"Cita-cita kamu apa, nak?" tanya seorang bapak kepada anak kecil. Anak itu lalu menjawab, "Desainer grafis, pak!"? Dapat dipastikan bapak itu akan mengerutkan kening dan menganjurkan anak itu memilih profesi lainnya yang klise; dokter, pilot, arsitek, atau bahkan presiden :-) Bukan ingin membela pilihan favorit saya sendiri, saya hanya ingin menunjukkan kalau profesi Graphic Designer masih sangat asing di telinga dan masih kurang terhormat di mata kita. Padahal dewasa ini, banyak juga desainer profesional yang hidup berkecukupan. Peralatan kerjanya saja kalau ditotal bisa mencapai puluhan juta rupiah, masa hasil yang didapat kurang dari itu, kalau memang kerjanya bagus?
Saat saya lulus kuliah, kembali saya ditanya, "Lulusan jurusan apa, dik?" Saya jawab, "Desain Grafis, Oom." Bapak itu menimpali, "Oo, yang gambar-gambar itu ya? Kelihatannya sekarang lagi banyak dicari tuh." Jawaban ini mencerminkan dua hal; optimisme dan pesimisme. Si Optimistis bilang, "Wah, banyak yang nyari, berarti kesempatan kerja terbuka lebar!" Sementara Si Pesimistis bilang, "Justru banyak yang nyari, pasti semua peluang udah disamber orang!" Faktanya, memang seiring meningkatnya kesadaran masyarakat modern terhadap pentingnya desain, profesi ini memang lagi laris-manis dicari. Mahasiswa jurusan ini tiap tahun selalu meningkat di mana-mana, bahkan mungkin bisa menggeser jurusan favorit, Manajemen atau Arsitektur. Tetapi fakta juga berbicara bahwa banyak juga lulusan DKV (Desain Komunikasi Visual) yang masih menggangur. Selain karena memang persaingan kerja yang tajam akibat melimpahnya lulusan DKV, sebenarnya kalangan industri juga mengeluhkan kualitas dan mental mereka yang terbukti masih tidak siap kerja.
Desainer Grafis, terutama lulusan DKV (Desain Komunikasi Visual) seharusnya tidak melulu hanya menguasai craftsmanship, tetapi juga konsep berpikir yang matang. Bila kita hanya tahu soal mendesain di depan komputer tanpa konsep (hanya asal klien senang), berarti kita adalah tukang desain. Inilah yang kebanyakan tidak dimiliki oleh para lulusan DKV. Hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan banyak berkecimpung di dunia kerja saat kuliah (magang atau freelance) sehingga kita sudah mempunyai bekal pengalaman kerja. Bila Anda terlanjur lulus tanpa pengalaman kerja cukup, buatlah portfolio yang meyakinkan. Kondisi industri kita kebanyakan memang hanya menerima pegawai dengan pengalaman kerja. Padahal para lulusan fresh graduate harus bekerja dahulu barulah bisa mempunyai pengalaman kerja, bukan? Mirip dengan teka-teki enigmatis, "Mana yang lebih dulu antara ayam dan telur?" :-)
Ada pula fenomena-fenomena Graphic Designer dadakan. Bermodalkan kursus 3 bulan soal software pengolah grafis, mereka dengan gagah membuka jasa "Desain Grafis". Hasilnya ya itu tadi, asal klien senang. Fee design yang biasanya dicharge sebesar 10% pun menjadi free design akibat kemurah-hatian mereka. Inilah yang merusak nama Graphic Designer sungguhan yang berusaha bersikap profesional. Seharusnya seorang desainer memang harus profesional, ia mempunyai kegiatan yang terjadwal dengan perincian budget (termasuk fee design). Ia juga harus mampu melakukan presentasi (bila tidak diwakili AE), mempersuasi klien, dan mau melakukan riset atas dasar teori-teori branding (positioning, brand essence, human insight, USP, IMC, dsb). Kegiatan terjadwal berarti tanggal sekian mempresentasikan thumbnail karya, berikutnya membuat mock-up, tanggal sekian langsung test-print. Tidak ada alasan molor gara-gara belum ada inspirasi (kita desainer, bukan seniman). Desainer juga harus ikut mengawasi dari proses briefing hingga printing agar semua berjalan sesuai kesepakatan. Ada baiknya desainer juga berani memberi layanan aftersale, dengan memberi garansi atau menerima komplain dari klien seusai selesainya sebuah desain. Seorang desainer yang baik juga sangat direkomendasikan mempunyai portfolio bagus dan online. Ini menunjukkan profesionalisme desainer sehingga klien pun juga dituntut berlaku profesional, salah satunya dengan membayar fee design tadi karena dalam mendesain, desainer juga bekerja menggunakan otak tidak hanya tenaga atau sense of art saja.
Dosa tidak hanya ada pada desainer. Para klien pun ada yang tampil sebagai tokoh antagonis. Misalnya, kasus yang umum adalah klien-klien yang dengan seenaknya memutus kontrak di tengah jalan dan membawa kabur ide desainernya tersebut. Ada pula klien berbudget terbatas yang nekad membujuk supaya fee design tidak usah disertakan dan ujung-ujungnya menawar total purchasing serendah mungkin dengan alasan efisiensi. Banyak klien yang tidak menghargai jerih-payah desainer karena mereka kurang memahami esensi desain. Saya mengalami sendiri sewaktu masih magang, saat mendesain project di samping klien langsung. Melihat saya yang 'cuma' mengutak-atik tampilan grafis proyeknya di depan monitor, si klien dengan enteng berkata, "Enak ya kerjanya, dik. Kerjanya santai main-main komputer gini sudah dapat bayaran." Saya sih waktu itu cuma tersenyum dongkol saja :-)
Kaum pelaku industri pun juga ada yang bermain dosa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka sebisa mungkin menuntut desainer menjadi "Superman" dengan menguasai semua software grafis; Photoshop, FreeHand, Illustrator, CorelDraw, InDesign, 3D-Max, Flash, DreamWeaver, Premiere, bahkan AutoCAD. Mungkin hal ini dipacu dari maraknya pembajakan software di tanah air, sehingga orang dengan mudah mendapat dan menguasai program-program tesebut. Kalau di luar negeri, 1 software dijual bisa seharga jutaan rupiah, makanya mereka jarang menguasai banyak program dan hanya memfokuskan diri pada satu atau dua software saja. Polemik ini masih kadang-kadang ditambah dengan tuntutan agar desainer juga mampu menggambar manual dengan baik. Mereka harusnya menyadari bahwa desainer seperti dokter juga mempunyai spesialisasi dalam bidangnya (ilustrasi, animasi 3D, web design, audio-visual, dsb).
Semua dilema ini mungkin bisa diatasi dimulai dari dibenahinya kurikulum jurusan DKV di seluruh universitas agar sesuai dengan kondisi nyata industri profesional. Jadi mahasiswa tidak hanya mendapat teori, tetapi juga praktek. Kerja magang juga seharusnya diwajibkan dengan waktu minimal 3 bulan supaya mahasiswa benar-benar merasakan atmosfer dunia desain sesungguhnya. Selebihnya, pelaku industri desain sendiri juga harus mau memahami batasan-batasan desainer sebagai manusia biasa. Klien juga harus menghargai posisi desainer secara wajar dan sebaliknya desainer pun harus bertindak profesional pula.
Terakhir, persaingan kerja sekarang sudah 'berdarah-darah'. Bayangkan untuk menjadi satpam saja harus berijazah SMA, menjadi sopir taksi Blue Bird minimal berijazah D-3, dan menjadi pegawai tempat dugem di Jakarta, harus berijazah S-1! Tetapi persaingan itu hendaknya menjadikan kita lebih ulet dan kreatif tanpa menjual jati-diri sebagai desainer. Omong kosong kita menolak bekerja secara profesional dengan alasan menjual idealisme. Memang kadang kita harus kompromi dengan komersialisme, karena di situlah duitnya desainer ;-) Apa Anda sudah puas dengan hanya menjadi desainer kaos distro atau desainer logo band metal underground dari antah-berantah? Justru banyak desainer-desainer kelas dunia yang sangat komersial, namun saat senggang barulah menciptakan desain-desain idealisnya. Semoga di waktu mendatang, kita tidak kaget bila anak kita kelak menjawab bahwa cita-citanya ingin menjadi seorang Graphic Designer, sama terhormatnya dengan dokter, pilot, arsitek, atau presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar