Senin, 02 Maret 2009

Ponari dan Batu Bertuah


Bak seperti judul novel "Harry Potter & the Sorcerer's Stone", kisah tentang batu bertuah ternyata tidak hanya ada di Hogwarts saja, tetapi juga mampir sampai ke ranah Jombang. Bila batu bertuah yang ditemukan Harry berasal dari Nicholas Flamel, Sang Alchemist legendaris, maka batu bertuah yang muncul di Jombang ini konon berasal dari sambaran petir, mirip seperti bekas luka di dahi Harry Potter sendiri!

Pemilik batu ajaib di Jombang itu adalah Ponari, seorang anak ingusan berusia 9 tahun yang masih duduk di kelas 3 SD. Konon ia mendapatkan batu itu saat sedang bermain-main di tengah hujan lebat. Mendadak saat petir menggelegar, ia merasakan ada sesuatu mengenai kepalanya. Bukan snitch, apalagi bludger, hanya sebuah batu kecil dan konon lagi, katanya mengeluarkan sinar kemerah-merahan. Si Ponari lantas memutuskan untuk mengantongi batu itu dan membawanya pulang.

Entah siapa yang pertama menyebarkan isu dan siapa pasien pertama yang mendapat terapi batu tersebut, mendadak desa tempat tinggal Ponari sudah riuh-ramai dikunjungi banyak orang yang mendambakan kesembuhan instan. Tiba-tiba saja Ponari telah menjelma menjadi from zero to hero, dari seorang anak kampung biasa mendadak menjadi dukun cilik yang dielu-elukan banyak orang! Terapi yang ditawarkan sangat sederhana, sediakan air dalam wadah untuk siap menerima kobokan tangan Ponari yang selalu mengenggam batu ajaibnya, dan saat pasien menenggak habis air antah-berantah itu, maka teorinya si pasien akan langsung waras-wiris! Tak peduli batu itu sering jatuh terguling ke tanah dan tidak pernah dicuci, atau tangan Ponari baru saja lincah mengorek upil lantas menggaruk pantatnya yang gatal :-)

Kepercayaan akan kesembuhan instan itulah yang telah menghipnotis ribuan orang dan menggiring mereka satu persatu mengunjungi kediaman Ponari. Keluarga Ponari pun mencium aroma bisnis yang memikat, langsung serta-merta terbentuk panitia dadakan yang mencoba mengelola barisan pengantre 'batu bertuah' sebagai tambang uang. Hasil yang didapat sungguh mencengangkan, dalam sehari konon mereka mampu mengumpulkan 50 juta Rupiah! Uang sebanyak ini dalam sehari sudah cukup meyakinkan warga satu desa akan betapa tingginya competitive advantage yang dimiliki Ponari. Alhasil, dalam sekejap muncul sekelompok pemuda (preman) menjaga pintu masuk desa dengan dalih-dalih keamanan, muncul pula sederet pedagang dadakan menjajakan dagangannya, serta para tetangga yang juga mendadak ramah membisniskan rumahnya sebagai losmen sementara bagi para pengantri 'batu bertuah'.

Menurut perhitungan, dalam sehari para pengantri di rumah Ponari bisa mencapai 10.000 orang! (Hampir mendekati jumlah penonton Java Jazz 2009 di hari pertama yang menghadirkan Jason Mraz). Ribuan orang sakit berkumpul, berdesak-desakan, mengantri, serta main serobot, kita bisa menduga akibatnya, 2 pasien tak dikenal tewas seketika. Sejak insiden itu dimuat di media massa, kepolisian Jombang dan bupati Jombang mulai turun tangan. Ratusan polisi dikerahkan ikut mengatur barisan pengantri, sementara si bupati konon membujuk Ponari dan keluarganya menyudahi praktek ajaib mereka untuk menghindari korban jiwa baru. Sayangnya pertukaran uang yang sudah mencapai omzet milyaran Rupiah membuat beberapa pihak menginginkan praktik pengobatan 'zaman batu' ini tetap lestari. Si Ponari pun dianggap sebagai tangible asset yang harus diperlakukan secara spesial. Ia tampak seperti bayi atau anak lumpuh down syndrome dengan digendong kemana-mana. Popularitasnya pun meningkat pesat, bak selebritis baru, ia sering diwawancarai wartawan, difoto, bahkan mendapat pengawalan ketat dari pihak panitia dadakan serta kepolisian. Sang kepala sekolah pun sampai rela menjemputnya ke rumah dan mengantarnya ke sekolah hanya demi Si Ponari bisa bersekolah kembali.

Setelah lama menjadi pembicaraan publik, tibalah Kak Seto, seorang pemerhati anak (tetapi tidak pernah memperhatikan anak-anak jalanan) ke Jombang. Usai berdiskusi dengan keluarga Ponari, kepolisian, dan bupati Jombang, diputuskan untuk mengakhiri bisnis batu-batuan ini. Ponari harus tetap bersekolah dan menikmati masa anak-anaknya dengan merdeka. Sampai waktu yang belum ditentukan, akhirnya praktik 'batu bertuah' dihentikan.

Para pasien yang belum kebagian air kobokan ajaib itu tentu saja merasa kehilangan besar. Entah mungkin merasa sudah kepalang tanggung sampai di rumah Ponari, akhirnya dengan gelap mata mereka mengambil air comberan rumah Ponari, air bekas hujan yang mengucur dari genting rumah Ponari, hingga tanah dari pekarangan rumah Ponari yang dibungkus daun pisang. Semuanya berbekal keyakinan buta bahwa itu semua sama berkhasiatnya dengan air rendaman batu antah-berantah milik Ponari!

Di akhir penutupan bisnis itu, lagi-lagi konon, kakek Ponari mengaku bisa menyetorkan uang cash sebesar 1 milyar Rupiah ke rekening bank! Wuih, perlu dipertanyakan bila Dirjen Pajak Jombang tidak cepat tanggap dengan langsung meminta NPWP keluarga Ponari, hehe...

Batu bertuah ternyata tidak dimiliki Ponari semata. Masih di Jombang, ada pihak lain yang juga mengklaim mempunyai batu petir lainnya. Dewi Sulistyowati, si gadis belia berusia 14 tahun mengaku juga menemukan batu istimewa dari sambaran petir. Berbeda dengan teknik Ponari yang mengandalkan air kobokan, teknik yang dipakai Dewi dan ayahnya dalam mengobati orang, lebih 'elegan'. Masih memanfaatkan air sebagai medium, namun batu ini hanya ditaruh di sampingnya lalu mulut ayah Dewi berkomat-kamit membaca doa lantas air jampi-jampi ini diminumkan ke pasien. Mendadak lagi muncul isu-isu keblinger yang menyebutkan bahwa batu Ponari dan batu Dewi adalah 'suami-istri' dengan sebutan Rono-Rene.

Seperti tidak mau kalah dengan putera-puteri Jombang, Siti Nur Rohmah, seorang perempuan Jombang berusia 35 tahun juga mengaku menemukan batu ajaib. Bila batu milik Ponari dan Dewi berasal dari sambaran petir, batu milik Siti ini lebih ajaib lagi, karena berasal dari sebuah mimpi! Ya, Siti mengaku ia bermimpi dititipi sebuah batu pualam oleh kakek tua bernama Ki Renggo. Metode penyembuhan yang dilakukan Siti sama persis dengan Ponari, yaitu batu dicelupkan ke dalam air, lalu air rendaman itu diminum dengan lahap oleh si pasien.

Rupanya tren 'batu bertuah' sedang melanda Indonesia, khususnya di daerah Jawa Timur. Di Bangkalan, Madura, Irfan Maulana, seorang anak berumur 6 tahun tiba-tiba mengejutkan publik dengan juga mengaku-ngaku menemukan batu ajaib. Serupa dengan Siti, Irfan cilik juga mengaku mendapatkannya dari mimpi bertemu 3 pria bersorban yang memberinya uang Rp 1000 untuk membeli air mineral. Mendadak uang tersebut berubah menjadi batu hitam lantas ketiga pria itu berpesan agar batu itu dimanfaatkan untuk kesembuhan orang banyak.

Bila memang Ponari sungguh menemukan batu ajaib yang mungkin menggelinding dari surga, mengapa kemunculannya hampir bersamaan diikuti oleh Dewi, Siti, dan Irfan? Masa benar 4 'batu bertuah' itu secara kebetulan bisa muncul bersama-sama ke dunia fana? Bagaimana juga 4 butir batu ini mampu memperdaya logika ribuan manusia yang rela berdesak-desakan menjadi pasien terapi batu ajaib ini?

Salah seorang pasien Ponari mengaku ia pernah berobat ke dokter spesialis untuk menyembuhkan sakitnya. Sudah tiga kali ia berobat namun kondisinya belum membaik padahal sekali datang ke dokter, ia harus merogoh kocek sebesar Rp 100.000. Sudah pasti ia tergiur dengan terapi gambling ala batu bertuah, bermodalkan 5000-10.000 Rupiah untuk membeli kupon, ia berharap bisa mendapatkan kesembuhan instan dengan menenggak air kobokan Ponari. Kalaupun tidak sembuh, ya mungkin ia berpikir tidak terlalu rugi membuang uang sepersepuluh dari tarif dokter spesialis.

Walaupun belum terbukti secara ilmiah bahwa batu-batu milik Ponari, Dewi, Siti, dan Irfan memang bisa menyembuhkan, sebenarnya diduga kuat kalaupun memang ada pasien yang sembuh setelah meminum air rendaman batu itu, maka itu adalah hasil dari sugesti. Dunia medis mengenal fenomena ini, bila ada pasien yang mengeluh sakit perut dan dokter memberinya aspirin (pil untuk sakit kepala) atau justru kapsul kosong, dan pasien mempercayai bahwa ia sedang meminum obat sakit perut, ia akan sembuh. Fenomena 'pikiran menipu tubuh' ini disebut placebo effect.

Kemungkinan lain, si pasien yang bersangkutan menderita penyakit somatis. Sakit somatis adalah sakit yang tidak ada obatnya karena berasal dari psikologis penderita yang bersangkutan, bukan biologis. Misalnya sakit perut atau pusing karena mengalami depresi ringan atau nervous, sehingga sakit ini akan sembuh dengan sendirinya, baik meminum obat atau tidak sama sekali.

Beberapa pengamat berasumsi membludaknya peminat terapi 'zaman batu' ini tidak lepas dari kegagalan pemerintah mewujudkan pelayanan kesehatan yang merata dengan kualitas baik dan tarif terjangkau. Biaya pengobatan gratis bagi warga miskin yang sempat digembar-gemborkan Dinas Kesehatan pun rupanya hanya masih berupa teori di atas kertas. Pelaksanaannya di lapangan nyaris tidak ada sama sekali. Maka wajar saja bila banyak orang yang mengalihkan pengobatan ke sumber-sumber yang tidak rasional sama sekali, seperti Ponari dan kawan-kawan.

Sekadar intermezzo, diberitakan di Detik.com, bahwa Ponari yang dielu-elukan sebagai dukun sakti itu ternyata di sekolahnya dikenal sebagai anak yang bodoh bahkan nyaris tidak naik kelas. Seandainya air rendaman batu petirnya memang berkhasiat menyembuhkan, mengapa ia tidak meminum air kobokannya sendiri supaya menjadi anak pintar yang jenius?

Bila bangsa ini terus mengabaikan logika, maka wajarlah bila bangsa ini terus dilanda kemalangan dan kemunduran... Let's changing the nation by changing ourselves!

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Buset... masih exist aja nih anak. tambah kreatif aja tuh sotosop nya.

salam kenal yah.
gue bukan anak DKV. gw lulusan IT :p

resti mengatakan...

Walau dasarnya punya logika tapi kalo ngga punya uang, orang bisa mengkompromikan logikanya.

I think the main problem on this subject adalah, sebagian bener kata loe, "pelayanan medis di indonesia belum merata". Tapi kalaupun di daerah juga udah ada dokter dan puskesmas, harga yang dipatok masih belum "ramah" buat yang ngga mampu.

Mereka mungkin mikir uang yang seharusnya untuk dokter, bisa buat bayar uang sekolah, biaya makan, bayar listrik, dll.

Kesehatan masih mahal di Indonesia Bert. Dan demi menyambung hidup, orang rela dicap ngga punya logika.

Itu teori gw. :D

Ikhwan Aryandi mengatakan...

Makasih Robert atas pendapatnya. Copywriter memang adalah profesi impian saya sekarang, karena dengan profesi itulah saya bisa nyeimbangin antara kreativitas dengan nafsu saya sebagai insan kreatif.

Memang yang saya lakukan adalah pencarian lebih lanjut. Saya pun di sini tak berdiam seperti adanya, saya masih mencari dan jadi banci interview di mana-mana. Dan menjadi pasangan AD atau GD adalah impian saya. Karena memang saya bukan mereka jadi hanya menulislah yang saya bisa lakukan.

Mudah-mudahan yang saya lakukan ini adalah baik adanya minimal untuk diri saya sendiri. Hal yang harus dilakukan saat ini adalah terus bergerak. Dengan saya masih menulis blog, tentunya saya masih terus bergerak menurut kapasitas diri saya sendiri.

Makasih sekali lagi Robert atas koreksi dan masukannya. Mudah-mudahan dapat memberikan hal positif yang diinginkan. Mudah-mudahan Robert dan saya dapat mengambil semua energi positif yang ada.

Terima kasih, dan sebelumnya salam kenal..... :)

Ikhwan Aryandi mengatakan...

Wakakakaka, iya mas Robert! Anda benar, karena semalam ketika gw menulis blog malas membuka kamus, jadinya kesalahan penulisan terjadi. Makasih banyak mas atas koreksinya. Mudah-mudahan gw ke depannya menjadi lebih baik.

Iya gw sedang memikirkan mengani mengambil pekerjaan itu, sembari mencari pekerjaan yang gw inginkan.

Makasih banyak mas atas perhatian dan koreksinya. Doakan yang terbaik terus mas.....

mrpsycho mengatakan...

makin lama makin banyak saja kejadian2 yang bikin geleng2 kepala,isu2 kecil bisa mengguncang dunia ..

Robert Ravenheart mengatakan...

@ Resti:
Iya Res, karena di republik ini, harga kesehatan masih mahal dan belum merata. Mungkin karena saking desperate-nya, sehingga mereka merasa cara-cara seperti ini merupakan terobosan alternatif yg kalau dicoba tidak ada ruginya, syukur2 malah berhasil.

@Mrpsycho:
Mungkin dunia sudah semakin membawa beban yang terlalu berat sehingga makin lama makin banyak orang-orang "psycho" bermunculan, hehehe... Abis Ponari selesai aja, di koran muncul lagi isu "beringin menangis", jadi pohon beringin di pinggir sungai ngeluarin air yg dipercaya merupakan air ajaib.

Karena warga makin banyak berkumpul, ketua RT setempat menebang pohon tersebut dgn alasan menghindari kemusyrikan. Tapi pohon segitu gampangnya ditebang, ya jgn tanya alasan kok sekarang udara makin panas dan makin gampang banjir.