Akhirnya setelah postingan
blog terakhir di tahun 2011, 4 tahun berselang saya mulai tergerak untuk kembali mengisi
blog ini :-)
Saat ini kita semua pasti tidak lepas dari yang namanya
gadget, bukan? Perangkat komunikasi canggih mulai dari
smartphone hingga
tablet sudah jamak berseliweran setiap hari di depan mata kita, bahkan mungkin kita sendiri mempunyai lebih dari 1
gadget tersebut di rumah. Ponsel yang tadinya memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi perlahan kini mulai bergeser esensinya. Ia sekarang juga berfungsi sebagai jam weker, pencatat jadwal, bermain
game, pemutar musik, penjelajah internet, ajang ngobrol
chatting, mengakses
social media, hingga yang paling canggih, adalah sebagai alat pembayaran elektronik. Boleh dibilang di kehidupan modern saat ini, barangkali kita lebih rela kelupaan membawa dompet daripada lupa membawa sebuah
smartphone :-)
Kalau mau diingat-ingat, sampai hari ini sudah berapa kalikah Anda berganti ponsel? Saya sendiri sudah 5 kali berganti ponsel sejak pertama kali memiliki ponsel di tahun 2002. Dalam rentang waktu 13 tahun, bagi kebanyakan orang yang saya kenal, jumlah tersebut dapat disimpulkan bahwa saya cukup jarang berganti ponsel, lho.
Nokia 3315
Ponsel pertama yang saya punya adalah
Nokia 3315 saat saya baru masuk kuliah di tahun 2002. Ponsel ini merupakan adik dari seri Nokia yang sangat melegenda, yaitu Nokia 3310 dan Nokia 3330. Saat itu Nokia 3315 boleh dibilang bukan ponsel kelas atas yang canggih, tetapi fungsinya sudah sangat menunjang aktivitas, lewat fitur
Call, SMS,
Voice Dialing, Picture Editor, hingga
Ringtone Composer. Saya masih ingat saat itu masih sering
browsing di internet untuk mencari daftar
ringtone yang bisa dimasukkan ke dalam ponsel. Terkadang saya juga membeli
ringtone lagu tertentu yang dijual melalui semacam
voucher. Saya cukup puas menggunakan Nokia 3315 meskipun terkadang merasa minder juga kalau bertemu teman yang memamerkan Nokia Communicator 9210i yang saat itu terlihat sangat keren sekali, hehe…
Nokia 3315
Hanya setahun kemudian, tiba-tiba mulai terjadi invasi ponsel berlayar warna dengan
polyphonic ringtone. Banyak orang-orang di sekitar saya yang mulai berganti ponsel, di antaranya yang populer adalah Nokia 7610 dan Nokia 3650. Saya pun ikutan terpancing untuk berencana mengganti Nokia 3315 saya yang mulai terlihat ketinggalan zaman, namun apa daya saat itu Nokia 3650 seharga Rp 3 juta masih terlalu mahal untuk kantong seorang mahasiswa seperti saya. Alhasil saya mulai menggeser target yang lebih realistis, saya mengincar Nokia 3530 yang lebih murah dengan harga sekitar Rp 1,5 juta.
Nokia N-Gage Classic
Tetapi karena satu dan lain hal, saya akhirnya tidak pernah merealisasikan rencana saya membeli Nokia 3530 tersebut. Di tahun 2004, saya malahan berkesempatan membawa pulang
Nokia N-Gage Classic dengan harga Rp 1,4 juta, hasil dari melego tukar tambah Nokia 3315 ditambah sedikit uang angpao dari Imlek. Harga yang saat itu saya lihat adalah sebuah anomali untuk ukuran sebuah N-Gage dengan beragam fitur yang mumpuni, seperti Radio,
MP3 Player (kualitas suaranya tidak kalah dengan iPod)
, Voice Recorder, MMS, GPRS, Bluetooth,
Game Player dengan kualitas grafis setara PS1, hingga menyimpan gambar-gambar foto berwarna. Boleh dibilang fitur yang dimiliki N-Gage sudah sangat komplit, kecuali tidak ada kamera saja. Yang lebih menghebohkan, kualitas
loudspeaker yang dipunyai N-Gage sangat kencang sekali, bahkan pada saat itu tidak ada ponsel lain yang mampu menandinginya. ponsel ini memang sebenarnya dirancang bagi para
gamers, sehingga tampilannya lebih mirip
gamewatch daripada ponsel konvensional.
Mungkin kalau ada 1 hal lain yang dianggap sebagai kekurangan N-Gage adalah posisi
speaker-nya yang berada di samping, sehingga saat digunakan untuk bertelepon, posisinya akan terlihat aneh. Tapi buat saya, itu bukan hal yang perlu dipersoalkan, malahan menambah keunikan ponsel ini. Sekadar informasi, N-Gage ini sampai sekarang masih saya simpan dan masih berfungsi dengan baik (kecuali
earphone-nya yang sudah rusak).
Pada perkembangan selanjutnya, Nokia merilis N-Gage QD dengan beberapa peningkatan fitur baru, di antaranya layar yang lebih tajam, ukuran yang lebih
compact dan posisi
speaker yang kembali normal. Tapi sayangnya N-Gage QD tidak memiliki fitur radio sehingga di Indonesia, orang masih lebih suka mencari N-Gage Classic daripada N-Gage QD. Akibatnya sempat terjadi anomali harga jilid 2, N-Gage Classic dihargai lebih mahal daripada N-Gage QD.
Nokia N-Gage Classic
Sanex SC-7210
Di tahun 2005, tiba-tiba kembali terjadi sebuah fenomena baru, dengan hadirnya ponsel CDMA yang memiliki kelebihan tarif bicara lebih murah daripada ponsel GSM. Kini menenteng 2 ponsel (GSM dan CDMA) merupakan
trend baru di kampus. Pemiliknya akan terlihat jauh lebih keren, lebih sibuk dan tentunya terlihat lebih kaya daripada yang cuma membawa 1 ponsel saja. Saya kembali ikut terjatuh ke dalam godaan untuk memiliki ponsel CDMA juga…
Setelah menilik beberapa kandidat ponsel CDMA sembari membandingkan harganya, saya memutuskan untuk menjajal ponsel CDMA keluaran China,
Sanex SC-7210. Selain harganya yang relatif lebih terjangkau, saat itu saya memang sedang mengidamkan ponsel dengan desain
clamshell. Ponsel ini sudah berwarna (meskipun resolusi pixelnya lebih rendah dari N-Gage), memiliki
polyphonic ringtone, namun dengan fitur lain yang sangat standar. Saya tak begitu peduli karena pikir saya toh ponsel CDMA memang akan saya pakai hanya untuk berhalo-halo saja. Namun setelah saya gunakan selama 2 hari, ternyata ponsel ini justru memiliki kelemahan yang sangat fatal, yaitu kualitas penerima sinyalnya yang buruk. Kalau digunakan untuk bertelepon, suara yang keluar pasti terputus-putus dan baru lancar bila kita bertelepon di luar rumah. Saya pikir kalau terus-menerus begini bakalan menyusahkan diri sendiri, akhirnya dalam rentang waktu seminggu sejak saya pertama membeli, saya memutuskan untuk menjual ponsel ini kembali. Sebuah rekor tercepat dalam saya memiliki sebuah ponsel.
Sanex SC-7210
Nokia 2116
Saya menukar tambah Sanex SC-7210 saya dengan ponsel CDMA yang lain,
Nokia 2116. Ponsel ini bentuknya kecil dan
compact namun layarnya masih
monochrome. Tapi yang jelas, kualitas penerima sinyalnya jauh lebih baik dan di saat waktu luang saya sering memakai ponsel ini untuk memainkan
game klasik Nokia seperti Snake dengan asyiknya. Yang lebih keren lagi, Nokia 2116 dapat difungsikan sebagai senter
(flashlight) sehingga sangat berguna bila terjadi listrik padam. Ponsel ini juga masih saya simpan dan masih berfungsi dengan baik pula. Terakhir kali saya memanfaatkan ponsel ini sebagai jam weker dengan nada deringnya yang lumayan nyaring :-)
Nokia 2116
BlackBerry Curve 8520 Gemini
Akhirnya setelah
booming BlackBerry di Indonesia pada tahun 2009, setahun kemudian saya pun tak kuasa untuk ikut bergabung menjadi salah satu pemilik ponsel jenis ini. Menggunakan BlackBerry (BB) yang notabene dilabeli sebuah
smartphone tentunya berbeda dari pengalaman saya menggunakan ponsel-ponsel sebelumnya yang dikategorikan dengan istilah
feature phone. Ya, di era tahun 2010-an, jauh lebih banyak orang yang meminta bertukar nomor PIN daripada nomor ponsel Anda. PIN tersebut adalah kode angka identitas BB Anda yang dapat dipakai untuk berkomunikasi
chatting via BlackBerry Messenger (BBM). Nomor PIN yang dimiliki oleh satu BB tidak akan kembar dengan BB lain, ditambah dengan enkripsi data yang langsung dikirimkan ke
server BB di Kanada, membuat
smartphone ini begitu eksklusif dan sempat digemari para pejabat tanah air karena (saat itu) tidak dapat dilacak ataupun disadap kecuali penyadapnya memiliki akses langsung ke
server data di Kanada.
Dari semua jenis BB yang dirilis,
BB Curve 8520 Gemini yang saya pakai termasuk jenis BB yang termurah (sekelas kalau dibandingkan dengan Nokia seri 3). Namun fitur-fiturnya sudah cukup menunjang segenap aktivitas saya pada saat itu dengan adanya kamera (pertama kalinya saya memiliki ponsel berkamera) dan sistem
Push Mail yang sangat membantu bila pekerjaan Anda banyak berhubungan dengan
e-mail. Apalagi saat itu sedang mewabah
social media platform di Indonesia seperti Facebook dan Twitter. Tentunya ada sebuah kepuasan batin bila kita mudah mengakses Facebook dan Twitter dari manapun lewat sebuah ponsel. Dan saat itu ada kebanggaan lain yang terpamer bila dalam postingan kita di
e-mail ataupun
social media, terdapat embel-embel
"Sent from my BlackBerry", "Facebook for BlackBerry" atau
"Twitter for BlackBerry" :-D
Hanya sayangnya dengan harga sekitar Rp 2 jutaan, tentunya BB Gemini memiliki sejumlah keterbatasan, di antaranya resolusi kamera yang hanya 2 MP, tidak memiliki
Flashlight Camera, GPS dan tidak
3G Support, dan koneksi Wi-Fi yang sangat lamban.
Tapi BB Gemini ini turut menorehkan impresi berkesan dalam hidup saya. Total saya pernah memiliki 2 buah BB Gemini. Yang pertama sempat hilang dicopet saat saya menaiki Bus Transjakarta dan membuat saya uring-uringan karena saya kembali menggunakan N-Gage lawas yang tentu saja tidak bisa dipakai untuk mengakses
e-mail dan
social media. Kemudian saya memutuskan untuk membeli lagi… ya, ponsel yang sama persis, BB Gemini yang baru (karena saya melihat harga BB jenis lain yang relatif masih mahal, hehe…).
Saya memakai BB Gemini sampai pertengahan tahun 2012 karena saat itu entah mengapa BB Gemini saya mulai sering
error seperti
hang dan harus terus di
hard reset melalui melepas baterai. Saya memutuskan untuk masih membeli lagi keluarga BlackBerry lainnya.
BlackBerry Curve 8520 Gemini
BlackBerry Curve 9320 Armstrong
BB Armstrong menawarkan pengalaman memakai BB dengan lebih optimal daripada BB Gemini. Terang saja, dengan spesifikasi yang lebih canggih, seperti BlackBerry OS 7.1 yang lebih segar, resolusi kamera 3,1 MP +
LED Flashlight dan
3G Support, membuat saya lebih menikmati
BB Curve 9320 Armstrong daripada BB Gemini sebelumnya. Dua hal lagi yang juga saya suka dari BB Armstrong adalah daya tahan baterainya yang lebih awet dan juga adanya fitur radio! Sudah lama saya tidak mendengarkan radio melalui ponsel sejak
earphone N-Gage saya rusak.
Sayangnya di tahun yang sama juga, keberadaan BlackBerry mulai semakin tergerus dengan semakin moncernya iPhone dan ponsel berbasis Android. Penggunanya semakin lama semakin menurun, semakin banyak diolok-olok sebagai
smartphone jadul yang dibandrol
overprice, dan makin lama memang saya juga merasakan kejenuhan dalam memakai BB. Misalnya seperti terbatasnya jumlah aplikasi
mobile yang dirilis untuk perangkat BB, tidak leluasanya menjelajahi internet karena layar yang hanya seluas 2,4", dan masih berulangkalinya BB saya harus di
hard reset dengan mencopot baterai.
Akhirnya setahun kemudian, saya mengambil langkah yang cukup revolusioner. Saya melepas BB saya meskipun banyak teman-teman yang menanyakan bagaimana dengan nasib orang-orang yang ada di daftar kontak BBM? Nanti kamu tidak bisa
chatting di BBM lagi lho, padahal BBM kan masih sangat populer di Indonesia...
BlackBerry Curve 9320 Armstrong
iPhone 5
Setelah lama hanya pernah membayangkan saja bagaimana rasanya memiliki perangkat keluaran Apple (karena memang harganya yang tidak murah), akhirnya di tahun 2013, saya benar-benar resmi menggunakan
iPhone 5 sebagai ponsel menggantikan BB Armstrong yang sudah saya jual (dulu dibeli seharga Rp 2,2 juta dan dijual senilai Rp 900 ribu saja!).
Sebelum memutuskan membeli iPhone, saya memaksa diri untuk melihat berbagai ulasan di internet, termasuk perbandingannya dengan Samsung Galaxy S4 di YouTube. Saat itu Galaxy S4 juga sedang baru-barunya dirilis dibandingkan dengan iPhone 5 yang sebenarnya sudah diluncurkan setahun sebelumnya. Maklum saja, harga iPhone 5 yang saya incar saat itu berkisar Rp 9 jutaan, harga termahal yang pernah saya incar untuk membeli sebuah ponsel (malah ini sebanding dengan harga laptop Lenovo ThinkPad R-61 yang dibeli ayah saya di tahun 2008). Sebagai barang dengan harga yang begitu mahal (istilah pinternya
High Involvement Product), maka wajar buat saya untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya apakah saya layak membeli sebuah iPhone 5. Apalagi berhembus pula gosip yang mengatakan bahwa lebih baik menunda dahulu membeli iPhone 5 karena setahun lagi akan dirilis iPhone generasi selanjutnya. Tapi kemudian saya pikir kalau harus menunggu setahun lagi, jangan-jangan tahun depannya juga akan dirilis iPhone generasi terbaru, maka kalau seperti itu kapan saya ganti ponselnya dong :-D
iPhone 5 merupakan
smartphone Apple generasi keenam yang revolusioner. Mengapa? Dari segi penampilan fisiknya saja, sudah kentara bahwa iPhone 5 memiliki ukuran layar seluas 4" yang lebih panjang dan lega dibandingkan generasi iPhone sebelumnya. Dengan resolusi
Retina Display 1136 x 640
pixels, tentunya warna yang dihasilkan jauh lebih baik dibandingkan layar BB Armstrong saya sebelumnya. Oya, bicara soal warna, satu hal yang membuat saya mantap memilih iPhone daripada Samsung S4 adalah perbedaan intensitas
tone warnanya. Kalau bicara kepadatan
pixel, Samsung memang mengungguli
Retina Display-nya Apple dengan layar AMOLED-nya yang didengungkan ke mana-mana. Tapi coba perhatikan tone warna yang dihasilkan, tampak bahwa warna di layar Apple menghasilkan warna yang relatif lebih netral dan akurat dibandingkan warna di layar Samsung yang cenderung lebih
vivid (ngejreng) dan kontras. Kembali lagi ke sisi revolusioner iPhone 5, material yang digunakan adalah
aluminium composite frame yang membuat iPhone 5 lebih ringan sekaligus tampil lebih elegan dibandingkan generasi sebelumnya yang mengandalkan
stainless steel. Mungkin kalau ada hal revolusioner yang kurang disukai pengguna produk Apple adalah
port connector yang dibenamkan di iPhone 5 berbeda dengan
port sebelumnya.
Port connector yang baru didesain lebih kecil dan langsing, imbasnya maka
port connector Apple yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi.
Hal lain yang dulu sempat saya khawatirkan saat menggunakan BB, yaitu fitur
Push Mail yang konon hanya bekerja dengan sangat baik di perangkat BB ternyata juga tidak terbukti. Aktivitas saya dalam mengirim dan menerima
e-mail di iPhone 5 berjalan lancar-lancar saja dan yang pasti sekarang saya tidak pernah lagi harus melepas baterai karena ponsel
error, hang atau lemot. Kekhawatiran teman-teman saya dulu yang mengatakan tidak akan bisa BBM-an lagi kalau tidak memakai BB pun juga lenyap setelah BlackBerry memutuskan merilis aplikasi BBM di perangkat Apple dan Android.
Meskipun di tahun 2015 ini, iPhone 5 saya sudah berumur 2 tahun (3 tahun kalau dihitung dari rilis pertamanya), saya masih merasakan bahwa
smartphone ini masih sangat menunjang aktivitas saya sehari-hari, baik dalam pekerjaan maupun saat bersantai.
Memang seperti pepatah "Tidak ada gading yang tak retak", iPhone 5 pun juga memiliki banyak kekurangan menurut saya. Apalagi kalau mau dibandingkan dengan teknologi
smartphone yang keluar setahun terakhir ini, dengan teknologi prosesor yang lebih kencang, kamera yang lebih mumpuni, termasuk juga fitur NFC
(Near Field Communication) yang sangat keren, memungkinkan terjadinya pertukaran data lewat menyentuhkan
gadget kita ke
device lain. Fitur NFC ini sudah diterapkan oleh Samsung di Galaxy S4 dan baru belakangan juga turut dibenamkan Apple di iPhone 6.
Sampai detik saya menulis
blog ini, saya
tidak BELUM tertarik atau bahkan merencanakan mengganti iPhone 5 saya dengan ponsel yang baru. Entah apakah perjalanan saya memiliki sebuah ponsel masih akan terus berlanjut ataukah sudah berakhir tertambat di iPhone 5, biarlah kelak waktu yang akan menjawabnya.
Bagaimana dengan perjalanan Anda sendiri dalam memiliki sebuah ponsel?
Kring… Kring… Halo?
iPhone 5