Senin, 14 Juli 2008

Drama Serengeti





Sebuah drama kolosal telah dimainkan di atas panggung berhektar-hektar luasnya, didukung oleh ratusan pemain utama dan figuran, serta telah berlangsung selama jutaan tahun bahkan sebelum manusia pertama berdiri di atas dua kaki. Drama itu dapat kita saksikan selama 24 jam penuh di Serengeti, Afrika.

Serengeti merupakan padang rumput seluas 14.763 km persegi yang berstatus sebagai Taman Nasional dan telah ditetapkan UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Site). Di era kapitalisme modern, Pemerintah Tanzania memutuskan untuk mempromosikan Taman Nasional Serengeti sebagai one of the best tourist destinations di Afrika. Serengeti kini menjadi sumber pemasukan yang mewah bagi Tanzania dari dompet turis-turis kaya. Selain dihuni spesies-spesies yang menakjubkan, Serengeti juga menjadi tempat tinggal bagi Suku Maasai, suku prajurit tradisional Afrika yang legendaris. Rekaman video orang Eropa dari awal abad 20, memperlihatkan kehebatan dan kerapian kerjasama mereka dalam memburu singa.

Di atas panggung teatrikal inilah, alam menunjukkan keagungannya. Persaingan keras yang berasal dari insting setiap mahluk untuk bertahan hidup. Sabda Darwin bahwa yang kuat akan terus hidup, yang lemah tersingkir (survival of the fittest), menjadi hukum mutlak. Sejarah peradaban manusia selama ribuan tahun seakan hanya menjadi kepingan kecil, nyaris tidak berarti, dari sebuah puzzle raksasa utuh keperkasaan alam.

Berbagai skenario yang telah dipersiapkan alam, semuanya mampu mengaduk-aduk emosi manusia yang menyaksikannya. Mayoritas bayi herbivora yang baru dilahirkan akan berusaha berdiri dan berjalan mengikuti induknya. Bayi yang bahkan baru saja menatap warna dunia, merasakan ketatnya peraturan drama Serengeti. Ia berusaha berdiri dengan tubuh gemetar dan sesekali terjatuh. Induk di sampingnya terus memberi semangat dengan berusaha mendorongnya bangun. Sang induk menyadari bahwa dua nyawa sedang dipertaruhkan di atas bom waktu yang terus berjalan. Bayi yang masih lemah merupakan sasaran lezat para predator, karenanya mereka harus cepat menyingkir. Bila bayi tersebut masih tetap kesulitan melangkah, sang induk dengan berat hati akan meninggalkannya. Dan tidak lama kemudian, seekor predator dengan menyeringai akan menjumpai sebuah makanan lezat di atas nampan perak, seekor bayi herbivora yang tidak mampu melawan dan hanya bisa memanggil sang ibu dengan sia-sia.

Suatu saat tampak pula seekor bayi gajah berjalan sendirian di padang rumput luas. Kita hanya bisa menduga bahwa bayi gajah tersebut tersesat dari induknya. Gajah Afrika (Loxodonta africana)dikenal hidup dalam kelompok yang besar dan mengenal sistem hierarki dalam kepemimpinannya. Bayi gajah itu mengembara, berjalan jauh, mengendus-endus pepohonan, mencari-cari bau induknya. Sesekali insting kanak-kanaknya muncul mengambil alih kecemasannya, ia tampak senang bermain air tatkala menemukan sebuah sungai. Tiba-tiba seolah Dewi Fortuna datang membelainya, muncul sekelompok gajah mendatangi sungai tersebut. Bayi gajah itu sontak menghentikan permainannya dan mendatangi kawanan tersebut dengan harapan cerah. Di sinilah wajah lembut Dewi Fortuna mendadak berubah seakan tertawa meledek saat bayi gajah tersebut ditolak mentah-mentah! Nyata bahwa mereka bukanlah kelompok dari induk bayi gajah malang itu.

Ini sangat mengejutkan karena gajah dikenal mempunyai kehidupan sosial yang tinggi. Gajah biasanya akan menunjukkan solidaritasnya saat menemui gajah lain yang terluka atau tersesat. Bayi gajah itu pantang menyerah, ia menghampiri satu per satu gajah betina dalam kelompok tersebut. Reaksi yang didapatkan adalah kasar dan cenderung brutal, gajah-gajah dewasa itu menghalau si bayi dengan belalai besarnya. Bahkan salah satu dari mereka nyaris marah menginjak si bayi yang terus mengikuti. Padahal beberapa dari gajah betina tersebut juga mempunyai bayi yang seumur. Harapan semula bahwa bayi itu akan diadopsi menjadi surut, bahkan hilang sama sekali saat matahari mulai turun ke tempat peraduannya. Senja beranjak malam dan bayi itu telah kelelahan baru saja menghadapi penolakan kasar dari kaumnya sendiri. Cerita ditutup saat bayi gajah tersebut dikepung oleh sekelompok hyena yang tertawa-tawa eksentrik. Bayi gajah yang bisa berjalan tidaklah selemah bayi herbivora yang hanya bisa memanggil-manggil pasrah ibunya. Tetapi kerjasama hyena dewasa ditambah faktor kelelahan membuat Dewi Kematian datang menjemputnya dalam waktu 15 menit.

Seekor induk jackal (Canis auerus) terlihat panik dan frustasi saat memergoki seekor ular python (Python sebae) dewasa menutupi lubang masuk terowongan sarangnya. Sebuah kepanikan yang sangat beralasan karena di dalam sarang itu terdapat 4 ekor anaknya. Induk jackal itu mencoba mengusir dan menarik perhatian python tersebut. Tetapi obsesi reptil yang mampu berukuran sepanjang 4-5 meter ini sudah tidak dapat dihentikan siapa pun. Jackal betina itu hanya lemas tak berdaya mengawasi kepala ular raksasa itu menyusup masuk dan menyantap mereka. Namun python itu masih memiliki kemurahan hati karena ia hanya mengambil seekor anaknya lalu pergi menjauh. Ular itu bisa menelan habis 4 ekor anaknya bila ia mau. Induk jackal itu kemudian segera datang menjemput 3 ekor anaknya yang tersisa dan membawanya ke sarang baru. Besar kemungkinan sang python akan datang lagi kelak.

Tidak hanya tema "Kesedihan" yang dimainkan di atas panggung Serengeti. Ada pula tema "Kejayaan" yang diusung. Kejayaan dipuisikan saat kelompok singa betina berburu zebra (Equus burchelli) atau wildebeest (Connochaetes taurinus). Kerjasama yang rapi dengan serangan kuat seketika seperti tank, menjadi kebanggaan para singa. Semua serangan mengikuti satu prosedur: "Jatuhkan mangsa dan gigit kuat-kuat lehernya." Gigitan singa dewasa mampu mematahkan tulang leher herbivora dewasa. Kalaupun tulang leher itu tidak patah, kematian akan tetap datang saat gigitan itu meremas kerongkongan, memotong akses jalur respirasi dari dan ke dalam paru-paru.

Namun singa (Panthera leo) pun bukan aktor berjiwa koleris yang terus-terusan mendominasi skenario cerita. Singa mempunyai musuh bebuyutan, yaitu hyena (Crocuta crocuta). Mereka adalah predator berpenampilan seperti anjing yang berjiwa oportunistis. Hyena tidak peduli sekalipun para audiens mencemooh peran mereka yang pengecut. Mereka sangat jarang berburu sendirian, cenderung menyerang mangsa yang lemah atau terluka, dan sangat sering merampas makanan predator lain tanpa sungkan. Tetapi reputasi pengecut inilah yang membuat hyena mampu bertahan sampai detik ini bahkan mampu membuat para singa berpikir dua kali bila berurusan dengan hyena.

Saat para singa berpesta-pora menyantap hidangan, hampir pasti serombongan tamu tak diundang akan segera tiba. Sembari mengamati kerakusan para singa, hyena-hyena mulai melancarkan intimidasi. Singa yang terprovokasi mungkin akan mencoba menyerang atau menakuti-nakuti hyena. Tetapi hyena bukan aktor drama amatiran yang akan takut menghadapi gertak sambal. Mereka secara perlahan justru semakin nekad mengintimidasi hingga para singa memilih keputusan bijaksana.

Korban intrik hyena bukan hanya singa. Macan tutul (Panthera pardus) dan Citah (Acinonyx jubatus) juga mempunyai dendam yang sama terhadap mereka. Namun dari ketiga spesies kucing besar ini, hanya macan tutul yang mampu menemukan solusi cerdik. Setelah berhasil menyergap impala (Aepyceros melampus), macan tutul akan menyeretnya naik ke atas pohon. Ini dilakukan supaya stok makanan dapat tersimpan aman sebab hyena tidak dapat naik merebutnya. Namun pada kasus tertentu, singa yang diselimuti rasa lapar dapat terdorong memanjat pohon untuk merebut mangsa macan tutul. Anehnya, singa tampak lebih kesulitan saat menuruni pohon daripada saat menaiki. Beberapa pengamat berasumsi singa kehilangan kemampuannya menaiki pohon karena merasa bahwa kemampuan itu tidak lagi diperlukan untuk memburu mangsa.

Citah mendapat peran yang lebih mengenaskan daripada para sepupunya. Mempunyai reputasi hebat sebagai mahluk bumi tercepat untuk berlari sprint dengan kecepatan puncak 110 km/jam, mereka paling tidak berdaya mempertahankan mangsa. Seusai membunuh seekor Gazelle (Gazella thomsonii), citah harus menyantap mangsanya secepat mungkin dengan napas masih tersengal-sengal. Sebab hampir selalu, lagi-lagi hyena atau bahkan singa akan segera tiba begitu mendeteksi aroma pembunuhan. Citah merupakan satu-satunya keluarga kucing besar yang mengeluarkan suara mirip seperti kicauan daripada geraman. Kecepatan citah yang menggagumkan ternyata juga mempunyai kelemahan. Akselerasi hanya berlaku untuk perburuan dalam jarak dekat, tidak untuk perburuan jarak jauh. Karena itu dalam berburu, citah pasti akan mengintai sasaran dan bergerak mendekatinya hingga masuk dalam jangkauan akselerasinya. Para ilmuwan berspekulasi bila citah terus mempertahankan kecepatan tinggi melewati batas jangkauannya, jantung citah akan meledak akibat terpacu keras memompa darah berlebihan.

Tetapi alam juga menyimpan naskah cerita dengan tema "Keadilan". Berperan sebagai para predator tidak berarti mereka selalu berada di atas otoritas. Terkadang mereka juga harus menjiwai makna ketakutan, kepanikan, dan duka cita. Dalam banyak sejarah, seringkali para budak bangkit dan menyerang sang majikan. Begitu pula para herbivora, dalam kasus tertentu mereka merasakan gelora yang membara untuk membalas dendam. Seekor warthog (Phacochoerus africanus) jantan dewasa dalam kondisi prima tidak akan merasa takut sekalipun menghadapi dua ekor citah dewasa. Seekor hyena sendirian yang mengincar anak wildebeest terkadang harus pulang dengan tangan kosong di bawah provokasi gigih induknya.

Bahkan Serengeti mencatat kisah dua ekor citah bersaudara yang mengharukan. Mereka berhasil memisahkan seekor anak wildebeest dari induknya dan tanpa waktu panjang, salah satu citah segera menjatuhkan wildebeest muda itu dengan menggigit lehernya. Wildebeest muda itu tetap meronta-ronta dan tak henti memanggil ibunya dengan lirih. Sang induk terlihat ragu-ragu apakah ia akan menolong anaknya atau tidak. Akhirnya sang ibu mengambil keputusan berani, ia segera menerjang langsung ke arah citah yang terus menggigit leher anaknya. Induk wildebeest itu memberikan pelajaran berharga dengan sukses melontarkan citah itu ke udara. Namun saudaranya yang lain segera melanjutkan usaha pembunuhan wildebeest muda tersebut. Sang induk berhenti sejenak, ia menyadari anaknya terlalu lemah untuk ditolong dan akhirnya ia memilih untuk pergi meninggalkannya. Citah yang diserang wildebeest tadi datang mendekati saudaranya dengan tertatih-tatih seakan menagih imbalan. Pengorbanan yang sangat mahal untuk membeli daging wildebeest muda dengan bayaran sebuah luka panjang tertoreh di perut citah malang tersebut. Luka ini terlalu parah untuk bisa sembuh dengan sendirinya. Dalam waktu 24 jam, citah ini tidak akan lagi bercanda bersama saudaranya karena infeksi akan merengutnya.

Puncak akumulasi balas dendam benar-benar terbayarkan saat kawanan kerbau Afrika (Syncerus caffer) menjelajah dan menginspeksi daerah-daerah teritori singa yang ditinggalkan para singa untuk berburu. Begitu mencium bau anak singa yang bersembunyi ketakutan, mereka semakin bersemangat dan saat berhasil menemukan, tanpa dikomando kawanan kerbau Afrika ini akan menginjak-injak mati anak singa tersebut, bahkan melempar-lemparkan bangkainya dengan tanduknya seakan memperlakukan sampah. Puas beraksi, kerbau-kerbau liar itu lantas pergi meninggalkan jejak pelampiasan dendam antar generasi.

Alam memang menyukai anomali dan sengaja memunculkan mereka di tengah-tengah alur seakan ingin kekuatan oposisi menyeimbangkan kembali hukum rimba yang terlalu dominan. Bahkan seakan menginspirasi manusia untuk saling memperebutkan kekuasaan politik, para anggota keluarga kucing besar tidak pernah rukun. Dendam yang paling mendalam tentu saja tertoreh di antara kubu singa dan kubu hyena. Tidak hanya soal berebut makanan, mereka saling berusaha menyerang dan melukai satu sama lain tanpa alasan apa pun. Seekor hyena yang terjebak sendirian di dalam perangkap para singa, akan menjadi bulan-bulanan singa betina, sebelum akhirnya tewas dengan gigitan singa jantan dewasa di leher. Singa jantan bak pemimpin tertinggi yang mengemban misi suci menuntaskan langkah terakhir menghabisi musuh-musuh kaumnya. Demikian pula hyena juga mematuhi aturan tak tertulis kelompoknya bila menjumpai seekor singa sendirian yang terluka ataupun anak singa yang tersesat.

Sebuah pertunjukan luar biasa kembali diperagakan di Serengeti melibatkan tiga aktor sekaligus. Sebuah kisah tentang perjuangan dan kegigihan yang layak mendapatkan standing ovation. Cerita dimulai dari kerjasama singa yang berhasil mengisolasi seekor kerbau Afrika terpisah dari kawanannya. Meski sendirian, seekor kerbau Afrika dewasa tetap terlalu tangguh dan berbahaya. Singa-singa berusaha keras menyerang dan membuat luka serius dari belakang untuk menghindari tandukan kerbau. Terus diserang, akhirnya sang kerbau kewalahan juga sehingga terpaksa melarikan diri terjun ke sungai. Sang kerbau tahu bahwa singa takut dengan air, sehingga ia akan aman di sungai. Namun ungkapan "Lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya", benar-benar terjadi. Suara ceburan air sungai mendoktrinasi para buaya (Crocodylus niloticus) untuk segera berinisiatif menyambut sumber suara tersebut.

Insting kerbau Afrika malang ini mencium bahaya lain. Sang kerbau segera keluar dari sungai, namun para singa di daratan kembali menghampirinya. Singa-singa tersebut seolah tahu bahwa kerbau itu cuma mengulur waktu kematiannya sendiri. Saat singa telah mendekat, sang kerbau kembali terjun ke sungai. Tarik-ulur benang nyawa sang kerbau terus berlangsung hingga senja datang menyapa. Sang kerbau yang telah kelelahan akhirnya pasrah tidak berdaya saat tubuhnya dimakan hidup-hidup oleh para singa yang telah sabar menunggu hadiah Natal. Pesta-pora yang kelihatannya akan mengenyangkan singa-singa selama beberapa hari ini rupanya menyulut sumbu kecemburuan tetangga yang juga mengharapkan hadiah yang sama. Kali ini bukan para hyena, namun seekor buaya Nil dewasa.

Sungguh fenomena yang langka melihat seekor reptil Jurassic keluar dari teritorinya, sendirian mendekati para singa betina yang sedang menyantap jamuan malam. Dengan langkah tenang tetapi percaya diri, buaya ini langsung menyerobot pesta Natal para singa, seakan itu hanya merebut permen dari tangan beberapa anak ingusan. Terbiasa hidup sebagai predator di darat, para singa kebingungan menghadapi kelancangan buaya ini. Seekor dari mereka mencoba mengancam dengan meraung dan seekor lagi mencoba-coba menggigit ekor buaya tersebut. Melihat sang buaya tidak terpengaruh dengan kedua cara tersebut, para singa memutuskan untuk pergi meninggalkan musuh yang tampaknya terlalu kuat kali ini.

Klimaks drama Serengeti dikisahkan alam lewat judul "The Great Migration". Migrasi tahunan ini terjadi sekitar bulan Oktober yang diikuti oleh jutaan wildebeest dan sebagian zebra yang mencoba mencari rumput yang lebih segar di tanah seberang sejauh 500 mil. Mereka akan kembali lagi ke tempat semula di bulan April. Sebuah ritual yang telah berlangsung selama jutaan tahun dan tentu saja sekumpulan besar herbivora berarti sebuah isyarat undangan pesta tak tertulis bagi banyak predator. Untungnya bagi para buaya, migrasi besar-besaran ini pasti melalui teritori mereka, Sungai Mara.

Para singa yang telah lama mengikuti migrasi itu berusaha membuat sekelompok wildebeest terpecah-pecah dan mengejar wildebeest yang terpisah. Singa akan kebingungan tak berkutik andai para wildebeest tetap bergerak dalam satu kumpulan besar. Namun gangguan para singa hanyalah bagian kecil dari sebuah maha rencana alam. Buayalah yang akan merasakan hadiah terbesar dari proyek raksasa ini. Setelah tiba di tepian Sungai Mara, jutaan herbivora itu mendadak berhenti namun resah menanti langkah berikutnya. Buaya-buaya terlihat sudah menyiapkan pawai penyambutan dengan baik di bawah sana. Para wildebeest terlihat gelisah seakan tidak mau menjadi sukarelawan yang pertama namun mereka tidak berdaya mengintervensi naluri migrasi yang sudah diprogram alam di bawah alam sadar mereka.

Seperti telah terjadi kesepakatan singkat, akhirnya seekor wildebeest jantan yang terlihat gagah maju ke depan barisan dan mulai menyusuri pinggiran sungai yang tidak terlalu terjal. Dengan cermat ia memilih terjun ke aliran sungai yang tidak terlalu dalam. Sontak ratusan wildebeest di belakangnya mengikuti jalur yang sama, tetapi kemudian titik keberangkatan lain juga dibuka. Lambat-laun, aksi menyusuri tepian sungai berubah menjadi aksi terjun langsung ke sungai! Di sungai sendiri tentu saja para buaya tidak berpangku tangan. Hanya saja ternyata hajatan makan gratis buaya ini tidak semudah yang kita bayangkan. Kulit wildebeest yang basah menjadi licin di sungai dan manuver gesit wildebeest yang sehat menghindari sergapan, memaksa buaya harus bertindak penuh perhitungan.

Setelah akhirnya mampu menangkap seekor wildebeest malang, buaya akan segera mencaplok dengan rakus. Untungnya kesuksesan seekor buaya ini dengan segera menarik perhatian rekan-rekannya sehingga wildebeest-wildebeest lain dapat terhindar dari ancaman bahaya sementara. Buaya-buaya itu dengan keserakahan purba saling berebutan apa pun yang tersisa dari wildebeest tadi.

Di adegan lain, seekor buaya tampak kegirangan berhasil menangkap kaki belakang seekor zebra dewasa. Zebra itu tampak panik berusaha melepaskan diri namun butuh sesuatu yang luar biasa untuk bisa melepaskan diri dari rahang buaya yang lapar. Daripada berdiam diri menanti ajal menjemput, mengapa tidak mencoba sesuatu yang berguna? Demikian mungkin pikirnya. Didorong rasa frustasi, zebra itu menggigit punggung buaya. Andai gigitan itu dilakukan pada hewan tak berkulit perisai, mungkin akan memberikan efek signifikan. Sayangnya bila gigitan singa saja tidak berpengaruh pada buaya, apalagi gigitan seekor zebra? Sepupu kuda itu akhirnya harus menjadi bahan pemuas rasa lapar kawanan buaya Nil.

Saat-saat menegangkan akhirnya berlalu meninggalkan sisa-sisa takdir di belakangnya. Ratusan wildebeest dan sebagian zebra diperkirakan mati dalam perjalanan migrasi tersebut. Mati diburu predator, mati cedera atau kelelahan, mati tenggelam terseret arus, dan mati di mulut buaya. Tetapi inilah perjuangan demi meraih sesuatu yang lebih baik di ujung sana. Sesuatu yang baik untuk dapat diwariskan pada keturunan mereka yang kelak akan menjalani takdir yang sama. Uniknya kuda nil (Hippopotamus amphibius) kelihatannya menikmati perannya membersihkan sungai dari bangkai-bangkai tersebut. Ia mengumpulkan bangkai-bangkai wildebeest yang mati tenggelam dan menumpuknya di pinggiran. Tentu saja alam tidak pernah mensia-siakan sesuatu. Bangkai-bangkai itu segera saja menjadi makanan banyak burung.

Skenario terakhir yang merupakan ujian terberat di seluruh Serengeti, adalah bagian "Kemarau Panjang." Ketika memasuki masa kemarau, sungai-sungai akan mulai mengering. Mata air menjadi hal yang mewah di masa itu. Tak heran, banyak hewan akan berdesak-desakkan di mata-mata air yang masih tersisa. Sungai yang masih berair tentu saja masih merupakan teritori buaya dan sekali lagi buaya harus berterimakasih kepada alam karena saat kemarau, hewan-hewan yang mendekati sungai justru akan menggali liang kuburnya sendiri. Para herbivora menyadari bahaya dari buaya, namun rasa haus yang membakar tenggorokannya mengalahkan rasa takutnya tersebut. Di sinilah buaya mengambil keuntungan dengan cepat menyabet impala, babun (Papio anubis), dan burung-burung yang lengah saat meminum air sungai. Seekor singa betina yang kehausan terlihat ikut meminum di sungai yang sama. Namun insting predatornya yang terlatih seakan menuntunnya untuk segera pergi menjauh setelah melihat bayangan reptil mendekat.

Mamalia yang tidak mau berjudi nyawa dengan buaya memilih berdesak-desakan meminum dari sisa-sisa resapan mata air di pinggiran sungai. Babun yang lebih cerdas mencoba menggali tanah dan beruntung menemukan sedikit resapan air. Dengan segera babun-babun yang lain berdatangan berebut melepas dahaga. Gazelle yang sedikit nekad mencoba ikut meminum di resapan air yang sama dengan babun dan tentu saja pertemuan mereka dihiasi pertengkaran kecil. Namun tanduk gazelle sudah cukup untuk memadamkan keegoisan babun tersebut.

Kondisi kemarau semakin parah. Hewan-hewan semakin berdatangan untuk berebutan meminum persediaan air yang masih tersisa. Beberapa hewan yang tidak mampu bersaing pelan-pelan lemah dan akhirnya mati. Di tengah kekalutan itu, terdapat beberapa bayi gazelle sendirian, terpisah dari induknya. Babun yang berpengalaman perlahan mendekati bayi tersebut dan kemudian mencekiknya sehingga ia tidak mampu memanggil induknya. Setelah mati lemas, si babun dengan antusias menyeretnya menuju tempat sepi, jauh dari teman-temannya untuk mengkonsumsi protein sendirian. Kelicikannya ternyata terhadang oleh seekor warthog yang mencium bau bangkai. Panik melihat agresi warthog dengan taringnya, si babun lari terbirit-birit. Namun ia tidak ingin babi liar itu mencuri makanannya dengan mudah, babun itu mencoba memprovokasi warthog supaya meninggalkan bangkai itu. Taktiknya berhasil, babi liar itu kembali mengejar si babun, namun babun yang lain telah mengintai aksi mereka dan tak mensia-siakan peluang dengan langsung menyambar bangkai bayi gazelle sembari menaiki pohon. Warthog dan babun yang pertama hanya bisa memandang kesal.

Puncak kemarau semakin menghebat. Resapan-resapan mata air telah mengering sama sekali. Di sekitarnya terdapat banyak tengkorak mamalia berserakan. Sungai pun kini lebih pantas disebut genangan lumpur. Buaya masih bertahan hidup dengan memakan ikan catfish yang terjebak di genangan. Dengan lapisan lumpur yang mengeras di kulit, efek kemarau sedikit berkurang bagi buaya. Minggu demi minggu berlalu dan sungai kini telah menjadi cerukan yang kering sama sekali. Buaya yang masih mempunyai tenaga akan melangkah keluar dan bersembunyi di bawah bayangan semak-semak, diam menunggu berakhirnya kemarau yang sempat ia syukuri di awal musim. Ia berharap akan mampu bertahan seperti nenek moyangnya di masa-masa kemarau silam. Buaya-buaya lain yang tidak mampu bertahan dengan cepat menyusul menjadi tengkorak, seperti akhir kebanyakan hewan sebelumnya.

Tetapi alam yang mengambil, alam pula yang akan memberi. Pada hari yang biasa, diawali dari angin yang meniup awan nimbus penggembala bibit-bibit air, dengan segera awan hitam datang bergulung-gulung menutupi terik matahari. Harapan baru Serengeti seketika tumbuh seiring tetes-tetes hujan yang turun membasahi bumi. Hujan yang sedemikian lebat dan akan terus turun selama berminggu-minggu itu, seakan menghapus panas setahun dan mengisi cekungan sungai yang lama menguap. Kehidupan yang baru akan segera bersemi.

Hidup adalah perjuangan. Kata-kata ini benar-benar menjadi credo iman bagi setiap penghuni Serengeti. Semua spesies belajar untuk mempertahankan hidup mereka. Saat dikejar predator, zebra akan berlari sambil sesekali menendang-nendang. Tendangan kaki belakang zebra dewasa mampu mematahkan rahang singa. Anak-anak gazelle terlihat berlatih melompat-lompat dan segera beradu kepala saat tanduk mereka tumbuh. Saat dikejar citah, seekor gazelle lazimnya akan berlari dengan gerakan melompat dan mempertunjukkan bagian bawah ekornya yang putih. Ini seakan isyarat mengejek predator bahwa mereka mengejar gazelle yang dalam kondisi prima dan sulit ditaklukkan.

Para predator pun merasakan perjuangan hidup yang sama. Mereka harus menurunkan pengalaman pada anak-anak mereka agar tetap bisa bertahan hidup. Citah sesekali sengaja menangkap hidup-hidup bayi gazelle dan membawanya kepada anak-anaknya. Citah-citah muda akan segera tertarik untuk mengejar dan menangkap bayi gazelle malang itu. Kemudian mereka membiarkan bayi itu kembali berlari memanggil-manggil ibunya lalu disergap kembali. Setelah bosan dengan permainan kejam ini, citah-citah muda akan segera menghabisi bayi gazelle. Permainan tangkap-lepas mangsa ini berguna untuk membangkitkan naluri citah muda dan melatih kemampuan mereka untuk berburu mangsa.

Tahun demi tahun berlalu, Serengeti tetap patuh memainkan naskah cerita yang sama. Namun di era modern, keperkasaan alam mulai tertekan oleh dominasi manusia. Populasi manusia semakin meningkat dan benturan antara kepentingan manusia dengan ekosistem Serengeti tidak bisa dihindari. Manusia membutuhkan lahan dan air untuk pertanian, peternakan, dan tempat tinggal. Penduduk juga terkadang memburu atau memasang perangkap bagi predator alami yang diklaim memangsa ternak. Jalan tengah pun diambil, antara perbatasan Taman Nasional dengan pemukiman penduduk dibatasi pagar kawat beraliran listrik rendah. Tidak cukup hanya itu, Serengeti juga masih menghadapi masalah yang sama, perburuan gelap. Cula badak, kulit macan tutul, gading gajah, dan tanduk, selalu dihargai tinggi di pasar gelap bagi perdagangan obat dan kalangan kolektor. Manusia perlu menyadari bahwa kita hanyalah bagian kecil dari seluruh elemen alam yang mempesona. Mengusik keasrian itu dapat serta-merta mengubah kelemah-lembutan alam menjadi sebuah bencana.

(Semua kisah di atas dirangkum dari tayangan-tayangan nyata tentang dokumentasi kehidupan liar di Serengeti, Afrika).