Rabu, 20 Juli 2011

Tentang Dunia dalam Sebuah Buku


Terinspirasi dari sebuah blog milik seorang kawan di situs pertemanan pecinta buku, Goodreads, Indah Tri Lestari, yang menceritakan awal mula perkenalannya terhadap buku dan kecintaannya yang total terhadap dunia buku, saya seolah mendapatkan motivasi kembali untuk berkutat di blog dan menumpahkan energi positif yang sama, menceritakan betapa saya juga mencintai buku. Ya, satu-satunya alasan terbesar mengapa selama ini saya sudah jarang menulis di blog adalah karena rasa kesenangan dalam menyalurkan hasrat menulis tentang apa saja tersebut sudah sukses diambil alih oleh Twitter! Yeah, I blame that cute Ollie Bird!

Buku, menurut saya adalah salah satu produk peradaban paling berpengaruh yang pernah dikenal manusia. Lewat buku, manusia mulai mengenal huruf dan mampu mendokumentasikan segala macam peristiwa. Dengan buku, manusia menulis sejarah. Melalui buku, manusia mewariskan dan mengajarkan pengetahuan empiris kepada generasi selanjutnya. Terciptanya buku membuat seseorang bisa menuangkan ide-ide abstrak di dalam kepalanya ke dalam lembaran kertas sehingga bisa dibaca dan dipahami oleh orang lain.

Sebagai salah satu penemuan paling spektakuler, buku telah berevolusi selama berabad-abad. Bermula dari lempengan batu, kulit binatang, gulungan batang-batang bambu, daun lontar, kertas papyrus, kertas modern olahan dari kayu, hingga ke era digital dimana buku telah bertransformasi menjadi data-data matriks yang terproyeksikan ke layar monitor-monitor gadget modern. Hebatnya, meskipun saat ini aktivitas membaca buku digital dari sebuah komputer tablet sudah menjadi hal yang biasa, eksistensi buku tradisional dalam medium kertas masih tetap tak tergantikan.

Sejak kecil, sebenarnya saya sudah akrab dengan aktivitas membaca. Mulai dari buku cerita bergambar, komik, majalah, hingga koran pun saya lahap semua. Perkenalan saya dengan aktivitas membaca dimulai dari buku-buku cerita bergambar dan cerpen di majalah Bobo. Kemudian berlanjut ke koran, hanya saja untuk berita-berita di koran, tidak semuanya saya pahami, kebanyakan saya hanya memandangi iklan-iklan, gambar-gambar film bioskop, dan sejenisnya. Saya pun punya kebiasaan aneh dalam membaca koran yang sampai sekarang masih saya lakukan. Bila lazimnya orang membaca koran dari halaman depan ke belakang, saya justru membaca halaman depan lalu membalik dan mulai membacanya dari halaman paling belakang hingga berurutan ke depan.

Namun meski sejak kecil saya sudah terbiasa membaca beragam bacaan, entah mengapa saya merasa takut membaca novel. Buat saya, membayangkan membaca satu buku tebal berisi tulisan semua terasa menakutkan. Saya cemas kalau-kalau saya tidak bisa memahami isi ceritanya dan akhirnya terjebak di satu bagian cerita sehingga tidak akan pernah menyelesaikan novel tersebut. Hingga akhirnya saat duduk di kelas 1 SMP, di satu malam, saya memberanikan diri untuk membaca sebuah novel milik teman saya, Lima Sekawan: Sarjana Misterius-nya Enid Blyton. Meskipun awalnya merasa khawatir kalau-kalau tidak sanggup membaca sampai selesai, ternyata tidak terasa dalam semalam, saya menyelesaikan novel tersebut. Sejak itu, saya seolah keranjingan membaca buku novel. Bermula dari Lima Sekawan, Trio Detektif, Pasukan Mau Tahu, Gadis Paling Badung di Sekolah, Goosebumps, Kisah Si Jennings, novel The X-Files, Animorphs, hingga saat memasuki bangku SMA, saya jatuh cinta dengan novel Harry Potter!

Saat menjadi mahasiswa, buku novel yang saya ikuti mulai bervariasi dengan membaca cerita-cerita konspirasinya Dan Brown, dan setelah lulus, kini saya mulai menikmati buku-buku bacaan yang berat dan serius (yang sudah pasti tidak akan saya sentuh saat duduk di bangku sekolah), mulai dari buku filsafat, marketing, manajemen, hingga sains.

Tidak terasa, jumlah koleksi buku saya semakin menumpuk, walaupun mungkin masih belum sebanyak die-hard book readers lainnya, tetapi paling tidak sudah bisa memuat 3-4 kardus besar. Untuk ukuran orang awam, jumlah buku sebanyak itu saja sudah pasti membuat mereka bertanya, "Hah?? Untuk apa buku sebanyak itu? Mau buka perpustakaan?". Serupa seperti Mba Indah Tri Lestari, sebenarnya saya juga ingin meletakkan semua buku-buku itu ke dalam perpustakaan pribadi. Tempat dimana saya bisa menyelinap masuk di malam hari, hanya untuk duduk di tengah-tengah ruangan, memejamkan mata, dan menikmati suasana seolah saya dapat mendengarkan semua buku-buku itu berbisik-bisik merdu :-)

Membuka perpustakaan untuk orang lain sebenarnya merupakan ide filantropis yang sangat baik. Hanya saja tidak semua orang menyukai buku dan tidak semua orang bisa memperlakukan buku dengan baik. Sudah tidak terhitung, berapa kali saya sebal saat buku saya dipinjam dan dikembalikan dalam kondisi lusuh, terlipat, sobek, basah akibat tersiram, sampai yang paling parah, hilang dan orang tersebut dengan enteng berkata, "Sori, iya bukunya nggak tahu hilang kemana, nanti deh kalo sudah ketemu, saya kembalikan."Karena alasan-alasan tersebut, saya memutuskan bahwa sebisa mungkin saya hanya akan berbagi buku-buku pribadi saya kepada sesama pecinta buku atau mungkin sebatas teman dekat.

Sampai kini pun, saya masih sering mampir ke toko buku bila berpergian ke mal. Dari semua toko buku yang ada, yang menjadi favorit saya adalah Kinokuniya di Plaza Senayan. Koleksi buku yang ada di sana relatif lengkap, ditambah peletakan bukunya yang baik, sehingga memudahkan orang untuk mencari sebuah buku. Sebagai gambaran, bahkan di Gramedia pun, saya masih sering menemui buku graphic novel yang diletakkan di rak novel! Hal lain yang saya sukai juga adalah di Kinokuniya Plaza Senayan, buku-buku yang ada sangat jarang dibungkus, jadi saya bisa membaca-baca buku-buku tersebut dengan bebas :-D

Toko buku favorit kedua saya adalah Times Bookstore di Lippo Karawaci, Tangerang. Ukuran tokonya lebih luas dan lega daripada Kinokuniya, dengan buku-buku yang cukup lengkap, tidak terbungkus, dan asyiknya disediakan banyak kursi dan sofa di sana yang membuat saya sangat betah sekali menghabiskan berjam-jam di toko buku ini (ditambah alunan lagu-lagu jazz yang membuat pikiran semakin rileks). Hanya satu kekurangannya, lokasinya jauh dari Jakarta.

Selain Kinokuniya dan Times Bookstore, saya juga suka mengunjungi Aksara Bookstore di Kemang. Aksara banyak memiliki koleksi buku-buku impor "aneh" yang terkadang tidak tersedia di Kinokuniya ataupun Times. Toko buku Gramedia di Grand Indonesia sebenarnya juga layak untuk dikunjungi. Namun seperti yang saya bilang sebelumnya, penataan dan klasifikasi buku-buku di Gramedia masih sangat kacau. Masih banyak buku-buku dengan genre tertentu dimasukkan ke genre yang tidak sesuai.

Dari tahun ke tahun, tingkat popularitas buku di Indonesia semakin meningkat. Indikasinya jelas, jumlah buku yang diterbitkan terus membanjiri rak-rak toko buku favorit kita. Semoga tren positif itu terus berlanjut dengan buku-buku lokal berkualitas tetap menjadi raja di negeri sendiri namun masyarakat juga memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan buku-buku impor bermutu (selama ini kita tahu harga buku-buku impor masih sangat mahal).

Buku. Ah, kelak bila saya sudah mempunyai anak, saya memimpikan semoga kelak saya bisa mendidik anak saya untuk turut mencintainya. Lebih bagus lagi bila saya bisa menularkan kecintaan tersebut bersama (calon) istri saya :-)