Senin, 30 Agustus 2010

One Odd Day

Hari Senin kelabu ini adalah salah satu hari teraneh di dalam hidup saya. Pagi hari untuk pertama kalinya mencoba naik Bus Transjakarta dari Sudirman ke Bundaran HI dan untuk pertama kalinya juga handphone saya dicopet! :-(

Alhasil saya harus pontang-panting pergi ke Gerai Indosat untuk memblokir nomor ponsel dan PIN BlackBerry, lebih melelahkan lagi saya harus mendatangi tiga Gerai Indosat di Sarinah, Mal Ambassador, dan Arta Graha hanya untuk mendapatkan stok SIM Card yang mereka punya. Namun di tengah saya pontang-panting dengan menaiki taksi, entah mengapa saya malah merasakan kesejukan dari keramahan dan rasa empati dua sopir taksi yang saya tumpangi saat saya berkeluh kesah tentang keapesan saya tersebut.

Sewaktu pulang malam harinya di areal parkiran kantor, lebih aneh lagi tiba-tiba saya berjumpa dengan seorang pria yang tidak tahu harus kemana akan pulang (sumpah, saya juga sama tidak percayanya dengan Anda waktu mendengar kata-kata pria tersebut). Ia mengaku baru seminggu bekerja di Jakarta dan menumpang di rumah Oomnya di daerah Cikarang. Entah bagaimana, Oomnya mendapat tugas ke Bogor dan tidak bisa menjemputnya dan ia bahkan tidak tahu jelas dimana alamat rumah Oomnya. Ajaibnya lagi, ia mengaku tidak punya sepeser uang, bahkan rekening tabungan di bank. Saya hanya bertanya-tanya, apakah pria ini punya motif untuk menipu saya?

Oke, secara logika ditambah dengan kondisi psikologis baru saja kehilangan handphone pagi harinya, saya berhak mengacuhkan pria aneh tersebut atau malah melempar urusan ini kepada satpam kantor. Namun entah mengapa, hati kecil saya merasakan iba kepadanya. Satu sisi di dalam diri saya ingin segera bergegas pergi saja mengatakan, "Sorry bro, it's not my business. I have my own problem, you know!". Namun di sisi lain, rasa kemanusiaan saya menyeruak dan menahan kaki saya untuk tetap diam di tempat.

Akhirnya, yah, sebutlah saya bodoh. Berbekal kartu namanya (dari kartu namanya, ia bekerja di salah satu kantor di Sampoerna Strategic Square sebagai Accounting), melihat sejenak KTP-nya dan kepercayaan buta, saya ikhlas meminjaminya uang agar ia bisa pulang ke daerah Cikarang dengan menggunakan taksi, meskipun saya masih ragu mengingat ia tetap mengatakan berulang kali tidak tahu jelas dimana alamat rumah Oomnya dan mengatakan mungkin akan turun di terminal. Ia berjanji, besok pada saat jam makan siang akan menjumpai saya bersama dengan Oomnya sembari mengembalikan uang yang saya pinjami tersebut. Saat saya menutup pintu taksinya, saya menjabat tangannya sejenak sembari berkata pelan, "Mas An**, meskipun saya baru tertimpa musibah, saya percaya dengan Anda dan semoga Tuhan melindungi Anda".

Ketika pulang, entah mengapa saya jadi bingung dan menangis sendiri di dalam mobil. Benar-benar satu hari yang aneh, tertimpa musibah kecopetan di pagi hari dan mendadak membantu seorang pria asing yang kebingungan di malam hari.

God, did You put me to the test? Tuhan, tolong berikan hikmat-Mu kepadaku...

Kamis, 05 Agustus 2010

The Effortless Effort


"In the future, everyone will be world famous for fifteen minutes." (Andy Warhol)
Belakangan ini semua orang tampaknya sedang kompak membicarakan topik yang sama, yaitu "Keong Racun". Konon bermula dari trending topic di Twitter, akhirnya "Keong Racun" merambah ke status-status di Facebook, Yahoo Messenger, BlackBerry Messenger, hingga lantas bergulir dari mulut ke mulut begitu cepat. "Keong Racun" di sini bukanlah hewan moluska yang mengandung racun, melainkan sebuah judul lagu dangdut koplo!

Bagaimana kisah awal mula popularitas "Keong Racun" yang membahana kemana-mana ini? Ternyata semuanya berawal dari keisengan dua gadis bernama Sinta dan Jojo yang coba-coba bernyanyi lip-sync membawakan lagu "Keong Racun" dan menguploadnya ke YouTube. Hasilnya luar biasa, dalam waktu singkat video live action-nya telah ditonton oleh ribuan orang dan dibicarakan di Twitter sehingga mendongkrak nama "Keong Racun" dalam trending topic. Berikutnya wabah "Keong Racun" menggelinding semakin besar seperti efek bola salju tanpa dapat dikendalikan lagi. Apa yang tampaknya menjadi trigger fenomena ini?

Lagu "Keong Racun" sebelumnya merupakan lagu dangdut koplo biasa yang hanya dikenal kalangan terbatas saja. Penciptanya dan penyanyi aslinya bahkan nyaris tidak pernah dikenal publik secara luas. Tetapi dua anak muda yang iseng berhasil menjadikan "Keong Racun" menjadi fenomena nyaris tanpa publikasi sama sekali. Ini menunjukkan bahwa di dunia Marketing 2.0, pola pikir tradisional yang menonjolkan kualitas produk semata tidak akan bisa berhasil. Resep kesuksesan "Keong Racun" di dunia Marketing 2.0 adalah lagu yang ear catchy dibawakan oleh dua gadis manis dengan gaya fun semau gue di YouTube, bisa ditonton gratis kapan pun, dan yang terpenting bisa di-share seru-seruan ke peer group. Dengan sendirinya orang-oranglah yang mengiklankan "Keong Racun" melalui file sharing ke teman-temannya sendiri. Mereka mau melakukan itu karena merasa bahwa yang dilakukannya bukanlah komersialisasi iklan. Bisa dibayangkan seandainya yang membawakan "Keong Racun" adalah penyanyi sekaliber Agnes Monica, tentu saja tidak akan ada banyak orang yang mau melakukan file sharing secara sukarela.

Semua unsur di atas terangkum manis di dalam satu nama: "Keong Racun". Sebuah nama yang aneh namun dengan cepat bertransformasi menjadi kosakata baru yang ajaib, mudah menempel di kepala dan tidak keluar-keluar. Dalam Public Relations, langkah pertama bila ingin mempopulerkan sesuatu, adalah dengan menciptakan kosakata baru yang berpotensi menggantikan kata kerja (contoh paling gampang: Googling dan Tweeting).

Impact dari fenomena "Keong Racun" ini sangat dahsyat! Sinta dan Jojo mendadak menjadi selebritis instan. Diliput acara televisi, diwawancarai, difoto, masuk ke artikel berita, bahkan hingga dikontrak oleh sebuah manajemen musik, barangkali adalah hal-hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bahkan diberitakan bahwa Rektor Universitas Pasundan sampai berniat memberikan beasiswa penuh kepada Jojo karena dianggap turut berjasa mempopulerkan nama universitasnya. Seakan masih kurang heboh, tiba-tiba muncul pula rekaman lagu "Keong Racun" di YouTube yang dibawakan oleh dua gadis bule!

Can you imagine the domino effect? Semuanya dimulai dari keisengan melalui YouTube, menggila di dunia Web 2.0 (Twitter, Facebook, YM, BBM), dan akhirnya meluas kemana-mana di dunia nyata. Peran Social Networking Sites dalam membentuk sebuah tren atau opini publik semakin nyata. Ini adalah tantangan sekaligus sebuah kemudahan sebenarnya bagi para pemasar untuk menjalankan strategi marketing. Bayangkan tanpa mengeluarkan biaya besar untuk periklanan tradisional, kita bisa menggunakan media sosial di internet sebagai corong publikasi secara efektif. Namun kelemahannya hanya satu, yaitu mencari trigger apakah yang mampu membuat orang-orang merasa memiliki keterlibatan emosional sehingga mereka akan rela menyebar-luaskan sebuah brand di internet karena merasa sebagai bagian dari identitas sebuah brand dan bukannya sebagai pengiklan gratisan.

Tidak selamanya peran media sosial di internet menjadi sesuatu yang positif bagi para produsen. Bila tidak diperlakukan dengan baik atau dikontrol dengan benar, media sosial di internet malah akan menjadi senjata bumerang yang sangat kejam. Nissin Wafers pernah mengalami hal tersebut. Melalui promosi fanpage Nissin Ngumpul Seru di Facebook, pihak Nissin melakukan blunder dengan menulis status yang seolah mengajak Facebookers menonton video porno Ariel sembari memakan Nissin Wafers. Alhasil hujatan pun menghujani wall Nissin di Facebook. Akhirnya Nissin meminta maaf namun berdalih ada seseorang yang telah meng-hack akun fanpage-nya di Facebook dan menulis status ngawur tersebut.

Web 2.0 seperti petir. Bila digunakan dan dikendalikan dengan benar, ia bisa menjadi listrik yang membantu kehidupan. Namun bila salah, ia bisa menyengat dan menghanguskan. Web 2.0 membantu menyebarkan sisi positif mengenai Anda atau juga sisi negatif tentang Anda dengan cepat (tentu saja lebih cepat tersebar segala sesuatu yang negatif). Teknologi 2.0 mengizinkan terjadinya interaksi dua arah antara produsen dan konsumen, tidak lagi satu arah top-down dari produsen ke konsumen semata.

Menciptakan Buzz Marketing sesungguhnya gampang-gampang susah. Gampang di awalnya namun sangat susah untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Contoh paling nyata adalah produk obat sakit kepala Dumin. Berbekal tantangan ambisius agar brand Dumin mampu menjadi bahan pembicaraan orang-orang dalam waktu singkat, agensi kreatif yang menaunginya memutuskan untuk menciptakan karakter fiktif bernama Ririn Dumin. Ririn dikisahkan sebagai perempuan atraktif yang supel, optimistis, ceria, dan bercita-cita menjadi seorang artis. Untuk itu ia rela mengikuti beragam audisi dan sering curhat mengenai kejadian sehari-harinya melalui video-video yang dipost ke YouTube. Supaya tampak nyata, Ririn pun juga memiliki akun di Facebook, Twitter, bahkan menempel selebaran-selebaran di pinggir jalan lengkap dengan nomor handphone yang tampaknya fiktif.

Impact telah berjalan. Orang-orang mulai membicarakan siapakah sebenarnya Ririn Dumin ini. Ada yang percaya bahwa ia benar-benar nyata, namun ada pula yang menuduhnya hanyalah akal-akalan produsen untuk berpromosi saja. Hingga akhirnya Ririn diceritakan berhasil dikontrak menjadi bintang utama di iklan pertamanya. Coba tebak apa iklan pertama Ririn? Anda benar, obat sakit kepala Dumin! Itu adalah iklan pertama Ririn dan tampaknya juga yang terakhir. Setelah penasaran itu terjawab, orang-orang dengan cepat melupakan nama "Dumin".

Meskipun fenomena "Keong Racun" adalah salah satu contoh Public Relations yang paling sukses dalam sekejap tetapi saya pribadi berpendapat bahwa fenomena "Keong Racun" ini bukanlah sebuah tren melainkan sebuah fad. Pada prinsipnya fad melejit dengan cepat namun juga kandas secepat lahirnya. Sedangkan tren meluas tidak secepat fad namun matinya juga perlahan-lahan. Secara gampang, bisa dikatakan bahwa fad adalah tren yang mati terlalu cepat. Kita lihat bersama saja, sampai kapankah fenomena "Keong Racun" akan bertahan?