Rabu, 28 April 2010

Humanity in 21st Century Reflection

Photography by: Monica Szczupider

Foto di atas termasuk salah satu dari kompilasi galeri foto "Vision of Earth 2009" yang dicanangkan National Geographic. Tampak seekor simpanse betina berusia 40 tahunan bernama Dorothy meninggal di Pusat Rehabilitasi Simpanse Sanaga-Yong di Kamerun. Dorothy memiliki masa lalu yang cukup kelam. Selama 25 tahun, ia menghabiskan hidup dengan leher dirantai dan dilatih merokok serta meminum bir untuk menghibur pengunjung, sampai akhirnya ia diselamatkan. Yang membuat semuanya menjadi luar biasa adalah respon keluarga simpanse yang menyaksikan penguburan Dorothy. Disebutkan bahwa beberapa dari mereka menunjukkan ekspresi agresi dan teriakan-teriakan frustasi. Tetapi yang paling mencengangkan adalah ketertarikan mereka semua memperhatikan Dorothy dalam kesunyian. Seolah mereka memahami bahwa Dorothy tidak akan pernah ada di antara mereka lagi.

Hal itu membuat saya sedikit merinding. Sampai sebatas mana simpanse mampu menunjukkan rasa empati dan kesedihan? Sampai sejauh mana simpanse mampu memahami makna duka cita kehilangan salah satu anggota keluarganya? Apakah mereka telah mengenali eksistensi jati dirinya sendiri? Sadar akan keberadaan dirinya sendiri sebagai "sebuah mahluk", seperti halnya Rene Descartes yang menegaskan eksistensi manusia lewat "Cogito Ergo Sum" (I Think Therefore I Am). Apakah semua pemahaman manusia selama ini terhadap binatang perlu ditinjau ulang?

Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa binatang mungkin dapat menunjukkan emosi secara terbatas. Tetapi pengamatan secara awam bisa salah mengenali emosi-emosi tersebut karena manusia memiliki kecenderungan apa yang disebut anthromorphism, memberikan atribut-atribut manusia kepada sesuatu selain manusia (hewan, tumbuhan, dewa, batu, dsb). Ini berarti dongeng mengenai Si Kancil yang gemar mencuri timun di ladang Pak Tani juga bisa dikategorikan ke dalam salah satu contoh penerapan anthromorphism.

Tetapi bagaimana seandainya primata-primata tersebut memiliki konsep-konsep manusiawi yang jauh lebih kompleks dari yang pernah kita duga? Bahwa ternyata mereka tidak seprimitif yang kita sangka? Mungkinkah mereka juga mengenal emosi cinta yang memaksa mereka untuk menjalani kehidupan monogami? Mungkinkah mereka merasakan keimanan terhadap konsep Ketuhanan? Mungkinkah justru mereka yang selama ini mengamati kita dan mempergunjingkan semua kelakuan kita saat sedang bersantai ria di pepohonan? Apakah semua yang ditulis Darwin itu sedang terjadi, bahwa kita sedang menyaksikan sebuah lompatan evolusioner?

Sebaliknya di satu sisi, stereotip para pria yang paling umum adalah mereka hanyalah mahluk Homo sapiens dengan keinginan-keinginan dasar dan kecenderungan-kecenderungan sederhana. Mereka hanya tertarik dengan makan, berburu, dan seks. Some people rather call men are modern apes! Pria, seperti halnya semua pejantan dilaporkan sering bertindak agresif, mempertontonkan dominasi terhadap teritorial dan pasangan dari rival-rivalnya, dan juga memiliki kecenderungan mengawini betina sebanyak-banyaknya. Karena pria mewarisi kandungan testosteron yang meluap-luap dari nenek moyangnya sebagai pemburu ulung dan mempertahankan keturunannya. Sampai detik ini pun, pria-pria masih bangga memegang label sebagai pemegang garis keturunan dengan mempertahankan nama keluarga mereka.

Sedikit rumit dari para pria, wanita diciptakan sangat atraktif. Wanita memiliki keinginan-keinginan besar dengan kecenderungan-kecenderungan tidak terprediksi. Kelakuan wanita seringkali tidak mampu diramal oleh mesin logika pria. Bila pria memiliki tombol On dan Off, maka wanita mungkin memiliki sedikitnya 50 tombol yang saling berkaitan. Wanita memang memiliki sisi emosi yang lebih kompleks dari pria. Otak wanita terprogram untuk mampu melakukan berbagai aktivitas dalam satu kesempatan (multitasking) karena kedua belahan otaknya terhubung dengan seikat saraf corpus callosum yang lebih tebal dari milik pria. Karena itu sangat wajar bila seringkali para pria kebingungan untuk mampu memahami wanita.

Namun pada era-era sekarang, stereotip itu sedikit bergeser. Pria bukan lagi mahluk yang maskulin, kasar, dan liar. Dulu mereka memanggul tombak, menenteng pisau, dan mengokang senapan. Sekarang mereka menenteng BlackBerry sambil menenggak Cognac dengan belahan rambut tersisir rapi, sepatu mengkilap, dan aroma parfum yang tersebar. Pria masa kini semakin memperhatikan penampilan, citra diri, bahkan menjadi perasa. Alih-alih menjadi Mars yang rasional, dunia kini perlahan-lahan menjelma menjadi Venus yang emosional. Sosok-sosok modern seperti David Beckham dan Edward Cullen telah menggantikan sosok macho Charles Bronson atau Clint Eastwood. Fenomena "pria metroseksual" semakin tidak dapat dibendung. Sekalipun awalnya dicerca sebagai pria banci pesolek atau gay, perlahan-lahan para pengoloknya juga terbawa arus untuk semakin peduli berdandan. Yah, pria sekarang seolah mulai "berevolusi" secara mental dan kelakuan untuk menjadi wanita... Like it or not, it's the fact.

Jadi saya dapat berkelakar bahwa, if the chimps will begin act like men and men were modern apes, hence women are the future of men!




5 komentar:

Ghonuk mengatakan...

women are going to rule the world and we will achieve piece. Amen. hehehhee...

Robert Ravenheart mengatakan...

The Dawn of Women. Welcome to the age of Feminism, then, haha...

Petty Arniza mengatakan...

Hahahaha... I always admired your deep observation and of course, your male perspective is always fun to read ^_^

Just FYI, Edward Cullen definitely took a man into a different level, bet.. I mean, he could sparks!!! WAKAKAKAKAKAK...

Robert Ravenheart mengatakan...

So do I, admiring your hilarious chitchat at your personal blog! Hahaha... and also your female perspective of course haha, especially about how did you define cute boys and hot guys, hahaha...

dhan mengatakan...

it's really touching story