benar, dan para kreasionis mengolok-olok evolusionis yang mengatakan bahwa dinosaurus telah punah sekitar 650 juta tahun lalu, sebelum manusia pertama muncul!

Saya yakin Anda pasti sering menemukan polemik perdebatan antara teori evolusi dengan teori penciptaan (creation) yang didukung agama. Bagi sebagian orang, evolusionisme adalah hal yang konyol karena mencoba meniadakan peran Tuhan dalam mencipta dunia. Tetapi bagi sebagian orang yang lain, kreasionisme juga dipandang konyol karena tidak ilmiah dan mencoba menghalangi tiap langkah sains dalam mengungkap peradaban manusia. Secara gampang, evolusi menganggap ikan memunculkan sirip dan insang karena tinggal di air, sementara penciptaan menganggap karena ikan diciptakan dengan sirip dan insang, ia ditempatkan di air.

Menurut Wikipedia (2008), evolusi adalah proses perubahan dalam jangka waktu tertentu. Contoh populer dari teori ini adalah jerapah yang tadinya berleher pendek, memanjangkan lehernya karena pohon-pohon yang menjadi makanannya terus meninggi. Teori evolusi pasti lazim kita temui karena diajarkan di sekolah, buku-buku, bahkan ada di film-film Hollywood. Evolusi memang tidak bisa dipisahkan dari Charles Darwin, ilmuwan biologi paling dikenal sepanjang masa. Ia mengungkapkan teori ini melalui bukunya, "The Origin of Species" (1859), setelah meneliti variasi spesies di Kepulauan Galapagos. Darwin berteori bahwa evolusi terjadi karena seleksi alam. Yang beradaptasi terus hidup, yang gagal mati (survival of the fittest). Belakangan biologi modern juga mengungkap bahwa mutasi gen dapat menyebabkan evolusi. Meskipun begitu, sebelum Darwin, sudah ada beberapa ilmuwan yang menerangkan ide yang sama. Tercatat Anaximander, filsuf Yunani Kuno, menduga manusia berasal dari ikan. Aristoteles sendiri berteori bahwa alam tersusun atas deretan tangga dimana paling bawah merupakan materi, lalu tingkat berikutnya adalah tumbuhan, hewan primitif, ikan, reptil, burung, mamalia, manusia, dan paling atas adalah dewa. Erasmus, kakek Charles Darwin juga pernah mengungkapkan ide bahwa cacing adalah nenek moyang mahluk hidup. Jean Baptiste de Lamarck juga menelurkan teori evolusi leher jerapah sebelum Darwin. Bahkan Alfred Wallace sempat berkonsultasi pada Darwin tentang idenya seleksi alam membentuk spesies, sebelum buku pertama Darwin diterbitkan. Tetapi saat itu evolusionisme masih belum diterima penuh sebagai pandangan yang lazim, bahkan oleh komunitas sains.

Titik balik kemenangan evolusionisme (bahkan sampai hari ini) dimulai dari perdebatan di Oxford pada tahun 1860 oleh British Association for the Advancement of Science. Thomas Huxley yang mewakili pandangan evolusi Darwin mampu meyakinkan audiens lebih baik daripada lawannya, Uskup Wilberforce yang mewakili kreasionisme. Sejak itulah komunitas sains secara kompak terang-terangan antusias mendukung teori ini. Berbagai penemuan fosil terus dikembangkan hingga di tahun 1891, Eugene Dubois menemukan tulang Pithecantropus erectus di Jawa, yang dianggap sebagai missing link antara manusia dan 'manusia kera'. Terus diperdebatkan akhirnya P. erectus diakui sebagai manusia seutuhnya dengan diganti namanya menjadi Homo erectus.

Darwin sendiri tidak pernah menyebut manusia berasal dari kera. Ia hanya mengungkapkan bahwa manusia dan kera berasal dari nenek moyang yang sama, primata primitif. Bahkan semua mahluk hidup diduga berasal dari 1 sel yang sama (common ancestor) bermilyar-milyar tahun lalu. Sebuah sel tunggal menjadi multisel, lalu menjadi amoeba - serangga - ikan - amfibi - reptil - mamalia - primata, dan manusia. Evolusi sel itu tidak berdasar pada satu garis lurus tetapi bercabang-cabang seperti pohon. Yang kontroversial adalah teori kehidupan pertama yang diajukan Gunter Wachtershauser di tahun 1988, bermula dari reaksi kimia yang terikat pada permukaan kristal dalam air garam yang mendidih di lautan! Zat-zat kimia itu lalu memperbanyak diri hingga membentuk kumpulan sel dan suatu saat satu sel yang beruntung menemukan klorofil. Saat terkena sinar matahari, mereka mendapat makanan pertama; CO2 dan air. Sama sekali tidak disinggung peran Tuhan! Tetapi bila benar bakteri ditemukan di planet lain, mungkin teori itu bisa saja benar.

Menurut film dokumenter BBC "Horizon: Missing Link" (2006), hampir semua mahluk adalah tetrapoda (berkaki 4). Fakta bahwa semua mahluk berstruktur sama (tulang punggung, kaki 4, jari 5) mengasumsikan bahwa semua spesies berasal dari mahluk yang sama. Untuk membuktikan itu para evolusionis menganggap hanya membutuhkan 2 fosil; tetrapoda pertama dan ikan yang menumbuhkan kaki. Para ilmuwan menemukan ikan purba Lobefin dari zaman Devonian yang mempunyai struktur tulang di siripnya. Lobefin eusthenopteron memiliki tulang kaki kecuali kaki dan jari. Diajukan suatu teori di Devonian yang terik, banyak kolam air yang mengering dan ikan-ikan terjebak di genangan. Untuk bertahan hidup, mereka harus bergerak ke tempat lain dengan menggunakan sirip seperti ikan rawa. Mereka akhirnya berevolusi memunculkan kaki dan jari. Di tahun 1930-an, Erik Jarvik dan timnya di Greenland menemukan fosil Ichtyostega yang diklaim sebagai tetrapoda pertama yang legendaris karena muncul di ilustrasi hampir semua buku-buku Biologi sebagai nenek moyangnya mahluk darat. Sekilas semuanya telah menjadi jelas. Tetapi antara Eusthenopteron dan Ichtyostega masih terlalu berbeda, Eusthenopteron tetaplah seekor ikan meski mempunyai tulang kaki primitif dan Ichtyostega tidak hanya telah mempunyai jari dan kaki, tetapi juga tulang rusuk dan panggul yang menempel pada tulang belakang. Mereka butuh sebuah fosil transisi antara 2 mahluk ini, separuh ikan-separuh tetrapoda. Transisi dianggap terjadi dalam evolusi karena perubahan lingkungan yang drastis. Masalahnya fosil transisi sangat amat langka karena mereka diduga hanya berjumlah sedikit dan hidup pendek akibat kalah bersaing dengan keturunannya. Hampir seratus tahun Paleontologi berkembang, hanya satu fosil transisi yang diakui secara kredibel; Archaeopteryx, transisi antara dinosaurus dan burung. Langkanya fosil transisi inilah yang dijadikan tameng kreasionis untuk meledek evolusionis.

Di tahun 1938 di Afrika Selatan, paleontologi geger! Marjorie Courtenay-Latimer membawa bangkai ikan purba, Coelacanth yang diduga telah punah 76 juta tahun lalu. Coelacanth dianggap merupakan perkembangan dari Eusthenopteron. Dr. J.L.B. Smith memeriksa bangkai itu dan mengungkapkan bahwa itu benarlah transisi antara ikan dan tetrapoda. Smith bahkan menduga Coelacanth berjalan di dasar laut! 13 tahun kemudian, Smith berhasil menemukan seekor hidup-hidup dan ternyata Coelacanth berenang layaknya ikan biasa. Satu lagi pukulan telak dari kreasionis setelah fakta bahwa Coelacanth yang dianggap punah ternyata masih hidup. Ikan purba ini bahkan pernah ditemukan di perairan Sulawesi di tahun 1999. Sebagai informasi tambahan yang terpisah, di National Geographic Indonesia, pernah dimuat berita mengenai hiu epaulette yang dalam kondisi normalnya ternyata berjalan di dasar laut! Hiu itu mendorong tubuhnya dengan siripnya yang berotot untuk bergerak maju. Namun bila merasa takut, ia akan berenang menggunakan siripnya.

Pada tahun 1987, Jenny Clark dan muridnya, Per Ahlberg berangkat ke Greenland dengan misi menemukan fosil transisi. Mereka gagal tetapi menemukan fosil yang sama langkanya, fosil tetrapoda lain sepupu Ichtyostega, yaitu Acanthostega. Kedua fosil itu mengindikasikan bahwa mereka berkembang dari mahluk yang sama. Anehnya, Acanthostega punya 8 jari! Hal ini meruntuhkan mitos semua tetrapoda punya 5 jari. Jika asumsi dasar sains selama 100 tahun salah, apa lagi yang juga salah? Kreasionis terus menyoraki setiap kekeliruan evolusionis. Sekarang ilmuwan menduga bahwa mahluk pertama yang berkaki pastilah mempunyai banyak jari awalnya lalu menguranginya secara bertahap hingga menjadi 5. Kaki pada Acanthostega ternyata tidak sesuai untuk berjalan di darat karena tidak punya pergelangan kaki, lagipula ia bernafas dengan insang. Melihat ini, Clark lantas meneliti kembali Ichtyostega, anak-emas Jarvik. Ternyata jarinya 7 dan juga tidak ada pergelangan kaki! Tidak ada yang tahu mengapa Jarvik tidak mengabarkan ini pada dunia sebelumnya. Asumsi sebelumnya bahwa ikan mengembangkan kaki menjadi tetrapoda di darat berubah kepada ikan yang mengembangkan kaki menjadi tetrapoda saat masih di dalam air. Tetapi untuk apakah kaki di dalam air?

Ted Daeschler, paleontolog Amerika di tahun 1993, mengungkap fakta baru. Ternyata zaman Devonian bukanlah gersang dan tandus, tetapi subur seperti hutan tropis! Kekeliruan evolusionis terus bertambah dan senyuman kreasionis makin lebar. Bumi mungkin pernah tandus tetapi era akhir Devonian sangat basah. Para ilmuwan berasumsi pastilah banyak sungai dan karenanya muncul rawa-rawa, setengah darat-setengah air, tempat tepat untuk kaki tetrapoda! Mereka menggunakannya untuk setengah berenang-setengah berjalan di ekosistem yang baru itu layaknya salamander. Kaki itu juga dapat digunakan untuk lari dari predator ke daerah rawa. Di tempat yang sama, Daeschler dan timnya menemukan fosil ikan Lobefin predator berukuran raksasa, Hyneria. Satu jawaban didapat tetapi fosil transisi ikan-tetrapoda tetap lenyap.

Evolusionis akhirnya membalas dengan satu serangan telak yang tak diduga-duga, Per Ahlberg kebetulan menemukan fosil unik di museum tua di Latvia. Fosil potongan rahang (jawbone) itu dinamainya Livoniana. Untuk membuktikan bahwa Livoniana adalah transisi antara ikan dan tetrapoda, ia melakukan Cladistic Analysis. Hasilnya adalah Livoniana diklaim benar-benar sebagai separuh ikan-separuh tetrapoda. Melalui film dokumenter ini, BBC mengatakan bahwa teka-teki Darwin tentang bagaimana kita mengembangkan kaki telah berhasil dipecahkan.

Seakan-akan mendukung opini dan kesimpulan BBC di atas, Kompas.com edisi 22 Mei 2008, bagian Sains, memuat berita tentang ditemukannya fosil katak-salamander berusia 290 juta tahun, oleh para ilmuwan Kanada. Fosil 'Frogamander' ini diberi nama Latin, Gerobatrachus hottoni, dan dianggap sebagai mata rantai antara fosil purba dan fosil modern yang menjadi nenek moyang katak dan salamander. Gerobatrachus memiliki bentuk antara katak dan salamander, dengan tulang pergelangan kaki serupa dengan tulang salamander, tengkorak lebar serupa katak, dan tulang belakang yang serupa perpaduan keduanya. Fosil tersebut memunculkan dugaan bahwa amfibi modern mungkin berasal dari dua kelompok, di mana katak dan salamander berasal dari amfibi purba yang disebut temnospondyl. Gerobatrachus hottoni sendiri pertama kali ditemukan di Texas tahun 1995 oleh tim peneliti dari Institusi Smithsonian, yang salah satu anggotanya adalah almarhum Nicholas Hotton.

Evolusionisme pernah mencatat beberapa sejarah hitam. Pada tahun 1912, Charles Dawson mengumumkan tengkorak manusia purba yang dikenal dengan "Manusia Piltdown (Eoanthropus dawsoni)". Ilmuwan Inggris menganggapnya sebagai kunci hubungan antara kera dan manusia. Di tahun 1953 dengan sejumlah penelitian baru, barulah diketahui Manusia Piltdown merupakan tengkorak Homo sapiens abad pertengahan dengan rahang bawah milik orangutan dan gigi simpanse! Selanjutnya di tahun 1979, atas ketelitian Berman dan McIntosh, Institut Carnegie di Inggris mengakui telah meletakkan tengkorak kepala yang salah pada Brontosaurus! Kepala itu adalah milik Apatosaurus, karenanya Brontosaurus tidak pernah ada. Lucunya informasi kepala yang salah itu sebenarnya sudah muncul di tahun 1909 dan 1915, tetapi tidak ditanggapi. Butuh waktu hampir 40 tahun untuk mengungkap kedua kasus di atas!

Puncak ketragisan terjadi saat seorang suku kerdil Afrika, Pygmy, bernama Ota Benga, dibawa oleh Samuel Phillips Verner ke Amerika pada tahun 1906. Disana ia dibawa ke Kebun Binatang Bronx di New York, atas saran Hermon Bumpus, Kepala American Museum of Natural History. Semula Benga diizinkan untuk membantu memberi makan hewan, tetapi kemudian ia disediakan tempat tidur gantung di area monyet. Benga tiba-tiba dipamerkan di kebun binatang bersama-sama dengan orangutan atas sepengetahuan William Hornaday, kepala Kebun Binatang Bronx. Bahkan disediakan papan informasi mengenai Benga bagi pengunjung layaknya hewan lainnya. Hornaday melihat pertunjukan itu sangat berharga karena Benga dianggap sebagai salah satu 'mata-rantai' antara kera dan manusia hingga Hornaday terpaksa menyudahi aksi dalam sehari itu setelah dikecam publik sebagai tindakan rasis. New York Times edisi 10 September 1906 menyindirnya dengan ucapan, "...kita mengirim misionaris ke Afrika untuk mengkristenkan orang, dan kemudian membawanya kemari untuk membarbarkan dia." Atas sponsor gereja, Benga dibawa dan diberi pendidikan formal. Tetapi ia tidak menyukainya sehingga bekerja di pabrik tembakau. Diduga karena depresi akibat tidak bisa kembali ke Afrika dan terus menjadi objek berita di Amerika, di tahun 1916, Benga bunuh diri dengan pistol curian. Kisah ini dirangkum dari informasi di Wikipedia "Ota Benga" (2008). Berusaha menebus 'dosa' kakeknya, Phillips Varner Bradford menerbitkan buku biografi Ota Benga bersama Harvey Blume, dengan judul "Ota Benga: The Pygmy in The Zoo" di tahun 1992.

Evolusionisme memang membawa pengaruh negatif di bidang sosial. Mayoritas Darwinian pernah beranggapan bahwa beberapa ras manusia merupakan ras yang lebih rendah sehingga membenarkan perlakuan rasialis terhadap mereka dengan dalih 'seleksi alam'; Ras yang lemah dan terbelakang akan digantikan oleh ras yang lebih kuat dan cerdas. Implikasinya, tindakan perbudakan kaum negro, pemusnahan suku-suku primitif, dan pembantaian Yahudi oleh NAZI (holocaust) menjadi hal yang dibenarkan. Tetapi itu adalah pandangan kadaluwarsa. Saat ini, hampir semua orang (bahkan kaum evolusionis) menganggap semua manusia setara dan sepakat bahwa teori evolusi hanya diterapkan dalam kajian biologi secara ilmiah. Darwinisme Sosial juga pernah menjadi credo kapitalisme. Lagi-lagi dengan alasan 'seleksi alam', kompetensi ekonomi yang brutal harus diadakan demi efisiensi seperti yang ditunjukkan alam. Lagi-lagi pandangan ini juga sudah lama disingkirkan setelah munculnya Marxisme dan kaum buruh mempunyai posisi tawar lebih baik dalam Serikat Pekerja modern.

Sejak awal kaum kreasionisme terus berpegang pada keyakinan tradisional bahwa Tuhan menciptakan semuanya sama dari dulu hingga sekarang (tanpa nenek moyang, tanpa transisi). Dunia dicipta dalam 6 hari, bukan milyaran tahun. Mereka mencela evolusi yang bersifat acak dan kebetulan sebab Tuhan menciptakan semuanya selalu dengan alasan. Tetapi keyakinan religius saja tidak cukup membendung serangan antusias kekayaan teori evolusi, sehingga memunculkan Sains Penciptaan, sebuah ilmu pengetahuan ilmiah yang mendukung teori penciptaan. Kreasionisme yang sebelumnya dipandang tidak ilmiah mendadak menjadi ilmiah! Sains Penciptaan mencoba menjelaskan hal-hal seperti banjir Nuh, akhir zaman es, munculnya fosil, bahkan variasi ras manusia keturunan Nuh, secara ilmiah dan sesuai dengan Alkitab.

Hal ini harusnya bisa diapresiasi lebih karena di saat evolusionis terus mencari dan menemukan data-data baru, kebanyakan kreasionis hanya berpangku tangan sembari mengucapkan, "Tuhan yang menciptakan. Hanya Tuhan yang tahu." Atau mungkinkah evolusi adalah cara Tuhan mencipta? Tentu saja kaum kreasionis dengan mudah menghindari pertanyaan ini dengan jawaban, "Alkitab tidak pernah menulis demikian." Sayangnya saat ini sains modern kelihatannya terus berpihak pada Darwin, bahkan teori evolusi terus berkembang dan diperbarui. Lembaga-lembaga ilmiah yang selama ini terkenal kredibel; National Geographic, Discovery Channel, dan BBC, juga selalu mendukung riset-riset yang berbasis evolusionisme. Aneh bukan bila dipikir secara sederhana; mengapa dunia masih ngotot memakai evolusi bila terbukti tidak akurat seperti yang dituduhkan kreasionis? W. Stanley Heath, seorang kreasionis, melalui bukunya, "Sains, Iman & Teknologi" (1986), menuduh bahwa para ilmuwan sekuler menolak penciptaan karena bila mereka menerimanya, mereka juga harus menerima semua aturan dan larangan di Alkitab. Seorang ilmuwan evolusionis memberikan jawaban yang lain, bahwa teori evolusi merupakan pemikiran yang paling dapat diterima akal manusia, berbeda dengan ajaran agama. Karena belum ada teori lain pengganti yang lebih baik, maka teori evolusi tetap diterima.

Di tahun 1925, seorang guru biologi di Tennessee, John Scopes dituntut ke pengadilan karena mengajarkan teori evolusi dan itu bertentangan dengan hukum negara bagian tersebut. UU itu melarang pengajaran teori evolusi di sekolah negeri. Scopes dinyatakan bersalah dan didenda 100 dolar. Kasus yang dikenal dengan 'pengadilan kera' (monkey trial) ini kemudian dikecam oleh seluruh penjuru Amerika, sehingga pada tahun 1927, pengadilan banding membatalkan keputusan itu dan akhirnya UU Anti Evolusi itu dicabut di tahun 1967. Sebaliknya saat ini hampir semua para guru IPA dan Biologi mengajarkan teori evolusi semata, sesuai dengan buku-buku teks, kepada para siswa. Materi teori penciptaan hanya didapat di mimbar-mimbar gereja. Sebaiknya siswa haruslah mendapat teori alternatif. Berilah pengetahuan teori evolusi tetapi berilah juga pengetahuan tentang penciptaan atau sebaliknya, sehingga anak akan menjadi individu yang berwawasan luas dan biarkan ia kelak memilih pemahamannya sendiri.

Terlepas dari teori mana yang benar (rasanya perdebatan ini tidak akan pernah selesai), dunia dan kehidupan di dalamnya yang sangat beranekaragam dan indah ini, tetaplah sebuah maha karya yang luar biasa. Tetapi andai evolusi itu sungguh ada, kelak akan berevolusi menjadi apakah kita, Homo sapiens? Rasanya Darwin tersenyum nakal di alam kubur sana :-)

Jumat, 04 April 2008

Ballad of the Enchanted Princess


Sudah melihat iklan sabun Lux yang baru di televisi, Lux: Magic Spell? Iklan ini bercerita tentang seorang gadis biasa yang kelihatannya hidup di Abad Pertengahan di Eropa. Suatu saat ia berjalan-jalan di hutan dan menemukan sebuah sabun 'ajaib'. Ia menggunakannya untuk membersihkan badan di sungai dan seusainya, gadis ini berubah menjadi seorang gadis yang luar biasa. Hewan-hewan pun terpikat entah akan kecantikannya atau keharumannya. Ia kembali ke kota dengan penampilan yang berbeda. Semua pria di kota, tua dan muda sama-sama terpikat seperti halnya hewan-hewan di hutan. Akhirnya ia mengubah suasana kota itu menjadi lebih hidup. Semuanya dimulai dari sebuah sabun.

Kelihatannya seperti dongeng klise yang sempurna, ya? Gadis biasa menjadi putri cantik yang digilai seluruh pria. Tetapi bila kita perhatikan secara visual, iklan ini dapat diinterpretasikan berbeda dari persepsi di atas. Iklan yang dibuat dengan teknik stop-motion ini awalnya menampilkan sosok gadis (bagi saya mirip dengan Rianty Cartwright) yang feminim dan klise, yaitu berambut panjang, bergaun pink, dan membawa keranjang. Namun sosok itu cukup sesuai menggambarkan gadis feminim yang anggun. Anehnya saat ia menemukan sebuah sabun di hutan, ada persepsi bahwa gadis ini tuna netra karena ia lebih terlihat seperti meraba-raba daripada mengambil sabun dan bola matanya juga terlihat mengarah ke atas (padahal sabunnya di tanah). Selesai mandi di sungai, justru penampilan si gadis menjadi kontroversial!

Rambut yang tadinya kering dan bergelombang kini berganti menjadi wetlook yang sedikit liar berantakan. Baju gaun yang anggun mengembang berubah menjadi baju terusan yang dimulai dari belahan dada rendah dan berakhir pada rok mini. Si gadis feminim berubah menjadi gadis yang sensual! Tetapi entah mengapa penampilan seksinya justru memberi kesan bahwa si gadis 'alim' bertransformasi menjadi gadis 'nakal' yang menggoda. Yang lebih gawat lagi, di scene terakhir, pemandangan senja di kota itu berubah menjadi malam hari dan rumah-rumah yang dilewati gadis itu mendadak mempunyai puluhan lampu-lampu neon signboard yang berkelap-kelip semarak layaknya sebuah red district. Jadi, apa sebenarnya makna yang mau disampaikan di balik visualisasi iklan ini? Sekadar dari gadis biasa menjadi gadis luar biasa dengan dramatisasi iklan ataukah dari gadis alim menjadi gadis 'nakal' yang mengubah kotanya menjadi sebuah lokalisasi? ;-)

Tantangan Seorang Graphic Designer

"Cita-cita kamu apa, nak?" tanya seorang bapak kepada anak kecil. Anak itu lalu menjawab, "Desainer grafis, pak!"? Dapat dipastikan bapak itu akan mengerutkan kening dan menganjurkan anak itu memilih profesi lainnya yang klise; dokter, pilot, arsitek, atau bahkan presiden :-) Bukan ingin membela pilihan favorit saya sendiri, saya hanya ingin menunjukkan kalau profesi Graphic Designer masih sangat asing di telinga dan masih kurang terhormat di mata kita. Padahal dewasa ini, banyak juga desainer profesional yang hidup berkecukupan. Peralatan kerjanya saja kalau ditotal bisa mencapai puluhan juta rupiah, masa hasil yang didapat kurang dari itu, kalau memang kerjanya bagus?

Saat saya lulus kuliah, kembali saya ditanya, "Lulusan jurusan apa, dik?" Saya jawab, "Desain Grafis, Oom." Bapak itu menimpali, "Oo, yang gambar-gambar itu ya? Kelihatannya sekarang lagi banyak dicari tuh." Jawaban ini mencerminkan dua hal; optimisme dan pesimisme. Si Optimistis bilang, "Wah, banyak yang nyari, berarti kesempatan kerja terbuka lebar!" Sementara Si Pesimistis bilang, "Justru banyak yang nyari, pasti semua peluang udah disamber orang!" Faktanya, memang seiring meningkatnya kesadaran masyarakat modern terhadap pentingnya desain, profesi ini memang lagi laris-manis dicari. Mahasiswa jurusan ini tiap tahun selalu meningkat di mana-mana, bahkan mungkin bisa menggeser jurusan favorit, Manajemen atau Arsitektur. Tetapi fakta juga berbicara bahwa banyak juga lulusan DKV (Desain Komunikasi Visual) yang masih menggangur. Selain karena memang persaingan kerja yang tajam akibat melimpahnya lulusan DKV, sebenarnya kalangan industri juga mengeluhkan kualitas dan mental mereka yang terbukti masih tidak siap kerja.

Desainer Grafis, terutama lulusan DKV (Desain Komunikasi Visual) seharusnya tidak melulu hanya menguasai craftsmanship, tetapi juga konsep berpikir yang matang. Bila kita hanya tahu soal mendesain di depan komputer tanpa konsep (hanya asal klien senang), berarti kita adalah tukang desain. Inilah yang kebanyakan tidak dimiliki oleh para lulusan DKV. Hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan banyak berkecimpung di dunia kerja saat kuliah (magang atau freelance) sehingga kita sudah mempunyai bekal pengalaman kerja. Bila Anda terlanjur lulus tanpa pengalaman kerja cukup, buatlah portfolio yang meyakinkan. Kondisi industri kita kebanyakan memang hanya menerima pegawai dengan pengalaman kerja. Padahal para lulusan fresh graduate harus bekerja dahulu barulah bisa mempunyai pengalaman kerja, bukan? Mirip dengan teka-teki enigmatis, "Mana yang lebih dulu antara ayam dan telur?" :-)

Ada pula fenomena-fenomena Graphic Designer dadakan. Bermodalkan kursus 3 bulan soal software pengolah grafis, mereka dengan gagah membuka jasa "Desain Grafis". Hasilnya ya itu tadi, asal klien senang. Fee design yang biasanya dicharge sebesar 10% pun menjadi free design akibat kemurah-hatian mereka. Inilah yang merusak nama Graphic Designer sungguhan yang berusaha bersikap profesional. Seharusnya seorang desainer memang harus profesional, ia mempunyai kegiatan yang terjadwal dengan perincian budget (termasuk fee design). Ia juga harus mampu melakukan presentasi (bila tidak diwakili AE), mempersuasi klien, dan mau melakukan riset atas dasar teori-teori branding (positioning, brand essence, human insight, USP, IMC, dsb). Kegiatan terjadwal berarti tanggal sekian mempresentasikan thumbnail karya, berikutnya membuat mock-up, tanggal sekian langsung test-print. Tidak ada alasan molor gara-gara belum ada inspirasi (kita desainer, bukan seniman). Desainer juga harus ikut mengawasi dari proses briefing hingga printing agar semua berjalan sesuai kesepakatan. Ada baiknya desainer juga berani memberi layanan aftersale, dengan memberi garansi atau menerima komplain dari klien seusai selesainya sebuah desain. Seorang desainer yang baik juga sangat direkomendasikan mempunyai portfolio bagus dan online. Ini menunjukkan profesionalisme desainer sehingga klien pun juga dituntut berlaku profesional, salah satunya dengan membayar fee design tadi karena dalam mendesain, desainer juga bekerja menggunakan otak tidak hanya tenaga atau sense of art saja.

Dosa tidak hanya ada pada desainer. Para klien pun ada yang tampil sebagai tokoh antagonis. Misalnya, kasus yang umum adalah klien-klien yang dengan seenaknya memutus kontrak di tengah jalan dan membawa kabur ide desainernya tersebut. Ada pula klien berbudget terbatas yang nekad membujuk supaya fee design tidak usah disertakan dan ujung-ujungnya menawar total purchasing serendah mungkin dengan alasan efisiensi. Banyak klien yang tidak menghargai jerih-payah desainer karena mereka kurang memahami esensi desain. Saya mengalami sendiri sewaktu masih magang, saat mendesain project di samping klien langsung. Melihat saya yang 'cuma' mengutak-atik tampilan grafis proyeknya di depan monitor, si klien dengan enteng berkata, "Enak ya kerjanya, dik. Kerjanya santai main-main komputer gini sudah dapat bayaran." Saya sih waktu itu cuma tersenyum dongkol saja :-)

Kaum pelaku industri pun juga ada yang bermain dosa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka sebisa mungkin menuntut desainer menjadi "Superman" dengan menguasai semua software grafis; Photoshop, FreeHand, Illustrator, CorelDraw, InDesign, 3D-Max, Flash, DreamWeaver, Premiere, bahkan AutoCAD. Mungkin hal ini dipacu dari maraknya pembajakan software di tanah air, sehingga orang dengan mudah mendapat dan menguasai program-program tesebut. Kalau di luar negeri, 1 software dijual bisa seharga jutaan rupiah, makanya mereka jarang menguasai banyak program dan hanya memfokuskan diri pada satu atau dua software saja. Polemik ini masih kadang-kadang ditambah dengan tuntutan agar desainer juga mampu menggambar manual dengan baik. Mereka harusnya menyadari bahwa desainer seperti dokter juga mempunyai spesialisasi dalam bidangnya (ilustrasi, animasi 3D, web design, audio-visual, dsb).

Semua dilema ini mungkin bisa diatasi dimulai dari dibenahinya kurikulum jurusan DKV di seluruh universitas agar sesuai dengan kondisi nyata industri profesional. Jadi mahasiswa tidak hanya mendapat teori, tetapi juga praktek. Kerja magang juga seharusnya diwajibkan dengan waktu minimal 3 bulan supaya mahasiswa benar-benar merasakan atmosfer dunia desain sesungguhnya. Selebihnya, pelaku industri desain sendiri juga harus mau memahami batasan-batasan desainer sebagai manusia biasa. Klien juga harus menghargai posisi desainer secara wajar dan sebaliknya desainer pun harus bertindak profesional pula.

Terakhir, persaingan kerja sekarang sudah 'berdarah-darah'. Bayangkan untuk menjadi satpam saja harus berijazah SMA, menjadi sopir taksi Blue Bird minimal berijazah D-3, dan menjadi pegawai tempat dugem di Jakarta, harus berijazah S-1! Tetapi persaingan itu hendaknya menjadikan kita lebih ulet dan kreatif tanpa menjual jati-diri sebagai desainer. Omong kosong kita menolak bekerja secara profesional dengan alasan menjual idealisme. Memang kadang kita harus kompromi dengan komersialisme, karena di situlah duitnya desainer ;-) Apa Anda sudah puas dengan hanya menjadi desainer kaos distro atau desainer logo band metal underground dari antah-berantah? Justru banyak desainer-desainer kelas dunia yang sangat komersial, namun saat senggang barulah menciptakan desain-desain idealisnya. Semoga di waktu mendatang, kita tidak kaget bila anak kita kelak menjawab bahwa cita-citanya ingin menjadi seorang Graphic Designer, sama terhormatnya dengan dokter, pilot, arsitek, atau presiden.