Sabtu, 04 Oktober 2008

Journey to The East (part 4 HK-Shenzhen)



Pada liburan lebaran selama seminggu kali ini, saya kembali berkesempatan untuk berpergian ke luar negeri. Kali ini benar-benar perjalanan yang istimewa, because this is my first trip to abroad, ALONE! Memang sih bukan berarti sama sekali sendirian seperti perjalanan para turis nekad 'backpacker', saya masih mengambil paket tur. Namun tetap saja kali ini semuanya terasa lebih challenging dan bebas, tentunya.

Semula saya tertarik dengan paket wisata ke Thailand, dengan eksotisme magis yang dimiliki Bangkok. Imajinasi saya sudah melayang menembus belantara Patpong yang menggoda, pesona Pattaya yang menggelora, dan Phuket yang menawan. Bahkan kecantikan perempuan-perempuan Thai yang unik yang konon merupakan campuran Asia Tenggara dan Asia Timur (pengecualian untuk para banci Thailand yang juga cantik), cukup ampuh menarik minat saya dari dahulu ;-) Tarif yang relatif murah serta jarak yang tidak terlalu jauh dari Indonesia juga menjadi nilai plus bagi saya. Sayang beribu sayang, kondisi sosial-politik Thailand saat itu sedang memanas dan sangat tidak stabil. Hampir tiap hari, ribuan orang turun ke jalan menuntut Perdana Menteri Samak Sundravej untuk mundur. Aksi People's Power ini dari hari ke hari makin membesar hingga puncaknya mereka sempat memboikot Bandara Phuket dan Kantor Perdana Menteri di Bangkok. Dapat dipastikan jaringan turisme di Thailand saat itu terganggu. Pada perkembangan selanjutnya, Samak Sundravej akhirnya dipecat oleh Mahkamah Konstitusi Thailand, dengan alasan yang konyol, karena menjadi host dalam acara memasak komersial di televisi!

Akhirnya dengan berat hati, pilihan saya alihkan ke paket tur Hong Kong-Shenzhen. Jujur buat saya, dari dua tujuan wisata ini, hanya Hong Kong yang menarik minat saya. Bekas koloni Inggris yang diserahkan kepada China di tahun 1997 ini lebih mempunyai nilai sejarah dan daya tarik dibanding Shenzhen. Sejarah lahirnya Hong Kong bermula dari Perang Candu (1839-1842) dimana Inggris melihat peluang besar dari perdagangan opium di China. Silau akan pundi-pundi uang yang kelak mengalir, Inggris memasukkan opium secara ilegal dari India ke Guangzhou. Selain ilegal, opium yang melimpah ini juga menyebabkan banyak rakyat Guangzhou menjadi pemalas dan pecandu. China pun gusar dan membakar gudang-gudang opium di Guangzhou. Sebaliknya Inggris pun berang dan berbalik mengobarkan perang kepada China! Karena persenjataan Inggris yang lebih baik, China mengalami kekalahan dan harus tunduk menandatangani Perjanjian Nanking (the Treaty of Nanking). Salah satu isi perjanjian itu adalah meminjamkan Hong Kong kepada Inggris selama 155 tahun hingga 1 Juli 1997 kelak.

Hong Kong pernah dikenal sebagai kawasan termaju di Asia Pasifik (selain Jepang, Korsel, dan Singapura tentunya). Tidak hanya untuk urusan bisnis, industri perfilman Hong Kong pun sangat terkenal dan mampu bersaing dengan perfilman Hollywood. Warga Hong Kong terlanjur larut lama dalam kenyamanan kapitalisme di bawah belaian Pemerintah Inggris, sehingga sangat wajar di saat mendekati tahun 1997, mayoritas warga Hong Kong bereaksi resah! Untuk mengambil simpati Hong Kong, Pemerintah China menawarkan otonomi pemerintahan khusus (Special Administrative Region) yang dikenal dengan istilah, "satu negara dua sistem". Kombinasi antara 150 tahun pengaruh kolonial Inggris dan 5000 tahun tradisi China kuno menjadikan Hong Kong begitu unik. Pada akhirnya justru kehebatan Hong Kong mampu disusul China yang terus melesat. Sementara selama ini, dibandingkan Hong Kong yang sudah sangat mendunia, Shenzhen hanya saya kenal melalui objek wisata miniatur-miniatur keajaiban dunianya saja.

Pada pagi hari jam 06.15, akhirnya dengan pesawat China Airlines, rombongan tur kami berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Hong Kong. Pesawat maskapai ini boleh dibilang sudah modern, karena memasang video passanger di masing-masing seat, dengan fitur yang sangat lengkap! Ada fasilitas musik, film-film terbaru, games, bahkan fasilitas iXplorer.

Perjalanan selama 4,5 jam jelas sangat membosankan bila hanya mendengarkan musik, karena itu saya mencoba menonton "The Happening", film thriller karya M. Shyamalan. Ide ceritanya sangat menarik, namun eksekusi filmnya terlihat berantakan. Kecewa dengan ekspektasi yang terlanjur tinggi, saya memilih film lain yang sudah terlihat 'ancur' sekalian, "You Don't Mess with the Zohan", yang dibintangi Adam Sandler. Film ini sangat kocak dan penuh dengan humor-humor seks yang vulgar (saya jadi membayangkan duet Borat-Zohan dalam satu film). Sementara fasilitas iXplorer ini sangat istimewa, karena mengizinkan penumpang untuk dapat melihat situasi di luar pesawat melalui video kamera eksternal. Visualnya ada dua macam, yaitu visual ke depan (dari hidung pesawat) dan visual ke bawah (dari badan pesawat).

Sesampainya di Hong Kong, pesawat mendarat di Bandara Internasional Chek Lap Kok sekitar jam 11 lebih. Bandara ini sungguh luar biasa karena dibangun di sebuah pulau artifisial hasil reklamasi yang dinamai Pulau Chek Lap Kok. Interior bandara ini tersusun atas jutaan kaca, sehingga pada siang hari, suasananya sangat terang. Saat ini, nama 'Bandara Chek Lap Kok' tidak lagi digunakan, dan diganti dengan nama 'Hong Kong Internasional Airport'. Di sini kami disambut oleh tour guide lokal Hong Kong yang cukup informatif tetapi sayangnya terlihat kaku. Langsung tanpa basa-basi kami menaiki bus untuk melanjutkan perjalanan ke Shenzhen selama kurang lebih 2 jam.

Perjalanan ini melintasi tol yang lebar dan lenggang (seperti jalan tol Jakarta-Bandung) dan Shenzhen Bay Bridge. Di tengah perjalanan, saya melihat banyak sekali Toyota Alphard dan Toyota Previa berlalu-lalang. Memasuki perbatasan antara Hong Kong dengan China, kami turun ke kantor imigrasi Hong Kong untuk menjalani pemeriksaan dokumen. Di sini kantornya terlihat agak kumuh, berbeda dengan image bandara Hong Kong yang megah (mungkin karena berada di perbatasan). Lepas dari kantor imigrasi Hong Kong, sekitar 15 menit, kami menjalani pemeriksaan lagi di Huanggang Port Entry Concourse, kantor imigrasi China (karena Shenzhen berada di bawah otoritas China). Di sini, pemeriksaan berjalan lebih ketat, dan kami disambut seorang tour guide lokal China yang lebih informatif dan ramah. Bahkan kemampuannya berbahasa Inggris saya nilai malah lebih baik daripada tour guide Hong Kong sendiri! Sudah menjadi rahasia umum bila orang China memang rata-rata kurang menguasai bahasa Inggris.

Kami akan segera memasuki Shenzhen, kota di Mainland China yang langsung berbatasan dengan wilayah Hong Kong. Mmm... apakah kali ini opini pertama saya mengenai Shenzhen ini benar? Bahwa Shenzhen tidak terlalu worthy untuk dikunjungi...?

Shenzhen: From Nothing to Something



Shenzhen merupakan sebuah kota modern yang baru terdengar mungkin sepuluh-lima belas tahun terakhir ini saja, bila dibandingkan dengan Guangzhou, Shanghai, ataupun Beijing. Kota ini berbatasan langsung dengan kawasan New Territories di bawah otoritas Pemerintah Hong Kong. Di zaman dulu, daerah Shenzhen sangat dijaga ketat karena banyaknya warga miskin China yang ingin lari ke Hong Kong untuk mencari pekerjaan. Kota ini terletak di provinsi Guangdong, daerah selatan China, sehingga beriklim tropis dan panas sepanjang tahun seperti Indonesia. Hampir semua penduduk Shenzhen selalu membangga-banggakan nama Deng Xiaoping.

Akhirnya tibalah kami memasuki Shenzhen, kesan pertama yang muncul adalah kota ini sudah terlihat modern! Gedung-gedung bertingkat dimana-mana, mobil-mobil mewah bersliweran (sebuah Ferrari terlihat diparkir di depan hotel kami), dan orang-orang yang berlalu-lalang terlihat mengenakan pakaian yang fashionable. Sepertinya Jakarta dan Surabaya saja masih kalah bila dibandingkan head to head dengan Shenzhen. Bahkan Gucci berani membuka toko 2 lantai di pinggir jalan! Kami diantar menuju Century Plaza Hotel, sebuah hotel berbintang 4 berlantai 22 di kawasan downtown. Kota ini terlihat seperti China dengan citarasa Hong Kong, karena banyak orang-orangnya yang berbicara bahasa Kong Hu. Di jalanan tidak terlihat sama sekali sepeda motor, bahkan jarang terlihat orang bersepeda (padahal China dikenal sebagai gudangnya sepeda). Ternyata ini merupakan kebijakan pemkot Shenzhen yang melarang sepeda motor untuk alasan ketertiban. Melihat kondisi Jakarta, rasanya alasan ini sangat bisa dibenarkan. Tetapi perlu diketahui, bus-bus umum di sana sangat nyaman dan relatif murah, sehingga orang tidak perlu membeli kendaraan pribadi (kecuali orang yang kaya).

Usai makan malam, tour guide menawari kami untuk berbelanja di Luo Hu, salah satu pusat perbelanjaan yang populer di Shenzhen. Namun di tengah-tengah citywalk menuju Luo Hu, tour guide lokal mendadak mengingatkan kami untuk menjaga barang baik-baik dan jangan keluyuran sendirian malam-malam (terutama para pria). Saya baru mengerti maksudnya setelah saya melihat dengan mata kepala sendiri, sangat banyak perempuan-perempuan muda dengan dandanan menarik berdiri di pinggir jalan, menatap setiap pria yang lewat dengan pandangan seribu arti. Bahkan mudah dijumpai tempat-tempat massage dengan seorang perempuan muda bergaun biru (ya, gaun!) berdiri di depan pintu sembari membawa handy talkie.

Memasuki Luo Hu, ternyata tempat ini sangat mirip dengan Xing Wang di Shanghai (hanya tidak seramai Xing Wang). Kalau di Indonesia, mirip dengan Mangga Dua atau Pasar Atum yang banyak menjual barang-barang branded aspal. Dimana-mana terlihat toko menjual tas, sandal, sepatu, arloji, dan aksesoris. Yang beda adalah rata-rata penjaga toko di sini merupakan cewek-cewek muda yang cantik dengan dandanan menarik! Namun yang membuat saya il-feel di tempat ini adalah, sangat banyak sekali orang Indonesia di Luo Hu! Bayangkan hampir tiap melangkah 3 toko, kita pasti akan mendapati orang berbahasa Indonesia! Mungkin Shenzhen memang tempat favorit orang Indonesia untuk berlibur dan berbelanja. Ada isu-isu negatif yang beredar bahwa beberapa penjual di Luo Hu sering memberikan kembalian uang palsu kepada pembeli yang tidak waspada. Di Shenzhen saat ini, bila kita berbelanja biasanya tidak diberikan kantong plastik, kecuali kita membelinya! Memang terkesan konyol, namun ini merupakan kebijakan yang ramah lingkungan untuk mengurangi limbah plastik.

Sepulang dari Luo Hu, saya semakin mendapati sisi lain wajah Shenzhen yang modern dan makmur. Di mana-mana banyak sekali orang-orang nongkrong di pinggir jalan, walau tidak separah seperti di Indonesia (fenomena ini hampir tidak ada di Beijing dan Shanghai). Bahkan yang membikin shock, salah satu rombongan tur kami sempat dicegat dua anak jalanan yang meminta kue yang dipegangnya. Yang bikin hati ini kecut adalah, salah satu anak jalanan itu adalah anak perempuan yang sangat cantik! Matanya besar, hidungnya mancung, dan kulitnya putih. Saya jadi mikir, apes bener dia lahir di China, coba kalau di Indonesia, pasti jadi rebutan banyak orang :-) Dalam perjalanan pulang ke hotel, perempuan-perempuan yang mangkal di pinggir jalan semakin banyak dan terlihat beberapa petugas keamanan (bukan polisi) yang berpatroli, hal ini menandakan bahwa Shenzhen pastilah punya banyak catatan kriminalitas (Di Shanghai dan Beijing saja jarang terlihat petugas keamanan). Seakan saling melengkapi, semakin larut malam, beberapa orang bahkan semakin agresif menawari jasa massage kepada sejumlah pria... duh, benar-benar Shenzhen Undercover! Namun overall, di jalanan Shenzhen sama sekali tidak terlihat gelandangan kumal, pengemis, ataupun polisi cepekan, seperti di Jakarta.

Besok paginya, tur kami mendapat tour guide lokal yang baru, seorang perempuan berusia 27 tahun. Dia bercerita konon karena ulah oknum-oknum yang menambah semarak malam Shenzhen itulah, mayoritas cewek-cewek muda Shenzen kini enggan dipanggil "Xiaocie", yang mempunyai arti 'nona'. Panggilan "Xiaocie" di Shenzhen ternyata bergeser menjadi negatif karena diidentikkan dengan image kupu-kupu malam. Untuk itu, mereka lebih suka dipanggil, "Liang Ni", yang artinya 'anak perempuan yang secantik bulan' ;-) Tour guide kami yang baru ini memperkenalkan diri dengan nama panggilan, Ancin. Bahasa Indonesianya sangat fasih dengan logat seperti Tionghoa Medan/Bangka kental, sehingga saya mengira ia memang berasal dari Medan/Bangka. Ternyata Ancin ini adalah orang China asli yang mengaku belajar bahasa Indonesia selama 2 tahun di Guangzhou! Sekarang ia bekerja sebagai tour guide lokal di Shenzen untuk melayani turis Indonesia. Salute, girl! Lucunya, Ancin dengan polos mengaku bahwa sampai saat ini ia belum pernah mengunjungi Indonesia :-)

Di hari kedua, kami diajak mengunjungi sebuah klinik herbal yang menyediakan layanan pemeriksaan kesehatan, lengkap dengan pemberian resep, peracikan dan pemberian obat-obat tradisional. Konon adik dari Megawati pernah berkunjung ke tempat ini untuk mengobati kencing manisnya. Selain itu, tempat ini juga menjual kain-kain sutera dan aksesoris-aksesoris perhiasan. Well, bagi saya kunjungan ke tempat ini sangat membosankan. Satu-satunya hal yang menarik bagi saya di tempat ini adalah ada beberapa pegawai yang mampu berbahasa Indonesia, bahkan banyak dari mereka mampu mengucapkan sepatah-dua patah kata-kata dalam bahasa Indonesia kepada calon pembeli. Berikutnya, kami mengunjungi sebuah pabrik sekaligus tempat penjualan batu giok yang konon di-support penuh oleh pemkot Shenzhen, yaitu Shenzhen Xingyu Mineral Museum. Bangunan luarnya terlihat usang dan meragukan, namun setelah melihat ke dalam ruangan, interiornya cukup mewah. Di sini lagi-lagi banyak pegawai yang mampu dan fasih berbahasa Indonesia! Kami diajari cara membedakan antara batu giok yang asli dengan imitasi dari warna, serat, dan bunyinya. Tidak hanya batu giok, tempat ini juga menjual teh unik khas Shenzen, yaitu teh leci. Para turis dilarang keras memotret di dalam klinik herbal dan pabrik batu giok ini karena kedua tempat ini dianggap sebagai aset pemerintah yang bersifat rahasia.

Pada hari ketiga, kami mengunjungi objek wisata paling terkenal di Shenzhen, Window of The World. Di bagian depannya, piramida kaca Louvre sudah menyambut kita. Di kejauhan terlihat Menara Eiffel dan Arch de Triomphe yang menjulang. Terlihat ramai sekali orang-orang saling berpotretan di sini. Window of The World merupakan miniatur-miniatur dari berbagai tempat paling terkenal di seluruh dunia! Ukuran replika yang paling besar di sini adalah Menara Eiffel. Replika-replika yang lain seperti, Kremlin, Colosseum, Air Terjun Niagara, Menara Pisa, bahkan Candi Borobudur, dapat Anda temukan di sini. Tempat wisata ini sangat luas sekali dan terlihat bersih serta aman. Sama sekali tidak ada calo di dalam (bahkan Forbidden City di Beijing pun masih kecolongan calo-calo berkeliaran). Namun kita dapat menaiki sebuah kereta untuk mengelilingi Window of The World dalam waktu 45 menit. Ancin berkelakar bahwa inilah kereta tercepat di dunia karena dapat mengelilingi seluruh dunia dalam waktu secepat itu :-)

Berikutnya kami mengunjungi China Folk Culture Villages. Semula saya cukup malas begitu tahu bahwa ini hanyalah taman miniatur objek-objek wisata di China (seperti TMII) yang juga menyuguhkan aksi tari-tarian. Namun begitu berkeliling di dalamnya, saya sungguh terkagum-kagum! Luas sekali dan di sana kita dapat melihat dan berinteraksi langsung dengan kehidupan suku-suku di China lengkap dengan pakaian dan bangunan khas tradisional mereka. Saya jadi
membayangkan andai Indonesia mampu mengemas keragaman budaya suku-sukunya sebaik ini. Berikutnya kami menonton sebuah teater di Impression Theater. Di acara ini, wisatawan dilarang memotret karena dianggap dapat merusak efek panggung acara. Seluruh acara telah direkam ke dalam VCD dan diperjualbelikan di stan khusus. Acaranya sendiri sungguh spektakuler! Ratusan pemain (mayoritas perempuan muda yang cantik) berpakaian sangat indah memainkan koreografi yang memukau, didukung efek-efek panggung yang sangat hebat untuk ukuran drama panggung di ruangan tertutup! Malamnya, kami diajak menonton teater lagi "Dancing with the Dragon and the Phoenix", kali ini diadakan di tempat khusus terbuka yang jauh lebih luas. Acaranya lebih hebat lagi karena menampilkan pemain yang lebih banyak dan efek-efek panggung yang sangat luar biasa. Very highly recommended!

Setelah berkeliling selama 3 hari di Shenzhen dan mendengar cerita-cerita dari Ancin, saya sungguh menghormati Shenzhen. Pandangan remeh saya terhadap kota ini di awal kedatangan mendadak sirna begitu saja. Bagaimana tidak, dulu Shenzhen merupakan kampung nelayan yang miskin dan kumuh. Hanya berselang 30 tahun kemudian, Shenzhen kini menjelma menjadi kota megapolitan yang sangat modern dan makmur! Semua ini bermula dari keberanian Deng Xiaoping yang menetapkan Shenzhen sebagai Special Economic Zone untuk mengimbangi kemapanan Hong Kong. Ancin mengutip kelakar Deng Xiaoping, bahwa janganlah kita mempersoalkan mana yang lebih baik antara kucing hitam (komunisme) atau kucing putih (kapitalisme), yang penting adalah kucing itu mampu menangkap tikus. Keputusan membuka Shenzhen bagi para investor ini sungguh revolusioner karena saat ini terbukti Shenzhen menjelma menjadi kota baru yang modern, nyaris tanpa sejarah sama sekali (selain sejarah sebagai kampung nelayan). Untuk menghormati jasa Deng Xiaoping, di Lotus Hill Park Shenzhen, dibangun patung Deng Xiaoping dari perunggu setinggi 6 meter.

Kini jumlah penduduk Shenzhen meningkat menjadi sekitar 7 juta jiwa, mayoritas warganya yang berusia muda merupakan kaum urban. Di Shenzhen juga ada anekdot populer yang menyatakan bahwa di kota ini perbandingan antara pria dan wanita mencapai 1:8, jadi di sini dapat dikatakan seorang pria bisa mencari pacar yang banyak ;-) Faktanya, perempuan-perempuan muda di Shenzhen sangat cantik dan pandai berdandan, sehingga konon banyak pria Hong Kong yang mencari istri atau sekadar plesiran ke Shenzhen.

Pada perjalanan berikutnya, kami akan segera mengunjungi Hong Kong! Jadi tidak sabar rasanya ingin menelusuri bekas koloni Inggris tersebut. Oya, di tanggal 1 Oktober ini kebetulan merupakan Hari Kemerdekaan Nasional China, namun di jalan-jalan situasinya tidak terlihat berbeda dengan hari-hari biasa selain bendera-bendera yang dikibarkan. Kalau Agustusan di Indonesia, pasti suasananya jauh lebih meriah.

Hong Kong: Live it. Love it!




Keesokan paginya kami kembali berkemas-kemas menuju Hong Kong. Setelah mengucapkan salam perpisahan dengan Ancin, kami menaiki bus menuju Shenzhen Bay Customs untuk kembali menjalani pemeriksaan imigrasi. Kali ini pemeriksaan hanya berlangsung di Shenzhen namun dilakukan dua kali (dokumen dan barang). Memasuki wilayah Hong Kong, kami langsung diantar menuju Royal Park Hotel. Hotel berbintang 4 di kawasan Shatin ini ternyata mempunyai jalan masuk yang langsung terhubung dengan New Town Plaza, sebuah shopping mall yang cukup megah (kesukaan turis Indonesia, hotel dekat dengan tempat shopping). Setelah melakukan check-in, rombongan segera berangkat ke Disneyland di Lantau Island. Perjalanan selama 1 jam ini melewati Tsing Ma Bridge yang sekilas terlihat seperti Golden Gate-nya Hong Kong.

Seorang dewasa dikenai admission ticket seharga 350 HKD. Namun harga itu saya rasa masih worthed untuk taman hiburan sekelas Disneyland. Memasuki taman hiburan ini, hanya ada satu kata: "WOW!" Sungguh sangat fantastis! Meskipun kata teman saya, masih kalah dengan Disneyland di Tokyo, tetapi paling tidak bila dibandingkan dengan Dufan sungguh seperti membandingkan antara lukisan Monalisa dengan lukisan anak SMP. Memasuki entrance, kita seakan memasuki sebuah kota tersendiri. Di arah kanan-kiri merupakan toko-toko souvenir khas Disney yang sengaja didesain menyerupai bangunan toko-toko di era Wild Wild West. Disneyland terlihat sangat bersih sekalipun para petugas cleaning service di sini sangat jarang terlihat. Bahkan daun-daun yang berjatuhan dari pohon pun tidak terlihat. Hampir 95% petugas di Disneyland Hong Kong merupakan anak-anak muda yang masih berusia twenty something.

Terbagi menjadi 4 area: Tomorrowland, Adventureland, Fantasyland, dan Main Street USA, kita dapat mencoba wahana-wahana yang tersebar di tempat itu. Saya sendiri tidak sempat mengunjungi semua wahana di sana, namun yang paling saya rekomendasikan adalah 'The Golden Mickeys' dan 'Mickey's PhilharMagic'. Sebenarnya ada satu atraksi lagi yang layak direkomendasikan, 'Festival of the Lion King', hanya sayang saya belum sempat memasuki atraksi tersebut karena antrinya sangat panjang. Bagi yang menyukai sensasi ketegangan dengan adrenalin tinggi, saya sarankan mencoba wahana 'Space Mountains', sebuah roller coaster yang menyusuri kegelapan galaksi lengkap dengan tikungan-tikungan tajam. Yang ingin merasakan asyiknya mengendarai mobil listrik yang nyaman dapat mencoba wahana 'Autopia', yang di-support oleh Honda. Bahkan di kawasan Tomorrowland, ada sebuah tong sampah robotik yang bisa berjalan sendiri sambil bersuara dalam bahasa Kong Hu.

Saat tengah hari, ada parade karakter-karakter Disney yang melewati tengah kota, disusul parade 'High School Musical' yang berulangkali meneriakkan, "Wildcats, let's go!" dan di malam harinya ada parade Halloween 'Nightmare Before Christmas' yang dipimpin karakter Jack Skellington yang duduk di buah labu besar, sangat keren! Puncak acara berlangsung sekitar pukul 20.00 di Main Street USA, dimana ribuan orang menyaksikan berlangsungnya atraksi fireworks yang sangat meriah selama kurang lebih setengah jam. Yang hebat seusai ribuan orang itu menyingkir, hanya sedikit sekali sampah yang tertinggal. Kalau di Indonesia mungkin sudah banyak sekali sampah-sampah yang berserakan.

Pulang ke hotel, badan terasa lelah semua meski hati merasa senang dan puas :-) Hari keempat di Hong Kong, rombongan tur diberikan hari bebas untuk berpergian ke mana saja. Di hari ini saya menemui saudara ayah yang berdomisili di Hong Kong. Karena bingung tidak tahu mau ke mana, saya menurut saja waktu diajak pergi ke kawasan kota di Hong Kong Island. Menaiki double decker bus (jadi ingat seperti bus Ksatria di Harry Potter), perjalanan ke kota memakan waktu sekitar 45 menit. Sesampainya di kawasan Central, wow sungguh Hong Kong merupakan surga belanja bagi para turis! Di kanan-kiri semuanya toko berkelas dan banyak orang berlalu-lalang di sana-sini. Saya lalu diajak menaiki sebuah trem yang bertarif murah (jauh-dekat cuma 2 HKD). Sayangnya karena murah, maka kita harus mau berdesak-desakan ria dengan penumpang lain, untungnya tidak ada copet di sini :-)

Melewati Wan Chai, kemudian kami turun di kawasan Causeway Bay. Di sini juga sangat penuh dengan toko-toko, shopping mall, dan orang berlalu-lalang. Jalan-jalan di daerah ini cukup sempit namun tidak macet. Uniknya di pinggir toko-toko high class tersebut, terdapat beberapa jalan kecil yang berjubel dengan dagangan kaki lima. Mereka umumnya menjual pakaian, tas, sepatu non-branded dengan harga murah. Susah mencari barang bajakan di Hong Kong. Di daerah Causeway Bay ini saya menjumpai restoran "Sedap Gurih" yang menjual masakan-masakan khas Indonesia. Bahkan di sebelahnya terdapat supermarket "Chandra" yang menjual beragam produk-produk dari tanah air. Kata Oom saya tersebut, di kawasan dekat Victoria Park ini bila hari Minggu, sangat banyak TKW Indonesia yang berjubel, sehingga orang Hong Kong menyebutnya dengan "Xiao Yin Ni" (Indonesia Mini).

Setelah menjelang malam, kami memutuskan untuk pulang menaiki subway train menuju Shatin lalu beristirahat di hotel. Besok paginya di hari terakhir, saya memutuskan untuk berkeliling membelanjakan sisa uang HKD di New Town Plaza. Karena jadwal check-out hotel adalah pukul 12.00, maka seusai breakfast jam 09.00, segera saya melangkahkan kaki menuju mall tersebut. Di waktu sepagi itu, tentu saja hampir semua toko masih tutup dan barulah sekitar jam 10.00, beberapa pegawai mulai datang membuka toko dan membersihkan interior. Untungnya masih keburu membeli beberapa barang dan kembali ke hotel sebelum jam 12.00 :-)

Setelah semua peserta tur berkumpul, segera kami menaiki bus menuju Hong Kong International Airport, yang juga terletak di kawasan Lantau Island. Karena masih ada waktu sekitar 2 jam sebelum boarding, kembali rombongan tur diberikan waktu untuk berbelanja. Di airport ini cukup banyak tersedia toko-toko yang menarik, seperti Hong Kong Disneyland shop, Giordano, dan Toys R Us. Bahkan toko-toko branded sekelas Prada, Bvlgari, dan Chanel juga ada di sini. Berbeda sekali dengan toko-toko di Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang terlihat suram dan usang.

Setelah menempuh waktu sekitar 4,5 jam, akhirnya pesawat China Airlines yang kami tumpangi mendarat di Soekarno-Hatta. Benar saja, kekisruhan dan kelambanan khas Indonesia langsung nyata terasa di tempat ini. Bayangkan untuk pengambilan bagasi saja, diperlukan waktu selama lebih dari 1 jam. Bahkan troli-troli untuk penumpang pun semuanya sudah ada di tangan petugas-petugas bandara yang siap 'membantu' meringankan beban bawaan. Barulah sekitar 45 menit kemudian, beberapa staf mulai menyediakan troli kosong. Belum lagi begitu keluar ke arrival area, beberapa calo langsung menyambut dan menawarkan jasa taksi dan telepon dengan gigih. Cerita suram Indonesia masih berlanjut, di luar beberapa sopir taksi tanpa seragam langsung tanpa basa-basi menawari taksi non argometer dengan harga yang ngawur! Benarlah kata orang bahwa kondisi airport sebuah negara menunjukkan wajah bangsa itu sendiri.

Parahnya kemudian seorang wanita berseragam membawa catatan (saya jadi mengira ia petugas resmi) menghampiri saya dan menawari jasa taksi, sehingga saya iyakan. Ternyata kemudian ia malah juga mengajukan penawaran tarif taksi borongan yang cuma lebih murah dari penawaran sopir taksi liar yang pertama. Karena saya sudah lelah, akhirnya penawaran itu saya iyakan. Eh, ternyata masih ada lagi seorang pria yang dengan sopan membukakan pintu taksi buat saya lalu tanpa sungkan menagih tipping seharga 10 ribu Rupiah!

Klimaks cerita ini berakhir saat di dalam perjalanan, mendadak si sopir taksi menawarkan tarif yang lebih tinggi lalu mematikan argometer. Setelah tawar-menawar ala Indonesia, akhirnya si sopir bersedia menurunkan tarif sebesar 10%. Sepertinya mereka semua saling bekerjasama untuk berbagi komisi. Padahal taksi Royal City yang saya tumpangi ini berlabel taksi resmi Bandara Soekarno-Hatta, I really miss Blue Bird Taxi! Betapa malunya saya kembali ke Indonesia langsung mengalami kisah seperti ini. Saya jadi membayangkan bila sang penumpang adalah turis bule, tentu parasit-parasit seperti ini akan lebih agresif lagi. Inilah yang membuat mengapa republik ini tidak pernah maju pesat, karena banyaknya korupsi dan kolusi di mana-mana. Mungkin Indonesia membutuhkan seorang Deng Xiaoping yang berani, tegas, revolusioner, dan jenius untuk menjadi sosok pemimpin, sehingga mampu mengangkat perekonomian negara ini seperti beliau menyulap perekonomian Shenzhen.