Sabtu, 28 November 2009

Balada Ibukota



Sigghhhh! Hampir tiap hari saya pulang-pergi selalu melewati daerah "neraka", yaitu Palmerah yang nyaris selalu sukses membuat saya geram, marah, prihatin, sedih, dan akhirnya menjadi apatis larut ke dalam kekosongan harapan. Ada apa gerangan? Karena di Palmerah itulah bercokol markas besarnya spesies-spesies antik bernama Sopir Angkot yang menyumbang kontribusi terbesar dalam menciptakan jalanan yang kumuh dan super duper macet di kawasan Palmerah - Kemanggisan.

Dari tempat tinggal kos saya di Kemanggisan, melewati Palmerah, hingga akhirnya melaju bebas di Jl. Gatot Soebroto, kalau dalam kondisi normal, biasanya hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit saja (bahkan kalau lenggang bisa membutuhkan hanya 5 menit saja). Tetapi kalau sedang macet, waktu paling cepat yang dibutuhkan bisa mencapai setengah jam! Lagi-lagi penyebab utamanya tak lain dan tak bukan adalah sopir-sopir angkot. Bahkan yang membuat saya tak bisa menahan emosi adalah sudah jam 22.30 malam pun, angkot-angkot masih sibuk ngetem! Padahal jalanan di depan angkot-angkot sangat lenggang. Sopir angkot sengaja menciptakan delusi kemacetan dan menyukainya karena semakin tampak macet jalanan, semakin lama mereka ngetem, dan itu berarti probabilitas jumlah penumpang yang menaiki angkotnya akan meninggi.

Sepanjang pengamatan saya, kepadatan kendaraan di kawasan Palmerah terjadi karena beberapa alasan, yaitu:

1. Jumlah kendaraan yang memang melimpah-ruah karena jam berangkat kerja atau jam pulang kerja. Hal ini jelas merupakan sebuah kewajaran yang tidak bisa dihindari.

2. Adanya Pasar Palmerah, dimana para penjual sangat banyak berjualan sembarangan hingga memakan sebagian bahu jalan. Belum lagi para pembeli dan pejalan kaki di sekitarnya yang ikut hilir-mudik. Aktivitas pedagang pasar di pinggir jalan berlangsung dari subuh hingga subuh lagi!

3. Banyaknya para pejalan kaki yang menyeberang jalan seenaknya sendiri sehingga turut menghambat kelancaran arus lalu lintas. Malah saya sangat heran sekali melihat banyak orang-orang tolol yang malah nekad menyeberang jalan saat lampu lalu lintas menyala hijau! (Apa mereka tidak tahu arti dari warna lampu lalu lintas, sedang buru-buru sehingga tidak mau menunggu lampu menyala merah, atau memang benar-benar tolol?)

4. Di perempatan Rawabelong, sangat banyak kendaraan (terutama sepeda motor dan angkot) yang tidak memperhatikan lampu lalu lintas. Meskipun lampu lalu lintas sudah menyala merah, tetap saja mereka melajukan kendaraannya. Tentu saja ini juga berdampak pada kemacetan lalu lintas.

5. Terakhir, alasan yang paling jelas dan nyata, para sopir angkot yang dengan mudahnya mengetem (menghentikan kendaraannya untuk menunggu penumpang naik) di sembarang tempat, sesuka hatinya sendiri. Hal ini diperparah dengan para calon penumpangnya yang juga naik-turun angkot seenak udelnya sendiri.

Padahal andaikan saja kita semua mau mendisiplinkan diri dalam berlalu lintas, saya optimistis bahwa kemacetan di jalan bisa direduksi sekitar 20-30%. Namun saya sangat sadar bahwa fenomena ketidakdisiplinan beberapa pihak di jalanan bukan sebuah fenomena tunggal, melainkan merupakan satu reaksi berantai dari penyebab-penyebab lainnya yang saling berhubungan.

Misalnya saja, mengapa pejalan kaki terpaksa berjalan kaki di bahu jalan sehingga menghambat arus lalu lintas? Karena trotoar yang merupakan tempat bagi pejalan kaki sudah diinvasi oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menggelar dagangannya, mendirikan warung dadakan, menempatkan lapak-lapak, dsb. Kalau para PKL itu ditertibkan oleh Satpol PP, maka mereka akan memprotes dan berbalik melawan dengan dalih "Saya berhak cari makan disini", atau "Jangan cuma bisa gusur saja tapi tidak memberi solusi". Ini jelas mencerminkan mental egoisme kelas rendah yang terkesan mau menangnya sendiri. Apakah Pemkot harus selalu menyediakan tempat bagi para PKL itu untuk berjualan? Padahal mereka datang sendiri dan berjualan atas inisiatif sendiri, dan selalu ada wajah-wajah baru yang menjadi PKL. Kalau Pemkot harus selalu menyediakan lahan berjualan untuk mereka semua secara terus-menerus, saya kira lahan seluas 200 hektar pun akan habis tak tersisa. Namun Pemkot sendiri juga turut bersalah dalam hal ini karena mereka tidak menggusur para PKL saat jumlahnya masih 2-3 orang. Mereka menunggu setelah jumlahnya mencapai 500 orang dan memacetkan jalan, barulah mereka bertindak. Ini sama saja dengan membiarkan penyakit kanker mencapai stadium 4 baru memeriksakan diri ke dokter.

Analisis saya selanjutnya, mengapa angkot selalu ngetem sembarangan? Karena:

1. Mental dan kesadaran berlalu lintas para sopir angkot yang sangat memprihatinkan. Mereka tidak peduli dengan pengguna jalan lainnya karena hanya dengan ngetem seenak udelnya itulah mereka bisa leluasa mengangkut penumpang sebanyak-banyaknya sehingga bisa memenuhi setoran. Seandainya mereka patuh untuk tidak menaik-turunkan penumpang di sembarang tempat, pasti uang yang mereka dapat akan berkurang, sedangkan ia tidak memperoleh keuntungan apa-apa dari tindakan patuhnya tersebut. Malah mungkin sesama teman angkotnya yang tetap ngetem ngawurlah yang menikmati penumpang-penumpang yang tidak terangkut tersebut, sehingga sopir angkot itu mungkin berpikiran, "Daripada saya disiplin tapi setoran kurang, malah penumpang-penumpang yang bisa saya angkut diambil teman saya, lebih baik saya tetap ngawur, asalkan bisa dapat penumpang banyak".

2. Penumpangnya sendiri yang tidak disiplin naik-turun sembarangan. Ini bagaikan lingkaran setan, kita tidak bisa memutusnya hanya dari salah satu pihak. Mendisiplinkan sopir angkot tanpa mendisplinkan calon penumpangnya sama saja seperti usaha menegakkan benang basah, demikian pula sebaliknya.

Nah, pertanyaan selanjutnya, mengapa para penumpang doyan naik-turun sembarangan? Karena pemerintah tidak membangun halte dalam jumlah cukup dengan kondisi yang memadai. Banyak halte-halte yang dibiarkan terbengkalai dan malah menjadi tempat mangkalnya pengamen-pengamen jalanan atau tempat alternatif berjualan bagi para PKL. Faktor lain yang tidak kalah dominan adalah mental kemalasan calon penumpangnya sendiri yang enggan berjalan sedikit ke halte menunggu angkot. Mereka lebih suka dimanjakan dengan naik-turun angkot langsung di depan tempat ia berdiri. Orang Indonesia memang sudah terlanjur dimanjakan oleh nikmatnya teknologi transportasi, sehingga hanya berjalan kurang dari 50 meter pun sudah memilih menaiki sepeda motor.

Padahal sepeda motor dalam jumlah banyak seperti minyak yang disiramkan ke bara api. Memang volume sebuah motor di jalan sangat lebih kecil dibanding mobil (volume sebuah mobil mungkin sama dengan volume 4-5 motor). Tetapi di jalanan, mobil-mobil pada umumnya selalu cenderung berbaris rapi sementara motor selalu cenderung bergerak sporadis, tidak terarah, acak, dan ingin selalu di barisan depan. Inilah yang menjawab mengapa sebuah kota yang memiliki pertumbuhan motor yang mengagumkan dapat dipastikan mempunyai masalah dengan kemacetan lalu lintas.

Kembali ke masalah utama, fenomena ngetemnya angkot, sebenarnya polisi bukannya tidak tahu masalah itu. Mereka sangat tahu dan saking seringnya tahu akhirnya mereka menjadi tutup mata dan tahu sama tahu. Saya bisa memaklumi keapatisan polisi karena mental sopir angkot ini sungguh bebal. Mereka tidak takut ditilang bahkan disita STNK-nya pun tak jadi soal, yang penting mereka tetap bisa mengangkut penumpang, membayar setoran ke juragan angkot, dan membawa uang cukup untuk anak-istri. Kepentingan perutlah yang membuat otak dan hati mereka melorot hingga ke dasar dubur. Padahal secara matematis, andaikan setiap angkot rata-rata berhenti selama 3 menit, maka 10 angkot berjajar ngetem sudah membuat Anda kehilangan waktu selama 30 menit!

Di jalanan dimana angkot ngetem, sesekali tampak seorang pria berseragam sebuah ormas meniup peluit sambil membawa pentungan, seolah-olah menyuruh angkot untuk segera bergegas dari aktivitas ngetemnya. Padahal mereka ini sebenarnya adalah partner kerja dengan sopir-sopir angkot tersebut. Mereka mengizinkan angkot ngetem di sana dan sebaliknya sopir angkot pun harus memberikan setoran beberapa Rupiah untuk "uang keamanan". Intinya, kehadiran "polisi-polisi" swasta gadungan ini nyaris tidak berpengaruh terhadap ngetemnya angkot. Saya sendiri sudah merasa apatis terhadap kelakuan sopir-sopir angkot. Diklakson berkali-kali tetap tak bergeming, diteriakin atau dipelototin malah balik menantang atau memasang wajah innocent bak dizalimi. Yang menjengkelkan lagi, tak jarang saat ngetem, mereka tidak sungkan-sungkan menyerobot masuk ke antrian kita tanpa perasaan bersalah.

Secara psikologis pun saya memahami bahwa betapa tingkat pendidikan seseorang turut mempengaruhi kelakuan dan pola pikirnya. Pengamatan saya pada beberapa sopir angkot turut memperkuat hipotesis saya tersebut. Saya sangat sering menjumpai sopir angkot yang membuang sampah saat sedang melaju di jalan, mulai dari kacang, rokok, hingga botol minuman!

Memang mencoba menyelesaikan masalah-masalah di atas tidaklah semudah membalik telapak tangan. Walaupun begitu, saya mencoba menawarkan beberapa solusi, yaitu:

1. Melakukan revolusi radikal terhadap cetak-biru infrastruktur jalanan di Indonesia, dengan membagi 3-4 lajur dimana untuk kendaraan umum wajib berada di lajur paling kiri dan saat berhenti di halte, jalanan dibuat agak masuk ke dalam trotoar. Ini membuat saat angkot/bus berhenti di halte, tidak akan membuat kendaraan-kendaraan di belakangnya ikut berhenti pula.

2. Melakukan pembatasan angkot, mungkin dengan dilihat dari kondisi kelayakan kendaraan. Karena sepanjang yang saya lihat di Palmerah-Kemanggisan, jumlah angkot sudah terlalu banyak. Bayangkan saja masa sebuah angkot melaju dan tepat di belakangnya sudah ada 3 angkot lagi berjejeran.

3. Mengubah sistem gaji sopir angkot menjadi gaji bulanan plus komisi karena dengan adanya sistem setoran, sopir angkot berlomba-lomba saling ngetem berebut penumpang sebanyak-banyaknya dengan cara apa pun.

4. Memaksa juragan angkot dan ORGANDA untuk melakukan supervisi ketat dan review secara berkala terhadap para sopir angkot dan kendaraannya dengan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan.

5. Membangun halte dalam jumlah cukup dan memadai bagi para calon penumpang.

6. Nah ini yang paling sulit, bisakah kita mengubah kebiasaan calon penumpang angkot/bus untuk mau berjalan dan menunggu di halte terdekat?

7. Sudah saatnya Jakarta mempunyai sarana transportasi massal yang aman, nyaman, dan terintegrasi. Hanya dengan begitu para pengguna kendaraan pribadi mau beralih menggunakan transportasi umum.

Pendek kata, biarpun ada seorang polisi lalu lintas yang ditempatkan setiap jarak 10 meter untuk mengawasi, bila kedisiplinan berlalu lintas belum ada dalam diri kita masing-masing, maka mengharapkan sebuah keadaan lalu lintas yang tertib, aman, dan manusiawi pun sama mustahilnya dengan mengharapkan seekor ayam mempunyai gigi.