Minggu, 03 Agustus 2008

"Enjoy Jakarta" (Case of Citizen Journalism)


Slogan "Enjoy Jakarta" tentu sudah sangat familiar di telinga warga ibukota, seiring dengan antusiasme Pemkot DKI Jakarta untuk menjadikan Jakarta Raya sebagai salah satu tujuan wisata favorit kepada turis-turis asing yang selama ini hanya tersedot ke Bali semata. Positioning sebagai kota megapolitan yang modern, surga belanja (peluncuran Jakarta Great Sale yang diharapkan mampu mengganyang Great Singapore Sale), wahana-wahana wisata modern (Ancol/Dufan/TMII), kota dengan sentuhan multikultur (Betawi, Portugis, Belanda, Arab, dan Tiongkok), hingga kampanye 'Djakarta Tempo Doeloe' ala Batavia dan Sunda Kelapa. Belum lagi magnet wisata non-official di pinggiran jalan saat malam hari, ekstrim kuliner! Mulai dari sate biawak, sate kuda, daging ular, hingga sajian otak monyet ikut meramaikan hiruk-pikuk daya jual Jakarta.

Namun hingar-bingar makna "Enjoy Jakarta" itu hanya bisa kita resapi saat kita mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan modern. Mal-mal pada era saat ini telah menjelma menjadi 'Katredal Baru' bagi banyak orang Jakarta dengan ritualnya melestarikan konsumerisme. Memang kecintaan masyarakat terhadap mal bukannya tanpa alasan. Hanya di dalam mal, kita mendapatkan kenyamanan dan kemewahan. Sejuknya AC, harumnya pengharum udara yang khas, eskalator yang setia mengantar langkah kita, serta produk-produk yang memanjakan mata, membuat para jemaat 'Katredal Baru' ini seakan merasa berdosa bila tidak mengunjunginya tiap kali ada waktu senggang dalam jadwal mereka. Bila kebetulan rezeki belum mencukupi, window shopping pun tak jadi soal, yang penting keteduhan hati didapatkan dengan berjalan-jalan di mal. Kondisi ini didukung dengan sangat minimnya tersedia tempat-tempat hiburan publik lainnya yang layak, sehingga pilihan pun lagi-lagi jatuh pada pusat perbelanjaan kapitalis. Menikmati frappuccino Starbucks di area terbuka Senayan City, lengkap dengan jari-jari menari lincah di atas laptop dengan koneksi internet hot-spot, jelas lebih menggiurkan daripada berjalan-jalan di taman-taman kota yang remang-remang tak terawat.

Di luar koridor mal-mal yang nyaman tersebut, kita hanya bisa menemukan nestapa ibukota. Panas terik yang menghujam bumi, antrian panjang mesin-mesin transportasi yang memaksa para pemiliknya menjadi tua di jalanan, udara yang terkontaminasi karbon monoksida, gema sumpah-serapah yang bersahut-sahutan, dan ajang gagah-gagahan para preman ibukota, seakan melengkapi gedung-gedung tinggi Jakarta yang kelam tak bernyawa. Di kota inilah setiap wajah seakan saling berhimpitan memperebutkan selembar Rupiah. Sesuap nasi, seteguk air, dan susu untuk anak, adalah doktrin yang sangat efektif untuk membangkitkan naluri memerintah tubuh dan menyingkirkan nurani serta cinta. Para pujangga menyebut kondisi ini sebagai 'Neraka Jahanam Kecil di tengah-tengah Surgaloka Gemah Ripah Loh Jinawi".

Di jalanan, semua manusia seakan-akan berpacu dengan bayangan mereka sendiri. Tak heran lampu lalu-lintas (traffic light) seperti hanyalah sebuah mesin tua usang yang tak berwibawa di hadapan sepeda motor, bus umum, bajaj, dan metromini. Kehadiran busway yang diharapkan menjadi penyelamat tragedi kemacetan, ternyata hanya menambah keruwetan lalu lintas karena menghilangkan satu lajur dari tiga lajur jalan sebelumnya. Dua lajur tersisa tentu saja tak kuasa menahan gempuran mesin-mesin perang jalanan yang jumlahnya masih tetap. Seorang pejabat tinggi berdalih justru kondisi dua lajur yang penuh-sesak itulah yang diharapkan dapat memaksa warga ibukota segera beralih kepada busway. Namun ia mungkin lupa bahwa akses rute busway belum menyentuh setiap sudut Jakarta. Sedangkan kondisi transportasi publik lainnya masih sangat memprihatinkan. Pantas warga Jakarta enggan turun dari atas singasana nyaman kendaraan pribadi mereka, meski terus kesal di jalanan luar sana.

Menyadari bahwa busway tidak akan mampu mengemban misi melelehkan kemacetan akut sendirian, Pemkot Jakarta kembali menelurkan gagasan ambisius, proyek monorel. Transportasi publik ini diharapkan hanyalah awal dari sistem Mass Rapid Transport yang akan dikembangkan seluruhnya kelak. Suara-suara optimis yang mengatakan bahwa kota sebesar Jakarta sudah sepantasnya mempunyai subway train, semakin bergaung. Gaung yang hanya akan menabrak dinding sia-sia bila kita melihat keterbatasan lahan dan biaya yang jelas sangat fantastis, meskipun memang kebutuhan akan MRT sudah sangat mendesak. Dan saat ini kita dapat melihat sisa-sisa gaung optimisme tersebut melalui tiang-tiang monorel yang hanya berdiri bisu menunggu entah sampai kapan diselesaikan. Tiang-tiang itu seperti coretan-coretan angkuh vandalisme yang menghiasi kanvas lukisan paronama kota. Dapat dibayangkan bila proyek subway train harus mengalami kondisi serupa, terowongan yang telah digali berkilo-kilometer harus resah menunggu penyelesaian proyek. Dapat dipastikan Jakarta akan mempunyai wisma penampungan para pemulung dan gelandangan terpanjang di dunia!

Pemkot Jakarta memutar otak untuk mencari cara lain mengurangi volume kendaraan pribadi di jalan-jalan. Lahirlah Peraturan Daerah tentang Kawasan Pengendalian Lalu Lintas di jalan-jalan tertentu yang mewajibkan tiap kendaraan pribadi memuat sedikitnya 3 orang (Three in One). Aturan baru ini semula memberatkan para pengguna mobil pribadi yang sebelumnya bebas berlalu-lalang sendirian. Pada akhirnya, sesuai hukum ekonomi, every demand has its supply, muncullah para pahlawan-pahlawan tak bernama di pinggiran jalan protokol. Mereka selalu datang dan menghilang tepat waktu (07.00-10.00 dan 16.30-19.00) dan hanya diketahui dengan panggilan populer, Joki 3 in 1. Sebuah lahan bisnis baru mutualis yang menghadirkan kreativitas khas Indonesia.

Semula kemunculan para joki ini mungkin bermula dari tawaran spontan pengendara-pengendara mobil yang terdesak harus melewati kawasan 3 in 1. Begitu menjalani aktivitas ini, mendadak mereka mendapat sebuah pencerahan! "Naik mobil gratis trus dikasih duit, coi!", demikian mungkin isi kampanye yang tersebar. Akhirnya bisnis ini berjalan sangat pesat melalui komunikasi pemasaran word of mouth tersebut. Bila semula hanya tersedia 3-4 para joki yang menjajakan absensi raganya, kini sepanjang jalan 2 kilometer, tersedia sekitar 100 joki yang sigap memenuhi permintaan pasar. Suplai yang diajukan pun sangat bervariasi, mulai dari pria berpakaian rapi ala pekerja kantoran, anak-anak jalanan yang kumuh, ibu-ibu yang menggendong bayi (paket hemat including 2 persons in one-take), para pelajar berseragam, perempuan muda yang mengerling penuh makna, hingga cowok-cowok muda yang berdandan gaul (mungkin mengharapkan pengendara mobilnya cewek cantik, seksi, kaya, dan single). Namun tentu selalu ada cerita pahit di balik warna-warni kocak penampilan para joki tersebut. Seperti kisah joki kecil bernama Aisah yang masih berusia 7 tahun dan sudah merasakan kerasnya berjuang di jalanan Jakarta mencari lembaran Rupiah. Celoteh polos Aisah dan kawan-kawannya mungkin hanya akan menjadi kenangan masa lalu bila Pemkot Jakarta jadi mengadopsi sistem Electronic Road Pricing, seperti di Singapura, untuk menggantikan sistem 3 in 1.

Jakarta juga menyimpan album potret buram mengenai eksploitasi pekerja anak di bawah umur. Mungkin mata kita telah bosan selalu mendapati pemandangan gadis kecil berusia sekitar 8 tahun, menggendong adiknya yang balita di tengah-tengah lampu merah, mengadahkan tangannya sekadar meminta sekeping-dua keping logam. Namun puncak tumpahnya air mata nurani adalah saat menyimak cerita polos dari Robiatul, remaja lugu dari desa, berusia 16 tahun yang harus menjalani profesi menjadi sexy dancer di sebuah klub malam, berlenggak-lenggok memuaskan mata-mata biadab setiap malam tiba, kemudian pasrah menyerahkan kehangatan tubuh belianya memudar di atas ranjang lusuh, setelah sebuah jari milik binatang bertopeng manusia menunjuk dirinya untuk menemani.

Inilah realita hitam yang selalu setia mengintip di balik tiap tarikan nafas kita di ibukota. Di saat banyak orang yang harus menjual harga dirinya demi menyambung nyawa, tersiar kabar pernikahan seorang gadis cantik keponakan orang terkaya di republik ini, yang menghabiskan total biaya 10 Milyar Rupiah. Di saat ada seorang ibu yang frustasi membunuh bayinya sendiri akibat kelaparan, jumlah keanggotaan Klub Ferrari Indonesia semakin meningkat. Mungkin memang sisi kemanusiaan manusia Indonesia perlahan semakin terkikis ombak modernisasi dan hedonisme.

Saya memang bukan warga asli Jakarta. Jujur, saya mengalami cultural shock saat pertama kali harus hidup sendirian di bumi ibukota. Semuanya serba kacau dan egois, seakan keramahan khas nusantara hanyalah mitos antah-berantah. Meskipun begitu, Jakarta tetaplah merupakan tumpukan gula raksasa yang manis bagi semut-semut pendatang untuk berkoloni. Sudah sering kita mendengar ungkapan, "Ibukota lebih kejam dari ibu tiri", tetapi kaum urban dari pelosok tanah air tetap berduyun-duyun memasuki rimba belantara megapolitan membawa sejuta asa dan harapan masing-masing. Mungkin ada yang salah dengan konsep pembangunan di republik ini, sehingga semuanya harus tumpah-ruah meluber di Jakarta.

Apakah Anda juga merindukan sebuah kota yang megah dan modern namun menebarkan pesona keramahan yang manusiawi kepada setiap orang? Apa boleh buat, Jakarta sudah seperti ini, perlu kesadaran tingkat tinggi dari semua pihak untuk membenahi Jakarta bersama-sama. "Enjoy Jakarta, Mister! Enjoy your walking-walking, Madam! Let's give Jakarte to the expert!" :-)


4 komentar:

**Erika mengatakan...

aku juga termasuk salah satu semut yang menuju sumber gula kapas ini,
terakhir kali meninggalkan surabaya, aku bertekad untuk kembali lagi secepatnya...
but now, here I am...
mulai tergoda oleh madu dan racun ibukota,
memabukkan memang, tapi menantang dan penuh gairah...XD

Anonim mengatakan...

robert.. ini blog enak dibaca, info2nya juga lumayan bagus2 dan karena g tau nya baru skarang, jadinya ada beberapa yang cerita lama.. hehehe.. keren2.

haha.. ternyata, banyak juga temen g yang rajin nge-blog.. ;p
sep.. sep..

Irvan Prayogo mengatakan...

manteb bet .. jarang ngepost tpi sekalinya ngepost isinya keren :D
di modip donk tampilannya bet, kayak punya erika tu, kan anak desain grafis ..

Anonim mengatakan...

Menarik, informatif dengan beberapa pilihan kata yang cukup imajinatif...

Saya pun perempuan rantau yang disambut karpet merah, merahnya hingga berdarah-darah.

fiuhh... Kawanku memutuskan pulang, seminggu kemudian aku menyusul. Surabaya yang panas tetap yang paling ramah.

Tapi aku pulang untuk kembali, pada padatnya ibukota, tragisnya episode derita, pengapnya kabut asap... demi sebuah asa.


:) keep blogging Robert

_tidakcantik_