Jumat, 18 Desember 2009

2001: Space Odyssey (Beyond Hope, Expectation & Imagination)


Minggu kemarin, dengan sangat kebetulan saya melihat DVD film ini terpajang manis di deretan rak film-film yang dijual Gramedia. Spontan saya merasakan hasrat yang menggelora untuk membeli film ini, mengingat reputasinya sebagai film klasik science fiction yang sangat legendaris. Namun melihat label harganya senilai Rp 129 ribu, membuat saya agak ragu-ragu dan hanya membolak-balik kemasan DVD itu, berharap menemukan alasan yang sangat bagus untuk tetap membelinya.

Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan tindakan yang paling disukai oleh seluruh produsen di seluruh dunia, impulse buying! Saya berpikiran, "Tak ada salahnya sesekali menikmati sebuah film berkualitas yang cukup langka dengan harga dan kualitas sepadan." Apalagi DVD ini juga menyertakan 1 disc lagi berupa feature edition yang memang ditujukan bagi para kolektor. Cukup menyenangkan pula saat membayarnya di kasir, ternyata saya diberitahu bahwa Warner Bros sedang mengadakan promo mengizinkan saya memilih sebuah film DVD lagi dengan harga di bawah Rp 129 ribu :-)

Film "2001: Space Odyssey" ini disutradarai dan diproduseri oleh Stanley Kubrick ini diangkat dari novel karya Arthur C. Clarke. And guess what, film ini dibuat di tahun 1968! Adegan pembuka di film ini sudah jelas bukan merupakan adegan pembuka yang biasa kita saksikan di film-film Hollywood yang penuh aksi. Bahkan kenyentrikan film-film Quentin Tarantino pun terasa menguap cepat bila dibandingkan dengan film ini. Bayangkan saja, film ini dibuka dengan scene kehidupan primata-primata prasejarah yang kelak menjadi cikal bakal manusia. Stanley Kubrick dengan jenius mengisahkan kehidupan mereka yang primitif, liar, sekaligus rapuh. Kera-kera purba ini harus bertahan hidup di alam yang keras, bersaing dengan tapir untuk memakan tumbuhan dan lumut, serta masih harus menghadapi serangan tiba-tiba macan tutul. Seakan masih kurang, mereka juga harus bersaing dengan kelompok kera lain untuk memperebutkan sumber air.

Jadi bayangkan saja bahwa sepanjang adegan pembuka, tidak ada dialog, narasi, atau teks sama sekali (kecuali jeritan-jeritan kera purba dan sekali raungan macan tutul). Tetapi buat saya pribadi, visualisasi adegan itu tergambar sangat jelas dan bahkan lebih kuat dari sekadar kata-kata biasa. Saat malam tiba, kera-kera primitif ini berusaha tidur di sebuah bukit karang dan mereka merasa sangat gelisah. Hingga keesokan harinya sangat bangun, kegelisahan mereka semalam seolah terwujud dalam sebuah batu misterius yang mendadak muncul di hadapan mereka. Batu hitam monolith berbentuk balok yang diam membisu itu membingungkan para kera yang berteriak-teriak ketakutan, sampai mereka akhirnya berani menyentuh batu tersebut untuk memuaskan rasa penasaran mereka.

Tiba-tiba dari sana, mendadak salah satu dari mereka seolah berubah menjadi spesies yang lebih cerdas! Seekor kera terlihat mengamati potongan tulang tapir dan mengambil sepotong tulang terbesar. Setelah dipegang-pegangnya dalam genggaman tangan, ia mulai memukul-mukulkannya dan menyadari bahwa tulang di tangannya bisa menjelma menjadi senjata yang menakutkan. Lewat tulang itulah, mereka bisa mengusir tapir, membunuhnya untuk mendapatkan protein dagingnya, dan yang paling penting lagi, mereka bisa mengusir kawanan kera lainnya dengan memukul mati pemimpin kera yang mencoba melawan dan menguasai kembali sumber air mereka sebelumnya. Secara jelas, Kubrick sedang mengkonstruksi ulang rekaan mengenai lompatan evolusi yang terjadi dari spesies kera primitif menjadi spesies kera setengah cerdas yang kelak menjadi manusia.

Saya amati, kostum yang dibuat untuk memerankan kera-kera primitif itu cukup bagus, apalagi bulu-bulunya terlihat sangat natural. Gesture yang diperagakan oleh aktor pemeran kera-kera itu pun cukup luwes, walaupun saya menilai topeng kera mereka masih sedikit aneh, ditambah mungkin waktu itu belum ada teknologi softlens mata yang unik, sehingga mata kera-kera itu masih terlihat seperti mata manusia. Yang unik, untuk mendapatkan peran anak-anak kera tersebut, mereka tidak mengambil anak kecil atau orang cebol, melainkan memutuskan untuk menggunakan anak simpanse! Pantas saja saya melihat gerakan-gerakan anak-anak kera dalam film ini sangat natural sekali.

Di film ini diperlihatkan, setelah kera-kera itu berhasil membunuh pemimpin rival dan menguasai sumber air kembali, salah satu dari mereka berteriak bangga sambil melemparkan tulang ke langit. Di sinilah, Kubrick lagi-lagi memperlihatkan sisi eksentriknya, saat mendadak mengganti scene tulang yang terlontar ke langit itu menjadi scene sebuah satelit yang melintasi luar angkasa! Bayangkan sebuah kegagapan yang kontras antara zaman prasejarah dimana manusia masih berupa gorila berbulu dengan adegan zaman luar angkasa! Berikutnya, film ini akan menceritakan mengenai abad penjelajahan antariksa manusia di tahun 2001.

Menariknya, sepanjang film, Stanley Kubrick dengan sangat luar biasa memberikan berbagai deskripsi yang detail mengenai berbagai ramalan teknologi masa depan menurut interpretasinya. Ada pesawat-pesawat antariksa, stasiun luar angkasa, pendirian pangkalan antariksa di bulan, keadaan tanpa bobot di dalam pesawat antariksa, seragam para astronot, bahkan sampai menu makanan instan para astronot. Sekadar informasi, film ini dibuat bahkan sebelum Neil Armstrong mendarat di bulan pada tahun 1969! Di film ini juga digambarkan mengenai teknologi telepon masa depan berupa videophone, serta teknologi Artificial Intelligence. Film Kubrick inilah yang kelak menginspirasi George Lucas menciptakan Star Wars yang legendaris tersebut. Bahkan menurut saya, film ini lebih akurat daripada film-film antariksa Hollywood lainnya karena tidak ada suara yang muncul saat adegan-adegan di luar angkasa yang memang kedap suara akibat tidak adanya udara sebagai penghantar.

Emosi yang kuat bagi saya, ada di akhir bagian dari film. Dikisahkan bahwa saat itu, manusia berencana untuk mendarat di Planet Jupiter. Untuk itu, mereka meluncurkan sebuah roket yang dihuni oleh beberapa astronot yang dibuat dalam kondisi hibernasi dan semuanya dikendalikan oleh sebuah super-computer paling cerdas yang pernah dibuat manusia, HAL 9000 Series. (Konon nama HAL diambil dari nama "IBM" yang digeser satu huruf). Masalah mulai timbul saat HAL mulai mengambil keputusan untuk melenyapkan para astronot itu satu persatu karena menganggap mereka menghalangi misi. Sementara para astronot itu berpendapat bahwa ada yang tidak beres dengan mesin ini dan langkah paling aman adalah menonaktifkannya sementara sampai situasi lebih lanjut. Sejujurnya, saya merasakan bahwa film "Eagle Eye" yang dibintangi Shia LaBeouf dan diproduksi tahun 2008 ini sangat mirip dengan salah satu bagian dari film "2001: Space Odyssey" ini. Betapa tidak, bayangkan saja sebuah super-computer yang maha cerdas, bisa berpikir, belajar dari kesalahan-kesalahannya, dan mempunyai akses kendali ke mana pun, dan ia melawan manusia. A ghost in the machine! Kemiripan lainnya adalah super-computer ini sama-sama menggunakan kemampuannya membaca bibir untuk menganalisis pembicaraan saat sambungan audio dimatikan.

Pada akhirnya, melalui semangat juang yang tidak bisa diperkirakan oleh sebuah komputer, seorang astronot bernama Dave Bowman berhasil mengalahkan HAL dengan mencabut prosesor-prosesor untuk membunuhnya pelan-pelan. Disinilah HAL serasa seperti mahluk yang sedang terluka. Melalui suaranya yang diprogram untuk terdengar lembut dan tenang, HAL berusaha membujuk Dave untuk membatalkan tindakannya tersebut, bahkan termasuk bernyanyi! Setelah pesawat dalam kondisi penguasaan manual penuh, Dave memutuskan untuk mengendarai space aircraft yang lebih kecil untuk mendarat di Jupiter.

Nah, di scene inilah, kegilaan Stanley Kubrick semakin menjadi-jadi. Saat mengorbit di dekat Jupiter, Dave tiba-tiba mengalami sebuah fenomena astrologi yang sangat luar biasa dan terlihat sebuah batu monolith melintas di hadapannya. Entah itu sebuah efek supernova atau halusinasi belaka, yang pasti sepanjang adegan, Dave mengalami halusinasi optik yang sangat kompleks, sampai saya tidak mampu mendeskripsikan dengan kata-kata disini. Setelah itu, semuanya gelap dan tenang...

Kemudian scene berganti menjadi sebuah ruangan bernuansa klasik yang mewah, dimana space aircraft yang ditumpangi Dave sudah ada di dalam ruangan itu. Dave terbujur tegang di dalam space aircraft dan melalui kaca depan, ia melihat sosok manusia berpakaian astronot seperti dirinya. Wajah dalam helm astronot itu terlihat dan nyata itu adalah wajah Dave sendiri. Tetapi wajah itu terlihat lebih tua 20 tahun, dan mendadak ruangan itu hanya berisi Dave seorang, sedangkan space aircraft yang berisi Dave yang lebih muda di dalamnya, menghilang.

Setelah itu dengan pandangan mata kosong, Dave mengamati pantulan wajahnya di cermin, lalu melangkah pergi. Ia tertarik dengan bunyi denting peralatan makan yang terdengar dari sebuah ruangan yang pintunya terbuka sedikit. Dave berhenti dan melongok, terlihat punggung sosok seorang pria bermantel beludru yang sedang makan. Pria yang sedang makan itu merasa ada yang mengawasinya dan ia menoleh. Dave di balik pintu menghilang lalu pria itu kembali meneruskan makannya. Tampak wajah pria itu adalah Dave sendiri yang mungkin berusia sekitar 70 tahun. Tanpa sengaja ia menyenggol segelas air di sampingnya sehingga pecah berantakan di lantai. Dave tua memandanginya sejenak lalu ia mendengar suara berdeham serak dari atas ranjang.

Kini scene memunculkan seorang pria botak tua lemah tak berdaya sendirian, terbaring di atas tempat tidur. Seperti Dave-Dave lainnya, pria tua yang sedang makan itu turut lenyap. Mendadak di hadapan Dave yang renta, muncul sesosok batu monolith yang misterius itu! Batu yang pernah membantu evolusi kera-kera purba, berjuta-juta tahun yang lalu dan saya hanya bisa menduga mungkin batu itu hasil peradaban lain yang lebih cerdas atau interpretasi Kubrick terhadap eksistensi Tuhan. Setelah itu, scene berganti dengan Dave yang masih berupa janin dan mengorbit mendekati Bumi...

Jelas bukan sebuah ending film yang disukai banyak orang. Saya sendiri bahkan menganggap visualisasi itu hanyalah interpretasi yang konotatif dari seorang Stanley Kubrick untuk menggambarkan harapan manusia akan keabadian dan kerinduan Dave untuk kembali pulang ke rumahnya di Bumi. Dave sendiri saya duga sudah lama tewas saat space aircraft-nya mungkin gagal mendarat di Jupiter atau terkena efek ledakan supernova.

Meskipun film "2001: Space Odyssey" ini dianggap mewakili prediksi masa depan yang cukup akurat, banyak ramalan-ramalannya terbukti meleset, misalnya:

1. Sekarang sudah akhir tahun 2009 dan manusia masih belum berhasil mengadakan perjalanan antariksa (bahkan mendarat di bulan untuk kedua kalinya pun belum pernah dilakukan).

2. Konsep videophone sebagai telepon masa depan sampai sekarang tidak pernah terealisasi, kecuali menjadi webcam.

3. Saat itu mereka belum meramalkan teknologi touchscreen dan layar datar. Terlihat waktu Dave bermain catur dengan HAL, ia menggunakan suara untuk menggerakkan pion-pion caturnya di layar komputer. Padahal kalau sekarang, tentu lebih masuk akal bila Dave menggerakkan pion catur lewat jarinya di layar touchscreen. Monitor-monitor yang ada di film ini pun kebanyakan masih cembung, seperti monitor TV di tahun 1970-an.

4. Visualisasi Planet Bumi di film ini menurut saya terlihat sedikit janggal, karena terlalu didominasi warna biru. Padahal kalau dilihat dari foto-foto di buku atau film-film Hollywood yang lebih modern, Bumi juga mempunyai warna coklat (warna daratan).

Overall, film ini sangat direkomendasikan! Film fiksi ilmiah terbaik di zamannya dan saya sangat berharap suatu saat film ini akan dibuat remake-nya :-)

Minggu, 13 Desember 2009

Serengeti: The Clash of Dominations




Sabda Darwin mengenai seleksi alam, bahwa yang terkuatlah yang menang terus menggema di dunia. Konsep survival of the fittest inilah yang menjadi roda-roda penggerak kompetisi yang terjadi di mana-mana, mulai dari pucuk dedaunan di atas pohon yang kering meranggas hingga ke hutan tropis yang basah. Dan kali ini kita bisa menyaksikan miniatur kompetisi tersebut di padang rumput Serengeti, Afrika.

Kompetisi yang keras dan kejam terus berlangsung untuk menghasilkan spesies-spesies yang lebih tangguh, lebih kuat, lebih cepat, dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Alam seperti ibu tiri yang otoriter dan tidak pernah membiarkan anak-anaknya larut bermanja-manja, bahkan ini berlaku pula untuk para predator yang duduk nyaman di atas singasana piramida makanan pun. Persaingan dan bahaya bagaikan dua sisi keping uang logam yang terus-menerus silih berganti membayangi.

Alam selalu menyukai anomali dan kadang-kadang beberapa spesies berbeda terlibat dalam kontak yang sangat jarang terjadi namun berlangsung dengan sangat menakjubkan. Sebuah kesengajaan kecil dari alam untuk membentur-benturkan pion-pion di atas papan caturnya dan membiarkan pion-pion kecil itu sendiri untuk bereaksi sekaligus menyimpannya dalam memori masing-masing. Yang menang membawa kebanggaan dan menunjukkan dominasinya, yang kabur memendamnya sebagai pengalaman berharga, dan yang kalah akan terluka, cacat, atau mati dimakan.

Di padang rumput Serengeti Afrika yang bersemu kuning keemasan tertimpa matahari terik, terhampar jelas sebuah aura kebencian yang kasat mata namun mampu menggetarkan intuisi dari dua jenis predator berbeda. Predator pertama menyerupai seekor kucing raksasa dengan warna tubuh kekuningan yang merupakan kamuflase sempurna untuk mengendap dan mengintai dari antara ilalang Serengeti. Mereka merupakan penguasa utama tanah Serengeti. Singa Afrika begitu dipuja karena kekuatannya, kewibawaannya, dan ketenangannya. Predator kedua memilih wujud menyerupai anjing besar yang eksentrik. Kadang-kadang kita melihatnya melangkah seperti campuran mistis anjing dan beruang. Mereka merupakan tokoh oposisi yang licik, eksentrik, tetapi punya kekuatan misterius untuk melakukan agresi-agresi menakutkan kepada para singa. Hyena yang sendirian bukan masalah besar bagi singa dewasa. Tetapi sekelompok hyena dewasa yang lapar adalah horor, bahkan bagi sekelompok singa.

Bentrokan di antara keduanya kadang tidak dapat dihindari bila rasa lapar lebih kuat daripada rasa takut. Sewaktu sekelompok singa betina sukses menjatuhkan seekor wildebeest dewasa, dengan sigap singa-singa itu berpesta pora melahap setiap daging buruannya. Namun aroma pembunuhan itu dengan cepat menyebar dan diketahui kelompok pemburu lainnya. Belum puas para singa mengisi perutnya, hyena-hyena telah mengepung dan melancarkan intimidasi. Singa betina merasa terusik dan marah menerjang satu-dua hyena di dekatnya. Namun bukannya kabur, hyena yang lapar seperti ombak. Mereka mundur dua langkah untuk kembali maju dengan kekuatan yang lebih besar. Singa-singa merasa kendali peperangan berbalik arah, mereka berlarian dikejar hyena-hyena yang beringas. Salah seekor singa betina yang menyingkir tampak terpincang-pincang, luka di kaki belakangnya masih tergores segar. Di bawah sinar bulan yang anggun, para singa hanya memandang marah tak berdaya, menyaksikan bangkai wildebeest itu menjadi sasaran kerakusan para hyena. Malam itu berakhir untuk kemenangan hyena!

Di siang hari yang cerah, sekumpulan hyena sedang bermalas-malasan di teritorialnya sendiri. Tiba-tiba sekelebat bayangan kuning kecoklatan berlari dengan kecepatan penuh, mengincar seekor hyena muda yang malang. Seekor singa jantan dewasa berlari memburu dengan ketenangan seekor pemimpin dan didukung beberapa singa betina berlari di belakangnya. Melihat bahaya yang nyata, hyena itu berlari ketakutan dan teman-temannya hanya diam menyaksikan dari kejauhan. Mereka membutuhkan suntikan rasa lapar yang hebat sebagai doping untuk berani mengkonfrontasi seekor singa dewasa yang sedang marah! Kaki-kaki hyena yang pendek dan canggung (karena kaki belakangnya lebih pendek) jelas bukan tandingan kecepatan singa yang marah. Dengan mudah singa jantan itu mengaitkan kaki depannya, menjegal kaki belakang hyena sehingga ia terjungkal dan seketika singa jantan itu mengigit lehernya dengan brutal. Hyena itu meronta dan menjerit-jerit namun singa penuh pengalaman itu tetap diam mengatupkan rahangnya yang besar, berusaha mematahkan leher si pengecut. Setelah hyena itu diam tak bergerak, singa itu bergegas pergi sembari mengaum menunjukkan dominasinya sebagai pemimpin alfa. Dengan jelas ia menuntut pembayaran yang adil kepada para hyena atas rusaknya perburuan singa betina semalam. Singa dan hyena akan cenderung saling menyerang tanpa memerlukan alasan apa pun.

Suatu saat di belahan padang rumput lainnya yang gersang, seekor singa jantan muda yang depresi melangkah gontai meninggalkan kawanannya. Mungkin karena kalah berkompetisi atau sedang sakit, singa muda ini jelas tampak sangat kurus dan tidak sehat. Setelah melangkah cukup jauh tanpa tujuan, singa yang surai rambutnya belum tumbuh sempurna ini merasa lelah dan memutuskan berbaring menunggu ajalnya tiba. Menjelang senja, sekelompok hyena yang berpatroli mencium bau bangkai yang paling mereka tunggu-tunggu! Dengan penuh hati-hati mereka menyelidik seolah memastikan bahwa singa muda yang berbaring kaku di hadapan mereka benar-benar telah mati. Tanpa menunggu waktu lama, dengan segera mereka mulai menyosorkan moncong, melubangi perut kurus singa itu dan memakan isinya. Sementara kawan mereka melahap, beberapa hyena menunjukkan perilaku anehnya. Tampak jelas mereka dengan ekspresi nyaman menggosok-gosokan tubuhnya ke bangkai singa tersebut. Mungkin ini adalah simbol penghinaan dari kaum hyena kepada para singa. Atau mungkin juga hyena berharap bisa memanfaatkan bau singa di tubuhnya untuk keuntungan dirinya.

Jauh dari keributan para hyena dan singa, sekumpulan badak sedang bersantai berkubang lumpur. Badak Afrika dewasa seperti sebuah panser lapis baja dengan palu godam di ujungnya yang akan mendobrak rintangan apa pun di hadapannya. Dari balik semak-semak, tiba-tiba menyeruak seekor gajah jantan muda sendirian menghampiri badak-badak tersebut. Gajah itu mengeluarkan suara terompetnya yang nyaring dengan belalainya sengaja membuat kegaduhan. Para badak yang terusik segera keluar dari kubangan lumpur dan badak yang terbesar dari mereka menyambut tantangan gajah tak tahu diri tersebut.

Dua mahluk raksasa Afrika bertemu dan keduanya saling menunjukkan dominasinya satu sama lain, menciptakan kepulan debu yang menyelimuti kawasan tersebut. Gajah dengan tubuhnya yang lebih besar, mendorong perlahan melalui tulang kepalanya dan melawan dengan gadingnya, sementara badak menubrukkan culanya. Para ilmuwan menduga perilaku gajah muda yang meledak-ledak ini adalah untuk melampiaskan emosinya sekaligus menunjukkan dominasinya. Di akhir kisah, para badak memutuskan untuk pindah mencari tempat yang lebih tenang tanpa diganggu mahluk gila yang lebih besar dari mereka. Sementara gajah muda itu terlihat merasa puas namun terlihat luka-luka lecet di gadingnya akibat hantaman cula. Kadang-kadang konfrontasi yang buas dapat mengakibatkan badak terluka parah di leher bawah terkena gading gajah. Luka yang menganga parah dengan perlahan akan membunuh si badak.

Di kesempatan lain, seekor buaya terlihat sedang tertawa girang melihat kawanan gazelle yang menyeberangi sungai. Para gazelle terlihat gugup menyeberangi sungai karena merasakan bahaya, sementara buaya dengan dingin semakin mendekati mereka. Dengan gerakan sekejap mata, seekor gazelle betina yang malang segera disambar oleh seekor buaya muda. Paha gazelle itu tertangkap rahang kokoh penuh gigi tersebut. Gazelle itu meronta-ronta dengan putus asa. Tetapi butuh sebuah mukjizat untuk bisa melepaskan diri dari gigitan buaya yang selalu lapar.

Namun siang itu alam sedang bermurah hati. Entah merasa terganggu atau merasakan iba, seekor kuda nil dewasa di tepian sungai dengan agresif berenang menuju ke buaya tersebut. Kuda nil itu dengan jelas memperlihatkan ekspresi marah, membuka mulutnya yang lebar, memperlihatkan rahangnya yang besar dengan empat taring yang mencuat. Buaya muda itu sadar diri, kadang-kadang seekor predator yang dominan pun harus mengerti kapan saatnya mundur dari situasi yang genting. Saat buaya itu membuka rahangnya, dengan cepat gazelle malang itu melesat ketakutan menuju daratan.

Gazelle betina yang nyaris mati disambar buaya itu terduduk di daratan dengan sekujur tubuh gemetar ketakutan. Inilah mukjizat yang sesungguhnya terjadi, kuda nil dewasa tadi tiba-tiba keluar dari sungai dan menghampiri gazelle tersebut. Dengan bahasa tubuh lembut keibuan, kuda nil itu mengendus-enduskan moncongnya ke kepala gazelle, seolah memberikan simpati dan semangat kepadanya untuk meneruskan hidup. Setelah beberapa saat, akhirnya kuda nil itu meninggalkannya setelah menyadari bahwa gazelle itu terluka parah dan terlalu lemah untuk berjuang. Burung-burung nasar yang sudah berkerumun di sekelilingnya dengan serta-merta mulai berpesta menotoli gazelle yang sudah sekarat tersebut. Namun ada satu pihak yang marah dan ingin merusak pesta para burung nasar. Reptil prasejarah itu keluar dari sungai dan dengan penuh rasa dongkol mengusir burung-burung nasar lalu menyeret bangkai gazelle kembali ke dalam sungai, sementara burung-burung itu hanya bisa berkoar-koar protes tak berdaya.