Sabtu, 12 April 2008
Wajah Sebuah Bangsa
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, berbudaya tinggi, dan santun. Keanekaragaman budaya itu dapat mudah kita jumpai dari ujung Aceh hingga ujung Papua. Perilaku luhur rakyat Indonesia dicerminkan lewat etos gotong-royong, nilai-nilai demokrasi dalam musyawarah mufakat, dan tepa selira dalam menghargai perbedaan. Masyarakatnya juga dikenal religius dengan mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa sehingga mampu menjadikannya filter degradasi moral. Tidak hanya watak bangsa yang ditempa sedemikian elok, tetapi kondisi alam bumi nusantara juga sungguh mempesona. Hutan-hutan tropis Indonesia membentang hijau dengan jutaan spesies yang memukau setiap ilmuwan biologi di dunia. Gunung-gunung tinggi menjulang, sawah-sawah menguning, ikan-ikan bercengkrama di lautan, ombak berkejaran di bawah bayang-bayang teduh nyiur yang melambai gemulai, ooh sungguh murah hati Tuhan terhadap Indonesia, sebongkah tanah yang dicampakkan dari surga!
Pujian-pujian di atas mungkin lazim ditemukan di buku-buku PMP/PPkn atau pelajaran sejarah di sekolah. Siswa serasa terlena akan sebuah utopia; bahwa ia tinggal di negeri impian di tengah-tengah masyarakat yang luhur. Tetapi mendadak krisis moneter Asia di akhir 1997 membuyarkan metafora itu dengan menampar wajah kita keras-keras. Indonesia yang saat itu digembar-gemborkan tinggal selangkah lagi untuk lepas-landas, mendadak amburadul seketika bahkan sampai hari ini, memasuki 10 tahun berlangsungnya reformasi.
Bukannya opini di paragraf pertama tadi hanyalah fatamorgana belaka. Itu semua merupakan fakta, meski tidak semuanya. Belanda saat pertama datang ke Indonesia menyadari potensi alam yang luar biasa. Hasil rempah-rempah yang dihasilkan rakyat akibat kerja rodi mampu membiayai kas Kerajaan Belanda di abad 17-19. Belanda, negeri kecil yang bahkan hanya seperempat Pulau Jawa itu mampu menjadi negara yang cukup diperhitungkan di Eropa karena memiliki 'sumber penghasilan' yang mewah. Itulah alasan mengapa Belanda terlihat berat melepas bekas jajahannya ini bahkan nyaris belum pernah mengakui secara resmi (de jure) kemerdekaan Indonesia! Orang Belanda menjuluki Indonesia dengan Indische Mooi (Hindia yang cantik). Tidak hanya kecantikan alamnya, perempuan-perempuan nusantara juga mampu mempesona orang Eropa saat itu. Mereka menyebutnya, Mutiara dari Timur. Bahkan keramahan orang Indonesia memang bukanlah mitos. Beda dengan orang asing yang cenderung individualistis dan bersikap rasional namun efektif, orang Indonesia cenderung ikhlas membantu sesamanya dengan senyum senantiasa tersungging di wajah.
Wajah ramah orang Indonesia ternyata menyimpan sisi lain, monster yang siap menyembur marah. Tercatat kerusuhan sipil pertama, Malari terjadi pada tahun 1974 di Jakarta. Semula para mahasiswa memprotes keras penanaman modal asing di tanah air, yang dinilai telah menggadaikan aset bangsa. PM Jepang, Tanaka, yang saat itu berkunjung ke Jakarta mendapat sambutan demonstrasi mahasiswa. Demonstrasi itu meluas menjadi kerusuhan massa. Belasan bangunan dibakar, puluhan mobil (terutama mobil buatan Jepang) juga dibakar. Saat itu sentimen anti Jepang turut berimbas pada sentimen anti Tionghoa. Wajah Presiden Soeharto tercoreng di tempat kekuasaannya sendiri di depan tamu pentingnya! Bahkan di era yang sama, Mochtar Lubis meluncurkan bukunya yang kontroversial, "10 Watak Bangsa Indonesia (1977)". Ia mengulas watak-watak negatif orang Indonesia, seperti: munafik, malas, feodalis (asal Bapak senang), percaya takhyul, bahkan ia juga telah menyinggung soal korupsi! Tulisan yang sangat lancang di era the Smiling General. Lubis hanya memuji orang Indonesia soal kecakapan dalam bidang seni.
Berikutnya kerusuhan sipil semakin bertambah dan bergeser dari isu politik menjadi isu SARA (Suku, Agama, Ras). Pada tahun 1995, kerusuhan meletus di Pekalongan dengan target warga keturunan Tionghoa. Di tahun 1996, belasan gereja dibakar di Situbondo. Setahun kemudian, Rengasdengklok merasakan hal yang sama. Penyebab kerusuhan selalu disebut 'Pihak ketiga', meski tidak jelas siapa. Puncak anarkisme terjadi pada tanggal 13-14 Mei 1998. Kondisi perekonomian republik sudah tiarap; nilai tukar Dolar mencapai Rp 17.000, bank-bank dilikuidasi, PHK dimana-mana, perusahaan bangkrut, harga sembako melonjak tinggi. Semua borok telah terbuka, orang mengetahui bahwa kedelai untuk membuat tempe pun diimpor dari Amerika. Negara mempunyai hutang luar negeri yang fantastis! Mahasiswa mengecam, tentara dikerahkan dan terjadilah insiden Trisakti yang tragis. Penembakan mahasiswa semakin menguatkan tekad seluruh mahasiswa dan membuat rakyat yang lapar semakin beringas. Tanpa dikomando, pada 2 hari kelabu itu, Jakarta bagai Racoon City (kota zombie dalam game Resident Evil). Bangunan dibakar, penjarahan di mana-mana, mobil-mobil dibakar, rumah-rumah dirusak. Tidak ada gunanya polisi dan tentara saat itu karena mereka sadar bahwa mereka sedang menantikan kejatuhan sebuah bangsa! Mayoritas korban kerusuhan saat itu lagi-lagi adalah warga keturunan Tionghoa, bahkan diduga kuat terjadi perkosaan massal dengan korban perempuan etnis Tionghoa. Dunia seketika tersentak melihat wajah beringas Indonesia. Orang-orang yang masih punya harapan lari meninggalkan Jakarta. Yang punya uang eksodus ke Malaysia/Singapura. Kerusuhan 1998 menjalar tidak hanya di ibukota. Solo, kota yang dikenal sangat santun dalam tradisi Jawa (sehingga ada ungkapan 'Putri Solo' bagi orang yang lamban), malah menjadi kota dengan kerusuhan terparah kedua. Dimana-mana orang sibuk menulis: "Pro Reformasi/Pribumi Asli/Muslim" pada depan rumah, toko, dan kendaraan mereka. Muncul 'polisi swasta' dengan nama Pam Swakarsa di mana-mana, menjaga kompleks perumahan dengan parang, golok, bambu runcing, dan celurit di tangan.
Mahasiswa bersatu dalam aksi demonstrasi terbesar dalam sejarah Indonesia. Mereka menduduki Gedung MPR/DPR dan menuntut reformasi total. Presiden Soeharto tidak punya pilihan. Merasa dikhianati sekutunya, abdinya, dan rakyatnya, pada tanggal 20 Mei, ia terpaksa menyerahkan jabatan pada Wapres saat itu, B.J. Habibie. Sejak itu monster yang berulangtahun di Mei 1998 terus menghinggapi republik ini. Kerusuhan hampir selalu terjadi dan kali ini penyebabnya berganti nama menjadi 'Provokator'. Meski hampir semua orang menganggap tragedi Mei 98 merupakan sebuah kebiadaban yang tidak pantas terjadi, sampai sekarang kita masih dapat melihat infeksinya terus menyebar.
Kerusuhan Ambon, Mataram, Sampit, bahkan Bali (para simpatisan Megawati yang kecewa pernah menebangi puluhan pohon di jalan menyebabkan kemacetan parah) terjadi! Yang paling horor adalah di Sampit, warga etnis Dayak dengan bangga memamerkan kepala milik etnis Madura yang baru saja ditebasnya pada wartawan! Di tahun 2006, gara-gara tidak puas dengan kekalahan tokohnya dalam pilkada Bengkulu, massa menyerbu kantor walikota dan merusaknya dengan brutal. Berikutnya daerah-daerah lain juga mengalami rusuh pilkada. Negeri Indonesia seakan negeri sejuta demonstrasi. Lihat saja di berita televisi, dapat dipastikan tiap hari selalu ada saja aksi demonstrasi. Tayangan berita kriminal juga seakan tak ada habisnya. Kerusuhan suporter sepak bola menjadi hal biasa. Psikologi masyarakat juga sudah sakit, seorang maling yang tertangkap hampir pasti digebuki beramai-ramai, bahkan dipukul dengan kulit durian, diseret dengan sepeda motor, atau dibakar hidup-hidup! Entah apakah ini sebuah efek jera yang kebablasan, dampak akumulasi kekecewaan bertahun-tahun yang dipendam atau sekadar kekesalan terhadap ketidaktegasan hukum. Kelihatannya di era reformasi ini, semua orang semakin mudah tersinggung.
Di tahun 2006-2007, terjadi beberapa kasus penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah (di antara mereka terdapat wanita & anak-anak). Bukan saya mendukung benar-tidaknya ajaran mereka, yang saya sesalkan adalah penyerangan terhadap mereka dilakukan secara brutal oleh ratusan massa dengan membawa agama yang mengajarkan rahmat kepada alam semesta. Hal yang paling memalukan adalah Jamaah Ahmadiyah ini begitu frustasi dengan keselamatan dirinya hingga nekad meminta suaka kepada Kanada dan Australia! John F. Kennedy pernah berucap, "Jangan tanya apa yang bisa negara berikan kepada kamu, tetapi tanya apa yang dapat kamu berikan pada negara." Hal patriotik ini memang selayaknya dilakukan setiap warga negara yang baik. Tetapi bila negara saja tidak dapat menjamin hak-hak dasar warga negaranya (bekerja, menjalankan agama, memperoleh pendidikan), jangan menuntut mereka mau melakukan kata-kata legendaris Kennedy tersebut.
Seorang penulis di koran pernah menyebut bangsa Indonesia sebagai Self Destroying Nation. Ia memberikan ilustrasi bahwa di saat ada salah satu dari mereka yang berhasil dan sukses, yang lain merasa iri sehingga ramai-ramai menjegalnya supaya semuanya 'adil sama rata'. Benar-tidaknya opini itu, saya kembalikan kepada Anda :-) Melihat semua fakta sejarah di atas, rasanya saya mengendus aroma paradoksal saat mendengar seorang pejabat tinggi berkata, "Bangsa Indonesia adalah bangsa Timur yang berbudi santun dan religius." Buktinya kok aksi demonstrasi dan anarkisme terus melanda bangsa ini? Di luar itu, Republik ini juga juara nomor 3 dunia soal korupsi, namun sukses menempatkan Soeharto sebagai pemimpin bangsa paling korup di dunia versi PBB dan Bank Dunia. Soeharto memang banyak berjasa bagi bangsa dan negara, tetapi dosa-dosanya juga sama banyaknya. Indonesia juga lagi-lagi juara 2 dunia soal pembajakan hak cipta (piracy). Yang mengejutkan, negara kita adalah negara dengan tingkat laju kerusakan hutan (deforestisasi) tercepat di dunia versi Guiness Book of World Records. Terakhir, juga sama mengejutkan, jumlah korban flu Burung di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia. Cukup banyak ya 'prestasi' bangsa kita? :-(
Orang Indonesia dikenal punya perilaku: "Senang lihat orang susah, susah lihat orang senang". Dulu waktu mobil masih berantena luar, tangan-tangan usil pasti merusaknya. Anak-anak kecil gemar main bel pintu orang. Saat terjadi kecelakaan, orang-orang hanya sibuk menonton tanpa ada inisiatif menolong. Waktu booming tayangan reality show di televisi yang ngerjain orang habis-habisan, rating penonton sangat tinggi. Bahkan acara MOP (Mbikin Orang Panik) yang ditayangkan di RCTI, pernah kebablasan dengan melibatkan beberapa personel polisi sungguhan dalam episode 'Jebakan Razia Narkoba'. Si korban tentu saja hampir mati ketakutan saat digelandang ke kantor polisi saat ditemukan 'narkoba' di dalam tasnya. Saat mengetahui bahwa ini hanyalah reality show belaka, si korban begitu lega sekaligus marah sehingga spontan memukul kaca lemari di kantor polisi sampai pecah. Setelah acara itu usai dan dianggap sukses, publik mengecam acara itu, oknum polisi yang terlibat dimutasi (dianggap melecehkan institusi Polri), dan acara itu sendiri akhirnya dihentikan oleh RCTI. Untuk meminimalisir risiko-risiko seperti itu, kini umumnya reality show meng-hire sejumlah talent untuk bersedia berperan sebagai 'korban' dan 'pelapor' yang semuanya sudah diatur dalam skenario khusus layaknya sinetron.
Selain virus anarkisme, kuman vandalisme juga menjangkiti bangsa ini. Contoh gampangnya adalah sarana-sarana publik dan rambu-rambu lalu lintas yang sengaja dirusak. Telepon umum dirusak. Lampu taman dipecah. Kereta api melintas dilempar batu. Tembok dicoret-coret. Bahkan tutup got dan rel kereta dicuri. Karena itu di Indonesia tidak pernah ada mesin penjual barang otomatis karena hampir pasti mubazir. Namun pada beberapa kasus, kita ternyata juga mampu merawat benda-benda tua, misalnya lokomotif zaman Belanda yang masih bisa berjalan dan orgel tua di Gereja Katedral, yang masih berfungsi baik.
Seperti tuduhan Lubis, orang Indonesia dikenal munafik. Tidak usah tersinggung bila Anda tidak merasa demikian. Faktanya ada segelintir orang yang merupakan 'Maling teriak maling'. Merusak tempat hiburan dengan dalih pembersihan maksiat (melawan dosa dengan dosa yang lain). Lantang menolak pornografi tetapi punya istri 4 (yang 3 masih muda dan cantik). Jago berdakwah dan berkhotbah tetapi terkena razia narkoba. Mengaku tahu hukum tetapi melakukan korupsi, pungli, dan menerima suap (contoh: Jaksa Urip penuntut Amrozi ketahuan menerima suap Rp. 6 M kasus BLBI).
Kita juga selalu lekat dengan hal-hal supranatural. Di abad 21 ini, satu desa di Demak panik karena isu Hantu Cekik. Warga berbondong-bondong menggantung bambu kuning di depan pintu demi mengusir Kolor Ijo. Ratusan orang berebutan tahi kerbau albino Keraton untuk penglaris. Ribuan orang berdoa di makam tertentu memohon berkah, bukannya memohon kepada Tuhan. Saat jatuh sakit bukannya berobat ke dokter, malah ke dukun meminta jampi-jampi. Pada tanggal 9 September 1999, dunia disangka kiamat dan orang-orang panik menjual emas mereka karena pada hari itu, emas-emas dikatakan akan menjadi tanah. Akhirnya mereka menyadari itu hanya isu belaka dan pedagang emaslah yang tersenyum untung. Entah apakah 9 September 2009 besok, isu konyol itu kembali muncul. Saat lumpur Lapindo meletus, beberapa orang melempari pusat semburan dengan kerikil sambil komat-kamit. Yang lain malah diceritakan pernah sengaja menenggelamkan anak sapi dan seekor ayam sebagai tumbal yang jelas-jelas mubazir.
Detik.com pada bulan Oktober 2006 memberitakan sekelompok warga di Cilitan, Cawang, Jakarta Timur, yang menangkap seekor babi yang diduga babi ngepet (babi jadi-jadian dari orang yang belajar ilmu sesat untuk mencuri harta). Babi berwarna hitam itu dipergoki warga saat sedang berkeliling membunyikan kentongan sahur. Dengan sigap, warga lantas menangkap dan memasukkan babi malang itu ke karung lalu memukulinya dengan brutal. Aksi anarkisme dan kerumunan massa ini mengundang banyak perhatian, termasuk patroli polisi setempat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, atas dasar saran polisi, warga mengundang seorang paranormal untuk melakukan tes analisis terhadap babi ini dan setelah berkomat-kamit sejenak, paranormal ini lantas menyatakan bahwa ini adalah seekor babi betulan! Warga yang kecewa pun menyerahkan babi yang sudah terluka berdarah-darah itu kepada polisi dan dikabarkan selanjutnya ada seorang warga pemilik rumah makan menu daging babi yang datang mengambil babinya yang apes tersebut.
Di bulan Juli 2008, ratusan warga Cikadut, Kabupaten Bandung sibuk mengepung seekor babi yang tiba-tiba tampak berkeliaran di pemukiman warga. Babi itu akhirnya diberitakan mati akibat kombinasi kelelahan dikejar-kejar dan kepalanya terbentur tembok kuburan. Warga antusias mengepung babi itu karena tidak ada yang memelihara babi di kampung itu sehingga diyakini babi itu merupakan babi ngepet. Setelah babi itu mati, sontak warga berjaga-jaga di sekeliling mayat babi itu, berharap-harap cemas bila mayat babi itu berubah menjadi mayat manusia. Setelah ditunggu sampai besok, ternyata bangkai babi itu tetaplah seekor babi! Seperti masih kurang percaya, bangkai itu ditutupi kafan, ditaburi kapur barus, dan ditunggui lagi sampai 2 hari. Setelah itu tidak terdengar lagi kabar mengenai jasad 'babi ngepet' ini selanjutnya di media.
Ada lagi kabar konyol yang diberitakan di Detik.com pada bulan Oktober 2008, warga Kabupaten Sumenep, Madura, dihebohkan dengan isu penangkapan 'burung pesugihan'. Burung aneh ini diyakini adalah jelmaan orang yang melakukan ritual pesugihan dan suka mengambil harta secara gaib di malam hari. Secara fisik, apa yang disebut 'burung pesugihan' ini sebenarnya 99% identik dengan kelelawar normal, hanya saja ia mempunyai ekor yang mencuat cukup panjang untuk ukuran ekor kelelawar, sehingga terkesan seperti ekor tikus. Jenis kelelawar berekor yang kelihatannya kurang lazim ini ternyata memang benar-benar ada dengan nama: free-tailed bat. Anda bisa mengeceknya di Google atau Wikipedia.
Kepandiran bangsa ini bertambah dengan cerita dari Bojonegoro. Alkisah, seorang kepala desa ditelepon seseorang yang mengaku sebagai Asisten I Pemkab Bojonegoro dan menyuruhnya mencari 8 orang untuk dijadikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemkab Bojonegoro. Syarat yang diajukan sebagai PNS hanya dua yaitu: berbadan tinggi dan wajahnya bertato! Sang kepala desa yang mungkin tergiur fee per kepala untuk jasa outsourcing ini segera mencari tenaga-tenaga potensial, dan didapatnyalah dua tetangganya sendiri. Mereka berdua pun dengan ikhlas merelakan wajahnya ditato sambil membayangkan kenyamanan kerja dan prestisenya menjadi PNS. Menjelang malam, sang kepala desa mengaku baru sadar kalau dirinya ditipu mentah-mentah setelah tidak ada kabar lanjut dari si penelepon misterius. Tetapi yang sangat dikasihani, dua tetangganya itu karena wajah mereka sudah terlanjur ditato permanen tetapi imbalan menjadi PNS tak kunjung datang. Dikabarkan mereka berdua berencana menuntut sang kepala desa yang keblinger untuk membiayai operasi plastik wajah mereka. Entah benar atau tidak, si kepala desa lantas membela diri dengan dalih sang penelpon misterius mampu menghinoptis lewat suara di telepon. Kisah tiga orang pandir ini tercantum di Kompas.com edisi 12 Oktober 2008 bagian Regional (Jawa).
Ada pula beberapa kisah yang mengundang gelak tawa logika. DPR pernah emosional mengecam Australia gara-gara koran mereka memuat karikatur yang melecehkan Presiden SBY. Padahal karikatur itu hanya membalas karikatur yang melecehkan PM John Howard di koran Indonesia sebelumnya, tetapi rupanya alasan itu tidak penting bagi DPR. Anggota DPR juga pernah ngotot meminta tunjangan laptop dengan dalih menunjang profesionalisme kerja. Padahal tunjangan mereka per bulan saja sudah Rp 10 juta (belum termasuk gaji pokok), sangat memadai untuk membeli laptop dari kantong mereka sendiri. Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai negara hukum (rechtstaat), bukan atas kekuasaan belaka (matchtstaat), tetapi yang terjadi di lapangan adalah pengerahan massa. Saat rusuh pilkada terjadi beberapa waktu lalu, massa pendukung tokoh yang kalah tidak terima dan mendatangi KPUD setempat, memaksa membatalkan kemenangan tokoh yang lain serta merekomendasikan pemilihan ulang pada KPU pusat. Puncak kelucuan terjadi esok harinya, saat ribuan massa tokoh yang sudah dinyatakan menang juga mendatangi KPUD dan memaksa KPU tetap mengesahkan kemenangan serta membatalkan rekomendasi sehari sebelumnya. Kalau begini caranya, bisa-bisa besok negara kita diganti nama menjadi 'Republik Indiana' kalau Istana Presiden, Gedung MPR/DPR , dan Mahkamah Konstitusi, dikepung ribuan massa yang menuntut pergantian nama itu. Menjelang pemilu 2009, ada puluhan parpol baru didaftarkan ke Depkumham. Cerita kocaknya adalah ada beberapa parpol yang ditolak lalu mendaftar kembali dengan nama baru kemudian diterima. Klimaks ceritanya adalah belasan parpol baru itu mencantumkan alamat palsu sebagai alamat kantor pusat mereka! Kalau masih mendaftar saja sudah tidak jujur seperti ini, bagaimana nanti bila mereka mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin bangsa ini???
Pada tahun 2006, sekelompok massa yang mengatasnamakan FBR (Forum Betawi Rembug) berdemo di depan rumah pedangdut Inul Daratista di Jakarta. Mereka menuntut Inul dan suaminya untuk angkat kaki dari Jakarta karena dinilai telah merusak moral bangsa lewat goyang ngebornya, sehingga tidak pantas tinggal di daerah Betawi (Jakarta). Apa FBR ini pemilik Jakarta, sehingga merasa punya otoritas penuh untuk mengusir seseorang?
MUI juga pernah mengeluarkan fatwa: mengharamkan doa antar umat beragama dan menolak keras pluralisme. Dengan segala hormat pada mereka, apakah fatwa ini relevan terhadap kondisi sekarang? Di saat upaya dialog antar agama terus ditingkatkan agar tercipta kerukunan di antara mereka, MUI malah berusaha memperkeruh air yang sedang dibersihkan. Siapa pun juga tahu bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Bermacam-macam suku, budaya, agama, dan ras, ada di dalamnya. Itulah mengapa semboyan bangsa kita adalah Bhineka Tunggal Ika (unity in diversity). Apa itu bukan pluralisme? Bila MUI masih keukeuh menolak pluralisme, berarti mereka mengingkari jati diri bangsanya sendiri.
Di bulan Oktober 2008, seorang kyai di Semarang, Syekh Puji mengatakan telah melakukan pernikahan siri dengan Lutfiana Ulfa, seorang gadis belia berusia 12 tahun yang baru saja lulus SD! Kyai berusia 43 tahun ini mengatakan bahwa si anak dan orangtuanya telah menyetujui pernikahan ini, bahkan ia berani menyebut Ulfa telah menyatakan cintanya. Ulfa juga dikatakan telah mengalami menstruasi pertamanya sehingga layak dinikahi. Syekh Puji berencana menobatkan istri ciliknya ini menjadi General Manager perusahaannya yang bergerak di bidang ekspor kaligrafi kuningan. Sebelumnya ia sudah memiliki seorang istri berusia 26 tahun yang mengurusi pondok pesantrennya. Seakan masih kurang mengumbar sensasi, ia mengungkapkan rencananya untuk menikahi dua gadis ingusan lagi, masing-masing berusia 9 tahun dan 7 tahun! Syekh Puji berdalih meneladani sunnah Rasulullah yang menikahi Aisyah yang masih berusia 7 tahun.
Tidak ada kalimat yang bisa diucapkan pada kyai ini selain 'Pedofilia berkedok agama'. Jelas mustahil seorang gadis berusia 12 tahun bisa menjalani hidup berkeluarga yang normal dengan suami yang lebih pantas menjadi ayahnya. Mungkinkah Ulfa yang baru lulus SD sanggup merasakan dan menyatakan cinta pada Syekh Puji yang berusia lebih tua 31 tahun?? Sanggupkah anak semuda ini memimpin dan mengatur sebuah perusahaan? Apakah keputusan yang dihasilkannya kelak mempunyai kekuatan hukum? Definisi akil baligh dengan mendapat menstruasi pertama tentu bukanlah syarat tunggal untuk bisa segera dinikahi. Pernikahan membutuhkan dua orang dewasa yang saling memahami, punya mental kuat berumahtangga dan mampu secara finansial membiayai kehidupannya, tidak hanya bermodal akil baligh saja. Hal ini pun bertentangan dengan UU Perkawinan yang menyatakan bahwa usia minimal bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Adakah pria dewasa yang masih normal mampu dan tega menyetubuhi anak-anak berusia 12, 9, dan 7 tahun, selain pengidap pedofilia?
Saya yakin di usia semuda itu fisik Ulfa masih belum berkembang matang, terlebih mentalnya yang tentu saja masih mental anak-anak. Apa kita tega melihat wajah polosnya (yang belum mengenal seks) merintih saat menjalani malam pertamanya? Yang diherankan lagi respon terhadap berita ini terlihat seperti tertahan sesuatu. MUI hanya menganjurkan supaya masyarakat tidak meniru ulahnya. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Agama hanya mengecam secara verbal tindakan kyai ini. Polisi hanya mengatakan akan menindaklanjuti laporan dari masyarakat. Ketua DPP Hizbut Tahir Indonesia, Haris Abu Ulya malah mengatakan bahwa pernikahan ini sah secara Islam karena Ulfa telah akil baligh. Konsep pernikahan siri sendiri sebenarnya merugikan si perempuan karena tidak diakui negara. Jadi status anaknya dan pembagian warisan bisa dipastikan akan kabur. Aneh memang, bila kita mencampuradukkan antara hukum agama dengan hukum negara. Jadinya seperti kasus Syekh Puji ini dimana banyak orang tidak berani mengatakan itu salah. Bahkan ada segelintir orang yang mengatakan bahwa hukum agama lebih tinggi kedudukannya dari hukum negara. Bila Syekh Puji ini sungguh bertujuan mulia, lebih baik ia mengawini beberapa janda-janda miskin, bukan malah anak-anak ingusan yang masih polos. Ia juga bisa mengadopsi Ulfa sebagai anak angkat daripada mengambilnya sebagai istri muda. Kita bisa membayangkan bahwa gadis-gadis belia ini tidak akan pernah mengalami masa remaja yang wajar dengan pergaulan teman-teman sebaya akibat harus menjadi istri yang solehah di rumah melayani suami seusia ayahnya siang-malam, bila jadi dinikahi Syekh Puji.
Pernah menyadari tidak, sejak bencana tsunami melanda Aceh dan Nias tahun 2004 silam, rasanya tanah air selalu dilanda berbagai bencana. Banjir, gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor, sampai kecelakaan transportasi. Ada yang mengatakan itu murka Tuhan sehingga mengajak taubat nasional. Ada pula yang mengatakan itu adalah fenomena alam belaka. Masalahnya mengapa tetangga-tetangga kita hampir tidak pernah terkena gangguan alam yang sama? Padahal Singapura, Malaysia, Brunei, dan Papua Nugini, hanya beberapa jengkal saja dari peta Indonesia. Mungkin Tuhan memang geram melihat perilaku orang Indonesia.
Beberapa sosiolog menduga bahwa kesemrawutan Indonesia disebabkan oleh ketidaksiapan mental menghadapi arus modernisasi. Berbeda dengan negara-negara maju yang mengalami tahap agraris, industri (produksi) dan tahap konsumsi, Indonesia saat masih berada di tahap agraris langsung meloncat menuju tahap konsumsi. Ibarat dari penggembala kambing langsung berbelanja di mal. Kecanggungan inilah yang membuat meski seseorang itu berpendidikan dan punya uang, ia tetap bermental 'kerdil', misalnya seorang mahasiswa memarkir sepeda motor di tempat yang dilarang parkir. Seseorang yang naik mobil BMW dengan enteng membuang kulit kacang dari jendela mobilnya di jalanan. Emile Durkheim, dalam bukunya, "The Division of Labor in Society" (1964), mengatakan telah terjadi anomie dalam masyarakat Indonesia. Ketidaksinkronan antara perubahan struktural dan kultural dalam masyarakat, sehingga terjadi kesenjangan seperti konservatisme di pihak lain dan teknologisasi di pihak satunya.
Ada pula pandangan dari orang luar negeri yang melihat bahwa orang Indonesia itu paradoks. Secara individual, mereka bisa diunggulkan, pintar, berprestasi, dan tangguh. Misalnya, prestasi Olimpiade Fisika yang direbut tim Indonesia, juara tunggal bulutangkis, beasiswa-beasiswa yang diraih mahasiswa Indonesia di banyak universitas terkenal, dsb. Tetapi saat orang Indonesia harus bekerja sama di dalam teamwork, mereka menjadi kebingungan, kehilangan visi, dan gagal. Contoh nyatanya adalah bahkan timnas sepak bola kita tidak pernah mengalahkan timnas negeri sekecil Singapura. Kabinet yang disusun dengan orang-orang pilihan di dalamnya pun masih belum dapat mengangkat negara ini dari keterpurukan krisis moneter.
Bangsa Indonesia sesungguhnya bangsa yang besar. Di era Soekarno dulu, meski pendapatan ekonomi negara masih reyot, kita cukup disegani bangsa lain. Saat ini, bahkan negara mini Singapura dengan beraninya ngotot meminta izin latihan perang di kawasan Riau, seakan mereka sudah menang posisi dalam tawar-menawar. Negeri tetangga, Malaysia, malahan lebih angkuh lagi. Rata-rata mereka menganggap orang Indonesia susah diatur dan gemar mencari masalah. TKI/TKW kita diperlakukan semena-semena meski mereka berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi Malaysia. Bahkan Malaysia semakin agresif mengekspansi daerah perbatasan dengan Indonesia pasca sukses mengakuisisi Sipadan-Ligitan. Orang Malaysia menyebut orang Indonesia dengan 'Indon', yang meski sekilas seperti hanya merupakan singkatan biasa, ternyata berkonotasi negatif (seperti sebutan 'Cina' bagi orang keturunan Tionghoa). Yang paling gres, Malaysia dengan berani mencatut beberapa identitas Indonesia, seperti: lagu Rasa Sayange, tari Reog, kain Batik, alat musik angklung, dan Orangutan (satwa yang sebenarnya lebih khas Indonesia daripada Malaysia).
Dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah-ruah dan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang banyak, seharusnya Indonesia merupakan salah satu negara penggerak ekonomi Asia, sejajar dengan China dan India. Malah SDA kita melebihi dua negara tersebut. Nyatanya saat ini dibandingkan dengan Vietnam yang baru selesai perang tahun 1970-an saja, kita sudah tertinggal. Ada beberapa orang menduga bahwa justru karena SDA yang melimpah itulah, bangsa Indonesia menjadi manja dan pemalas. Ini ada benarnya karena Jepang yang miskin SDA malah terpacu untuk meningkatkan kualitas SDM-nya. Bahkan China yang baru membuka diri dari belenggu komunis di tahun 1990, hanya butuh 1 dekade saja untuk menggegerkan ekonomi dunia. Watak dasar orang kita memang harus diakui adalah pemalas. Contoh nyatanya adalah para pegawai negeri yang gemar membolos dan kalaupun bekerja sering malas-malasan. Para siswa juga sering membolos/mencontek, kaum buruh sering bekerja asal-asalan (asal dibayar), sehingga relevan dengan motto: "Alon-alon asal kelakon". Alih-alih bekerja keras mewujudkan mimpi, kita malah bermimpi keras mewujudkan kerja. Di zaman sulit ini, banyak yang berpikiran mundur, "Masih enak zaman Pak Harto, semuanya murah." Yang lain menimpali, "Enakan zaman Belanda, biar mereka yang puyeng ngurus negara." Yang satu lagi bilang, "Paling enak zaman Adam & Hawa. Tinggal di Firdaus, cuma makan dan tidur."
Kondisi sosial masyarakat kita merupakan cerminan dari jiwa kita yang sakit. Yang salah dibela, tetapi yang benar disalahkan. Misalnya para PKL yang sudah tahu melanggar aturan dengan berjualan sembarangan, tetapi saat ditertibkan malah balik melawan petugas dengan dalih 'urusan perut'. Berjualan memang hak asasi tiap orang, tetapi kalau kita mendapatkan hak itu dengan merebut hak orang lain (membuat macet, menyerobot trotoar, membikin kotor), apakah itu pantas? Untuk kasus-kasus pelanggaran seperti ini, saya merekomendasikan tayangan Snapshot di MetroTV ;-) Contoh lain, Nurdin Halid yang tetap ngotot tidak mau mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI, padahal sudah jelas menjadi terdakwa kasus korupsi. Secara hukum dan etika, jelas Bang Nurdin pantas mundur. Bagaimana seorang narapidana mau memimpin organisasi dengan baik? Tetapi justru para pengurus PSSI pasang badan melindungi dia. Di saat mayoritas suporter ikut mendesak Nurdin mundur, ada sekelompok suporter yang masih nekad membela Nurdin dengan alasan harga diri orang Makassar. Apa hubungannya harga diri asal daerah dengan kriminalitas? Malah kalau Nurdin tetap bertahan, bisa-bisa FIFA dan AFC memberi sanksi berat pada timnas Indonesia. Rasanya peran para psikolog dan sosiolog perlu dilibatkan lebih jauh untuk membantu mengatasi masalah-masalah kronis ini.
Bagaimanapun kondisi saat ini, saya dengan jujur lebih menyukai Indonesia yang sekarang. Di era Orba, meski beban hidup terasa lebih ringan, sebagai etnis Tionghoa, saya sangat sering menerima perlakuan diskriminasi, baik terang-terangan maupun diam-diam. Padahal dulu di pelajaran PMP selalu diserukan sikap saling menghormati sesama tanpa membeda-bedakan yang ternyata hanya omong kosong. Bahkan dulu sekadar berjalan sendirian pun saya merasa cemas akan mengalami perlakuan rasial. Saat ini saya hampir tidak pernah menerima perlakuan rasial tersebut. Seakan semua orang telah sadar bahwa etnis Tionghoa pun juga anak bangsa yang sama-sama harus berjuang hidup di zaman serba krisis seperti ini.
Tulisan ini dibuat bukan untuk membenci bangsa dan negara saya sendiri, Indonesia. Justru karena saya masih mencintai Indonesia, saya mempersembahkan tulisan ini dan berharap agar ini menjadi refleksi kecil bagi kita semua untuk berubah ke arah yang lebih baik. Sebelum menuntut perubahan itu, mari ubahlah diri kita terlebih dahulu. Merdeka!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar