Sabtu, 04 Oktober 2008
Shenzhen: From Nothing to Something
Shenzhen merupakan sebuah kota modern yang baru terdengar mungkin sepuluh-lima belas tahun terakhir ini saja, bila dibandingkan dengan Guangzhou, Shanghai, ataupun Beijing. Kota ini berbatasan langsung dengan kawasan New Territories di bawah otoritas Pemerintah Hong Kong. Di zaman dulu, daerah Shenzhen sangat dijaga ketat karena banyaknya warga miskin China yang ingin lari ke Hong Kong untuk mencari pekerjaan. Kota ini terletak di provinsi Guangdong, daerah selatan China, sehingga beriklim tropis dan panas sepanjang tahun seperti Indonesia. Hampir semua penduduk Shenzhen selalu membangga-banggakan nama Deng Xiaoping.
Akhirnya tibalah kami memasuki Shenzhen, kesan pertama yang muncul adalah kota ini sudah terlihat modern! Gedung-gedung bertingkat dimana-mana, mobil-mobil mewah bersliweran (sebuah Ferrari terlihat diparkir di depan hotel kami), dan orang-orang yang berlalu-lalang terlihat mengenakan pakaian yang fashionable. Sepertinya Jakarta dan Surabaya saja masih kalah bila dibandingkan head to head dengan Shenzhen. Bahkan Gucci berani membuka toko 2 lantai di pinggir jalan! Kami diantar menuju Century Plaza Hotel, sebuah hotel berbintang 4 berlantai 22 di kawasan downtown. Kota ini terlihat seperti China dengan citarasa Hong Kong, karena banyak orang-orangnya yang berbicara bahasa Kong Hu. Di jalanan tidak terlihat sama sekali sepeda motor, bahkan jarang terlihat orang bersepeda (padahal China dikenal sebagai gudangnya sepeda). Ternyata ini merupakan kebijakan pemkot Shenzhen yang melarang sepeda motor untuk alasan ketertiban. Melihat kondisi Jakarta, rasanya alasan ini sangat bisa dibenarkan. Tetapi perlu diketahui, bus-bus umum di sana sangat nyaman dan relatif murah, sehingga orang tidak perlu membeli kendaraan pribadi (kecuali orang yang kaya).
Usai makan malam, tour guide menawari kami untuk berbelanja di Luo Hu, salah satu pusat perbelanjaan yang populer di Shenzhen. Namun di tengah-tengah citywalk menuju Luo Hu, tour guide lokal mendadak mengingatkan kami untuk menjaga barang baik-baik dan jangan keluyuran sendirian malam-malam (terutama para pria). Saya baru mengerti maksudnya setelah saya melihat dengan mata kepala sendiri, sangat banyak perempuan-perempuan muda dengan dandanan menarik berdiri di pinggir jalan, menatap setiap pria yang lewat dengan pandangan seribu arti. Bahkan mudah dijumpai tempat-tempat massage dengan seorang perempuan muda bergaun biru (ya, gaun!) berdiri di depan pintu sembari membawa handy talkie.
Memasuki Luo Hu, ternyata tempat ini sangat mirip dengan Xing Wang di Shanghai (hanya tidak seramai Xing Wang). Kalau di Indonesia, mirip dengan Mangga Dua atau Pasar Atum yang banyak menjual barang-barang branded aspal. Dimana-mana terlihat toko menjual tas, sandal, sepatu, arloji, dan aksesoris. Yang beda adalah rata-rata penjaga toko di sini merupakan cewek-cewek muda yang cantik dengan dandanan menarik! Namun yang membuat saya il-feel di tempat ini adalah, sangat banyak sekali orang Indonesia di Luo Hu! Bayangkan hampir tiap melangkah 3 toko, kita pasti akan mendapati orang berbahasa Indonesia! Mungkin Shenzhen memang tempat favorit orang Indonesia untuk berlibur dan berbelanja. Ada isu-isu negatif yang beredar bahwa beberapa penjual di Luo Hu sering memberikan kembalian uang palsu kepada pembeli yang tidak waspada. Di Shenzhen saat ini, bila kita berbelanja biasanya tidak diberikan kantong plastik, kecuali kita membelinya! Memang terkesan konyol, namun ini merupakan kebijakan yang ramah lingkungan untuk mengurangi limbah plastik.
Sepulang dari Luo Hu, saya semakin mendapati sisi lain wajah Shenzhen yang modern dan makmur. Di mana-mana banyak sekali orang-orang nongkrong di pinggir jalan, walau tidak separah seperti di Indonesia (fenomena ini hampir tidak ada di Beijing dan Shanghai). Bahkan yang membikin shock, salah satu rombongan tur kami sempat dicegat dua anak jalanan yang meminta kue yang dipegangnya. Yang bikin hati ini kecut adalah, salah satu anak jalanan itu adalah anak perempuan yang sangat cantik! Matanya besar, hidungnya mancung, dan kulitnya putih. Saya jadi mikir, apes bener dia lahir di China, coba kalau di Indonesia, pasti jadi rebutan banyak orang :-) Dalam perjalanan pulang ke hotel, perempuan-perempuan yang mangkal di pinggir jalan semakin banyak dan terlihat beberapa petugas keamanan (bukan polisi) yang berpatroli, hal ini menandakan bahwa Shenzhen pastilah punya banyak catatan kriminalitas (Di Shanghai dan Beijing saja jarang terlihat petugas keamanan). Seakan saling melengkapi, semakin larut malam, beberapa orang bahkan semakin agresif menawari jasa massage kepada sejumlah pria... duh, benar-benar Shenzhen Undercover! Namun overall, di jalanan Shenzhen sama sekali tidak terlihat gelandangan kumal, pengemis, ataupun polisi cepekan, seperti di Jakarta.
Besok paginya, tur kami mendapat tour guide lokal yang baru, seorang perempuan berusia 27 tahun. Dia bercerita konon karena ulah oknum-oknum yang menambah semarak malam Shenzhen itulah, mayoritas cewek-cewek muda Shenzen kini enggan dipanggil "Xiaocie", yang mempunyai arti 'nona'. Panggilan "Xiaocie" di Shenzhen ternyata bergeser menjadi negatif karena diidentikkan dengan image kupu-kupu malam. Untuk itu, mereka lebih suka dipanggil, "Liang Ni", yang artinya 'anak perempuan yang secantik bulan' ;-) Tour guide kami yang baru ini memperkenalkan diri dengan nama panggilan, Ancin. Bahasa Indonesianya sangat fasih dengan logat seperti Tionghoa Medan/Bangka kental, sehingga saya mengira ia memang berasal dari Medan/Bangka. Ternyata Ancin ini adalah orang China asli yang mengaku belajar bahasa Indonesia selama 2 tahun di Guangzhou! Sekarang ia bekerja sebagai tour guide lokal di Shenzen untuk melayani turis Indonesia. Salute, girl! Lucunya, Ancin dengan polos mengaku bahwa sampai saat ini ia belum pernah mengunjungi Indonesia :-)
Di hari kedua, kami diajak mengunjungi sebuah klinik herbal yang menyediakan layanan pemeriksaan kesehatan, lengkap dengan pemberian resep, peracikan dan pemberian obat-obat tradisional. Konon adik dari Megawati pernah berkunjung ke tempat ini untuk mengobati kencing manisnya. Selain itu, tempat ini juga menjual kain-kain sutera dan aksesoris-aksesoris perhiasan. Well, bagi saya kunjungan ke tempat ini sangat membosankan. Satu-satunya hal yang menarik bagi saya di tempat ini adalah ada beberapa pegawai yang mampu berbahasa Indonesia, bahkan banyak dari mereka mampu mengucapkan sepatah-dua patah kata-kata dalam bahasa Indonesia kepada calon pembeli. Berikutnya, kami mengunjungi sebuah pabrik sekaligus tempat penjualan batu giok yang konon di-support penuh oleh pemkot Shenzhen, yaitu Shenzhen Xingyu Mineral Museum. Bangunan luarnya terlihat usang dan meragukan, namun setelah melihat ke dalam ruangan, interiornya cukup mewah. Di sini lagi-lagi banyak pegawai yang mampu dan fasih berbahasa Indonesia! Kami diajari cara membedakan antara batu giok yang asli dengan imitasi dari warna, serat, dan bunyinya. Tidak hanya batu giok, tempat ini juga menjual teh unik khas Shenzen, yaitu teh leci. Para turis dilarang keras memotret di dalam klinik herbal dan pabrik batu giok ini karena kedua tempat ini dianggap sebagai aset pemerintah yang bersifat rahasia.
Pada hari ketiga, kami mengunjungi objek wisata paling terkenal di Shenzhen, Window of The World. Di bagian depannya, piramida kaca Louvre sudah menyambut kita. Di kejauhan terlihat Menara Eiffel dan Arch de Triomphe yang menjulang. Terlihat ramai sekali orang-orang saling berpotretan di sini. Window of The World merupakan miniatur-miniatur dari berbagai tempat paling terkenal di seluruh dunia! Ukuran replika yang paling besar di sini adalah Menara Eiffel. Replika-replika yang lain seperti, Kremlin, Colosseum, Air Terjun Niagara, Menara Pisa, bahkan Candi Borobudur, dapat Anda temukan di sini. Tempat wisata ini sangat luas sekali dan terlihat bersih serta aman. Sama sekali tidak ada calo di dalam (bahkan Forbidden City di Beijing pun masih kecolongan calo-calo berkeliaran). Namun kita dapat menaiki sebuah kereta untuk mengelilingi Window of The World dalam waktu 45 menit. Ancin berkelakar bahwa inilah kereta tercepat di dunia karena dapat mengelilingi seluruh dunia dalam waktu secepat itu :-)
Berikutnya kami mengunjungi China Folk Culture Villages. Semula saya cukup malas begitu tahu bahwa ini hanyalah taman miniatur objek-objek wisata di China (seperti TMII) yang juga menyuguhkan aksi tari-tarian. Namun begitu berkeliling di dalamnya, saya sungguh terkagum-kagum! Luas sekali dan di sana kita dapat melihat dan berinteraksi langsung dengan kehidupan suku-suku di China lengkap dengan pakaian dan bangunan khas tradisional mereka. Saya jadi
membayangkan andai Indonesia mampu mengemas keragaman budaya suku-sukunya sebaik ini. Berikutnya kami menonton sebuah teater di Impression Theater. Di acara ini, wisatawan dilarang memotret karena dianggap dapat merusak efek panggung acara. Seluruh acara telah direkam ke dalam VCD dan diperjualbelikan di stan khusus. Acaranya sendiri sungguh spektakuler! Ratusan pemain (mayoritas perempuan muda yang cantik) berpakaian sangat indah memainkan koreografi yang memukau, didukung efek-efek panggung yang sangat hebat untuk ukuran drama panggung di ruangan tertutup! Malamnya, kami diajak menonton teater lagi "Dancing with the Dragon and the Phoenix", kali ini diadakan di tempat khusus terbuka yang jauh lebih luas. Acaranya lebih hebat lagi karena menampilkan pemain yang lebih banyak dan efek-efek panggung yang sangat luar biasa. Very highly recommended!
Setelah berkeliling selama 3 hari di Shenzhen dan mendengar cerita-cerita dari Ancin, saya sungguh menghormati Shenzhen. Pandangan remeh saya terhadap kota ini di awal kedatangan mendadak sirna begitu saja. Bagaimana tidak, dulu Shenzhen merupakan kampung nelayan yang miskin dan kumuh. Hanya berselang 30 tahun kemudian, Shenzhen kini menjelma menjadi kota megapolitan yang sangat modern dan makmur! Semua ini bermula dari keberanian Deng Xiaoping yang menetapkan Shenzhen sebagai Special Economic Zone untuk mengimbangi kemapanan Hong Kong. Ancin mengutip kelakar Deng Xiaoping, bahwa janganlah kita mempersoalkan mana yang lebih baik antara kucing hitam (komunisme) atau kucing putih (kapitalisme), yang penting adalah kucing itu mampu menangkap tikus. Keputusan membuka Shenzhen bagi para investor ini sungguh revolusioner karena saat ini terbukti Shenzhen menjelma menjadi kota baru yang modern, nyaris tanpa sejarah sama sekali (selain sejarah sebagai kampung nelayan). Untuk menghormati jasa Deng Xiaoping, di Lotus Hill Park Shenzhen, dibangun patung Deng Xiaoping dari perunggu setinggi 6 meter.
Kini jumlah penduduk Shenzhen meningkat menjadi sekitar 7 juta jiwa, mayoritas warganya yang berusia muda merupakan kaum urban. Di Shenzhen juga ada anekdot populer yang menyatakan bahwa di kota ini perbandingan antara pria dan wanita mencapai 1:8, jadi di sini dapat dikatakan seorang pria bisa mencari pacar yang banyak ;-) Faktanya, perempuan-perempuan muda di Shenzhen sangat cantik dan pandai berdandan, sehingga konon banyak pria Hong Kong yang mencari istri atau sekadar plesiran ke Shenzhen.
Pada perjalanan berikutnya, kami akan segera mengunjungi Hong Kong! Jadi tidak sabar rasanya ingin menelusuri bekas koloni Inggris tersebut. Oya, di tanggal 1 Oktober ini kebetulan merupakan Hari Kemerdekaan Nasional China, namun di jalan-jalan situasinya tidak terlihat berbeda dengan hari-hari biasa selain bendera-bendera yang dikibarkan. Kalau Agustusan di Indonesia, pasti suasananya jauh lebih meriah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
bahkan saat l.k 13 tahun yll aku sempet kesana,shenzen udah gak ada bedanya sama kota besar di negara maju lainnya.banyak banget tuh yang mustinya pemerintah kita adopt untuk kenyamanan dan kelestarian lingkungan di kota2 besar kita..bagus banget dech,jadi pengen jalan2 ke sana lagi...hehehe. salam kenal...:D tengkyu udah mampir ke blogku.
Thx for your comment, Akyu!
Wah, jadi 13 taun yg lalu aja, Shenzhen uda modern kayak gitu ya? Padahal Jakarta yg skrg dgn 13 taun lalu, kayaknya ga berubah banyak, malah tambah macet dan semrawut aja nih, hehe.
Setahu saya, sudah sering tuh anggota DPR jalan-jalan ke luar negeri dgn dalih studi banding dan banyak pemkot beberapa daerah di Indonesia yang menjalin kerjasama "Sister City" dgn beberapa kota di luar negeri. Tapi mana ya hasilnya buat kota-kota di Indonesia???
Salam kenal juga :-)
fren, kok you gak cerita ada yg ketipu ga waktu di ajak jln ke klinik herbal di shenzhen?
hehehe.. malu krn ketipu jg kali ye..
just kidding fren.. :-)
salam kenal
Haha, sori brow, you got it wrong. Krn saya waktu itu seorang diri terdampar di klinik herbal sono, maka saya cuma keliling-keliling klinik aja. Lagian, sapa sih yg mau menawari obat-obat atau suplemen herbal Tiongkok kuno pada seorang anak muda yg sendirian? Jelas bkn target market yg tepat!
Lain halnya dgn rombongan tur yg lain, kebanyakan uda berumur dan datang dgn keluarga, nah itu dia sasaran empuk klinik ini! Mereka sampai mau-maunya ngeluarin berjuta-juta duit (setelah katanya diperiksa gratis) untuk obat-obat 'sakti' yg bahkan namanya pun blm pernah mereka dengar, hehe...
well.. china is now the 3rd major economy in the world (berdasarkan GDP 2008.. di bawah US dan jepang).. benar2 growing like crazy.. cuma kalo diliat perkembangannya.. miris juga kalo liat kota2 yang jadi korban... banyak kota di china yang masuk 10 besar most polluted city in the world
Bener banget, Sphyrna, kita kudu salut buat China yang baru membangun sekitar awal 90-an, dan hanya butuh satu dekade utk menggegerkan dunia! Skrg, barang apa sih yang ga ada label "Made in China?"
Memang dgn pembangunan ekonomi yg gila-gilaan seperti itu, konsekuensinya polusi meningkat pesat krn banyak pabrik. Di Beijing sering tuh kalo subuh banyak smog (smoke & fog), dan waktu olympic kemaren sempet dikeluhkan IOC juga. Malah ada atlet lari yg sampe mundur gara2 ngaku punya masalah kesehatan ga kuat dgn polusi udara berat.
Tapi biar gitu, jujur aja kayaknya jalan2 di kota-kota besar China masih lebih nyaman dan aman ketimbang jalan2 sendirian di Jakarte, hehe...
Posting Komentar